Marco memasuki rumah Pak Agus dengan langkah terburu untuk meminta penjelasan dari adik-adiknya. Secepat kilat menuju kamar Zeze yang tengah terbuka. Zeze saat itu hendak menutup pintu kamarnya, tapi kaget dan hampur saja melompat melihat sosok Marco yang menakutkan sedang berdiri di depannya.
“Astaga dragin!” celetuk Zeze mengelus-elus dadanya.
Maco memicing mata sinis menatap Zeze yang masih sibuk mengatur nafasnya. Lalu berjalan masuk ke kamar Zeze dan duduk di pinggiran ranjang.
“Bisa jelaskan apa yang terjadi hari ini?” tanya Marco. Nada bicaranya tersendat menahan emosi yang seharian ditahan. Akibatnya seluruh pekerjaannya benar-benar tak masuk ke kepalanya. Otak Marco terus berpikir kepada Zeze dan Fira yang tega menelantarkan om nya.
“Kamu tahu, jika om tidak memperingatkanku, kalian sudah aku seret ke bawah!”
“Maaf, mas. Aku benar-benar sedang rapat saat itu.” ucap Zeze menunduk.
Masih fokus menyelidiki melalu Zeze dan belum menemukan jawaban yang memuaskan hati, perbincangan harus terhenti karena terdengar suara ribut-ribut dari kamar Fira. Sesekali terdengar suara teriakan yang diyakini suara Zanna.
“Berhenti, berhenti!” suara Pak Agus juga terdengar dari sana namun keributan belum juga dapat diredakan.
Marco mendadak bangkit dari ranjang Zeze dan berlari ke sumber suara. Benar saja, ia melihat Zanna dan Fira yang sudah terlibat jambak-jambakan. Belum lagi tubuh Pak Agus yang terhuyung ke sana ke mari mencoba melelrai keuda anak perempyannya.
“KALIAN BERDUA BERHENTI!” teriak Marco yang sudah mencoba menahan emosi tapi tak bisa ditahan lagi dan harus ia keluarkan jika tidak ingin jadi penyakit nantinya.
Dan hanya suara berat itu yang berhasil menghentikan perkelahian keduanya. Membuat tiga Z mati kutu. Mereka sangat takut pada Marco. Caranya menatap, mendidik, dan juga menghukum adalah pengalaman yang tidak bisa dilupakan bagi 3Z.
Bu Riska yang sudah paham sifat keponakannya, tampak khawatir setengah mati. Ia takut jika Marco menghukum para putrinya dengan kejam seperti saat dia menghukum Zeze ke luar negeri dan memisahkan ibu-anak selama beberapa tahun.
Sementara Pak Agus masih ngos-ngosan setelah kelelahan melerai keributan. Kini memnadangi wajah kedua putrinya yang sudah kacau balau secara bergantian.
“Semuanya turun ke ruang keluarga!” perintah Marco yang tak terbantahkan.
Ruang keluarga yang dimaksud bukanlah ruang keluarga [ada umumnya yang dipakai untuk haha hihi sembari menghabiskan waktu bersama keluarga tercinta. Tapi ruang keluarga di rumah ini bagai ruang sidang yang sengaja dibuat untuk menghukum siapapupn yang melakukan kesalahan besar.
Gak cuma Zanna dan Fira, Zeze serta orang tua ,ereka juga ikut ke ruang keluarga begitu dititah Marco. Menyimak bagaimana Marco akan memberi pelajaran pada kedua saudara bebuyutan itu.
“Apa lagi kali ini?” tanya Marco dengan suara yang menggelegar. Yang tak bersalah pun bisa ikut-ikutan takut jika mendengarnya.
Zanna dan Fira duduk bersimpuh di lantai, berhadapan dengan Marco yang duduk di sofa bersama Pak Agus dan Bu Riska di sampingnya.
“Aku hanya gak suka dia cuekin papa di kantor, mas.” jawab Zanna.
Marco menoleh ke arah Zeze yang berdiri kaku di belakangnya. Yang tahu kejadian ini hanyalah mereka yang ada di tempat. Jika Zanna tahu, berarti Zeze sudah mengadu soal ini ke Zanna.
“Kamu juga duduk di situ, Ze!” perintah Marco semakin kesal. Ia menggosok wajahnya secara kasar.
Untung Zeze menurut walau takut menatap mata Marco. Lucunya, Zanna dan Fira bergeser masing-masing ke kanan dan kiri. Seolah mempersilahkan Zeze bersimpuh di ruang tengah yang kosong. Ikut merasakan penyiksaan dan siap mendengar omelan Marco sampai kaki menajdi mati rasa.
“Mas baru aja ingin mendengar penjelasan dari Zeze, kenapa bisa ada kejadian seperti tadi siang di depan mata mas. Tapi kalian sudah ribut dan bertengkar kayak anak kecil?” sentak Marco bersidekap tegak di hadapan ketiganya.
“Mas, aku...” ucap Zanna pelan.
“Diam! Belum waktunya kalian berbicara!” bentak Marco mengagetkan semua orang. Bahkan Bi Yan yang ada di dapur pun tak berani mengantarkan minuman ke ruangan itu.
“Kalau bukan karena om yang melarang, udah mas jambak rambut kalian satu-satu seperti yang kalian lakukan tadi.” tunjuknya pada Fira dan Zeze yang merupakan akar masalah ini. “Jelaskan!” titahnya lagi.
Giliran disuruh jawab, ketiganya malah memilih bungkam. Bingung menjelaskan dari mana karena semua punya versi masing-masing. Tak tega menyaksikan wajah ketiga putrinya yang bagai terdakwa, Pak Agus ikut nimbrung ke dalam percakapan. Kali ini Marco tak marah dan membentak orang yang memotong jalannya sidang seperti yang ia lakukan ke Zanna tadi. Sebab ia sangat menghormati om nya.
“Jadi tadi om itu ngantar bekal untuk untuk Fira sama Zeze. Tapi om lupa ganti baju. Om pakai baju yang lusuh datang tanpa tahu malu ke kantor. Om maklum kok. Kamu jangan marah lagi toh le.” Pak Agus berusaha semampunya agar keponakannya berhenti marah.
“Kalian apa malu dengan om ku? Ha? Siapa yang malu? Kamu Ze?” tunjuknya pada Zeze. Lalu menggeleng cepat, tak setuju. “Berarti kamu Fira?” Beralih ke Fira.
“Mas, aku bukan nyalahin papa. Tapi posisiku di kantor itu...” Fira terhenti. Suaranya tercekat, menggantungkan kalimatnya.
“Posisi? Psoisi?” bentak Marco. “Sehebat apa rupanya posisimu hingga malu menerima papamu?” Mata Merco sudah membulat sempurna. Tak lagi bisa menahan amarahnya.
“Baru di posisi itu aja kamu malu dengan papamu? Bagaimana jika lebih tinggi lagi posisimu itu, bakal kamu terlantarkan? Ha? Jawab Fira!!”
“Sudah, Co. Sudah, nanti darah tinggi mu naik lagi. Ze, ambil air hangat untuk mas!” Bu Riska mengerlingkan matanya memberi isyarat ke Zeze agar segera lari ke dapur dan membawa air untuk menekan suhu panas di diri Marco.
“Nih, mas.” Zeze menyerahkan gelas itu ke tangan Marco lalu kembali ke tempat hukumannya.
Marco meneguk air itu tanpa ragu hingga tandas isi dari gelas itu. Segar. Tenggorokannya sudah terlalu kering akibat marah-marah tak karuan bagai orang gila.
Lalu ia mengambil nafas dalam-dalam dan kembali fokus untuk menanti jawaban dari Fira. “Mas masih menanti jawaban kamu Fira!” katanya dengan nada suara yang agak rendah dari sebelum ia meminum air tadi.
“Mas, banyak orang membenciku dan berusaha menjatuhkan aku karena psoisiku. Aku gak bisa nunjukkan papa ke mereka. Takut mereka akan menghina papa.” jelas Fira tertunduk malu, tak sanggup menatap papanya yang juga menatap kasihan ke arahnya.
“Nyalahin mereka udah menghina papa!” sambar Zanna.
“Kamu diam! Masih Fira yang boleh berbicara saat ini.” tunjuk Marco ke Zanna. “Lalu kamu Ze? Kenapa harus ngadu ke Zanna ?” teriak Marco. Kali ini giliran Zeze.
“Mas, sebelum papa datang, Zanna nge chat aku. Ngabarin kalau papa datang. Jadi pas papa balik dia nge chat lagi. Aku hanya mengabarkan siatuasi yang terjadi. Aku gak bermaksud ngadu. Gak juga mengadu domba, mas.” rengek Zeze mendapat tatapan sinis dari Marco.
Duh, kalau urusan Zeze, Marco agak berat. Hatinya mudah goyah setiap kali menghukum anak ini. Apalagi adik kesayangannya itu agak cengeng. Jadi gak sanggup jika harus buat Zeze menangis.
“Lain kali jangan gitu. Yang kamu lakukan itu bisa bikin kesalahpahaman. Ngerti kamu?” sentak Marco pura-pura marah. “Tapi penampilan apa yang kamu tunjukkan di kantor tadi?”
Mata Zeze berputar. Bingung harus menjawab apa. Takut dengan apa yang akan terjadi bila ia jujur mengatakan alasan penyamaran ini karena tak ingin terlihat mirip dan menghindari Fira di kantor.
“Maaf, mas. Ada alasan yang gak bisa aku jelasin.” jawab Zeze. Habis itu mulutnya terkatub rapat dan tak lagi menjawab desakan Marco yang masih terus menanyakan soal penampilan aneh itu.
“Dan kamu Zanna? Mau jadi pegulat aja? Apa gak bisa dibicarakan baik-baik dulu?” Marco beralih ke Zanna karena frustasi pertanyaannya tak mendapat jawaban dari Zeze.
“Aku kesal, mas. Bayangin papa dicuekin selama dua puluh menit itu rasanya sesak. Aku juga gak tega bilang ke papa soal pakaiannya karena aku fikir, mereka akan memaklumi.”
Marco menyilangkan kedua kakinya. Zanna berdehem pelan. Tenggorokannya terasa tak sanggup menelan ludah karena sudah gugup pada sikap dominan yang dimiliki Marco. “Terus?” tantangnya ke Zanna.
“Kamu itu yang paling tua di antara mereka, tapi tak memberi contoh yang baik dan malah ribut dengan adikmu!” bentak Marco.
“Kami minta maaf, mas. Kammi bersalah.” ucap ketiganya serempak.
Hah, Marco menghela nafas. Ia lepas silangan kakinya dan duduk tegak di kursi dengan mata yang tak luput sedetikpun memandang triple z bergantian. “Kalian tahu apa kesalahan utama kalian?”
Ketiganya menggeleng cepat. Pertanyaan ini biasanya menandakan akan berakhirnya hukuman. Makanya, semua omelan ini harus dihentikan. Kaki mereka sudah kesemutan dan mati rasa. Mungkin akan pengkor jika harus duduk lebih lama lagi.
“Pertama, kalian lihat om ku!” perintah Marco. Cepat diikuti oleh 3z yang langsung menoleh ke arah papanya. “Apa dia jelek?”
Hm, kompak mereka menggeleng. Iya sih, biarpun sudah menginjak usia 45 tahun, tapi ketampanan Pak Agus gak luntur. Baju murahan nan kucel dan tanpa perawatan sajalah yang buat ketampanannya tersamarkan.
“Ganteng? Tak beda jauh dariku, kan?” Ketiganya kembali mengangguk cepat membenarkan pertanyaan Marco. “Kalau begitu kenapa kalian malu?” sambungnya dengan membentak.
“Sejelek apapun om ku, sekucel apapun om ku, seburuk apapun om ku, tidak ada hak kalian untuk malu padanya. Karena membesarkan kalian dan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian pula-lah, datangnya penampilan kucel ini. Jadi jabatan yang kalian capai hari ini, posisi yang kalian duduki hari ini, semua tak lepas dari keringatnya dan aliran doa yang selalu om dan tanteku panjatkan untuk kalian! Apa kalian mengerti sampai sini?” tutur Marco yang sudah mengatur emosinya. Menggunakan kata om-ku untuk menekan adik-adiknya agar tak lagi berbuat tak sopan ke orang yang dihormatinya dan telah dianggap orang tua olehnya.
Wajah 3z memerah. Mereka tertunduk pasrah menahan isak tangis. Belum berani mengeluarkan suara bahkan untuk menangis sekalipun.
“Kedua, kalian itu berbagi rahim yang sama. Berbagi darah dan daging yang sama. Hubungan kalian harusnya lebih kental dari air. Tapi apa, kalian bertengkar seperti anak kecil. Dan sikap seperti ini yang sedang kalian tunjukkan ke orang tua kalian di masa tuanya yang seharusnya menikmati kenyamanan hidup. Mas fikir mereka harus berkutat dengan rasa khawatir seumur hidupnya karena takut jika kalian terpecah belah.”
“Dan ketiga. Aku tak mau kalian menyesal kemudian hari dan berkata, harusnya aku menyambut papa. Harusnya aku menjaga papa. Harusnya aku tak mengecewakan papa.kalian tau dek, sedih rasanya menyesali sesuatu yang sudah hilang di hidup kalian. Aku tak ingin kalian sepertiku yang selalu merutuki diri setiap malam karena tak lagi nisa bertemu orang tuakku.” jelas Marco terharu sekaligus membuat om dan tantenya bahagia memiliki Marco sebagai pengendali si kembar.
Tiga z yang tertunduk sedih akhirnya bisa leluasa menangis berderu sembari menerjang tubuh papa dan mamanya bergantian. Terakhir mereka menyerbu memeluk Marco yang ternyata menjatuhkan air matanya pula, sedih mengingat mendiang kedua orang tua nya.
“Maafkan kami, mas!” seru Zeze yang paling keras menangis.
“Hm.” Marco mendehem sambil memeluk erat ketiga adiknya.
*****
Setelah puas bernangis-nangis ria, Marco memangil Zanna untuk membicarakan hal penting berdua dengan adiknya yang agak bar-bar itu. Sejenak keduanya tatap-tatapan tanpa kata. Zanna merasakan ada aura aneh mengelilinginya, seperti perasaan tak enak begitu ia melirik Marco yang baru saja reda dari emosinya.
“Apa aku melakukan kesalahan lagi?” batin Zanna.
“Zan!” panggil Marco memecah kemelut gugup di hatinya.
“Ya, mas?” Zanna menyahut gugup.
Snirf. Marco menyisih ingusnya di tissue. “Kamu jangan terlalu berleha-leha dengan karirmu. Pikirkan tanggal pernikahanmu dengan Seno. Sudah lama kalian bertunangan. Kalau kelamaan bergerak, akan ada banyak badai yang datang.” celetuk Marco sembari menyeruput kopi yang tadi dibuat Zeze.
“Semoga badai itu lekas datang.” Zanna membatin.
“Mas, aku baru aja beranjak...” Zanna mencoba menjelaskan soal keinginannya, sebelum akhirnya dipotong Marco dengan satu bantingan gelas kopi ke atas meja. Menyentak Zanna.
“Mas gak suka penolakan. Kamu tau kan, mas bisa menghancurkan karirmu saat ini juga hanya dengan satu jari. Jadi, jangan buat mas marah, Zan!” ancam Marco lalu mengusir Zanna pergi kembali ke bilik renungan alias kamar.
Marco Sebastian Ramli, adalah cucu pertama dari anak perempuan tertua kek Ramli, dan memiliki jarak usia yang cukup jauh dari Pak Agus. Sabrina, nama ibunya, menikah dengan pria berdarah Italia yang sudah mengenal sejak kuliah. Namun mereka meninggal dalam kecelakaan pesawat saat Marco berumur lima tahun.
Sejak itu Marco dibesarkan oleh Agustian, pamannya. Namun Pak Agus yang masih sangat muda kala itu mengecewakan kek Ramli dengan menikahi perempuan muda dan menghamilinya. Ia pun dicoret dari daftar pewaris.
Akhirnya dengan hati yang berat dan terpaksa, kek Ramli menyiapkan Marco yang masih terlalu dini untuk menghadapi dunia bisnis sekaligus menjadi kepala keluarga besar Ramli. Makanya ia sangat dihormati dan ditakuti oleh tiga Z.
“Dikit lagi, dikit lagi!” ucap Seno heboh bersantai ria di meja kerjanya sepagi buta ini.Victory. Terdengar suara dan hp miliknya. Satrio menggeleng kepala melihat tingkah Seno. Padahal dirinya sedang disibukkan dengan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan Seno. Untung Ivan sudah mewanti-wanti lebih dulu dan diiming-imingi gaji yang besar melakukan pekerjaan double. Kalau tidak, sudah dia ratakan perusahaan aneh ini beserta CEO nya yang tak kompeten.“Pak, jadwal rapat dengan Waw Kosmetik setengah jam lagi. Jika kita tidak berangkat sekarang, kita akan terlambat keren terjebak macet.” jelas Satrio dengan nada datar dan wajah yang kesal.Tak terprovokasi dengan kesalnya Sat, jadi dia membiarkan asistennya itu melakukan apapun pada dirinya. Pasrah lah intinya. Dihina ya biarin, dicaci ya terima. Sudah.“Gue kerja dulu. Kalian lanjut tanpa gue.” kata Seno yan
Ceklek.Pintu ruangan terbuka dan terlihat sosok Satrio dari sela pintu sambil membawa berkas yang tadi sidurug Seno untuk dicarikan.“Mas ganteng?” Zanna tercengang melihat Satrio ada di tempat itu. Berjalan penuh percaya diri dibarengi senyum tipis. Namun senyum itu lekas hilang setelah Sat menyadari kehadiran Zanna.“Ish, matilah. Yang akan terjadi biar saja terjadi. Aku harus keluar dari situasi ini dulu.” Kemelut di hati Zanna membuncah.Jari telunjuknya menuju ke arah Satrio yang berdiri bingung saat ini. Tambah bingung lagi ketika Seno dan Marco serempak menoleh ke arahnya.“Dia orangnya!” seru Zanna.Apa? Kenapa? Aku kenapa? Pikiran Sat juga ikut bergelut di kepala. Pasalnya ia baru saja masuk ke ruangan, tapi diperlakukan seperti terdakwa yang ketahuan melakukan kejahatan besar.S
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma
“Aduh, adik cantik kamu gak apa-apa?” tanya si empunya musang itu tak kalah panik melihat piaraannya melukai seorang gadis kecil imut nan menggemaskan.Masih berusaha mendiamkan anak kecil yang menangis itu, si empunya musang meniup-niup luka cakaran yang tergambar dua garis di pergelangan kaki kanannya. Sang kakak kembar juga heboh sendiri dengan keadaan adiknya.“Adik cantik, ikut om ke klinik ya, kita obtain lukanya. Mama kalian mana?”Semula menangis kencang, Ailin mendadak tenang. Tangisnya berhenti ketika ia lihat ketampanan si empunya musang (anak kecil, anak kecil). Malah jadi Alan yang menangis sekarang.Mendengar suara heboh dan rebut-ribut yang sangat familiar, Zeze bergegas ke tempat kerumunan. Benar saja, ia melihat Ailin sedikit terisak dengan kondisi kaki yang mengucurkan darah dan Alan yang menangis tersedu-sedu.Zeze langsung mengambil tissue dan membasahinya dengan air mineral yang ia pegang. Lalu mengelap ke luka anak itu. Matanya tetap fokus p
Di café milik teman Zanna saat ini sedang banyak pengunjung datang. Untnung milik temannya, jadi privasi Zanna agak dilindungi. Ada satu ruang khusus yang biasa dipakainya untuk menenangkan pikiran.“Selamat datang!” ucap salah satu pramusaji ketika ia lihat pria ganteng memasuki cafenya.“Dimana Sana Agustian?” tanya Satrio yang setengah jam lalu ditelepon Zanna dan meminta bertemu untuk membahas masalah mereka.“Ikut saya, mas!” seru pramusaji tadi setelah puas memandang keindahan Sat.Sat mengikuti langkah pramusaji ke lorong belakang dekat dapur mereka. Agak horror. Rasanya sudah seperti berada di sebuah adegan mengunjungi tempat jagal manusia di film thriller.“Silahkan, mas.”Sat yang masih berdiri di balik pramusaji terkesima memandangi ruangan di dalamnya yang kontras dengan jalan masuk menuju ke sini. Ruangan kecil itu sudah disulap bak kamar yang dikhususkan untuk Zanna. “Hai, calon suami aku!” sapa Zanna duduk santai ditemani dua gelas greent
"Selamat pagi pak." sapa seorang pria paruh baya yang menghampiri satu ruangan hotel berbintang dengan suara khas melayu pesisir (gak SARA loh ya, plis jan dihujat)."Ya. Bagaimana?" tanya si empunya kamar yang ternyata adalah Marco. Saat ini dirinya masih berada di Palembang. Katanya sih, mengurusi urusan bisnis.Bukan Marco namanya kalau tidak bisa memerintahkan seseorang untuk mengurusi permasalahan perusahaan cabang dan bela-belain ke luar kota lagi. Iyuh, bukan Marco banget."Ini pak, laporan terkait asal usul, riwayat pendidikan dan lingkungan dibesarkannya calon ipar anda." kata pria paruh baya tadi. Beliau lah direktur utama perusahaan cabang yang harus menanggalkan pekerjaannya dan melayani kebutuhan Marco yang masih haus informasi soal Satrio.Tangan Marco mengulur untuk mengambil berkas yang agak sedikit tebal dari yang pernah diberikan Kevin padanya."Hm.. Hm.. Hmmmm..." suara berat nya menggema ketika ia bergumam dalam sembar
"Kamu mau jadi pacarku?" tanya Ivan lembut. Binar mata sendunya menatap Zeze penuh pengharapan. Sesaat hati Zeze terbuai. Pria yang ia sukai, akhirnya menyatakan cinta padanya. Masa sih?"Tentu saja bohongan." Tebas Ivan seolah paham isi kepala Zeze yang terus bertanya-tanya soal penembakan ini. "Ini semua karena orangtua saya yang terus menanyakan soal pacar. Jadi sebagai atasan, saya perintahkan kamu untuk menjadi pacar saya demi mengelabui orangtua saya. Ingat, ini perintah loh." jelas Ivan tegas. Penuh senyum licik terlukis di wajahnya. Caranya yang lugas menjelaskan soal pacar bohongan, kembali menghancurkan harapan Zeze yang sudah terbang tinggi."Tapi, pak..""Gak ada tapi. Ikuti perintah saya." tegas Ivan lagi memotong segala bentuk penolakan yang akan dilontarkan Zeze.Zeze menunduk bingung sekaligus tersenyum dalam diam. Senang hati mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang dia suka walaupun bohongan, tapi bingung harus mer
Tepat jam 8 malam, Zeze telah muncul di lobby hotel yang dimaksud dan berkali-kali menelepon Mira sebagai orang yang mengundangnya. Tapi tak kunjung diangkat.Ivan yang terganggu dengan maksud terselubung Mira, diam diam mengikuti Zeze sejak mereka pulang dari kantor. Syukurnya ia berhasil membuat gadis itu sibuk dan sedikit pulang terlambat hingga taka da waktu untuk mengganti pakaiannya sesuai instruksi Mira.Tak lama Mira dan teman-temannya muncul. Mereka semua tampak asing. Pria berjumlah tiga orang dan dua wanita lain yang tak pernah Zeze jumpai sebelumnya. Kini berjalan mendekat ke arahnya.“Kok kamu gak ganti baju?” tanya Mira kesal.“Saya baru selesai lembur dan langsung ke sini, bu.” jawab Zeze tak nyaman. Ia lalu meremas kemeja besarnya saat seorang laki-laki di antara yang datang bersama Mira memandang ke arah dadanya dengan tatapan nafsu.“Yaudah, yuk ke bar dulu. Soalnya partynya belum dimulai.” seringai Mira licik.Mira menggandeng tangan Zeze d
Di café milik teman Zanna saat ini sedang banyak pengunjung datang. Untnung milik temannya, jadi privasi Zanna agak dilindungi. Ada satu ruang khusus yang biasa dipakainya untuk menenangkan pikiran.“Selamat datang!” ucap salah satu pramusaji ketika ia lihat pria ganteng memasuki cafenya.“Dimana Sana Agustian?” tanya Satrio yang setengah jam lalu ditelepon Zanna dan meminta bertemu untuk membahas masalah mereka.“Ikut saya, mas!” seru pramusaji tadi setelah puas memandang keindahan Sat.Sat mengikuti langkah pramusaji ke lorong belakang dekat dapur mereka. Agak horror. Rasanya sudah seperti berada di sebuah adegan mengunjungi tempat jagal manusia di film thriller.“Silahkan, mas.”Sat yang masih berdiri di balik pramusaji terkesima memandangi ruangan di dalamnya yang kontras dengan jalan masuk menuju ke sini. Ruangan kecil itu sudah disulap bak kamar yang dikhususkan untuk Zanna. “Hai, calon suami aku!” sapa Zanna duduk santai ditemani dua gelas greent
“Aduh, adik cantik kamu gak apa-apa?” tanya si empunya musang itu tak kalah panik melihat piaraannya melukai seorang gadis kecil imut nan menggemaskan.Masih berusaha mendiamkan anak kecil yang menangis itu, si empunya musang meniup-niup luka cakaran yang tergambar dua garis di pergelangan kaki kanannya. Sang kakak kembar juga heboh sendiri dengan keadaan adiknya.“Adik cantik, ikut om ke klinik ya, kita obtain lukanya. Mama kalian mana?”Semula menangis kencang, Ailin mendadak tenang. Tangisnya berhenti ketika ia lihat ketampanan si empunya musang (anak kecil, anak kecil). Malah jadi Alan yang menangis sekarang.Mendengar suara heboh dan rebut-ribut yang sangat familiar, Zeze bergegas ke tempat kerumunan. Benar saja, ia melihat Ailin sedikit terisak dengan kondisi kaki yang mengucurkan darah dan Alan yang menangis tersedu-sedu.Zeze langsung mengambil tissue dan membasahinya dengan air mineral yang ia pegang. Lalu mengelap ke luka anak itu. Matanya tetap fokus p
“Oke Zanna, lihat kiri! Lagi! Good!.”Pujian demi pujian diucapkan seorang fotographer setiap kali ia puas dengan hasil jepretan epic nya mengabadikan momen terbaik Zanna saat melakukan pekerjaannya.Ini adalah pemotretan ke tiga yang harus Zanna jalani seharian ini di samping schedule lainnya. Namun tubuhnya sudah terasa remuk redam. Ingin sekali ia rebahan setiap melihat sesuatu yang empuk. Tapi semua harus diurungkan demi sebuah profesionalitas.Kring. Kring. Suara hp terus berbunyi mengganggu konsentrasi sang fotographer. Padahal sudah direject, tapi tetap saja hp nya kembali berbunyi.“Hp siapa itu? Bisa diamtikan gak? Ganggu orang aja. Bawa pergi!!!” bentak si fotographer yang terkenal tempramen itu.Semua orang diam dibentaknya. Hanya manajer Zanna yang berani buka suara hingga bergea di seluruh studio. “Milik Zanna, bang Ai.”Fotographer itu tertegun, jika ia tahu hp itu milik Zanna, ia tak akan marah dan teriak-teriak seperti kingkong minta kawin. Ma
Seno baru selesai mengerjakan ‘pekerjaannya’, akhirnya balik ke mode work hard setelah Sat mengingatkannya ke jadwal berikutnya, yaitu bertemu klien dari pabrikan minuman ringan.Sebenarnya Sat lelah mendampingi Seno. Ingin beristirahat dan sekali-sekali ia yang main game online di depan bosnya tersebut. Namun, rasa tanggung jawab yang menyelimuti hatinya, jadilah ia ikut kemanapun jadwal Seno menyebar.“Bu Fira, pak!” bisik Sat ke Seno yang hendak memencet tombol tutup.Dengan sigap Seno menahan pintu agar kesempatannya untuk melihat Fira dari deakt tak dibuang begitu saja. Dan seperti biasa ya, Seno selalu dibuat gugup saat berhadapan dengan Fira. Bahkan membuat lift yang kokoh itu mendadak terguncang karena getaran kaki Seno.“Pak, tolong kendalikan diri anda!” bisik Sat lagi. “Gak bisa, gak bisa. Saya gugup.” geleng Seno cepat.Sat menyenggolkan bahunya ke punggung Seno, isyarat agar si bos tak mengisi waktu kekosongan ini d
Satu jam setelah datangnya perintah sang kaisar, Ivan.“Ini pak, laporan rapatnya.” Zeze menyerahkan beberapa lembaran kertas yang katanya laporan rapat.Ivan mengambil berkas itu, tentu saja dengan tatapan curiga. Pegawai yang absen saat rapat lantas bisa menyelesaikan laporan rapat. Pura-pura ia membolak-balik kertas itu seolah tak puas. Sementara matanya masih menelisik Zeze yang mengalihkan pandangan ke arah Wawan di luar ruangan Ivan.Ya, kan. Bagaimana bisa Zeze mengerjakan laporan sedangkan ia mangkir dari rapat. Ternyata ada malaikat kesasar yang sudah membantunya. Mendadak Ivan sakit kepala. Ia memejamkan sejenak matanya untuk mengontrol emosi.“Selain penampilan anehmu itu, apa tidak ada yang bisa kamu kuasai? Ha?” sentak Ivan membanting lembaran kertas laporan tadi. Dejavu. “Ini kamu bilang laporan? Anak SMP bahkan bisa lebih bagus mengerjakannya! Ulangi!” titah Ivan.&ldq
Zeze mengikuti langkah Sat menuju lantai 4 dimana ruang CEO berada. Ia tetap menurut meski hatinya bingung dan penasaran mengapa ia harus dibawa ke sana untuk dihukum.“Masuk!” perintah Sat membawa Zeze masuk ke ruangannya.Seno menyadari kehadiran Zeze, secepat mungkin ia membuang hp nya ke sembarang tempat. Ia tak ingin ketahuan oleh keluarga Ramli manapun mengenai hobby nge-game online nya. “Duh, padahal lagi clutch tuh,” batinnya.“Kenapa kamu bawa pegawai ke sini?” tanya Seno berpura-pura sembari memberi isyarat ke Sat melalui matanya dan terus menanyakan kenapa, dan kenapa? Mungkin karena sedang nanggung kali ya nge-game-nya.“Di jam kantor begini, bisa-bisa nya…” batin Sat tak habis pikir melihat kelakuan Seno yang sudah melampaui manusia normal. “Dia mengacaukan laporan tahunan. Karena ketua-nya yang akan memberikan itu langsung ke anda, saya berniat mengont