Di bulan Februari, Alena dan Alva mengikuti ujian semester. Bagi Alva, ini adalah ujian terakhirnya. Seminggu kemudian, kabar gembira datang. Alva dinyatakan lulus semua ujian, dan ia dapat mengikuti wisuda di bulan Maret. Satu langkah besar lain di dalam perjalanan hidup Alva.
Alena terkenang kembali, perjalanan dan perjuangan mereka berdua, mulai dari mereka duduk di bangku SMA, berjuang untuk bisa kuliah di Berlin, saat mereka berhasil sampai di Berlin dan masuk Studienkolleg, ketika Alva diterima di Fakultas Musik Universitat der Kunste, sampai akhirnya Alva lulus setelah menyelesaikan enam semester. Bagi sebagian orang yang tidak tahu, mungkin jalan Alva terlihat begitu mudah dan mulus. Namun Alena tahu benar, bagaimana kerja keras, disiplin, dan tekad kuat dari Alva, yang membawa ia mampu menyelesaikan semuanya.Kini perjalanan Alva memasuki babak baru lagi. Ia sedang berjuang untuk masuk program doktoral. Ia juga sedang merintis bisnis profesionalnyaLibur musim panas sudah di depan mata. Alena sudah mengabari Papa dan Mama, tentang rencana kepulangannya bersama Alva. Tentu saja keluarganya sangat bahagia, mengingat Alena sudah hampir empat tahun tidak pulang ke Jogja. Ia ingat, ketika terakhir kali video call dengan keluarganya. Papa, Mama, dan Kak Evan, terlihat sangat bersemangat menunggu kedatangannya. Tapi Alena masih belum menyampaikan apapun tentang Alva, karena ia tak mau mendahului rencana Alva. Ia tidak tahu pasti, apa yang akan Alva bicarakan dengan orang tuanya. Memikirkannya saja sudah membuat wajahnya merona, dan jantungnya berdebar-debar.Awal bulan Juli, tepatnya di hari Senin pagi, Alena dan Alva berangkat ke Jogja. Om Hanz mengantar mereka berdua ke Bandara Brandenburg International. Tante Clara juga ikut mengantar, tapi ia sepertinya tak bisa tenang sepanjang perjalanan."Maaf ya Alena, Tante nggak bisa ikut... Kerjaan Hanz di rumah sakit nggak bisa ditinggal, Alma juga masih ad
Jumat jam tujuh pagi, Alva menepati janjinya, untuk datang ke rumah Alena di Jogja. Ternyata ia tidak naik motor, melainkan menyewa sebuah mobil SUV."Biar nyaman, soalnya perjalanan lumayan jauh," kata Alva, waktu ditanya oleh Alena mengapa ia menyewa mobil. Alena bertambah penasaran, memangnya mereka mau ke mana?Alva mengemudikan mobil ke arah Wonosari, Gunung Kidul, dengan panduan peta GPS. Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di Goa Pindul. Alena sudah sering mendengar tempat wisata ini, tapi belum pernah mengunjunginya."Ah… Jadi kita mau ke gua?" tanya Alena, saat mereka tiba di depan gerbang masuk Goa Pindul."Kamu udah pernah ke sini?" Alva balik bertanya."Belum..." Alena menggeleng."Aku juga belum, aku pingin coba sesuatu yang seru," sambung Alva, sambil tersenyum memandang Alena.Mereka berganti pakaian dengan wetsuit di kamar ganti yang disediakan. Ternyata Alva mengajak mereka melakukan cave
Benar kata Alva. Sampai di rumah, Papa, Mama, dan Kak Evan, memang sudah menunggu. Wajah mereka begitu bahagia, ketika melihat Alena dan Alva tiba, apalagi ketika melihat cincin di tangan kiri Alena. Papa dan Mama langsung memeluk Alena. Kak Evan menyalami Alva, dan merangkul bahunya.Lalu, Papa mengajak mereka semua duduk di ruang tamu. Papa menanyakan kembali pada Alva, tentang rencana untuk acara lamaran besok. Mereka berbincang-bincang, sampai waktu makan malam tiba. Selesai makan malam, Alva pulang kembali ke Magelang, untuk menyiapkan semuanya.Mama mengajak Alena masuk ke kamarnya, untuk mencoba dress."Mama, ah... Masa nggak cerita sama Lena sih?" protes Alena. "Dari semuanya, cuma Lena yang nggak tahu apa apa..."Mama tertawa sambil membelai rambut Alena. "Tapi, rencana Alva emang luar biasa kan? Mama juga sampai kagum, dia udah nyiapin semua ini. Dua minggu sebelum kalian pulang, dia udah telpon Papa. Waktu dia mint
Liburan di Jogja terasa cepat sekali berlalu. Hari Kamis sore, Alena dan Alva sudah harus naik pesawat, kembali ke Berlin. Papa, Mama, dan Kak Evan mengantar mereka ke bandara. Kali ini, Alena tidak menangis lagi ketika berpisah dengan keluarganya, karena ia tahu, tak lama lagi, mereka akan bertemu di Berlin. Ya, saat pernikahan mereka bulan Januari nanti, Papa, Mama, dan Kak Evan akan datang ke Berlin. Bukan hanya mereka, tapi Opa, Oma, dan Om Andre juga.Penerbangan ke Berlin memakan waktu kurang lebih 22 jam, dengan hanya dua kali transit, yaitu di Jakarta dan Amsterdam. Di dalam pesawat, Alva menggenggam tangan Alena."Aku mau cerita...," kata Alva dengan suara pelan. "Hari Sabtu nanti, ada acara keluarga di Berlin. Buat rayakan pertunangan kita, sekaligus Onkel Hanz mau angkat aku jadi anaknya... Jadi, nanti kita berdua bisa manggil dia sebagai Papa..."Alena terperanjat mendengarnya. "Wah, Alva... Itu berita yang bagus banget...," seru Al
Satu hari menjelang sidang skripsi, Alena berangkat ke kampus, untuk memastikan semuanya sudah disiapkan. Ia berkoordinasi dengan bagian administrasi kampus untuk peminjaman ruangan. Ia juga menemui Professor Moretti sebagai dosen pembimbing pertama, Professor Becker sebagai dosen penguji, dan terakhir, Luis sebagai dosen pembimbing keduanya.Alena mengetuk pintu ruang kerja Luis."Masuk…," suara Luis terdengar dari dalam ruangan.Alena membuka pintu perlahan, dan melangkah masuk. Luis sedang mengetik di depan laptopnya, kacamatanya bertengger di atas hidungnya."Guten Tag, Herr Sanchez... Maaf mengganggu, saya cuma mau melapor, untuk sidang skripsi besok jam sepuluh pagi, semuanya sudah siap...," kata Alena secara formal, karena bagaimanapun juga, Luis tetap dosen yang harus dihormati di kampusnya.Luis memandang Alena, tatapan matanya sulit diartikan. "Tutup pintunya, Alena...," pinta Luis.Alena menutup pintu. Ia masih be
Hari Minggu berikutnya dihabiskan Alena untuk bersama Alva sehari penuh. Sebelumnya, Alva selalu sibuk di studio, karena sedang mengerjakan proyek album musik sebuah band asal Jerman. Tapi ia meluangkan waktu di hari Minggu, khusus untuk bersama Alena. Alva menjemput Alena di rumah Tante Jenna pagi-pagi, lalu mereka naik kereta ke distrik Lichtenberg, dan berolahraga di taman umum dekat apartemen. Setelah itu, mereka berbelanja di toko swalayan untuk memasak bersama.Sampai di apartemen, Alva tidak langsung mengajak Alena masuk, tapi ia menggandeng tangan Alena ke arah basement."Kita mau ke mana?" tanya Alena, ia mulai berpikir pasti ada yang mau ditunjukkan Alva.Alva tersenyum. "Aku pingin kamu lihat sesuatu..."Mereka tiba di tempat parkir basement yang luas. Alva menggandeng Alena berjalan ke arah deretan mobil yang diparkir, lalu berhenti di depan sebuah mobil SUV baru berwarna hitam, bermerek BMW. Ia membunyikan alarm mobil dengan kunci
Saat ini sudah bulan September, Berlin memasuki musim gugur. Dan Jill masih terus membahas Luis, tiap kali Alena bertemu dengannya di kampus. Sudah hampir tiga minggu, tak ada kabar tentang Luis. Alena juga bingung, apa yang bisa dia lakukan? Mungkinkah Luis pulang ke Madrid?Hari Jumat ini, jadwal kuliah Alena kosong, tapi dia mendapat telepon mendadak dari Izaak Jung, agensinya, bahwa ada pemotretan iklan Nivea. Alva masih sibuk dengan proyek barunya di studio, sehingga Alena memutuskan untuk berangkat sendiri."Minta diundur jadi besok Sabtu aja, Sayang... Aku janji anterin kamu besok. Kalau hari ini, aku nggak bisa, karena ada meeting juga," kata Alva, waktu Alena menelepon, memberitahunya tentang jadwal pemotretan itu."Nggak apa-apa, Alva... Aku bisa pergi sendiri kok, lagian aku kan udah biasa ke kantor Fischer and Partners," Alena meyakinkan Alva. "Aku janji, pasti kasih kabar...""Tapi, biasanya nggak pernah mendadak kayak gini..." Al
Alena merasa tubuhnya kaku. Ia membuka matanya perlahan. Di mana dia? Ia menatap langit-langit berwarna putih. Ada bau tajam obat dan pemutih kain yang bercampur jadi satu. Alena mencoba mengingat-ingat, lalu ia segera tersentak bangkit dari tidurnya.Ia ada di atas ranjang ambulance, semua serba putih di sekelilingnya. Bajunya sudah berganti dengan baju pasien berwarna putih, tapi ia masih memakai celana denim yang sama. Ia ingat, cardigan dan blousenya sudah dirobek oleh Luis.Terdengar suara sirene dan orang bercakap-cakap di luar. Ia berusaha turun dari ranjang, walaupun kepalanya masih terasa berdenyut, dan tubuhnya lemas.Alena membuka pintu belakang mobil ambulance itu. Petugas wanita, yang tadi menolongnya, sedang berdiri membelakangi pintu, dan langsung menoleh memandangnya."Jangan bangun dulu, Frau Paramitha... Anda sebaiknya berbaring saja," katanya dengan sopan, tapi tegas."Saya nggak apa-apa... Saya mau
Penerbangan dari Berlin ke Sicily memakan waktu kurang lebih dua jam. Sampai di bandara tujuan, mereka naik taksi ke penginapan, yang telah dibooking oleh Herr Newman untuk mereka. Ternyata, bukan hotel biasa yang dipilih Herr Newman, melainkan sebuah resort bintang lima. Staff resort membawa mereka ke sebuah kamar suite, yang terletak di lantai paling atas.Pada saat membuka pintu kamar, Alena terperangah. Kamar suite itu sangat luas, lebih tepatnya seperti sebuah unit apartemen. Ada ruang tamu, lengkap dengan seperangkat sofa kulit berwarna putih gading, dan sebuah TV berukuran besar, di bagian depan. Dari ruang tamu, terlihat pintu kaca di samping kanan ruang tamu, yang menuju ke balkon luas. Alena dan Alva menarik koper mereka masuk ke dalam kamar."Sayang, aku ke resepsionis bentar ya, ada yang mau dilengkapi...," kata Alva. "Kamu istirahat aja dulu..."Alena mengiyakan. Alva melangkah keluar, dan menutup pintu kamar.Alena menarik
Rombongan pengantin dan pengiringnya kembali ke resort sekitar jam sepuluh. Mereka berganti pakaian, bersiap-siap untuk acara resepsi sederhana, yang dimulai jam dua belas siang.Alena kembali ke kamar hotel, bersama ketiga teman bridesmaid-nya. Teman-teman Alena tampak sangat bersemangat."Gaun ini cocok banget kan sama kulitku, lihat nih...," komentar Zahara. Ia sudah berganti dengan gaun panjang warna hijau emerald. Gaun itu berpotongan A-line dengan panjang lengan setengah, dilengkapi dengan sepasang sepatu yang warnanya senada. Jill dan Marietta juga memakai pakaian yang seragam dengan Zahara."Cocok juga sama warna mataku...," celoteh Jill, ia memang memiliki bola mata berwarna hijau tua. "Eh, by the way, Christoph bola matanya juga hijau lho...," sambungnya lagi."Cieee… Yang lagi pendekatan...," ledek Marietta, sambil tertawa bersama Zahara. Wajah Jill tampak memerah."Serius, Jill? Kamu sama Christoph?" Alena bertanya dengan
Gereja sudah terlihat di depan mata. Gereja itu berdinding abu-abu muda, dengan arsitektur neoklasik, berdiri megah di tengah lapangan rumput yang tertutup salju putih, menara loncengnya menjulang tinggi di bagian tengah. Mobil limousine berhiaskan bunga mawar merah itu berhenti di dekat pintu depan gereja.Alena turun dari mobil, dibantu oleh Zahara. Alena melengkapi penampilannya dengan sepasang anting-anting batu ruby, dan sepasang sepatu high heels berwarna gold. Ia membawa buket bunga mawar berwarna merah burgundy di tangannya. Untuk berjaga dari cuaca dingin, kostumnya juga sudah dilengkapi scarf berbahan wol, tapi ia belum mengenakannya saat ini, karena ia ingin berjalan masuk ke gereja dengan gaun pengantin putih saja.Zahara membawakan scarf Alena. Ketiga bridesmaid juga membawa buket bunga yang sama dengan Alena, dan memakai scarf kain warna gold. Tema warna yang dipilih Alena dan Alva, untuk pemberkatan pernikahan mereka di gereja, memang merah b
Tanggal 17 Januari jatuh tepat di hari Sabtu.Alenaawalnya mengira, hari-H pernikahan akan menjadi hari yang sibuk, terburu-buru, dan penuh ketegangan. Tapi kenyataannya, pagi ini, segalanya berjalan dengan santai dan tenang. Mungkin karena suasana resort yang nyaman membuat semuanya terasa lebih rileks. Alena bangun jam setengah empat pagi, tapi lebih karena ia sudah tak bisa memejamkan matanya lagi, pikirannya terus membayangkan hari besar ini.Mama sengaja membawakan sarapan ke kamar sekitar jam empat, mungkin Mama mengerti, Alena pasti tak berselera untuk makan."Coba makan dikit, Lena... Kamu harus tetap makan, biarpun nggak selera," bujuk Mama, sambil menyodorkan piring berisi roti dan omelet."Mama... Aku deg-degan...," curhat Alena, ia tersenyum gugup.Mama merangkul Alena dengan penuh kasih. "Ya emang gitu rasanya... Itu artinya, kamu udah berharap buat hari ini kan...," ujar Mama, sambil m
Tanggal 15 Januari, Papa, Mama, Kak Evan, Om Andre, serta Opa dan Oma, tiba di Berlin. Opa dan Oma tinggal di rumah orang tua Alva, sedangkan keluarga Alena menginap bersama Alena di hotel, di daerah Kreuzberg, dekat dengan rumah orang tua Alva. Malamnya, Papa Hanz mengadakan makan malam bersama di restoran, yang terletak di hotel tersebut. Bagi Alena, ini adalah momen yang sangat jarang bisa terjadi, akhirnya keluarga besarnya bertemu dengan keluarga besar Alva.Pagi hari sebelum hari H, Alva menjemput keluarga Alena, untuk berkunjung ke apartemennya, dilanjutkan ke rumah orang tuanya. Mama Clara menjamu keluarga Alena dengan makan siang. Tante Jenna juga hadir. Untuk pertama kalinya, Alena melihat Papa Hanz dan Tante Jenna saling bertegur sapa dengan ramah. Mereka sepertinya sudah dapat melupakan semua kejadian di masa lampau, dan memulai hubungan baru sebagai saudara ipar.Jam tiga sore, kesibukan pun dimulai. Seluruh keluarga besar Alena dan Alva, sert
Alena dan Alva tiba di Bandara Berlin Brandenburg sekitar jam tiga, masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawat Luis lepas landas. Mereka mampir ke bagian informasi. Pesawat ke Paris jam setengah lima akan berangkat dari terminal 1, ke situlah Alena dan Alva pergi.Alena sebenarnya tidak yakin bisa bertemu Luis, karena suasana bandara yang begitu ramai, dan dia tidak tahu bagaimana menghubungi Luis. Ponselnya yang lama hilang waktu disekap Brigitte, dia belum menyimpan nomor Luis di ponsel barunya. Tetap saja, dia ingin mencoba peruntungannya.Mereka tiba di terminal 1, tapi tentu saja mereka tidak punya izin untuk masuk, mereka hanya bisa menunggu di depan area keberangkatan. Bagaimana jika Luis sudah berada di dalam ruang tunggu?Satu jam lagi pesawat akan berangkat. Suara dari ruang informasi sudah bergema berulang-ulang, meminta para penumpang pesawat Air France untuk masuk ke ruang tunggu bandara. Luis belum kelihatan.
Alva mengemudikan mobilnya, mengikuti iringan tiga mobil polisi dan satu mobil tahanan yang ada di depannya, menyusuri jalan antar kota Hamburg dan Berlin. Hujan turun, membuat suasana bertambah gelap dan berkabut.Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore lewat. Alena duduk di samping Alva. Alva berulang kali menoleh memandangnya, dan menggenggam tangannya, untuk memastikan ia baik-baik saja.Alva menceritakan semuanya pada Alena, dalam perjalanan pulang itu. Luis, yang masih dalam masa hukuman kerja sosial dan rehabilitasi, mendadak dihubungi oleh Paula. Sepertinya, Paula masih tidak bisa melupakan Luis, walaupun Paula memaki-makinya di depan Alena. Paula mengajak Luis untuk bekerja sama, menculik Alena lagi, untuk 'memberinya pelajaran terakhir', menurut istilah Paula. Mungkin Paula mengira, Luis pasti masih sakit hati dengan Alena. Paula berharap, Luis mau membalas dendam dan hasratnya yang belum terpenuhi pada Alena.Paula menceritakan semua rencananya
Alena membuka matanya perlahan. Gelap pekat. Lehernya terasa pegal, kaki dan tangannya kaku. Ia mendengar suara seperti mendengung di sekitarnya. Ketika matanya mulai beradaptasi dengan kegelapan di sekitarnya, ia mendapati dirinya terduduk di sebuah kursi kayu, tangan dan kakinya terikat kuat pada kursi, dan mulutnya dibebat dengan kain tebal.Alena meronta dan mengerang, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara teredam. Apa-apaan ini? Di mana dia? Siapa yang mengikatnya seperti ini? Kenapa? Berbagai pertanyaan muncul di benaknya dalam kepanikan itu. Jantungnya berdentum kuat.Alena teringat, hal terakhir yang dilakukannya adalah masuk ke dalam mobil Paula. Paula? Dia yang melakukan ini? Tapi kenapa? Dia tidak punya masalah dengan Paula.Alva... Alva pasti mencarinya sekarang, karena dia tak ada di tempat seharusnya Alva menjemputnya. Tapi, bagaimana caranya memberitahu Alva? Alena menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari tasnya ya
Satu minggu setelah wawancara, Alva mendapat kabar gembira, pengajuan beasiswanya disetujui oleh Universitat der Kunste. Itu artinya, ia dapat melanjutkan program doktoralnya, dengan biaya pendidikan dan penelitian seluruhnya ditanggung oleh universitas, ditambah dengan uang saku perbulan. Selama menjalani program PhD, Alva belum dapat mengajar sebagai dosen, tapi ia bisa saja mengerjakan proyek, yang diberikan oleh para profesor di fakultasnya.Berita gembira itu disambut dengan bahagia oleh Alena dan seluruh keluarga Alva. Awalnya, Papa Hanz berniat mengadakan acara makan bersama di restoran lagi, seperti ketika mengangkat Alva sebagai anaknya. Tapi Alva menolak dengan halus, ia tidak ingin memberatkan Papa Hanz. Akhirnya, acara diganti dengan makan-makan sederhana di rumah orang tua Alva, pada hari Minggunya. Keluarga besar Papa Hanz dan Tante Jenna juga ikut hadir.Satu hal yang mengejutkan Alena adalah, Tante Jenna ternyata sudah dikenal baik oleh kelu