Seminggu berlalu, tepatnya hari di mana peresmian Alexander Adarsa sebagai seorang CEO Agensi Star Music akan digelar. Gedung agensi tampak lebih ramai dari biasanya, mengingat tuan Andreas Adarsa akan mewariskan tahtanya pada Alex. Walau begitu, Lia tak dapat menghadiri acara penting itu secara langsung. Lia masih bertahan dengan privasinya, namun Lia akan selalu memantau acara peresmian jabatan Alex yang ditayangkan secara langsung di TV. Dengan rasa bangganya, Lia menatap wajah Alex yang begitu berseri di layar kaca. Banyak pertanyaan yang bermunculan, sekaligus datangnya ucapan selamat yang bertubi-tubi. "Bagaimana perasaan anda berhasil membuktikan bahwa diri anda layak menyandang posisi baru anda, tuan Alex?" Tanya seorang wartawan. Alex pun menjawab. "Tentu aku begitu senang dan bangga atas pencapaian ini, tapi di sisi lain—aku sangat berterima kasih pada kehadiran istriku." Melihat itu, Lia begitu tersentuh. Walau mungkin Alex mengatakannya hanya sebatas sandiwara, tetapi
Beberapa jam usai peristiwa mencekam di Agensi Star Music, pihak terkait mengatakan akan menempuh jalur hukum dan akan menemukan pelaku penembakan terhadap Alexander Adarsa secepat mungkin. Tak hanya merugikan Alex atau agensi, namun peristiwa itu menyebabkan banyak pihak yang menjadi cemas akan keseharian mereka hingga mengalami trauma ringan. Begitu banyak media yang memberitakan kejadian ini, mengingat ini adalah tindakan kriminal yang membahayakan. Lia yang menjadi saksi penembakan itu dibuat kalang-kabut oleh kondisi Alex. Dia meminta pada Resham untuk membawanya menuju rumah sakit yang menangani kondisi Alex usai penembakan tersebut. Pada koridor rumah sakit yang dilaluinya, Lia tampak begitu cemas dan kalut, berusaha mengontrol benaknya yang begitu terganggu. Saat tiba di sebuah ruangan yang dihuni Alex, Lia menemukan pria itu sedang duduk dengan bahu yang baru saja diperban. "Alex, bagaimana dengan—" Tak ingin Lia begitu panik, Alex segera menyanggah pertanyaan wanita N
Alex dan Lia pun kembali pada kediaman Alex. Hunian elit tersebut terasa lebih sepi dibanding hari-hari biasanya, karena dalam perjalanan tadi, Alex meminta bibi Anna membawa Alesia untuk berlindung di rumah tuan Adarsa, ayahnya. Tentu, Alex tak ingin menemukan masalah lain jika saja dirinya tetap membiarkan mereka berada di rumah tanpa pengawasan ketat, mengingat Alex baru bisa mendapatkan perlindungan ekstra dari pihak kepolisian. "Lia, maaf hari ini aku tidak bisa menemanimu. Aku sangat lelah." Ucap Alex yang diangguki Lia. "Kamu harus istirahat, hari ini pastinya melelahkan bagimu." "Ya, aku akan mandi terlebih dulu lalu beristirahat. Bila kamu membutuhkan sesuatu, beritahu aku." Lia kembali mengangguk untuk yang kedua kalinya, menatap Alex yang mulai berjalan memasuki kamar pribadinya. Wanita itu tak masuk begitu saja ke dalam kamarnya sendiri. Tak ingin hal buruk terjadi, Lia bergerak untuk memastikan semua akses mulai dari pintu, jendela, hingga ventilasi terdekat terkunc
Pagi yang cerah menyinari awal hari ini. Sinar mentari yang masuk melalui celah gorden mengusik kulit Alex membuatnya melenguh dan perlahan mulai terbangun dari istirahatnya.Tapi kamar Lia begitu nyaman rasanya, hingga Alex masih ingin mengeratkan pelukannya pada sebuah bantal. Tak lama berselang, setelah melenguh, Alex mendengar suara deheman yang begitu dekat darinya.Awalnya Alex ingin menghiraukan itu, namun telinganya mendengar Lia yang memanggil namanya dengan suara yang parau. "Lex."Sontak Alex membuka kedua matanya, menemukan Lia yang sebenarnya sejak tadi dia peluk seperti bantal. "Astaga, maafkan aku." Katanya dan melepas Lia, kemudian menjauh dengan rasa bersalah.Melihat Alex yang berdiri membuat Lia sedikit kikuk dengan mengusap tengkuknya. "Ti-tidak apa-apa." Kata Lia berusaha tenang dan tak gugup."Aku tak sadar jika aku melakukan itu, padahal seharusnya—ah, maafkan aku.""Ya, aku pun tidak tega membangunkanmu karena sepertinya kamu begitu pulas."Alex menggaruk pelip
Kini, Alex dan Lia harus kembali menginjak lantai koridor rumah sakit, bergegas mendampingi bibi Anna yang menjadi korban tabrak lari oleh orang tak dikenal.Dengan nafas yang terengah serta Alesia yang terus menangis di dalam dekapannya, Lia berusaha menenangkan diri walau rasanya mustahil karena Lia tak pernah menduga hal ini akan terjadi."Mohon maaf, batas untuk keluarga pasien hanya sampai di sini." Ujar seorang perawat medis untuk mencegat Alex dan Lia.Bibi Anna sepertinya berada dalam kondisi kritis, mengingat tabrakan yang dialaminya sangatlah keras. Dengan mulut yang bergetar, Lia bergumam. "Bibi—bagaimana ini?"Alex mendengar risau dari mulut wanita Nawasena tersebut, lantas tergerak untuk mengusap pundaknya. "Tenanglah, kita harus yakin jika beliau akan baik-baik saja."Meski dirinya sendiri sedang kalut, sedih, marah, dan juga kesal, tetapi Alex harus menenangkan situasi terlebih dulu, apalagi situasi Lia. Ini adalah ke sekian kalinya mereka melihat orang-orang di sekitar
Keesokan hari setelah insiden penabrakan bibi Anna, Alex dan Lia kembali terlihat mendampingi beliau yang masih menjalani perawatan intensif pada ruang ICU.Alex yang baru saja mengerjapkan matanya dan tak sengaja tidur dalam posisi duduknya di atas sofa menoleh, menemukan Lia yang juga terlelap di sebelahnya.Kursi ruang tunggu di hadapan ICU memang tidak nyaman, namun setidaknya Alex bisa beristirahat sejenak. Alex lebih tak tega menemukan Lia yang menolak pulang dan ingin menunggu bibi Anna.Lambat laun, beberapa orang kembali berlalu-lalang. Resah masih menyelimuti Alex dan Lia, mengingat sudah sejak kemarin tak ada perkembangan dari bibi.Dua jam berlalu sejak Alex terbangun, Lia ikut melakukan hal yang sama. Matanya mengerjap, lalu menyadari jika dirinya dan Alex masih berada di depan ruang ICU."Apa kamu baik-baik saja tidur seperti tadi?" Tanya Alex."Ya, setidaknya aku bisa tidur sedikit." Balas Lia seraya menepuk-nepuk tengkuknya yang sedikit kaku.Tak lama berselang, muncul
Para tamu duka datang dengan pakaian serba hitam, memberi penghormatan terakhir pada orang yang sangat berjasa pada hidup Alexander Adarsa. Keluarga mendiang bibi Anna begitu tak kuasa menahan tangis mereka.Faktanya, bibi Anna memiliki seorang suami dan anak angkat yang begitu dirindukan olehnya. Dan karena insiden kemarin hari, mereka tak sempat mengucapkan kata perpisahan dengan baik pada bibi Anna.Alex dan Lia hanya bisa terdiam, menemukan duka yang tak akan pernah mereka lupakan. Lelah tak menjadi faktor mereka untuk meninggalkan rumah duka, dan mereka hanya bisa merenung dalam pemikiran masing-masing."Tuan Alex." Panggil anak angkat bibi dengan wajah sembabnya. "Aku anak dari mendiang ibu Anna, namaku Tya."Alex hanya bisa menunduk, masih tak tega menemukan keterpurukan di wajah keluarga mendiang bibi. "Aku telah banyak mendengar tentangmu, karena ibu selalu menceritakan tentangmu dan nyonya Lia. Terima kasih karena memberikan kesempatan pada ibu untuk kembali bekerja, untuk
Seminggu setelah kematian mendiang bibi Anna dan penangkapan Rika serta Jacob, Lia seperti mengurung diri di dalam kamarnya. Bukan karena Lia ketakutan, namun kepergian bibi seolah meninggalkan luka di dalam benaknya.Alex yang juga masih merasakan duka tak mampu berbuat banyak, apalagi hal tempo hari tentu akan menambah trauma dalam diri Lia.Yang biasanya mereka akan menemukan kehadiran bibi Anna sedang menjaga Alesia, kini tiba-tiba dihadapkan dengan takdir di mana sosok beliau tak akan pernah kembali dalam hidup mereka.Walau begitu, setidaknya Alex dapat menghela nafas cukup lega, mengingat Rika dan Jacob yang sudah diproses oleh kepolisian.Saat ini, usai menghadiri rapat penting, Alex meminta supir untuk pergi ke gedung tahanan di mana Rika dan Jacob sedang dibui. Di dalamnya, Alex dapat menemukan Rika yang menggunakan baju tahanan dan menatapnya murka.Ketika dirinya dipertemukan dengan saling berhadapan, Rika mengolok Alex karena begitu jengkel. "Jadi ini balasanmu atas apa y
Di tengah kilau cahaya malam yang membentang, tampak Evan dan Rika yang tengah bercumbu dengan begitu liarnya di dalam kendaraan pribadi mereka. Rika tampak lebih mendominan, menguasai permainan dengan lihai sekaligus menyalurkan hasratnya yang semakin membara. Di tengah-tengah permainan keduanya, tiba-tiba saja Evan sedikit mendorong tubuh Rika agar dapat melepas cumbuannya. Awalnya Rika terperanjat dengan nafasnya yang memburu, menatap Evan dilema dan penuh nafsu. Tetapi tak berselang lama, Rika bersua. "Ada apa kali ini?" Evan gelisah. "Aku hanya tak nyaman melakukannya di dalam mobil." "Kamu hanya belum terbiasa." "Ya, dan aku tak suka ini." Rika menatap Evan kesal dan skeptis. "Mengapa akhir-akhir ini kamu begitu menyebalkan dan manja? Kamu seperti wanita yang lemah." "Erika Odeline, hari ini aku cukup lelah, tidak... Aku lebih lelah hari ini." Dahi Rika mengernyit. "Oke, apa yang membuatmu sangat lelah hari ini?" "Pihak Alex mulai mencurigai rencana yang sedang kujalan
Ketika pagi menyambut seorang Natalia Nawasena, tubuh wanita itu dibuat meringkuk sebentar di dalam selimutnya yang tebal. Lia menetralisir suhu ruangan agar bisa beradaptasi, mengingat di luar sana sedang hujan deras. Lalu tak sengaja, tangan Lia menyentuh sisi ranjang yang kosong di sampingnya. Sontak dahi Lia mengernyit, menemukan Alex yang beranjak tanpa kata seperti biasa. "Alex?" Panggil Lia dengan suara yang memenuhi kamar, berniat memanggil Alex yang mungkin saja ada di dalam kamar kecil. "Alexander Adarsa." Nihil, tak ada jawaban sama sekali. Lia heran, kemudian bangkit menggunakan handuk kimononya. "Alex—" Lia terhenti begitu membuka pintu kamar kecil, dan menemukan isinya tak berpenghuni. Lantas Lia beranjak keluar dari kamar pribadinya bersama Alex, mencari-cari kehadiran pria itu ke setiap sudut penthouse atau kediaman tersebut. "Hani." Panggil Lia ketika melihat si kepala asisten rumah tangga tengah berbenah di atas meja makan. "Ya nyonya, apa ada yang bisa kuban
Apa yang terjadi hari esok adalah misteri yang tak akan terpecahkan oleh siapapun. Baik itu Alexander Adarsa seorang, yang kini hanya mampu terdiam menatapi hamparan pemandangan kota malam. "Tuan." Wajah Alex menoleh, menemukan kehadiran Resham yang muncul dengan sebuah Pad yang berada pada genggamannnya. "Bagaimana?" Tanya Alex memastikan. Sebelum menjawab, Resham menyerahkan Pad di tangannya pada Alex terlebih dulu. "Kami hanya bisa menemukan informasi mengenai ibu dari Evan, selebihnya kami belum menemukan petunjuk yang bisa kami hubungkan dengan tuan Andreas, ayah anda." Alex menjadi bimbang. Jika memang Evan adalah anak dari ayahnya, tuan Andreas, mengapa status di antara mereka masih abu-abu bagi Alex? 'Mungkin, Evan memang hanya mengincar aset dari perusahaan?' Batin Alex berusaha menerka. Bagaimana pun juga, belum ada titik temu yang bisa dijumpai Alex. Bahkan Alex harus lebih menjaga banyaknya saham di dalam perusahaan keluarga Adarsa. Hari yang melelahkan tak akan m
Rapat pertemuan yang begitu tiba-tiba sengaja diadakan oleh Alexander Adarsa hari ini. Mulai dari petinggi hingga para pemegang saham terpenting ikut hadir, tak terkecuali tuan Erik, kakek dari Natalia Nawasena. "Jadi, bagaimana bisa ada orang yang secara mendadak ingin mengklaim aset dari perusahaan ini bahkan memiliki akses tanpa sepengetahuan anda, tuan Alexander?" Pertanyaan dari salah satu petinggi membuat Alex terdiam sejenak. 'Sudah kuduga akan ada yang menanyakan hal ini. Sepertinya, ada orang dalam yang ikut membantu kelicikan Evan dan Rika.' Batin Alex. Tak lama berselang, seorang pemegang saham kemudian ikut melontarkan tanya. "Apa kondisi tuan Andreas akan berdampak pada keamanan saham perusahaan ini? Bagaimana dengan aset yang ingin diklaim itu adalah aset hasil investasi kami?" Alex menghela nafas tenang, kemudian buka suara. "Baik, para tamu terhormat. Saya sangat memahami akan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan." Lalu Alex mengambil jeda sejen
"Pelan-pelan sayang, ah..." "Tahan sedikit sayang, aku, akan, ah!" "Ah!" Sahutan panas itu usai, membiarkan peluh keringat di antara keduanya mengalir deras, melawan dinginnya suhu ruangan di kamar pribadi mereka. Mereka ialah Alex dan Lia, tentunya, yang melakukan 'permainan' mereka di waktu yang jarang digunakan. Setelah mengeluarkan puncak masing-masing, Alex dan Lia terbaring di atas ranjang. "Kukira semalam kamu tak bisa sehebat ini." Bisik Lia merehatkan tubuhnya yang menjadi lumayan lelah. "Selelah apa pun aku, melihat dirimu yang selalu indah dan hebat ini tak akan bisa kubiarkan berlalu begitu saja, sayang." Balas Alex dengan baritonnya. Keduanya terdiam sejenak, membiarkan raga dan jiwa masing-masing mengisi energi di pagi hari. Ya, begitu Lia melirik jam di atas nakas, netranya menemukan bahwa kini sudah pukul setengah enam pagi. "Alex." "Ya, sayang." "Apa kamu bisa berangkat kerja setelah..." Mendengar Lia mengambil jeda, Alex dibuat heran. Namun setelah mencern
Apa yang dihadapi Alex di gedung perkantoran, semaksimal mungkin enggan ditampakkan olehnya di depan keluarga kecilnya yang selalu Alex banggakan. Banyak masalah yang berkecamuk, tetapi sebisa mungkin Alex meletakkan itu sebelum memasuki kediamannya. Saat membuka pintu rumah, akan ada sambutan hangat yang menyertai. "Selamat datang ayah." Ujar Lia yang menggendong Reksa, anak semata wayang mereka, di depan pintu masuk. Lelah dan tekanan seolah lari beterbangan di dalam kepala Alexander Adarsa, membuatnya semakin mengobarkan tekat untuk menjaga apa yang masih ada bersamanya. Kali ini Alex sekadar mengukir senyum manis, karena hanya itu satu-satunya hal yang mampu Alex lakukan. Di samping itu, Lia sangat mengerti dengan keadaan yang sedang dihadapi oleh sang suami. Alex dan Lia berjalan beriringan menuju kamar yang dulunya hanya dimiliki oleh Alex, kini tentunya sudah resmi menjadi kamar pribadi mereka. "Begitu melelahkan bukan?" Tanya Lia di sela-sela langkah mereka yang gontai.
Ketegangan yang terjadi di antara Alex dan Evan menimbulkan titik kegaduhan di antara tatapan keduanya. Alex berupaya menahan nafasnya yang tersengal, lalu memberi isyarat pada Resham. "Tunggu perintahku di luar ruangan." Kata Alex. Resham menunduk. "Baik tuan." Seperginya Resham, Alex dan Evan kembali saling menatap. "Apa yang kamu inginkan?" Tanya Alex skeptis pada Evan. Usai mendengar Alex, Evan tertawa remeh. "Apa kamu sedang berpura-pura bodoh atau kamu memang sengaja tak ingin mengetahuinya?" Tubuh Alex menegap, nafasnya terhela tenang. "Aku ingin penjelasan darimu sebagai seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Selama ini, kamu sekadar menyampaikan semuanya pada orang lain atau melalui perantara." "Oh, jadi maksudmu, aku bukan orang yang baik." 'Tentu saja.' Kata Alex dalam hatinya karena sudah tak mungkin dia melontarkan kata yang akan membuat situasi ini memanas. "Kamu sudah tahu bukan bahwa kita memiliki ikatan darah?" Tanya Evan penuh penekanan. "Lalu?" Mende
Siapa pun yang berada di dalam posisi Alexander Adarsa akan terus merasakan dilema yang berkepanjangan. Alex sendiri bahkan kerap merasa kewalahan, apa lagi sudah seminggu sejak tuan Andreas Adarsa, ayahnya, terbaring koma. Hari ini, dengan berat hati Alex harus kembali bekerja, menjalankan rutinitasnya, sekaligus tugas tambahan yakni menggantikan sementara posisi tuan Andreas. "Kamu harus yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, Alex." Kata Lia merapikan dasi suaminya yang beroman wajah suram pagi ini. "Aku yang akan menjaga ayah hari ini, jadi kamu tenang saja." "Bagaimana dengan Reksa?" Tanya Alex dengan baritonnya. "Aku sudah meminta Resham mencarikan pengasuh tambahan kemarin. Bukannya kamu bersamaku saat meneleponnya?" Alex terdiam, berusaha mengingat kembali ucapan itu. "Ah, kamu benar. Maaf, aku lupa akan hal itu." "Tak apa, aku paham kamu sedang banyak pikiran." Helaan nafas Alex terdengar cukup berat. "Aku tak dapat membayangkan jika kamu tak ada di sisiku, aku akan
Manik mata Lia dan Alex hanya mampu terpaku pada tuan Andreas yang kini tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tuan Andreas pun diberi alat bantuan pernafasan, dan sejak tadi belum sadar dari kondisinya. Lia menutup mulutnya dengan satu tangan, membuat Alex dengan cepat meraih tubuh sang istri untuk didekapnya dengan erat. "Alex... Bagaimana bisa ayah seperti ini?" Ujar Lia pelan masih tak percaya dengan kondisi sang mertua yang mendadak drop dalam semalam. Mendengar tanya yang terlontar dari mulut istrinya, Alex dengan tenang, guna menutupi keterpurukannya, menjawab Lia. "Entahlah, bahkan dua hari lalu beliau masih terlihat baik-baik saja." Keduanya kembali terdiam, dan kini hanya mampu tenggelam dalam duka. Keduanya masih bingung, mengingat tuan Andreas sungguh tak pernah terlihat kesakitan. Dalam benaknya, Alex membatin. 'Ayah, apa kamu telah mengalami satu hal hingga menyebabkan kondisimu drop seperti ini?' Begitu menghabiskan waktu sejam, akhirnya asisten tuan Andrea