“Ada apa, Non?” tanya seorang perempuan yang diperkirakan berusia sekitar 45 tahun. Aku tidak menjawabnya hanya memandang dengan kewaspadaan tinggi—khawatir jika dia berniat tidak baik. “Saya pembantunya Tuan Thomas.”
“Saya tidak apa-apa, hanya mimpi buruk,” ucapku setelah yakin dengan jawaban yang dia berikan, “saya mau pulang!” Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil blazer serta tas yang teronggok di atas meja rias. Perempuan yang tadi masuk berusaha untukDilema, itu yang aku rasakan saat ini, bagaimana tidak, satu sisi ingin pergi meninggalkan tempat yang menurutku adalah neraka, tapi di sisi lain ada seorang ibu yang memohon demi kelangsungan masa depannya. Bukan hanya soal perempuan tadi, tapi juga anak-anaknya yang masih kecil. Apakah aku harus belajar egois saat ini demi masa depan diri sendiri atau diam begitu saja?“Saya mohon, Nona,” katanya sambil menangkupkan tangan di depan dada bahkan kini dia sudah berlutut memohon belas kasihku. Aku kembali menatapnya sekilas dan kemudian menatap pintu yang masih tertutup. Melangkah atau tetap diam di sini?Sejenak aku menunduk memikirkan semuanya, masalah hidup yang jauh dari kata sedikit dan ringan selama ini membebani, aku mampu untuk berdiri di atas kakiku sendiri. Namun dia, seperti apa hidupnya sampai memohon hingga berlutut tanpa memikirkan lagi harga dirinya. Aku, apakah akan mampu berperilaku seperti itu jika hal berat menghampiri? Tentu sa
“Keluar!” Suara seseorang itu terus terngiang di telinga hingga membuatku harus menutup indra pendengaran dengan cepat. Kejadian demi kejadian berputar di dalam otak bagai sebuah film yang sedang tayang, membuat lubang di lubuk hati terbuka semakin besar. “Pergi!” kataku dengan suara lantang berusaha mengusir apa pun yang kini berada di dalam otak. Kali ini saja ingin hidup tenang, tanpa ada bayangan kejam yang menyiksa jiwa dan raga. “Aku tak pernah menyakitimu, kenapa kamu menyakitiku tanpa ampun?” Air mata tanpa terasa telah luruh membasahi pipi yang sudah tak pernah lagi teroles make up. Bibir yang biasanya tersenyum manis kini bergetar hebat. Bukan hanya bibir, tapi tubuh ini pun bergetar. Setiap kali kenangan itu datang, maka tubuh akan memberikan reaksi berlebih. Sudah coba ditahan, tapi tak pernah berhasil karena besarnya pengaruh hal itu. Gilakah aku? Tidak, aku menolak untuk disebut gila karena semuanya baik-baik saja. Aku masih bisa ber
Suara sepatu memecah keheningan ruangan yang tertata dengan rapi. Tidak ada ketukan, tapi suara sepatu itu begitu nyata. Tanpa melihat ke arah orang yang memasuki ruang kerja, aku sudah tahu siapa pelakunya dan sangat tidak penting untuk memerhatikan orang itu. Pekerjaan yang sedikit menumpuk jauh lebih penting dibanding dia yang datang untuk hal sepele. “Gab.” Suara lembut terdengar begitu jelas, tapi tetap tidak membuatku mengalihkan pandangan meski hanya sesaat. Fokusku tetap saja pada laptop yang menampilkan barisan huruf berisi rencana pemasaran produk yang tidak lama lagi akan segera launching. “Gab, nanti malam kita jalan yuk!” Aku tak menanggapinya, karena sedang diburu waktu. Tak ada waktu untuk menemaninya berbicara karena tidak puluh menit lagi Mr. Thomas meminta rencana pemasaran produk. Ini merupakan hidup dan mati karirku, jika sampai tidak tepat waktu, maka sudah dipastikan sang bos besar akan marah dan bisa menyebabkan sesuatu yang buruk terja
“Kamu kenapa, Gab?” tanya Mr. Thomas sambil mengelus pipiku hingga membuat bibir ini semakin bergetar dan memundurkan langkah. “Kamu tidak apa-apa, Gab?” Kata-kata yang keluar dari bibir Mr. Thomas seperti sebuah sembilu mengoyak jiwa tanpa ampun. Dada berdegup dengan begitu kencang. Bulir-bulir bening tanpa terasa sudah membasahi pipi. Kaki semakin kumundurkan untuk menjaga jarak dengan sang pimpinan perusahaan. Entah apalagi yang ada dalam pikiranku saat ini, yang jelas rasa takut kembali menyelimuti diri. “Pergi!” teriakku sambil menutup telinga dan membalikkan badan. Bayang-bayang kelam kembali berjalan di dalam otak bagai sebuah film mengerikan. Semakin aku menutup mata, maka bayangan itu terlihat semakin jelas. “Aku tidak ingin lagi melihat semuanya, pergi!”Kurasakan sebuah pelukan erat dan sesekali kecupan mendarat di pucuk kepala. Tidak peduli siapa yang melakukan hal itu, yang jelas, saat ini otakku sedang sangat kacau. Tubuh masih bergetar h
Kulangkahkan kaki menyusuri koridor kantor yang mulai sepi. Jam memang sudah menunjukkan pukul 17.30, yang artinya sebagian banyak karyawan sudah pulang, yang tersisa hanya beberapa karyawan yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Aku sendiri memang belum pulang karena harus menyelesaikan laporan yang sempat terhenti pengerjaannya karena pergi ke roof top. Bukan sebuah kesalahan pergi ke sana, karena aku memang membutuhkan ketenangan dan menghindar dari Pricilia. Namun, keputusan itu nyatanya kurang tepat mengingat apa yang terjadi di sana. “Kenapa?” tanya seorang pria yang membuatku menoleh ke arahnya, dan dia adalah Aries. “Setelah menghilang selama beberapa saat dan sekarang muka ditekuk seperti itu.” Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan menghitung waktu yang aku habiskan percuma. Tidak, bukan berada di roof top karena di sana hanya sampai gadis itu ditarik turun dan mendengar sedikit ungkapan hati Mr. Thomas, tapi setelah itu aku memi
“Biar saya antar,” kata Mr. Thomas saat kami sudah berada di depan kantor dan kali ini sukses membuat kilasan-kilasan masa lalu kembali menghantui. Aku mundur selangkah dan tubuh mulai bergetar hebat. Ingin berteriak tapi lidah ini kelu. Ada bagian di dalam diri yang menolak kisah berulang, suatu ketakutan yang berusaha kuhindari sejak dulu. Pandangan sedikit kabur karena air mata yang siap meluncur tanpa tahu malu. Tangan berusaha menggapai apa pun yang berada di dekatku untuk dijadikan pegangan agar tubuh ini tidak ambruk. “Ayo!” ucap Mr. Thomas saat sebuah sedan berwarna hitam sudah terparkir tepat di hadapan kami. “Ti ... tidak perlu, Pak,” jawabku setelah berusaha untuk mengendalikan diri agar terlihat biasa di hadapan sang bos. “Ini sudah malam dan saya tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri,” ucapnya sambil membukakan pintu penumpang, “kamu tidak membawa kendaraan bukan?” Antara takut dan kaget, itulah rasa
Angin malam berembus dengan begitu perlahan menyapa kemeja yang sedari pagu kukenakan. Blazer yang menjadi lapisan terluar telah kulepaskan sejak beberapa saat lalu. Air mata masih saja mengalir tanpa mau ditahan meski hanya sejenak saja. Langkah kaki mulai sempoyongan bagai orang mabuk, tapi terus kupaksa untuk melewati jalanan yang mulai sepi. Malam begini cukup sulit untuk mendapatkan taksi, tapi aku juga tidak mungkin menerima tawaran Aries, ini bukan aib tapi aku tidak ingin orang lain mengetahui semuanya. “Taksi, Mbak?” tawar seseorang yang baru saja kulewati. Sejenak aku melihat tampilannya dari atas ke bawah, kemudian melirik sebuah mobil sedan yang terparkir di sampingnya. Keadaanku memang sedang tidak baik-baik saja tapi otak ini masih bisa berpikir secara jernih, tidak ada taksi tanpa keterangan. Jangan bilang soal taksi online, karena aku tidak memesannya jadi tidak mungkin tiba-tiba ada menawarkan diri. Tanpa mengindahkan perkataan lelaki i
“Aku di mana?” tanyaku saat mulai membuka mata dan menyadari jika kini tidak berada di kamarku. Sebuah kamar bercat putih dengan beberapa pernak-pernik yang sangat feminin seperti gorden bergambar bunga, hiasan dinding yang juga bercorak bunga. Beberapa kali mengedarkan pandangan—melihat apakah ada orang di sini—tapi nihil karena tidak ada siapa pun selain diriku. Kubereskan rambut dan tempat tidur sebelum akhirnya melangkah ke luar kamar mencari sang pemilik kamar. Saat ke luar, terpampang sebuah rumah yang cukup mewah dengan interior bergaya classic, sangat berbeda dengan kamar yang begitu modern. Aku kembali mengedarkan pandangan tapi masih saja tidak menemukan siapa-siapa hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai dasar rumah. Tangga kayu membentuk setengah lingkaran menjadi penghubung lantai dasar dan lantai dua rumah. Perlahan aku melewatinya bagai seorang pencuri yang takut ketahuan si empunya rumah. “Kamu tahukan siapa dia?” Terdengar suar
Dilema, itu yang aku rasakan saat ini, bagaimana tidak, satu sisi ingin pergi meninggalkan tempat yang menurutku adalah neraka, tapi di sisi lain ada seorang ibu yang memohon demi kelangsungan masa depannya. Bukan hanya soal perempuan tadi, tapi juga anak-anaknya yang masih kecil. Apakah aku harus belajar egois saat ini demi masa depan diri sendiri atau diam begitu saja?“Saya mohon, Nona,” katanya sambil menangkupkan tangan di depan dada bahkan kini dia sudah berlutut memohon belas kasihku. Aku kembali menatapnya sekilas dan kemudian menatap pintu yang masih tertutup. Melangkah atau tetap diam di sini?Sejenak aku menunduk memikirkan semuanya, masalah hidup yang jauh dari kata sedikit dan ringan selama ini membebani, aku mampu untuk berdiri di atas kakiku sendiri. Namun dia, seperti apa hidupnya sampai memohon hingga berlutut tanpa memikirkan lagi harga dirinya. Aku, apakah akan mampu berperilaku seperti itu jika hal berat menghampiri? Tentu sa
“Ada apa, Non?” tanya seorang perempuan yang diperkirakan berusia sekitar 45 tahun. Aku tidak menjawabnya hanya memandang dengan kewaspadaan tinggi—khawatir jika dia berniat tidak baik. “Saya pembantunya Tuan Thomas.” “Saya tidak apa-apa, hanya mimpi buruk,” ucapku setelah yakin dengan jawaban yang dia berikan, “saya mau pulang!” Aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil blazer serta tas yang teronggok di atas meja rias. Perempuan yang tadi masuk berusaha untuk
“Tidak bisakah kamu istirahat saja di sana tanpa harus mengusik hidupku lagi?” tanyaku yang baru tersadar akan kenangan itu saat sebuah panggilan masuk ke ponselku. “Gabriela di sini, ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ke ruangan saya, sekarang!” Sebuah perintah yang tidak bisa ditawar dari sang bos yang entah kenapa memilih untuk menghubungi melalui ponsel pribadi daripada telepon kantor.Setelah menutup panggilan, aku mengambil file yang tadi diserahkan Pricilia sesaat sebelum istirahat. Setiap lembar aku periksa dengan teliti untuk memastikan tidak ada hal yang terlewat meski satu kata. Setelah yakin semuanya sempurna, aku langsung beranjak ke ruangan Mr. Thomas di lantai atas gedung.Sebuah pintu kayu besar kini ada di hadapanku dalam kondisi terbuka. Di dalam sana ada sepasang kekasih yang sedang memadu kasih, ingin beranjak dari tempat ini tapi tidak mungkin karena akan membuang waktu. Tetap berada di sini pun bu
“Jelaskan, Gab!” desak Aries saat aku hanya bungkam mengenai maksud dari kata-kataku sebelumnya.“Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena kenyataannya memang hanya di alam baka kami bisa bicara, jika Tuhan mempertemukan,” terangku sambil membuka laptop dan tidak lagi menghiraukan apa yang dikatakan Aries hingga akhirnya dia pergi.Sepeninggal Aries, aku terdiam menatap pintu yang kini telah tertutup rapat. Bayangan-bayangan mengenai Arnold bermain-main di dalam otak. Bagaimana lelaki yang dulu menghiasi hari-hari dengan keindahan kini mendengar namanya saja aku sudah sangat enggan. Apalagi jika harus bertemu dengan dia meski bukan lagi raganya.***“Non,” kata Mbok Nah di hari di mana aku baru saja kembali dari seorang psikiater, “ada Polisi di bawah ingin bertemu dengan Nona.”Polisi, sebuah instansi yang dalam mimpimu tidak ingin aku berurusan dengan mereka, tapi
Suasana kantin siang ini sama seperti biasanya, ramai dan penuh dengan para karyawan yang sedang menyantap makan siang mereka sebagai bekal tenaga untuk kembali bekerja. Aku duduk berdua dengan Pricilia, dan obrolan kami seperti biasanya mengenai Aries. Bahasan mengenai lelaki yang satu itu tidak akan pernah ada habisnya jika bersama Pricilia. Mulai dari outfit yang dipakai hingga kegiatan Aries akan dia bicarakan secara detail, dan aku jelas sudah bosan membicarakan hal itu. Kenapa? Terlalu sering dan Aries sendiri tidak pernah merespons Pricilia padahal dia tahu kalau gadis itu menyukainya.Berulang kali aku sudah mengatakan kepada Pricilia mengenai perasaan laki-laki yang satu itu, tapi dia tidak peduli. Menurutnya, selama janur kuning belum melengkung maka masih bisa diusahakan. Padahal, mana ada janur kuning melengkung di kediaman mempelai laki-laki, Pricilia memang terkadang tidak beres pemikirannya. Namun, di balik sifatnya yang ceplas-ceplos dan terkadang sepert
Aku menarik napas dalam saat tiba-tiba ponsel Mr. Thomas berbunyi, setidaknya kali ini terselamatkan dari pertanyaan yang sangat tidak penting. Mr. Thomas berlalu dari ruang rapat setelah menjawab teleponnya meninggalkanku seorang diri. Beberapa kali kuhirup napas dalam hanya agar diri ini sedikit lebih tenang. Sikap Mr. Thomas tadi membuatku sedikit takut, kilasan masa lalu pun kembali menyapa hingga membuat tubuh bergetar dan keringat mulai bercucuran.“Kenapa obat itu tidak berpengaruh apa-apa sekarang? “ tanyaku bermonolog. “Bukankah seharusnya membuatku lebih tenang dan bisa mengendalikan diri?”Kuremas kertas yang ada di hadapan tanpa peduli apakah itu bagian dari file penting atau hanya sebuah kertas biasa. Saat ini yang aku butuh kan adalah pelepasan dari semua keadaan yang menyelimuti diri. Aku terus meremasnya hingga terdengar suara robek tapi tidak dihiraukan. Rasa yang menyelimuti jiwa perlahan mulai membaik hingga akhirn
“Non,” kata Mbok Nah membuatku kembali dari bayangan masa lalu yang indah tapi menjadi awal petaka dari semuanya. Hal yang seharusnya menghilang dari ingatan tapi sudah bertahun masih juga bersemayam dengan indahnya. “Ah, ada apa, Mbok?” tanyaku sambil melepaskan gantungan dari tempatnya semula. “Non melamun ya tadi?” tanya Mbok Nah dengan begitu perhatian. Perempuan berusia setengah abad itu memang sangat perhatian, tidak jarang dia memberlakukanku seperti anak kecil. Buatku, dia seperti ibu yang sesungguhnya jika dibanding mama. “Tidak apa, Mbok,” ucapku sambil tersenyum agar dia tidak lagi khawatir dengan keadaanku, “ini tolong dibuang ya, Mbok!” Membuang semua benda yang akan mengingatkan kepadanya adalah hal terbaik yang harus dilakukan. Aku sadar betul, semua yang terhubung dengan dia adalah sebuah petaka dan harus dienyahkan dari hidup. Dia yang menyuguhkan cinta begitu indah, tapi dia pula yang memberikan luka begitu dalam hing
Mama, wanita yang sejatinya adalah orang yang akan selalu memberikan apa pun yang diinginkan anak-anaknya menjadi sebuah ketakutan tersendiri. Bagian dari masa lalu yang ingin dihindari tapi aku sepenuhnya sadar bahwa tidak akan bisa melakukannya. Mama masih menjadi orang masa kini dan akan selalu ada dalam hidup sekeras apa pun aku menghindar. Bertahun memutuskan tidak pulang, tapi wanita yang telah melahirkanku itu terus datang mengusik meski kadang hanya bertemu beberapa jam saja.Kuenyahkan semua pemikiran mengenai mama dan memilih untuk menatap mobil yang hampir lima tahun tidak kugunakan. Sejak kejadian itu, aku memang memilih untuk menggunakan kendaraan umum, daripada di tengah jalan semua masa lalu itu hadir hingga akhirnya menyebabkan kecelakaan. Baik jika hanya aku saja yang mati, bagaimana jika orang lain yang mati sedang aku selamat? Andai itu terjadi, maka seumur hidup aku tidak akan bisa memaafkan diri sendiri.“Non, mau ...,” kata
“Aku di mana?” tanyaku saat mulai membuka mata dan menyadari jika kini tidak berada di kamarku. Sebuah kamar bercat putih dengan beberapa pernak-pernik yang sangat feminin seperti gorden bergambar bunga, hiasan dinding yang juga bercorak bunga. Beberapa kali mengedarkan pandangan—melihat apakah ada orang di sini—tapi nihil karena tidak ada siapa pun selain diriku. Kubereskan rambut dan tempat tidur sebelum akhirnya melangkah ke luar kamar mencari sang pemilik kamar. Saat ke luar, terpampang sebuah rumah yang cukup mewah dengan interior bergaya classic, sangat berbeda dengan kamar yang begitu modern. Aku kembali mengedarkan pandangan tapi masih saja tidak menemukan siapa-siapa hingga akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai dasar rumah. Tangga kayu membentuk setengah lingkaran menjadi penghubung lantai dasar dan lantai dua rumah. Perlahan aku melewatinya bagai seorang pencuri yang takut ketahuan si empunya rumah. “Kamu tahukan siapa dia?” Terdengar suar