“Om.” sapa Ivan yang baru datang di tengah perjamuan ayah dan anak itu.
“Van, sini duduk sebelah om.” sambut Pak Arif, papanya Seno.
Ivan menurut. Dia duduk di samping Pak Arif yang masih pamannya menurut penuturan dari kakeknya. (tau ah gimana, malas jelasinnya. Intinya paman-keponakan, udah gitu aja)
“Om dengar kamu gak mau ambil posisi direktur. Kenapa? Ada masalah sama Seno? Om kan jadi gak enak sama orang tua mu loh.” tutur Pak Arif yang cekatan menyambar Ivan dengan segala pertanyaan.
“Gak ada masalah kok om. Cuma memang lagi nyaman aja di posisi sekarang. Gak banyak yang cari muka. Lagian mas Seno bersyukur karena aku ada di bawah, sekalian mantau anggotanya yang kerja beneran atau tidak.” jelas Ivan tetap sopan agar tak menyakiti hati orang baik di depannya itu.
“Om cuma kasihan sama Seno, gak ada yang bantuin handle. Yah, kamu tau sendiri anak ini kadang kumat dan labil. Walaupun ada Zhafira, tapi tak banyak membantu perubahan pada perusahaan. Si lutung ini malah semakin mengganggunya bekerja dan berbuat aneh-aneh.” Pak Arif melirik sinis ke Seno yang beliau yakini sangat bucin berat ke Fira meski sudah bertunangan dengan orang lain.
“Cari aja om asisten untuknya yang punya kemampuan mumpuni supaya bantu mas Seno sementara aku masih di posisi ini.”
Pa Arif mengangguk setuju.
Walau kelihatan mewah dan penuh pesona, jabatan CEO itu punya tanggung jawab besar dan beban yang berat. Ditambah mental Seno yang tak cocok dengan penampilan luarnya. Sepertinya memang ia membutuhkan asisten yang bisa mengawasi tindak tanduknya di luar kendali papanya.
“Yaudah, cari asisten pria yang bisa dipercaya, tangguh, cakap, dan gak mudah dalam berdebat. Biar bisa ngemong anak ini.” pinta Pak Arif kepada Ivan yang tersenyum mengejek ke arah Seno.
Seno bersungut sebal menyadari papanya lebih manut ke Ivan daripada dirinya. Sekedar info, Seno itu anak paling kecil dan laki-laki satu-satunya di keluarga. Kebangganan satu-satunya dan tonggak perusahaan satu-satunya pula. Beban besar untuk menjalankan bisnis harus ia terima meski tak tertarik.
Please, ini rahasia kita ya. Jangan kasih tau Pak Arif, kalau sebenarnya Seno itu lebih tertarik pada dunia game. Dia bahkan punya channel utuf sendiri yang sudah disuscribe jutaan orang se-Indonesia. Jadi jangan sampai Pak Arif tahu. Bisa-bisa, Seno dijambak dan digunduli. Ih serem.
*****
Beberapa hari telah berlalu. Proses pencarian asisten untuk Seno masih berlangsung. Dikarenakan ketelitian Ivan dan penilaian super ketat Pak Arif, tak menghabiskan banyak waktu untuk menjaring orang berbakat yang cocok untuk berada di samping Seno.
“Gimana gak cepat, yang daftar hanya dua orang.” sungut Seno sesaat sebelum orang yang akan jadi asistennya datang.
“Berisik! Memang hanya dua kandidat yang lolos seleksi untuk mengendalikan mu.” terjang Ivan.
Tok tok. Seorang pria muda berbadan tegap, berpenampilan dewasa dengan rahang tegas dan ketampanan khas pria pribumi memasuki ruangan. Diantar sekretaris yang terlihat malu-malu menyaksikan tiga pria tampan berkumpul di hadapannya.
“Selamat pagi, pak. Pak Satrio sudah ada di sini.” ujar sekretaris CEO, bernama Nina. Yang merupakan satu di antara banyaknya haters Zhafira.
“ Oke, terima kasih, Nina.”
Ivan yang bertindak cepat menyuruh Satrio masuk dan menjelaskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan sebagai asisten Seno.
“Wajah bawahan adalah wajah CEO. Tapi karena CEO kita yang tidak memiliki wajah, jadi tugasmu agak lebih berat dari biasanya.” sindir Ivan tanpa menoleh ke Seno yang duduk asyik di kursi kerjanya sambil main mahjong di komputer miliknya.
“Sebelumnya kamu sudah empat tahun bekerja sebagai asisten CEO juga di Anu Technology, kan?” sambung Ivan tegas dan berkesan kuat.
“Iya, pak.” jawab Satrio juga tak kalah berkesan kuat walau sedikit terusik dengan aura aneh yang keluar dari Ivan. Hm..
“Tugasmu tidak jauh beda dari itu. Jadi kami akan beri waktu satu minggu untuk beradaptasi pada tugas-tugasmu dan padanya!” tunjuk Ivan ke Seno yang duduk di kursinya mendengarkan dengan seksama.
Lancar kata-kata perintah keluar dari mulut Ivan. Terlalu dominan hingga membuat Satrio tercengang.
“Ah, kamu jangan heran. Dia dan saya tidak jauh beda. Nanti kamu akan paham. Sekarang yang perlu kamu ingat, apapun yang terjadi di ruangan ini termasuk soal saya, harap dirahasiakan!” jelas Ivan sigap membaca ekspresi heran Satrio.
“Baik, pak.”
“Sekarang, silahkan kembali ke sekretaris Nina dan tanyakan apa saja yang akan kamu lakukan. Dia akan membantu kamu beradaptasi terhadap perusahaan dan kebiasaan CEO kita yang berharga ini.” tutur Ivan yang kepalanya sudah pusing oleh kelakuan Seno. Anak itu sama sekali tidak peduli apapun kecuali soal Fira dan game.
*****
Zanna masih sangat penasaran sama pria yang selama empat bulan ini ngintilin kemanapun ia pergi sambil membawa hadiah-hadiah yang gak manusiawi. Yah, walaupun pada akhirnya ia tahu semua itu dari si Bayu.-_-
Tak puas menyuruh Tita untuk mencari tahu informasi lanjutan tentang pria itu, Zanna meminta bantuan supir mereka yang rela menghabiskan tenaga untuk balik mengikuti pria itu seperti yang selama ini ia lakukan ke Zanna.
Syukurnya gak seperti Tita, supir mereka bernama Pai berhasil mendapat alamat rumah pria itu.
“Gak salah nih, ini apartemen mas ganteng?” Begitulah Zanna menamai pria itu. Mas ganteng. “Sederhana banget.” Tambahnya lagi sembari melongok heran melihat masih ada apartemen model sederhana yang nyempil di megahnya apartemen lain di ibu kota ini.
Di sebelah apartemen ada minimarket yang menyediakan meja dan kursi. Bermodal mie gelas dan kopi isntan, Zanna memutuskan menunggu si misterius yang belum tampak batang hidungnya di sana.
“Totalnya 17.500, mbak.” ucap kasir yang merapatkan giginya alias memaksa untuk tetap tersenyum melihat pelanggannya mengeluarkan kartu kredit di minimarket kecil begini.
“Yah, ini.” sahut Zanna santai. Matanya masih sibuk menelisik ke arah apartemen.
“Mbak, ini bukan IndoApril atau AbsenMart. Ini cuma minimarket biasa dan kecil. Kami tidak meyediakan mesin kartu kredit di sini.” Sekali lagi kasir itu merapatkan giginya. Ia sudah geram betul.
“Saya cuma punya ini. Gak bawa yang cash, lagian zaman sekarang masih ada aja minimarket yang gak nyediain layanan kartu kredit.” cerocos Zanna.
“Maaf, mbak. Mbak kan hanya tinggal mengeluarkan 20.000 aja. Masa sih gak ada?” telisik si kasir yang tak percaya jika wanita bergaya hedon di depannya itu tak membawa uang tunai yang bahkan sejumlah jajan anak SD zaman sekarang.
“Kok kamu ngotot? Udah dibilang gak bawa uang cash. Sepenting itu apa? Gak tau aku siapa ya?” bentak Zanna mulai mencongakkan diri.
Memang situ siapa? Batin si kasir kali ya.
Tiba-tiba seorang pria yang dari tadi ditunggu muncul di situasi yang memalukan.
“Ini, hitung aja sekalian sama punya mbak ini.” sela mas ganteng menengahi situasi yang akan semakin memanas jika dibiarkan begitu saja.
“Bukan soal penting atau tidak, tapi dia juga bekerja di sini dan digaji. Kalau tidak bisa membantu, jangan mempersulitnya.”
Mas ganteng yang namanya tak diketahui itu menasihati Zanna. Tapi sayang, Zanna tak fokus pada kata-katanya dan malah fokus pada suara dalam nan merdu yang menggenang di kuping Zanna.
“Ah, iya, terima kasih.” Zanna memandang wajah pria yang lebih tampan saat berpakaian santai begini.
“Apanya yang terima kasih? Jika uang tunai anda ada, bayar kembali. Saya tidak punya banyak uang. Saya sudah kehilangan pekerjaan karena seseorang.” sindir mas ganteng menatap tajam ke Zanna.
Zanna tertegun gemetar. Seseorang yang dimaksud, dia kah?
Iya, sih, Tita sudah bilang kalau mas ganteng mengundurkan diri jadi asisten Bayu. Ada bagusnya sih, tapi tatapan tajam tadi benar-benar sesuatu deh. Apa mas ganteng itu menyalahkan Zanna atas kehilangan pekerjaannya?
“Ah, gara-gara si judes setan itu!” rutuk Zanna ke citranya yang sudah hancur lebur.
Zanna terus menatap keluar jendela mobil sambil memikirkan upaya apa lagi yang harus dia lakukan untuk mendapatkan nama mas ganteng.
“Pai, apa mungkin masih ada orang di negara ini yang gak kenal aku?” tanya Zanna ke supirnya yang sedang konsentrasi pada kemudinya.
“Hm, ada non. Bapak sama ibuku di kampung juga awalnya gak kenal.” jawab Pai hati-hati.
“Ish. Itukan orang tua. Wajar. Halah, sudahlah, Pai!” sentak Zanna yang masih belum bisa menerima kenyataan.
*****
Baru berselang dua hari, kabar kedatangan pria tampan di kantor CEO menyebar secepat kilat. Semua penasaran dengan sosoknya. Terutama para wanita yang bertingkah selayaknya gerombolan singa betina yang mecium aroma pejantan di masa birahi. Bahkan mereka sengaja mendekati sekretaris Nina untuk menanyakan ketampanan level berapa yang dimiliki asisten CEO itu.
“Liminho?”
“Jicangwuk?”
“Atau Jonidip?”
Tanya cewek-cewek penasaran.
“Itu semua kan orang luar. Kok jauh banget perbandingannya. Mas Satrio itu gak bisa dibandingkan sama mereka. Dia itu khas pribumi, ganteng, dan dewasa.” jelas Nina yang menikmati percakapan bertema pria tampan.
“Jadi gantengan mana sama Pak Seno?” sambung seorang lagi.
“Duh, kalau gantengan siapa, aku jadi bingung milihnya. Kalau bisa milih semua, semua deh. Dan kalian tau waktu pertama kali Pak Satrio datang ke ruangan CEO, di sana ada Pak Seno dan Pak Ivan juga. Kebayang gak semua cowok tampan ngumpul kayak boyband. Beugh, rasanya pengen hidup seribu tahun.” jelasnya lagi semakin membuat para perempuan itu cemburu.
“Ah, jadi mau lihat!” sahut yang lain heboh nian.
Kehebohan itu ternyata tak hanya milik mereka. Tapi menjadi topik perbincangan yang layak dipertimbangkan saat makan siang bersama teman.
“Apa sih ribut-ribut?” kata Mira nimbrung. Di belakangnya ada Zeze membawa nampan makanan miliknya.
“Asisten genteng Pak Seno. Mereka pada kepo.” jawab Nina yang sudah akrab dengan Mira.
“Dih, gantengan siapa sih dari milikku?” sinis Mira memandang rendah cewek-cewek yang mengerubungi Nina.
“Milik ibu? Pak Ivan?” tanya Yuni.
Deg. Jantung Zeze berhetni sebentar. Sebentar oi sebentar. Paling hanya 0,0000001 detik. Kalau beneran berhenti ya modar dia.
“Kalau sama ini gak berhasil baru gencar lagi dapetin pak Ivan.” jawab Mira malu-malu.
“Wah, jadi ibu punya gandengan baru?” tanya Yuni tak kalah heboh.
“Iya. Hehehe.” Ih, najong.
“Kasih tau!” pinta mereka secara kompak.
“Nanti. Belum waktunya. Yang pasti, dia keturunan bule.” ucap Mira bangga. “Sudah ah, kalian ini. Ze, bawakan susu untuk saya!” periintahnya pada Zeze yang konsentrasi memisahkan ikan dari durinya sebagai menu makan siang hari ini.
“An***g lo. Gak bisa lihat orang senang.” umpat Zeze dalam hati. Nyatanya mulutnya hanya mampu berkata, “Baik,bu.”
*****
Intermezzo: Usaha Zanna demi nama mas ganteng
Bukan Zanna namanya kalau cepat menyerah. Terbukti dia bisa menjadi model ternama karena sifat pantang menyerah yang dimililkinya.
Masih setia menuggu mas ganteng di sekitar apartemen sederhananya, minimarket adalah satu-satunya tempat termasuk akal untuk memantau pergerakan.
“Dih, jumpa si judes ini lagi dong.” decak Zanna malas.
Ketika Zanna memasuki minimarket, tampang ramah si kasir ini mendadak tak senang akan kehadirannya. Namun, Zanna berusaha untuk bersikap wajar dan beralih ke arah barang yang ingjn ia beli walau sebenarnya hatinya mau meledak setelah mendapat perlakuan tak menyenangkan dari si kasir.
“Nah, 50.000. Cash.” ucap Zanna mencebikkan bibirnya di kata cash. Lalu ia menyerahkan sebotol teh hijau dan cemilan diet yang katanya gak bikin gemuk. Fatbar.
“Hmmm.” sungut si kasir yang masih dongkol.
“Btw, cowok yang kemarin itu siapa? Tinggal di apartemen itu kan?” telisik Zanna memulai pengkorekan informasi walau pada musuh sekalipun.
“Maaf, gak niat jawab.” sembur kasir itu menjawab.
Wajah Zanna terlihat marah. Pertahanan emosi yang ia kerangkeng sejak masuk ke minimarket, runtuh begitu saja. And then, gadis itu mulai congak lagi teman-teman.
“Astaga, lo dibaikin, ngelunjak ya? Lo benar-benar gak tau gue siapa? Ha? Gue adukan ke pimpinan lo, baru tau rasa lo kalau dipecat!” sentak Zanna membusungkan dadanya yang sudah besar. Ehem.
“Tak semua orang mengenal anda walau anda selebriti dunia sekalipun. Bagi orang-orang seperti kamu, memikirkan isi perut hari ini dan besok jauh lebih penting daripada memikirkan dunia kalian.”
Suara celetukan ini membuat Zanna tercebur ke kolam tercemar dua kali. Bagaimana mungkin, mas ganteng ini selalu datang di saat-saat yang memalukan. Dah lah,. Bukan citra lagi yang hancur. Harapan Zanna untuk mendapatkan nama mas ganteng musnah sudah bersama helaan nafas.
“Kok ganteng banget, mas? Gimana kerjanya?” tanya si kasir judes tadi yang ternyata bisa bersikap ramah.
“Widih, ramah mu ternyata pilih-pilih ke cowok ganteng ya.” sungut Zanna dalam hati.
“Iya, cocok kan?” bahkan mas ganteng juga tersenyum lebar pada gadis itu dan membalas pertanyaan dengan wajah sumringah.
Keakraban yang begitu meyilaukan. Zanna tak sanggup berlama-lama menyaksikannya.
Apa cuma di daerah ini gue gak terkenal dan gak dianggap sama sekali? Tolong, tenggelamkan matahari dan gelapkan dunia supaya gue gak lihat senyum bodoh kedua orang ini!
Zanna pergi dengan menghentakkan tumit high heels-nya dan membuat keributan di setiap langkahnya. Mengganggu konsentrasi dua orang yang masih bercengkerama akrab tersebut.
Sama seperti Zeze, Fira juga mengalami intimidasi dari bawahan. Baik fisik maupun psikis. Wajar saja, dalam dunia pekerjaan, iri, dengki, dan fitnah adalah hal biasa. Apalagi, Fira yang dalam kurun waktu dua tahun bekerja di perusahaan mampu mengalahkan senior dan berhasil menduduki jabatan penting.Banyak yang tak suka dirinya, jadi mari kita sebut haters. Para haters berusaha melakukan apapun untuk menjatuhkan Fira. Salah satunya dengan menyebarkan berita hoaks, dimana Fira memiliki seorang penyokong kaya, tua, dan gendut untuk sampai ke posisinya saat ini.Ada juga berita hoaks lain yang terdengar. Bahwa Fira selingkuh dengan Seno dan secara sukarela naik ke ranjang Seno demi sebuah jabatan yang dekat dengan CEO. Dih.“Omongan adalah doa. Semoga dia benar-benar bisa naik ke ranjang ku dan menjadi istriku.” celetuk Seno saat Satrio baru menyampaikan laporan perihal rumor-rumor Fira di luar
Pak Agustian adalah ayah dari tiga Z. Memiliki sebuah restoran kecil yang didirikan dari hasil kerja kerasnya sejak diusir dari keluarga besarnya yang sangat kaya.Nah jadi, kakek-nenek si kembar yang membangun Ramli Corps dan salah satu anak perusahaan mereka adalah Waw Kosmetik, nyatanya adalah orang tua Pak Agus. Tapi dia membuat kesalaham besar yang telah mencoreng nama baik keluarga di masa mudanya. Beliau lantas diusir dan dicoret dari daftar ahli waris di usia 19 tahun.Untungnya, setelah si kembar lahir, kerasnya hati Kek Ramli perlahan terkikis. Bukan berarti hati mereka menerima kembali anak dan menantunya. Kebahagiaan yang mereka tunjukkan saat si kembar lahir semata-mata karena bahagia telah memiliki cucu perempuan yang lahir sehat dan cantik-cantik.Kek Ramli bahkan mengambil Zeze atas perminataan Marco muda yang memilih secara cap cip cup, dan diasuh selama lima belas tahun. Sebelum akhirnya Zeze meminta ke
Marco memasuki rumah Pak Agus dengan langkah terburu untuk meminta penjelasan dari adik-adiknya. Secepat kilat menuju kamar Zeze yang tengah terbuka. Zeze saat itu hendak menutup pintu kamarnya, tapi kaget dan hampur saja melompat melihat sosok Marco yang menakutkan sedang berdiri di depannya.“Astaga dragin!” celetuk Zeze mengelus-elus dadanya.Maco memicing mata sinis menatap Zeze yang masih sibuk mengatur nafasnya. Lalu berjalan masuk ke kamar Zeze dan duduk di pinggiran ranjang.“Bisa jelaskan apa yang terjadi hari ini?” tanya Marco. Nada bicaranya tersendat menahan emosi yang seharian ditahan. Akibatnya seluruh pekerjaannya benar-benar tak masuk ke kepalanya. Otak Marco terus berpikir kepada Zeze dan Fira yang tega menelantarkan om nya.“Kamu tahu, jika om tidak memperingatkanku, kalian sudah aku seret ke bawah!”“Maaf, mas. Ak
“Dikit lagi, dikit lagi!” ucap Seno heboh bersantai ria di meja kerjanya sepagi buta ini.Victory. Terdengar suara dan hp miliknya. Satrio menggeleng kepala melihat tingkah Seno. Padahal dirinya sedang disibukkan dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Seno. Untung Ivan sudah mewanti-wanti lebih dulu dan diiming-imingi gaji yang besar melakukan pekerjaan double. Kalau tidak, sudah dia ratakan perusahaan aneh ini beserta CEO nya yang tak kompeten.“Pak, jadwal rapat dengan Waw Kosmetik setengah jam lagi. Jika kita tidak berangkat sekarang, kita akan terlambat keren terjebak macet.” jelas Satrio dengan nada datar dan wajah yang kesal.Tak terprovokasi dengan kesalnya Sat, jadi dia membiarkan asistennya itu melakukan apapun pada dirinya. Pasrah lah intinya. Dihina ya biarin, dicaci ya terima. Sudah.“Gue kerja dulu. Kalian lanjut tanpa gue.” kata Seno yan
Ceklek.Pintu ruangan terbuka dan terlihat sosok Satrio dari sela pintu sambil membawa berkas yang tadi sidurug Seno untuk dicarikan.“Mas ganteng?” Zanna tercengang melihat Satrio ada di tempat itu. Berjalan penuh percaya diri dibarengi senyum tipis. Namun senyum itu lekas hilang setelah Sat menyadari kehadiran Zanna.“Ish, matilah. Yang akan terjadi biar saja terjadi. Aku harus keluar dari situasi ini dulu.” Kemelut di hati Zanna membuncah.Jari telunjuknya menuju ke arah Satrio yang berdiri bingung saat ini. Tambah bingung lagi ketika Seno dan Marco serempak menoleh ke arahnya.“Dia orangnya!” seru Zanna.Apa? Kenapa? Aku kenapa? Pikiran Sat juga ikut bergelut di kepala. Pasalnya ia baru saja masuk ke ruangan, tapi diperlakukan seperti terdakwa yang ketahuan melakukan kejahatan besar.S
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
"Selamat pagi pak." sapa seorang pria paruh baya yang menghampiri satu ruangan hotel berbintang dengan suara khas melayu pesisir (gak SARA loh ya, plis jan dihujat)."Ya. Bagaimana?" tanya si empunya kamar yang ternyata adalah Marco. Saat ini dirinya masih berada di Palembang. Katanya sih, mengurusi urusan bisnis.Bukan Marco namanya kalau tidak bisa memerintahkan seseorang untuk mengurusi permasalahan perusahaan cabang dan bela-belain ke luar kota lagi. Iyuh, bukan Marco banget."Ini pak, laporan terkait asal usul, riwayat pendidikan dan lingkungan dibesarkannya calon ipar anda." kata pria paruh baya tadi. Beliau lah direktur utama perusahaan cabang yang harus menanggalkan pekerjaannya dan melayani kebutuhan Marco yang masih haus informasi soal Satrio.Tangan Marco mengulur untuk mengambil berkas yang agak sedikit tebal dari yang pernah diberikan Kevin padanya."Hm.. Hm.. Hmmmm..." suara berat nya menggema ketika ia bergumam dalam sembar
"Kamu mau jadi pacarku?" tanya Ivan lembut. Binar mata sendunya menatap Zeze penuh pengharapan. Sesaat hati Zeze terbuai. Pria yang ia sukai, akhirnya menyatakan cinta padanya. Masa sih?"Tentu saja bohongan." Tebas Ivan seolah paham isi kepala Zeze yang terus bertanya-tanya soal penembakan ini. "Ini semua karena orangtua saya yang terus menanyakan soal pacar. Jadi sebagai atasan, saya perintahkan kamu untuk menjadi pacar saya demi mengelabui orangtua saya. Ingat, ini perintah loh." jelas Ivan tegas. Penuh senyum licik terlukis di wajahnya. Caranya yang lugas menjelaskan soal pacar bohongan, kembali menghancurkan harapan Zeze yang sudah terbang tinggi."Tapi, pak..""Gak ada tapi. Ikuti perintah saya." tegas Ivan lagi memotong segala bentuk penolakan yang akan dilontarkan Zeze.Zeze menunduk bingung sekaligus tersenyum dalam diam. Senang hati mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang dia suka walaupun bohongan, tapi bingung harus mer
Tepat jam 8 malam, Zeze telah muncul di lobby hotel yang dimaksud dan berkali-kali menelepon Mira sebagai orang yang mengundangnya. Tapi tak kunjung diangkat.Ivan yang terganggu dengan maksud terselubung Mira, diam diam mengikuti Zeze sejak mereka pulang dari kantor. Syukurnya ia berhasil membuat gadis itu sibuk dan sedikit pulang terlambat hingga taka da waktu untuk mengganti pakaiannya sesuai instruksi Mira.Tak lama Mira dan teman-temannya muncul. Mereka semua tampak asing. Pria berjumlah tiga orang dan dua wanita lain yang tak pernah Zeze jumpai sebelumnya. Kini berjalan mendekat ke arahnya.“Kok kamu gak ganti baju?” tanya Mira kesal.“Saya baru selesai lembur dan langsung ke sini, bu.” jawab Zeze tak nyaman. Ia lalu meremas kemeja besarnya saat seorang laki-laki di antara yang datang bersama Mira memandang ke arah dadanya dengan tatapan nafsu.“Yaudah, yuk ke bar dulu. Soalnya partynya belum dimulai.” seringai Mira licik.Mira menggandeng tangan Zeze d
Di café milik teman Zanna saat ini sedang banyak pengunjung datang. Untnung milik temannya, jadi privasi Zanna agak dilindungi. Ada satu ruang khusus yang biasa dipakainya untuk menenangkan pikiran.“Selamat datang!” ucap salah satu pramusaji ketika ia lihat pria ganteng memasuki cafenya.“Dimana Sana Agustian?” tanya Satrio yang setengah jam lalu ditelepon Zanna dan meminta bertemu untuk membahas masalah mereka.“Ikut saya, mas!” seru pramusaji tadi setelah puas memandang keindahan Sat.Sat mengikuti langkah pramusaji ke lorong belakang dekat dapur mereka. Agak horror. Rasanya sudah seperti berada di sebuah adegan mengunjungi tempat jagal manusia di film thriller.“Silahkan, mas.”Sat yang masih berdiri di balik pramusaji terkesima memandangi ruangan di dalamnya yang kontras dengan jalan masuk menuju ke sini. Ruangan kecil itu sudah disulap bak kamar yang dikhususkan untuk Zanna. “Hai, calon suami aku!” sapa Zanna duduk santai ditemani dua gelas greent
“Aduh, adik cantik kamu gak apa-apa?” tanya si empunya musang itu tak kalah panik melihat piaraannya melukai seorang gadis kecil imut nan menggemaskan.Masih berusaha mendiamkan anak kecil yang menangis itu, si empunya musang meniup-niup luka cakaran yang tergambar dua garis di pergelangan kaki kanannya. Sang kakak kembar juga heboh sendiri dengan keadaan adiknya.“Adik cantik, ikut om ke klinik ya, kita obtain lukanya. Mama kalian mana?”Semula menangis kencang, Ailin mendadak tenang. Tangisnya berhenti ketika ia lihat ketampanan si empunya musang (anak kecil, anak kecil). Malah jadi Alan yang menangis sekarang.Mendengar suara heboh dan rebut-ribut yang sangat familiar, Zeze bergegas ke tempat kerumunan. Benar saja, ia melihat Ailin sedikit terisak dengan kondisi kaki yang mengucurkan darah dan Alan yang menangis tersedu-sedu.Zeze langsung mengambil tissue dan membasahinya dengan air mineral yang ia pegang. Lalu mengelap ke luka anak itu. Matanya tetap fokus p
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont