Erika Odeline terlihat keluar dari sebuah kantor kepolisian di kota Paris. Wajahnya tampak sumringah, menambahkan kebahagiaan dan kekejaman dalam waktu yang bersamaan. "Sudah kubilang, kalian tak mampu untuk mengekang ku di balik jeruji. Hahaha!" Seru Rika berbicara seorang diri sebelum masuk ke dalam mobil. Rika dengan santainya memasuki kendaraannya, melesat seperti orang yang menggila dan kehilangan arah. Lambat laun Rika merasa sepi melahap dirinya, dengan sendirinya Rika menepikan mobilnya. "Ada apa denganku? Tidak!" Wanita itu terus meracau seorang diri di dalam mobilnya, bahkan Rika tak tahu bagaimana caranya untuk menghentikan semua bisikan yang berlangsung di dalam kepalanya. Beberapa menit kemudian, sorotan lampu cahaya dari sebuah mobil menerangi pandangan Rika. Kedua mata Rika memincing, begitu silau akan sorot lampu mobil tersebut. Tentu Rika dibuat penasaran. Namun dalam sekejap, rasa penasarannya terjawab. Pengawal kepercayaan Alex, yang tidak lain adalah Re
Pagi hari dengan sinar mentari seolah berlawanan dengan duka yang masih menyelimuti Lia dan Alex. Sudah beberapa hari sejak duka itu. Dan Lia masih berdiam diri di dalam kamarnya. Alex setia untuk menanti wanita itu, walau Alex kini belum bisa untuk berada di dalam satu kediaman bersama Lia. Alex dengan membuat Lia risih padahal dia masih berkabung. Walau begitu, Alex sudah mengantongi izin dari Tuan Erik untuk menunggu Lia setiap hari di dalam rumah atau apartemen Lia. Semua pekerjaan Lia terbengkalai, dan itu bukanlah hal penting lagi. Sesekali Alex melihat Lia di kamarnya, membawa nampan berisikan makanan, meski Lia tidak mau memakan apa pun yang dibawa untuknya. Wajar saja, mengingat Lia sangat sangat terpuruk akan dukanya. Kini Alex sedang berada di ruang tengah apartemen Lia. Menunggu Lia yang masih menunjukkan tanda-tanda enggan keluar dari dalam kamarnya. Tanpa disangka, Evan datang dan membuat Alex mengira itu hanya hal biasa. "Ada yang bisa kubantu?" Tanya Alex den
Malam yang kelabu membawa dampak yang serius pada jiwa Alex. Pria itu hanya bisa termangu menetap Lia yang masih tak sadarkan diri dengan pergelangan tangan yang dibalut gulungan kapas. Dalam hati Alex berkata, 'aku lakukan apa yang kubisa selagi kamu benang dibuatnya. ' Tentu Alex lelah, Alex hanyalah manusia biasa yang tak mengira bahwa keputusannya untuk menikahi Lia akan membawa petaka yang tak terduga. Alex menunduk, menatap sepasang sepatu hitam yang digunakannya. "Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku sangat mencintaimu Natalia. Kamulah manusia yang sangat berarti untukku, dan aku tak akan pernah menghianatimu." Ujar Alex pada keheningan malam yang sendu. "Ingin sekali kujelaskan padamu, bahwa hari di mana kamu mengira aku menghianatimu, itu bukanlah sesuatu hal yang sungguh terjadi. Saat itu aku dijebak oleh Maya yang di mana merupakan utusan Rika di dalam penjara." Kedua mata Alex terpejam. "Bahkan saat berada di balik jeruji maupun rumah sakit jiwa, mereka benar-bena
Hari demi hari berlalu, Natalia Nawasena masih menjalani perawatan baik itu dalam segi mental dan luka yang dibuatnya pada pergelangan tangan sendiri. Di samping itu, Alex masih setia menemani Lia dan tak ingin melewatkan 1 detik pun. Di sisi lain, Alex bersyukur karena dirinya tidak pernah mengajukan perceraian secara sah karena menurut Alex, dia masih mampu mempertahankan hubungan yang telah dilanda oleh banyak ujian tersebut. Hari ini, Lia baru saja selesai melakukan sesi konsultasi dengan dokter kesehatan mental di Paris. Tentu Lia bersama dengan Alex, yang ingin memberikan hal-hal terbaik pada Lia. "Apa kamu ingin sesuatu?" Tanya Alex pada Lia ketika mereka sudah berada di dalam kendaraan. "Kita bisa membeli sesuatu, kalau kamu ingin, sebelum kita sampai di apartemen milikmu." Lia menimpali. "Tidak, aku hanya ingin beristirahat. " Alex mengangguk. "Baik, kita akan langsung pulang ke tempatmu saja." Ucapan Alex membuat Lia sekadar tersenyum simpul, kemudian menikmati pe
Hujan di luar hotel tampaknya semakin deras. Alex dan Lia benar-benar terjebak di dalam bangunan mewah yang tentunya membuat Alex menyewa sebuah kamar. "Sepertinya hujannya akan berhenti beberapa jam lagi. Kamu bisa beristirahat di ranjang, selagi aku berjaga." Ucap Alex. Lia menggangguk paham. "Seharusnya kamu saja yang beristirahat, karena kamu sudah mengendarai mobil cukup jauh dari apartemenku." "Ya, aku bisa beristirahat di atas sofa saja. " Dahi Lia mengernyit. "Ada apa? Mengapa kamu tidak mau tidur di atas ranjang?" "Aku enggan membuatmu risih, Lia. Kamu saja yang beristirahat di atas ranjang." Terdengar desahan lembut dari mulut Lia. "Alex. Kamu tidak perlu memikirkanku sejauh itu. Kamu juga perlu memperhatikan dirimu, karena aku tak ingin kamu kenapa-napa." "Baiklah, jika kamu yang meminta seperti itu. Tapi, mungkin aku akan tetap terjaga sampai hujannya reda." "Sepertinya aku akan masuk ke dalam kamar kecil terlebih dulu, aku ingin membersihkan wajahku sebelum
Sepasang suami istri itu menikmati waktu mereka yang akhirnya dapat menyelimuti bersama kehangatan pun kebahagiaan. Tak lain dan tak bukan ialah Alexander dan Natalia. Pagi yang menjadi awal dari hari mereka menyambut begitu baik, menusuk indra penglihatan mereka karena menemukan bahwa pagi usai badai kemarin terasa mendukung. Alex mengerjakap matanya sebagai orang pertama yang sadar. disusul untuk niatnya yang hendak bergerak, tetapi Alex tersadar bahwa ada yang bersandar pada bahu kekarnya. Wajah Alex menoleh, menemukan Lia yang masih pulas dan hanya terbalik selimut tebal sepertinya. Alex mengukir senyum di wajahnya, menemukan pagi ideal yang menjadi dambaannya sepanjang waktu. " Selamat pagi. " gumam Lia yang nyatanya juga sudah sadar, membuat Alex semakin gencar berbahagia. Tanpa membalas ucapan Lia, Alex mengucap dahi wanita itu lalu melontarkan tanya. "Apa aku boleh ke kamar kecil? Rasanya aku sangat ingin..." Lia tertawa kecil. "Ya, ya, aku paham maksudmu Alex." Lia
Hari yang dijanjikan oleh Lia untuk datang membawa materi dan proposalnya pun tiba. Pagi hari menyambut Lia, yang sedikit bingung karena menemukan dirinya berada di atas ranjang. Lia menoleh, menemukan sisi ranjang yang lain tampak kosong. Dahi Lia mengernyit, berusaha mencari pria yang semalam masih berada bersamanya. Tubuhnya bangkit, mengeratkan luaran piyamanya, dan berjalan menuju keluar kamar. Mata Lia mengedar ke sana kemari, mencari-cari keberadaan seseorang. "Alex, apakah kamu sudah pulang?" Ucap Lia dengan suaranya yang lembut. Asisten Lia tergopoh-gopoh menghampiri sang atasan. "Tuan Alex sedang berada di dapur, Nyonya. Tuan bersikeras untuk menyiapkan sarapan untukmu." "Benarkah?" Tanya Lia tak percaya sontak kembali beranjak untuk menuju dapur, dan sungguh menemukan keberadaan Alex di sana yang sedang menata sesuatu di atas piring. Lia menutup mulutnya dengan satu tangan. "Astaga, sejak kapan kamu bisa memasak?" Pertanyaan Lia membuat Alex tersenyum miring da
Alex cukup lama menunggu kehadiran Lia yang dikiranya masih melakukan rapat pada ruang pertemuan. Alex berusaha mengirimkan pesan singkat agar tidak mengganggu Lia, tetapi tak ada satu pun pesan yang dibalas oleh wanita itu. Ketika Alexander kembali pada layar laptopnya, tiba-tiba saja muncul kehadiran Lia dengan wajah yang tak mampu diartikan oleh Alex sendiri. Nafas Lia seperti tersengal, Lia begitu gelisah membuat Alex ikut bimbang. "Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Alex memastikan keadaan Lia. "A-aku, aku hanya ingin segera pulang." Balas Lia singkat namun tidak menatap Alex sama sekali. Tentu respon Lia membuat Alex menjadi ganjal, karena saat berangkat tadi Lia tampak baik-baik saja. "Apa kamu yakin bahwa kamu baik-baik saja? Apa kamu terburu-buru karena pesan yang aku kirimkan?" Baru saja Lia hendak menjawab Alex, tiba-tiba saja Evan muncul dengan membawa ponsel Lia. Pria itu sekadar meletakkan ponsel Lia di atas permukaan meja, menarik perhatian Alex dan Lia yang serem
Di tengah kilau cahaya malam yang membentang, tampak Evan dan Rika yang tengah bercumbu dengan begitu liarnya di dalam kendaraan pribadi mereka. Rika tampak lebih mendominan, menguasai permainan dengan lihai sekaligus menyalurkan hasratnya yang semakin membara. Di tengah-tengah permainan keduanya, tiba-tiba saja Evan sedikit mendorong tubuh Rika agar dapat melepas cumbuannya. Awalnya Rika terperanjat dengan nafasnya yang memburu, menatap Evan dilema dan penuh nafsu. Tetapi tak berselang lama, Rika bersua. "Ada apa kali ini?" Evan gelisah. "Aku hanya tak nyaman melakukannya di dalam mobil." "Kamu hanya belum terbiasa." "Ya, dan aku tak suka ini." Rika menatap Evan kesal dan skeptis. "Mengapa akhir-akhir ini kamu begitu menyebalkan dan manja? Kamu seperti wanita yang lemah." "Erika Odeline, hari ini aku cukup lelah, tidak... Aku lebih lelah hari ini." Dahi Rika mengernyit. "Oke, apa yang membuatmu sangat lelah hari ini?" "Pihak Alex mulai mencurigai rencana yang sedang kujalan
Ketika pagi menyambut seorang Natalia Nawasena, tubuh wanita itu dibuat meringkuk sebentar di dalam selimutnya yang tebal. Lia menetralisir suhu ruangan agar bisa beradaptasi, mengingat di luar sana sedang hujan deras. Lalu tak sengaja, tangan Lia menyentuh sisi ranjang yang kosong di sampingnya. Sontak dahi Lia mengernyit, menemukan Alex yang beranjak tanpa kata seperti biasa. "Alex?" Panggil Lia dengan suara yang memenuhi kamar, berniat memanggil Alex yang mungkin saja ada di dalam kamar kecil. "Alexander Adarsa." Nihil, tak ada jawaban sama sekali. Lia heran, kemudian bangkit menggunakan handuk kimononya. "Alex—" Lia terhenti begitu membuka pintu kamar kecil, dan menemukan isinya tak berpenghuni. Lantas Lia beranjak keluar dari kamar pribadinya bersama Alex, mencari-cari kehadiran pria itu ke setiap sudut penthouse atau kediaman tersebut. "Hani." Panggil Lia ketika melihat si kepala asisten rumah tangga tengah berbenah di atas meja makan. "Ya nyonya, apa ada yang bisa kuban
Apa yang terjadi hari esok adalah misteri yang tak akan terpecahkan oleh siapapun. Baik itu Alexander Adarsa seorang, yang kini hanya mampu terdiam menatapi hamparan pemandangan kota malam. "Tuan." Wajah Alex menoleh, menemukan kehadiran Resham yang muncul dengan sebuah Pad yang berada pada genggamannnya. "Bagaimana?" Tanya Alex memastikan. Sebelum menjawab, Resham menyerahkan Pad di tangannya pada Alex terlebih dulu. "Kami hanya bisa menemukan informasi mengenai ibu dari Evan, selebihnya kami belum menemukan petunjuk yang bisa kami hubungkan dengan tuan Andreas, ayah anda." Alex menjadi bimbang. Jika memang Evan adalah anak dari ayahnya, tuan Andreas, mengapa status di antara mereka masih abu-abu bagi Alex? 'Mungkin, Evan memang hanya mengincar aset dari perusahaan?' Batin Alex berusaha menerka. Bagaimana pun juga, belum ada titik temu yang bisa dijumpai Alex. Bahkan Alex harus lebih menjaga banyaknya saham di dalam perusahaan keluarga Adarsa. Hari yang melelahkan tak akan m
Rapat pertemuan yang begitu tiba-tiba sengaja diadakan oleh Alexander Adarsa hari ini. Mulai dari petinggi hingga para pemegang saham terpenting ikut hadir, tak terkecuali tuan Erik, kakek dari Natalia Nawasena. "Jadi, bagaimana bisa ada orang yang secara mendadak ingin mengklaim aset dari perusahaan ini bahkan memiliki akses tanpa sepengetahuan anda, tuan Alexander?" Pertanyaan dari salah satu petinggi membuat Alex terdiam sejenak. 'Sudah kuduga akan ada yang menanyakan hal ini. Sepertinya, ada orang dalam yang ikut membantu kelicikan Evan dan Rika.' Batin Alex. Tak lama berselang, seorang pemegang saham kemudian ikut melontarkan tanya. "Apa kondisi tuan Andreas akan berdampak pada keamanan saham perusahaan ini? Bagaimana dengan aset yang ingin diklaim itu adalah aset hasil investasi kami?" Alex menghela nafas tenang, kemudian buka suara. "Baik, para tamu terhormat. Saya sangat memahami akan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan." Lalu Alex mengambil jeda sejen
"Pelan-pelan sayang, ah..." "Tahan sedikit sayang, aku, akan, ah!" "Ah!" Sahutan panas itu usai, membiarkan peluh keringat di antara keduanya mengalir deras, melawan dinginnya suhu ruangan di kamar pribadi mereka. Mereka ialah Alex dan Lia, tentunya, yang melakukan 'permainan' mereka di waktu yang jarang digunakan. Setelah mengeluarkan puncak masing-masing, Alex dan Lia terbaring di atas ranjang. "Kukira semalam kamu tak bisa sehebat ini." Bisik Lia merehatkan tubuhnya yang menjadi lumayan lelah. "Selelah apa pun aku, melihat dirimu yang selalu indah dan hebat ini tak akan bisa kubiarkan berlalu begitu saja, sayang." Balas Alex dengan baritonnya. Keduanya terdiam sejenak, membiarkan raga dan jiwa masing-masing mengisi energi di pagi hari. Ya, begitu Lia melirik jam di atas nakas, netranya menemukan bahwa kini sudah pukul setengah enam pagi. "Alex." "Ya, sayang." "Apa kamu bisa berangkat kerja setelah..." Mendengar Lia mengambil jeda, Alex dibuat heran. Namun setelah mencern
Apa yang dihadapi Alex di gedung perkantoran, semaksimal mungkin enggan ditampakkan olehnya di depan keluarga kecilnya yang selalu Alex banggakan. Banyak masalah yang berkecamuk, tetapi sebisa mungkin Alex meletakkan itu sebelum memasuki kediamannya. Saat membuka pintu rumah, akan ada sambutan hangat yang menyertai. "Selamat datang ayah." Ujar Lia yang menggendong Reksa, anak semata wayang mereka, di depan pintu masuk. Lelah dan tekanan seolah lari beterbangan di dalam kepala Alexander Adarsa, membuatnya semakin mengobarkan tekat untuk menjaga apa yang masih ada bersamanya. Kali ini Alex sekadar mengukir senyum manis, karena hanya itu satu-satunya hal yang mampu Alex lakukan. Di samping itu, Lia sangat mengerti dengan keadaan yang sedang dihadapi oleh sang suami. Alex dan Lia berjalan beriringan menuju kamar yang dulunya hanya dimiliki oleh Alex, kini tentunya sudah resmi menjadi kamar pribadi mereka. "Begitu melelahkan bukan?" Tanya Lia di sela-sela langkah mereka yang gontai.
Ketegangan yang terjadi di antara Alex dan Evan menimbulkan titik kegaduhan di antara tatapan keduanya. Alex berupaya menahan nafasnya yang tersengal, lalu memberi isyarat pada Resham. "Tunggu perintahku di luar ruangan." Kata Alex. Resham menunduk. "Baik tuan." Seperginya Resham, Alex dan Evan kembali saling menatap. "Apa yang kamu inginkan?" Tanya Alex skeptis pada Evan. Usai mendengar Alex, Evan tertawa remeh. "Apa kamu sedang berpura-pura bodoh atau kamu memang sengaja tak ingin mengetahuinya?" Tubuh Alex menegap, nafasnya terhela tenang. "Aku ingin penjelasan darimu sebagai seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Selama ini, kamu sekadar menyampaikan semuanya pada orang lain atau melalui perantara." "Oh, jadi maksudmu, aku bukan orang yang baik." 'Tentu saja.' Kata Alex dalam hatinya karena sudah tak mungkin dia melontarkan kata yang akan membuat situasi ini memanas. "Kamu sudah tahu bukan bahwa kita memiliki ikatan darah?" Tanya Evan penuh penekanan. "Lalu?" Mende
Siapa pun yang berada di dalam posisi Alexander Adarsa akan terus merasakan dilema yang berkepanjangan. Alex sendiri bahkan kerap merasa kewalahan, apa lagi sudah seminggu sejak tuan Andreas Adarsa, ayahnya, terbaring koma. Hari ini, dengan berat hati Alex harus kembali bekerja, menjalankan rutinitasnya, sekaligus tugas tambahan yakni menggantikan sementara posisi tuan Andreas. "Kamu harus yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, Alex." Kata Lia merapikan dasi suaminya yang beroman wajah suram pagi ini. "Aku yang akan menjaga ayah hari ini, jadi kamu tenang saja." "Bagaimana dengan Reksa?" Tanya Alex dengan baritonnya. "Aku sudah meminta Resham mencarikan pengasuh tambahan kemarin. Bukannya kamu bersamaku saat meneleponnya?" Alex terdiam, berusaha mengingat kembali ucapan itu. "Ah, kamu benar. Maaf, aku lupa akan hal itu." "Tak apa, aku paham kamu sedang banyak pikiran." Helaan nafas Alex terdengar cukup berat. "Aku tak dapat membayangkan jika kamu tak ada di sisiku, aku akan
Manik mata Lia dan Alex hanya mampu terpaku pada tuan Andreas yang kini tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tuan Andreas pun diberi alat bantuan pernafasan, dan sejak tadi belum sadar dari kondisinya. Lia menutup mulutnya dengan satu tangan, membuat Alex dengan cepat meraih tubuh sang istri untuk didekapnya dengan erat. "Alex... Bagaimana bisa ayah seperti ini?" Ujar Lia pelan masih tak percaya dengan kondisi sang mertua yang mendadak drop dalam semalam. Mendengar tanya yang terlontar dari mulut istrinya, Alex dengan tenang, guna menutupi keterpurukannya, menjawab Lia. "Entahlah, bahkan dua hari lalu beliau masih terlihat baik-baik saja." Keduanya kembali terdiam, dan kini hanya mampu tenggelam dalam duka. Keduanya masih bingung, mengingat tuan Andreas sungguh tak pernah terlihat kesakitan. Dalam benaknya, Alex membatin. 'Ayah, apa kamu telah mengalami satu hal hingga menyebabkan kondisimu drop seperti ini?' Begitu menghabiskan waktu sejam, akhirnya asisten tuan Andrea