“Dikit lagi, dikit lagi!” ucap Seno heboh bersantai ria di meja kerjanya sepagi buta ini.
Victory. Terdengar suara dan hp miliknya. Satrio menggeleng kepala melihat tingkah Seno. Padahal dirinya sedang disibukkan dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Seno. Untung Ivan sudah mewanti-wanti lebih dulu dan diiming-imingi gaji yang besar melakukan pekerjaan double. Kalau tidak, sudah dia ratakan perusahaan aneh ini beserta CEO nya yang tak kompeten.
“Pak, jadwal rapat dengan Waw Kosmetik setengah jam lagi. Jika kita tidak berangkat sekarang, kita akan terlambat keren terjebak macet.” jelas Satrio dengan nada datar dan wajah yang kesal.
Tak terprovokasi dengan kesalnya Sat, jadi dia membiarkan asistennya itu melakukan apapun pada dirinya. Pasrah lah intinya. Dihina ya biarin, dicaci ya terima. Sudah.
“Gue kerja dulu. Kalian lanjut tanpa gue.” kata Seno yang sudah bersiap di room, untung belum menekan tombol play.
“Yah, lo kan tank. Kalau gak ada tank, siapa yang lindungi gue? Gue off juga ah.” sahut perempuan ber-nickname Chuppachuppy itu yang tampaknya sudah akrab dengan Seno. Padahal baru memainkan beberapa pertandingan dalam dua hari belakangan.
“Ntar malam. Oke. Bye guys.”
Sat cuma bisa mendengus kesal dengan dirinya yang entah mengapa selalu ditakdirkan bekerja di bawah CEO aneh dan banyak tingkah yang juga tak mumpuni.
“Apa perlu aku racuni Kevin dan mencuri posisinya?” benak Sat menggila. Mengingat wajah Kevin, asisten Marco yang tampak selalu bahagia di samping Marco.
*****
Setelah pertemuan membahas kerjasama selesai, Marco memberi isyarat agar kedua asisten pergi meninggalkannya bersama Seno. Ada hal penting yang harus ia katakan pada Seno.
Tatapan Marco memang mengintimidasi. Membuat siapa saja yang dihadapkan ya langsung menciut karena takut.
“Kemarin saya sudah jelaskan ke Zanna soal pertunangan kalian yang harus dilaksanakan. Saya juga sudah kasih pengarahan bahwa Zanna harus mengesampingkan sejenak karirnya demi persiapan pernikahan kalian.” ucap Marco dengan nada suara yang dalam sedalam samudera.
Seno gugup. Kebiasaan yang selalu ia perhatikan ketika gugup adalah menggoyangkan kakinya seperti tremor. Sama seperti Sat, Marco juga merasa terganggu karena suara tapak pantofel yang dipakai Seno.
“Kamu gak usah mengkhawatirkan hal lain, Zanna tidak akan pernah menolak apapun yang saya katakan. Jadi bicarakan dengan om Arif! Kapan pastinya tanggal untuk meminang Zanna. Karena sebagai pihak perempuan, kami hanya menunggu kesiapan dari pihak laki-laki.” ucap Marco lagi penuh pesan peringatan yang tersirat dari balik kata-katanya.
Oke, jadi gini, kenapa Seno gak bisa menampik kata-kata Marco? Karena keluarga Seno berhutang budi dengan keluarga Ramli. Dulu sekali, sewaktu kakek Seno mengalami kebangkrutan, kek Ramli menyelamatkan mereka dari keterpurukan.
Kek Ramli membantu dengan ikhlas. Tanpa meminta imbalan. Justru kakek Seno lah yang berinisiatif menyodorkan cucu laki-laki nya untuk diberikan kepada keluarga kek Ramli agar hubungan di antara mereka tetap terjaga baik.
Dan Seno sendiri pun sudah ter-mindset sejak kecil. Bahwa ia harus bersikap baik dan menuruti apapun keinginan keluarga Ramli. Termasuk pernikahan dengan Zanna pun harus ia turuti walau hatinya tertuju pada Zhafira.
“Baik, mas. Saya akan coba berbicara ke papa.” jawab Seno lirih langsung mendapat pelukan hangat dari Marco sebelum ia pergi.
*****
“Tolong gue sister!” teriak Zanna menggebu, masuk ke kamar Zeze yang saat itu sedang santai di kasurnya.
“Apa sih, berisik!” sentak Zeze karena terusik dengan suara cempreng Zanna yang sudah mengganggu waktu tenangnya.
“Lo harus bantu gue kali ini. Please, gue mohon. Apa aja gue turuti sebagai imbalan nya.” pinta Zanna mengguncang-guncang tubuh Zeze.
“Bantu apa?” Akhirnya Zeze pasrah dan beralih meladeni Zanna.
“Bantuin ngomong ke mas Marco, pernikahan gue harus dibatalin.” lantang Zanna berucap. Yakin seyakin-yakinnya jika Zeze ada di pihaknya.
Sudah lama Zanna merengek untuk tidak melanjutkan pertunangan dengan Seno. Karena ia merasa tak pas dengan sikap diam dan menyebalkan Seno. Tapi tak berani bicara ke Marco. Mengadu ke keluarga pun percuma, tidak ada yang bisa menyaingi otoritas Marco dalam keluarga Ramli. Termasuk kakek sekalipun.
“Hoam.” Zeze menguap lebar. “Gue kirain apa. Ternyata masalah ini lagi, ini lagi.” sambungnya cuek dan hendak tidur kembali.
“Bantuin dong! Ze! Zeline, ih!” teriak Zanna menarik tubuh Zeze agar tak kembali merebah.
“Terus gue harus ngomong apa?” Zeze melompat kesal ke hadapan Zanna. “Kalau gue yang ngomong supaya pernikahan lo batal, lantas gue yang berakhir jadi istri mas Seno, gitu? Gila lo ya!” sentak Zeze menjulurkan tangan ke kening Zanna dan menoyornya sebal.
“Jadi gimana?” tangis Zanna. Eh, pura-pura nangis dong. -_-
“Lo tau sendiri, kalau mas Marco gak akan melepaskan mas Seno. Dia kan suka banget ke mas Seno. Apa tuh katanya, bro in law-able. Tau deh.” Zeze mencoba perlahan menjelaskan, sekiranya agar Zanna mengerti.
Benar juga. Pandangan Marco ke Seno sudah tidak bisa diganggu gugat. Entah apa yang buat Seno se-spesial itu di mata Marco. Pernah sekali Zanna bertanya, kenapa harus Seno? Dan Marco hanya menjawab, “Seno memiliki aura menantu dan ipar yang baik, juga dapat diandalkan.” Heleh.
Dalih hutang budi keluarga Seno hanya dijadikan alasan agar Seno tidak dipilih oleh keluarga lain yang juga menginginkannya sebagai menantu laki-laki.
“Huwaaaa.” Zanna menangis heboh di kamar Zeze, menyadari bahwa nasib nya yang mirip dengan kisah novel bertema pernikahan paksaan yang selalu menemani kala tidurnya.
“Ada satu cara sih.” celetuk Zeze menghentikan tangis Zanna.
“Apa tuh?” tanya Zanna bersemangat lagi.
“Ngaku aja ke mas Marco kalau lo udah punya pacar dan cinta mati ke pacar lo itu.” Zeze merasa bangga sudah memberikan ide yang menurutnya cukup brilian. Berasa di atas angin dan seolah tidak akan disangkal oleh seorang Marco.
Geli sih dengarnya. Udah lah, persis adegan klise dalam drama percintaan sinetron Indonesia. Tapi ya, apa salahnya dicoba dulu. Pikirnya.
*****
Zanna sudah memutuskan dengan berani untuk mengaku ke Marco kalau dia sudah punya pacar sesuai anjuran Zeze. Agak deg-degan untuk mengumpulkan niat seberani itu. Bahkan di saat belum selesai mempersiapkan hatinya, Marco sudah menyuruhnya datang ke perusahaan Seno membicarakan masalah pernikahan dan mempertemukannya dengan Seno. Oke, benak Zanna. Ada bagusnya juga jika ia segera menyelesaikan perkara ini cepat, tak perlu menunda lagi. Ada Seno dan Marco sekaligus.
Kedatangan Zanna ke ‘Terserah’ milik Seno menghebohkan semua mata yang menyadari identitas nya. Datang tanpa manajer dan pengawal, jadi mempermudah pegawai yang menjadi fans nya untuk mendekat dan meminta foto padanya. Namun, saat sedang sibuk melayani fans dadakan, Fira lewat di depannya menuju lift didampingi Aya, orang kepercayaan nya.
“Oho, my twins tunggu!” sapa Zanna dengan sengaja. Ia tahu Fira tak suka mempertontonkan ikatan darah mereka di hadapan orang-orang.
Semua orang yang tadi mengerubungi Zanna lalu menoleh ke arah Fira dan terkagum melihat dua kembaran yang menyegarkan mata. Zanna mencoba tersenyum menyapa dengan senyuman selebar tiga jari ala penyanyi seriosa.
Keadaan berbanding seratus depalan puluh derajat ditunjukkan Fira. Ia justru terlihat tak senang dan menatap sinis ke arah Zanna. Sengaja pula ia mengabaikan sapaan Zanna dan memilih terus berjalan menuju lift.
“Oh, maaf, maaf. Aku harus ke atas dengan adikku. Maaf ya.” ucap Zanna pada fans-nya secara sopan.
Manner Zanna yang terkenal baik, sopan, dan santun memang membuat seluruh orang di negeri ini terkagum-kagum. Karena kebaikan yang terlihat kasar mata ini pula lah ia mendapat julukan Runway of Goddes. Yah, semua berkat media yang berhasil merekam kegiatan positif yang sengaja diumbar seperti kegiatan amal, kegiatan sosial, duta anak, dan duta anti narkoba, dan banyak lagi prestasi yang ia tunjukkan. Intinya, Sampoerna banget anak ini.
Zanna mengejar lift yang akan tertutup sebentar lagi. Melangkah secepat mungkin karena ia tahu, orang yang di dalam itu pasti tega meninggalkan nya dan membiarkan ia menunggu kembali.
“Ma tuins, tunggu!”
Sepertinya Zanna agak mendramatisir keadaan agar orang-orang yang mengerumuninya tadi melihat kelakuan jahat Fira.
Sadar karena suara melengking Zanna yang telah mencuri perhatian, Fira mau tak mau harus menahan pintu lift dan mempersilahkan Zanna naik. Saat berhadapan satu sama lain, mereka terlibat kontak mata yang sengit.
“Gue ludahin gak ya?” batin Zanna sambil melotot ke arah Fira yang juga sama, sedang memelototinya. “Ah sudahlah, gue haru menghadapi bala yang lebih besar nantinya. Biarkan saja si ngengat ini!” sambungnya masih berkutat di dalam hati.
Zanna berbalik menghadapkan badannya ke arah fans tadi dan memberikan fan serving terakhir sebelum pintu lift tertutup.
“Sampai jumpa lagi semua!” lambai Zanna ke fans nya yang langsung dibalas lambaian pula. Tak lupa, senyum secerah matahari pagi ia layangkan sebelum dikaburkan oleh pintu lift yang telah bergeser.
“Fake.” desis Fira sinis.
Zanna menoleh ke Fira, lalu menyadari bahwa mereka tidak hanya berdua di sana. Ada Aya yang bisa jadi bom waktu untuk menjatuhkan image dan karirnya dengan mudah.
“Kamu kelihatan cantik ya, Fir pakai ini. Ini yang aku kasih waktu pulang dari Givenchy fashion show bulan lalu kan?” ejek Zanna yang sangat jeli matanya kalau soal barang-barang branded terutama pemberiannya.
Ya, dalam hati Fira mengakui bahwa baju itu memang dari Zanna yang diberikan melalui tangan Zeze. Niat awalnya sih, cuma mood doang ingin pakai yang bunga-bungaan, malah harus ketemu si pembawa baju di kantor ini.
“Aya, belikan saya baju dari butik seberang. Terserah mau yang bagaimana, karena baju apapun yang ku kenakan akan terlihat cantik selalu bahkan tanpa harus menjadi model sekalipun.” sindir Fira lalu memberikan kartu kreditnya ke Aya.
Zanna hanya bisa mendengus pasrah pada sifat gengsinya Fira yang sudah mencapai level dewa. Sekaligus mengakhiri pertemuan mereka di lift yang didominasi oleh keheningan. Aya yang berdiri canggung hanya bisa mengelus dada sembari mempertanyakan tali persaudaraan kedua wanita cantik di hadapannya ini.
Setelah berhenti di lantai 4, Zanna keluar tanpa babibu ke Fira yang masih menetap di lift untuk naik ke satu lantai lagi. Dengan percaya diri Zanna melangkahkan kakinya ke depan ruangan Seno sebelum sekretaris Tia mempertanyakan maksud kedatangannya. Iya, habis itu sih memang dia meminta ijin, tapi belum dijawab, sembarangan saja ia membuka pintu dan nyelonong.
“Ada yang mau aku omongin ke mas. Mas Seno juga harus tau hal ini.” celetuk Zanna enggan berlama-lama. Duduk di single sofa dan mendominasi fokus lawan bicaranya yang sedang berdiskusi soal bisnis mereka.
“Apa?” Marco menutup seluruh berkasnya.
“Aku gak bisa menikah dengan mas Seno.” Eng ing eng. Walau Zanna sudah menabuh genderang perang, tapi tak membuat pertahanan lawan mengendur. Baik Marco dan Seno, sama-sama memperlihatkan wajah datar mereka yang memandangi Zanna seolah dirinya adalah singa sirkus yang sedang beraksi.
“Mas, aku bilang, aku gak bisa menikah sama mas Seno.” ulang Zanna. Justru ia-lah yang tampak panik karena tak mendapat reaksi sesuai ekspektasi.
“Terus?” Marco pura-pura bertanya. Wajahnya mempongah. Sedang menimang sejauh mana keberanian Zanna meneruskan sandiwaranya.
“Aku sudah punya pacar. Dan aku sangat cinta sama dia. Dia juga begitu. Setelah mendengar kabar aku akan menikah, dia bahkan mencoba bunuh dirinya karena tak sanggup melihatku bersama orang lain. Makanya, aku gak bisa melanjutkan ini lagi. Demi pacar yang mencintai aku bahkan rela merenggang nyawa ya demi aku. Ku mohon, mas. Aku gak tau harus apa lagi jika dia mencoba bunuh diri lagi. Aku gak mau kehilangan dia.”
Zanna memelas kan wajahnya. Dengan sedikit dibumbui akting kesedihan yang pernah ia latih selama dua bulan saat tidak ada job.
Sesuai dugaan, Seno tak berkutik. Zanna mengintip ke arahnya sejenak lalu lega karena di situasi ini sikap diam dan dingin Seno membantu rencananya.
Menangkap ada sepasang mata yang terus memandanginya seolah ingin menelan atau mencabik-cabiknya, Zanna tak berani melihat asalnya. Sudah pasti milik Marco yang sedang mengatur emosi agar ia tak lepas kendali untuk melempar meja ke arah Zanna. Tahan, sabar, biarkan dia menikmati dulu sandiwaranya.
“Oh ya?” Marco membanting berkas tadi ke meja, lalu membetulkan duduknya ke lebih santai. Posisi kakinya disilangkan, menggambarkan kesombongan. “Anak ini mau main-main rupanya...” tantang Marco dalam hatinya.
“Siapa dia?” tanya Marco perlahan masuk ke permainan Zanna.
Gatcha. Senyum lebar terhias di bibir Zanna. Dengan cepat ia menjawab pertanyaan Marco sebelum suasana hatinya sesuram tadi. “Dia bukan artis atau selebriti. Dia cuma orang biasa, mas. Jangan sakiti dia mas!” pinta Zanna tak kehabisan bahan adegan.
“Oh begitu? Semua ini bukan akal-akalan kamu kan?”
“Tidak, mas. Sama sekali tidak. Aku tulus. Kami saling mencintai. Dan...”
“Telepon dia sekarang! Aku harus tau pria macam apa yang kamu pilih demi membuang Seno.” cerca Marco. Sedikit ia melirik ke Seno yang duduk tenang menonton ketoprak picisan yang dimainkan Zanna. “Benar-benar pasangan yang gila!” rutuk Marco kesal.
“Bagaimana? Telepon dia!” desak Marco. Ia tautan kedua alisnya. Menyepelekan Zanna yang sedang mati kutu karena semua hanya sandiwara belaka.
“Itu.. Itu..” Zanna panik. Pura-pura mengutak atik kontak di hp nya. Tak tau siapa yang harus ia hubungi. Semua palsu, mas. Palsu. Ah, semua gara-gara ngikutin ide gila Zeze. “Mas, jangan, aku takut ganggu pekerjaannya jika telepon.”
“Bukannya kalian saling mencintai? Apa cinta kalian itu tidak memprioritaskan komunikasi?” ledek Marco yang akhirnya bisa melihat kepanikan di wajah Zanna.
“Itu. Itu, mas. Anu.” Zanna semakin panik.
Zanna tampak semakin takut jikalau Marco sudah tampak tenang dan tak menanggapi suatu hal. Berarti ia sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya. Bisa saja Zanna sudah digunduli sekarang.
Ceklek.
*****
Profil Marco
Nama : Marco Sebastian Ramli
TTL : Napoli, 17 Maret 1986
Makanan tradisional kesukaan : Getuk, ondol-ondol, pokoknya olahan ubi pasti punah di perutnya
Minuman tradisional kesukaan : kopi luwak, bandrek tanpa susu
Hobby : Kerja, main sama anak.
Status : Duda dua anak gais.
Ciri fisik : Bermata biru, tinggi 188 cm, kulitnya putih, brewok, berahang tegas, alis mata nya tebal, dah lah, persis bule lah.
Ceklek.Pintu ruangan terbuka dan terlihat sosok Satrio dari sela pintu sambil membawa berkas yang tadi sidurug Seno untuk dicarikan.“Mas ganteng?” Zanna tercengang melihat Satrio ada di tempat itu. Berjalan penuh percaya diri dibarengi senyum tipis. Namun senyum itu lekas hilang setelah Sat menyadari kehadiran Zanna.“Ish, matilah. Yang akan terjadi biar saja terjadi. Aku harus keluar dari situasi ini dulu.” Kemelut di hati Zanna membuncah.Jari telunjuknya menuju ke arah Satrio yang berdiri bingung saat ini. Tambah bingung lagi ketika Seno dan Marco serempak menoleh ke arahnya.“Dia orangnya!” seru Zanna.Apa? Kenapa? Aku kenapa? Pikiran Sat juga ikut bergelut di kepala. Pasalnya ia baru saja masuk ke ruangan, tapi diperlakukan seperti terdakwa yang ketahuan melakukan kejahatan besar.S
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma
“Aduh, adik cantik kamu gak apa-apa?” tanya si empunya musang itu tak kalah panik melihat piaraannya melukai seorang gadis kecil imut nan menggemaskan.Masih berusaha mendiamkan anak kecil yang menangis itu, si empunya musang meniup-niup luka cakaran yang tergambar dua garis di pergelangan kaki kanannya. Sang kakak kembar juga heboh sendiri dengan keadaan adiknya.“Adik cantik, ikut om ke klinik ya, kita obtain lukanya. Mama kalian mana?”Semula menangis kencang, Ailin mendadak tenang. Tangisnya berhenti ketika ia lihat ketampanan si empunya musang (anak kecil, anak kecil). Malah jadi Alan yang menangis sekarang.Mendengar suara heboh dan rebut-ribut yang sangat familiar, Zeze bergegas ke tempat kerumunan. Benar saja, ia melihat Ailin sedikit terisak dengan kondisi kaki yang mengucurkan darah dan Alan yang menangis tersedu-sedu.Zeze langsung mengambil tissue dan membasahinya dengan air mineral yang ia pegang. Lalu mengelap ke luka anak itu. Matanya tetap fokus p
Di café milik teman Zanna saat ini sedang banyak pengunjung datang. Untnung milik temannya, jadi privasi Zanna agak dilindungi. Ada satu ruang khusus yang biasa dipakainya untuk menenangkan pikiran.“Selamat datang!” ucap salah satu pramusaji ketika ia lihat pria ganteng memasuki cafenya.“Dimana Sana Agustian?” tanya Satrio yang setengah jam lalu ditelepon Zanna dan meminta bertemu untuk membahas masalah mereka.“Ikut saya, mas!” seru pramusaji tadi setelah puas memandang keindahan Sat.Sat mengikuti langkah pramusaji ke lorong belakang dekat dapur mereka. Agak horror. Rasanya sudah seperti berada di sebuah adegan mengunjungi tempat jagal manusia di film thriller.“Silahkan, mas.”Sat yang masih berdiri di balik pramusaji terkesima memandangi ruangan di dalamnya yang kontras dengan jalan masuk menuju ke sini. Ruangan kecil itu sudah disulap bak kamar yang dikhususkan untuk Zanna. “Hai, calon suami aku!” sapa Zanna duduk santai ditemani dua gelas greent
Tepat jam 8 malam, Zeze telah muncul di lobby hotel yang dimaksud dan berkali-kali menelepon Mira sebagai orang yang mengundangnya. Tapi tak kunjung diangkat.Ivan yang terganggu dengan maksud terselubung Mira, diam diam mengikuti Zeze sejak mereka pulang dari kantor. Syukurnya ia berhasil membuat gadis itu sibuk dan sedikit pulang terlambat hingga taka da waktu untuk mengganti pakaiannya sesuai instruksi Mira.Tak lama Mira dan teman-temannya muncul. Mereka semua tampak asing. Pria berjumlah tiga orang dan dua wanita lain yang tak pernah Zeze jumpai sebelumnya. Kini berjalan mendekat ke arahnya.“Kok kamu gak ganti baju?” tanya Mira kesal.“Saya baru selesai lembur dan langsung ke sini, bu.” jawab Zeze tak nyaman. Ia lalu meremas kemeja besarnya saat seorang laki-laki di antara yang datang bersama Mira memandang ke arah dadanya dengan tatapan nafsu.“Yaudah, yuk ke bar dulu. Soalnya partynya belum dimulai.” seringai Mira licik.Mira menggandeng tangan Zeze d
"Selamat pagi pak." sapa seorang pria paruh baya yang menghampiri satu ruangan hotel berbintang dengan suara khas melayu pesisir (gak SARA loh ya, plis jan dihujat)."Ya. Bagaimana?" tanya si empunya kamar yang ternyata adalah Marco. Saat ini dirinya masih berada di Palembang. Katanya sih, mengurusi urusan bisnis.Bukan Marco namanya kalau tidak bisa memerintahkan seseorang untuk mengurusi permasalahan perusahaan cabang dan bela-belain ke luar kota lagi. Iyuh, bukan Marco banget."Ini pak, laporan terkait asal usul, riwayat pendidikan dan lingkungan dibesarkannya calon ipar anda." kata pria paruh baya tadi. Beliau lah direktur utama perusahaan cabang yang harus menanggalkan pekerjaannya dan melayani kebutuhan Marco yang masih haus informasi soal Satrio.Tangan Marco mengulur untuk mengambil berkas yang agak sedikit tebal dari yang pernah diberikan Kevin padanya."Hm.. Hm.. Hmmmm..." suara berat nya menggema ketika ia bergumam dalam sembar
"Kamu mau jadi pacarku?" tanya Ivan lembut. Binar mata sendunya menatap Zeze penuh pengharapan. Sesaat hati Zeze terbuai. Pria yang ia sukai, akhirnya menyatakan cinta padanya. Masa sih?"Tentu saja bohongan." Tebas Ivan seolah paham isi kepala Zeze yang terus bertanya-tanya soal penembakan ini. "Ini semua karena orangtua saya yang terus menanyakan soal pacar. Jadi sebagai atasan, saya perintahkan kamu untuk menjadi pacar saya demi mengelabui orangtua saya. Ingat, ini perintah loh." jelas Ivan tegas. Penuh senyum licik terlukis di wajahnya. Caranya yang lugas menjelaskan soal pacar bohongan, kembali menghancurkan harapan Zeze yang sudah terbang tinggi."Tapi, pak..""Gak ada tapi. Ikuti perintah saya." tegas Ivan lagi memotong segala bentuk penolakan yang akan dilontarkan Zeze.Zeze menunduk bingung sekaligus tersenyum dalam diam. Senang hati mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang dia suka walaupun bohongan, tapi bingung harus mer
Tepat jam 8 malam, Zeze telah muncul di lobby hotel yang dimaksud dan berkali-kali menelepon Mira sebagai orang yang mengundangnya. Tapi tak kunjung diangkat.Ivan yang terganggu dengan maksud terselubung Mira, diam diam mengikuti Zeze sejak mereka pulang dari kantor. Syukurnya ia berhasil membuat gadis itu sibuk dan sedikit pulang terlambat hingga taka da waktu untuk mengganti pakaiannya sesuai instruksi Mira.Tak lama Mira dan teman-temannya muncul. Mereka semua tampak asing. Pria berjumlah tiga orang dan dua wanita lain yang tak pernah Zeze jumpai sebelumnya. Kini berjalan mendekat ke arahnya.“Kok kamu gak ganti baju?” tanya Mira kesal.“Saya baru selesai lembur dan langsung ke sini, bu.” jawab Zeze tak nyaman. Ia lalu meremas kemeja besarnya saat seorang laki-laki di antara yang datang bersama Mira memandang ke arah dadanya dengan tatapan nafsu.“Yaudah, yuk ke bar dulu. Soalnya partynya belum dimulai.” seringai Mira licik.Mira menggandeng tangan Zeze d
Di café milik teman Zanna saat ini sedang banyak pengunjung datang. Untnung milik temannya, jadi privasi Zanna agak dilindungi. Ada satu ruang khusus yang biasa dipakainya untuk menenangkan pikiran.“Selamat datang!” ucap salah satu pramusaji ketika ia lihat pria ganteng memasuki cafenya.“Dimana Sana Agustian?” tanya Satrio yang setengah jam lalu ditelepon Zanna dan meminta bertemu untuk membahas masalah mereka.“Ikut saya, mas!” seru pramusaji tadi setelah puas memandang keindahan Sat.Sat mengikuti langkah pramusaji ke lorong belakang dekat dapur mereka. Agak horror. Rasanya sudah seperti berada di sebuah adegan mengunjungi tempat jagal manusia di film thriller.“Silahkan, mas.”Sat yang masih berdiri di balik pramusaji terkesima memandangi ruangan di dalamnya yang kontras dengan jalan masuk menuju ke sini. Ruangan kecil itu sudah disulap bak kamar yang dikhususkan untuk Zanna. “Hai, calon suami aku!” sapa Zanna duduk santai ditemani dua gelas greent
“Aduh, adik cantik kamu gak apa-apa?” tanya si empunya musang itu tak kalah panik melihat piaraannya melukai seorang gadis kecil imut nan menggemaskan.Masih berusaha mendiamkan anak kecil yang menangis itu, si empunya musang meniup-niup luka cakaran yang tergambar dua garis di pergelangan kaki kanannya. Sang kakak kembar juga heboh sendiri dengan keadaan adiknya.“Adik cantik, ikut om ke klinik ya, kita obtain lukanya. Mama kalian mana?”Semula menangis kencang, Ailin mendadak tenang. Tangisnya berhenti ketika ia lihat ketampanan si empunya musang (anak kecil, anak kecil). Malah jadi Alan yang menangis sekarang.Mendengar suara heboh dan rebut-ribut yang sangat familiar, Zeze bergegas ke tempat kerumunan. Benar saja, ia melihat Ailin sedikit terisak dengan kondisi kaki yang mengucurkan darah dan Alan yang menangis tersedu-sedu.Zeze langsung mengambil tissue dan membasahinya dengan air mineral yang ia pegang. Lalu mengelap ke luka anak itu. Matanya tetap fokus p
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont