Alena dan Alva memilih tidak menghabiskan energi untuk memikirkan tentang Luis dan Brigitte. Mereka berdua punya kesibukan yang lebih bermanfaat, daripada mengurusi kehidupan pribadi orang lain. Alena sudah menerima tawaran kontrak selama setahun dari Liebeskind, untuk menjadi model iklan produk tasnya. Ia beberapa kali melakukan pemotretan dan syuting iklan, termasuk juga menghadiri acara promosi. Sejauh ini, Alva masih selalu sempat menemaninya, karena Alena sudah membuat kesepakatan dengan pihak Liebeskind. Ia bisa mengatur jadwal, sesuai waktu luang yang dia miliki.
Alva masih sibuk dengan pekerjaannya di studio Talent, dan menyusun skripsi. Ditambah lagi, Professor Meyer menawarkan proyek baru pada Alva dan teman-temannya, berupa pembuatan soundtrack untuk sebuah film layar lebar. Alva mengerjakan proyek tersebut di kampus dan juga di studionya. Ia sepertinya benar-benar menikmati semua pekerjaannya, dan namanya semakin dikenal di kalangan profesional.Awal bulan Desember, sesuai rencana, Alva menjalani sidang skripsi. Sidang diadakan pada hari Rabu siang. Alena sengaja meluangkan waktu datang ke kampus Alva saat sidang, untuk memberi dukungan dan semangat. Selain dosen pembimbing dan penguji, orang lain tidak dapat masuk ke ruang sidang, karena merupakan sidang tertutup. Alena menunggu di depan ruang sidang, bersama kedua teman Alva. Mereka adalah Karl dan Christoph, teman bisnis Alva di Studio Talent. Karl berasal dari Jerman, sedangkan Christoph berasal dari Austria."Alva benar-benar kerja keras belakangan ini. Dia nggak pernah tolak proyek dosen, dia ngebut nyusun skripsi, dan hebatnya, dia masih sempat ngerjain job di studio. Dia selalu ngecek kerjaan staff kami di studio, biarpun harus sampai malam. Aku benar-benar salut sama Alva...," Christoph bercerita pada Alena, saat mereka bertiga menunggu Alva, di luar ruang sidang skripsi."Iya, dia emang perfeksionis, tapi da
Mereka naik lift menuju lantai 17. Alva jelas memiliki akses untuk bisa masuk dan menggunakan lift apartemen, padahal sistem keamanan apartemen selalu ketat. Apakah benar...?Alva masih tetap tidak berkata apa-apa, sampai mereka tiba di depan pintu sebuah unit apartemen. Di depan pintu tertulis Unit 17-A. Alva menoleh memandang Alena."Sayang... Ini salah satu impian, yang pernah aku bilang mau aku wujudkan," ucap Alva dengan suara lembut. "Dan kamu yang paling pertama tahu..."Alena terpaku memandang Alva. Mulutnya serasa terkunci. Jantungnya berdetak makin kencang. Alva membuka pintu dengan kunci di tangannya, dan menggandeng tangan Alena untuk masuk.Alena terperangah. Apartemen itu masih baru, bau cat samar-samar tercium. Warna dindingnya didominasi putih, dengan lantai ubin berwarna putih gading. Begitu masuk, mereka langsung disambut oleh ruangan luas, dengan jendela kaca besar yang memanjang dari atas sampai ke bawah, sehingga ruangan i
Keesokan harinya, Alva benar-benar mewujudkan keinginannya untuk pindah ke apartemen barunya. Om Hanz dan Tante Clara membantu Alva mengemasi barang-barangnya. Mereka bahkan juga membelikan peralatan yang belum lengkap di apartemen, misalnya peralatan dapur, peralatan kamar mandi, dan beberapa perabot, seperti rak sepatu, meja samping tempat tidur, dan meja kerja. Tadinya Alva menolak, tapi Om Hanz tetap bersikeras memberikan sebagai hadiah. Alena terharu, melihat betapa tulusnya Om Hanz terhadap Alva.Sampai siang, Alena membantu Alva berberes-beres di apartemennya. Tante Clara sudah membawa bahan makanan, untuk mengisi kulkas dan untuk dimasak. Alena membantu Tante Clara memasak makan siang, sekaligus mencoba kompor dan kitchen set baru di apartemen. Mereka menikmati makan siang di meja makan yang terletak di balkon. Alma tampak senang, karena merasakan suasana baru di apartemen.Namun, ketika Tante Clara dan Om Hanz mengajaknya pulang, Alma baru menyadari Al
Di bulan Februari, Alena dan Alva mengikuti ujian semester. Bagi Alva, ini adalah ujian terakhirnya. Seminggu kemudian, kabar gembira datang. Alva dinyatakan lulus semua ujian, dan ia dapat mengikuti wisuda di bulan Maret. Satu langkah besar lain di dalam perjalanan hidup Alva.Alena terkenang kembali, perjalanan dan perjuangan mereka berdua, mulai dari mereka duduk di bangku SMA, berjuang untuk bisa kuliah di Berlin, saat mereka berhasil sampai di Berlin dan masuk Studienkolleg, ketika Alva diterima di Fakultas Musik Universitat der Kunste, sampai akhirnya Alva lulus setelah menyelesaikan enam semester. Bagi sebagian orang yang tidak tahu, mungkin jalan Alva terlihat begitu mudah dan mulus. Namun Alena tahu benar, bagaimana kerja keras, disiplin, dan tekad kuat dari Alva, yang membawa ia mampu menyelesaikan semuanya.Kini perjalanan Alva memasuki babak baru lagi. Ia sedang berjuang untuk masuk program doktoral. Ia juga sedang merintis bisnis profesionalnya
Libur musim panas sudah di depan mata. Alena sudah mengabari Papa dan Mama, tentang rencana kepulangannya bersama Alva. Tentu saja keluarganya sangat bahagia, mengingat Alena sudah hampir empat tahun tidak pulang ke Jogja. Ia ingat, ketika terakhir kali video call dengan keluarganya. Papa, Mama, dan Kak Evan, terlihat sangat bersemangat menunggu kedatangannya. Tapi Alena masih belum menyampaikan apapun tentang Alva, karena ia tak mau mendahului rencana Alva. Ia tidak tahu pasti, apa yang akan Alva bicarakan dengan orang tuanya. Memikirkannya saja sudah membuat wajahnya merona, dan jantungnya berdebar-debar.Awal bulan Juli, tepatnya di hari Senin pagi, Alena dan Alva berangkat ke Jogja. Om Hanz mengantar mereka berdua ke Bandara Brandenburg International. Tante Clara juga ikut mengantar, tapi ia sepertinya tak bisa tenang sepanjang perjalanan."Maaf ya Alena, Tante nggak bisa ikut... Kerjaan Hanz di rumah sakit nggak bisa ditinggal, Alma juga masih ad
Jumat jam tujuh pagi, Alva menepati janjinya, untuk datang ke rumah Alena di Jogja. Ternyata ia tidak naik motor, melainkan menyewa sebuah mobil SUV."Biar nyaman, soalnya perjalanan lumayan jauh," kata Alva, waktu ditanya oleh Alena mengapa ia menyewa mobil. Alena bertambah penasaran, memangnya mereka mau ke mana?Alva mengemudikan mobil ke arah Wonosari, Gunung Kidul, dengan panduan peta GPS. Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di Goa Pindul. Alena sudah sering mendengar tempat wisata ini, tapi belum pernah mengunjunginya."Ah… Jadi kita mau ke gua?" tanya Alena, saat mereka tiba di depan gerbang masuk Goa Pindul."Kamu udah pernah ke sini?" Alva balik bertanya."Belum..." Alena menggeleng."Aku juga belum, aku pingin coba sesuatu yang seru," sambung Alva, sambil tersenyum memandang Alena.Mereka berganti pakaian dengan wetsuit di kamar ganti yang disediakan. Ternyata Alva mengajak mereka melakukan cave
Benar kata Alva. Sampai di rumah, Papa, Mama, dan Kak Evan, memang sudah menunggu. Wajah mereka begitu bahagia, ketika melihat Alena dan Alva tiba, apalagi ketika melihat cincin di tangan kiri Alena. Papa dan Mama langsung memeluk Alena. Kak Evan menyalami Alva, dan merangkul bahunya.Lalu, Papa mengajak mereka semua duduk di ruang tamu. Papa menanyakan kembali pada Alva, tentang rencana untuk acara lamaran besok. Mereka berbincang-bincang, sampai waktu makan malam tiba. Selesai makan malam, Alva pulang kembali ke Magelang, untuk menyiapkan semuanya.Mama mengajak Alena masuk ke kamarnya, untuk mencoba dress."Mama, ah... Masa nggak cerita sama Lena sih?" protes Alena. "Dari semuanya, cuma Lena yang nggak tahu apa apa..."Mama tertawa sambil membelai rambut Alena. "Tapi, rencana Alva emang luar biasa kan? Mama juga sampai kagum, dia udah nyiapin semua ini. Dua minggu sebelum kalian pulang, dia udah telpon Papa. Waktu dia mint
Liburan di Jogja terasa cepat sekali berlalu. Hari Kamis sore, Alena dan Alva sudah harus naik pesawat, kembali ke Berlin. Papa, Mama, dan Kak Evan mengantar mereka ke bandara. Kali ini, Alena tidak menangis lagi ketika berpisah dengan keluarganya, karena ia tahu, tak lama lagi, mereka akan bertemu di Berlin. Ya, saat pernikahan mereka bulan Januari nanti, Papa, Mama, dan Kak Evan akan datang ke Berlin. Bukan hanya mereka, tapi Opa, Oma, dan Om Andre juga.Penerbangan ke Berlin memakan waktu kurang lebih 22 jam, dengan hanya dua kali transit, yaitu di Jakarta dan Amsterdam. Di dalam pesawat, Alva menggenggam tangan Alena."Aku mau cerita...," kata Alva dengan suara pelan. "Hari Sabtu nanti, ada acara keluarga di Berlin. Buat rayakan pertunangan kita, sekaligus Onkel Hanz mau angkat aku jadi anaknya... Jadi, nanti kita berdua bisa manggil dia sebagai Papa..."Alena terperanjat mendengarnya. "Wah, Alva... Itu berita yang bagus banget...," seru Al
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu