TRAGEDI CINTA BUNGA
Penulis : David KhanzBagian : 3Episode : Drama Romantis Di Bawah Percik Gerimis"Ada apa, Mud?" tanya Abah Targa seraya menoleh ke belakang, menatap sesaat pada Juragan Mahmud. Sebentar kemudian berganti memperhatikan wajah Bunga yang sembab dan masih menyisakan isak tangis.Lelaki berkumis putih tersebut tampak salah tingkah. Dia menjawab terbata-bata dengan mengatakan tidak ada apa-apa. " … B-barusan aku hampir tersandung, Bah," ujarnya lekas menunduk, menghindari tatapan mata sosok Tetua Adat Kampung Sarawu tersebut.Abah Targa melanjutkan langkah seperti sebelumnya, usai menengok ke sebelah lain, dimana kini gantian Dillah yang menggendong Syaiful. Sementara Syahrul dan Amrul mengapit dari belakang.Begitu pula dengan Bunga, sesekali gadis itu pun melihat-lihat kondisi sang kekasih yang mengerang-erang kesakitan di sepanjang perjalanan. Tidak menyangka sama sekali jika hari ini, kebersamaan mereka berdua akan berakhir seperti itu.'Ya Allah … semoga saja Kang Iful tidak apa-apa,' kata Bunga berdoa di dalam hati. 'Padahal kami tadi hanya menumpang berteduh dari hujan di saung itu. Sama sekali tidak melakukan apa pun di sana, seperti yang disangkakan Ayah.'Gadis itu masih tidak bisa mengerti, bagaimana ayahnya bisa mengetahui keberadaan mereka di gubuk tersebut. Sejak seharian siang tadi, dia memang sudah mengadakan temu janji dengan Syaiful untuk bermain-main di lepas pantai. Mengobrol dan bercanda seperti biasa, sampai kemudian hujan pun turun secara tiba-tiba."Kita berteduh di sana, Neng. Aku tahu, ada saung kecil yang bisa kita jadikan tempat sementara buat berteduh," ujar Syaiful seraya menarik tangan kekasih dan berlari-lari memasuki hutan bakau tadi. Tidak begitu jauh dari lepas pantai tadi dan di sana pula dua sejoli itu berlindung dari rintik hujan lebat.Sebuah gubuk kecil beratap dedaunan kering dengan tiang pemancang berbahan ranting-ranting pohon bakau. Memang tidak terkena hujan secara langsung, tapi rembesan airnya yang mengalir melalui celah-celah yang bolong, lama-lama turut membasahi pakaian mereka berdua di sana."A-apa kita pulang sekarang saja ya, Kang?" tanya Bunga mulai menggigil kedinginan. "A-aku takut … Ayah akan mencari-cariku. S-soalnya … tadi waktu pergi, a-aku tidak bilang-bilang pada Ayah."Syaiful menengadah, mengintip langit kelabu di antara atap gubuk dan rimbunan dedaunan pohon bakau di atas sana. Tampaknya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Sementara gelegar petir saling bersahutan, membuat duduk Bunga kian merapat ketakutan."Jangan sekarang, Neng. Ini terlalu berbahaya buat jalan di tengah hujan begini," jawab lelaki tersebut. Dia melirik ke samping dan mendapati wajah kekasihnya tampak pucat. "Kamu kedinginan, Neng? Sebentar … aku buka baju dulu, ya."Syaiful melepaskan baju dan menyelimuti badan Bunga yang sudah basah kuyup. Lantas memeluk sang kekasih dari samping untuk memberi sedikit kehangatan. Setelah itu keduanya saling terdiam di tengah-tengah tangisan alam serta cahaya kilat menyilaukan. Tidak ada yang sempat diperbincangkan, terkecuali berharap sekali agar hujan segera mereda dan mereka pun bisa kembali pulang. Namun nyatanya, yang dinanti-nanti tidak kunjung tiba. Hingga akhirnya gadis itu pun tertidur pulas berbantalkan pangkuan kedua kaki sang kekasih.'Hhmmm … cantik sekali rupamu, wahai kekasih,' membatin lelaki tersebut sambil menatap lekat wajah Bunga. 'Aku tidak mengerti, mengapa dia bisa jatuh hati padaku? Sementara ada banyak lelaki di luar sana yang berharap bisa memperistri kekasihku ini.'Syaiful tersenyum-senyum sendiri menikmati pemandangan indah di depan matanya. Seorang gadis berusia 23 tahun, anak semata wayang Juragan Mahmud, seorang pesohor Kampung Sarawu yang terkenal hartawan. Sebagian besar hasil kekayaannya tersebut adalah hasil menangkap ikan dari banyak perahu yang dimiliki. Hampir separuh dari warga kampung setempat bekerja pada laki-laki tua berusia 50 tahun itu.Sementara itu, Syaiful sendiri adalah seorang laki-laki miskin yang hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia ketika dia masih berusia remaja. Kini di usianya yang sudah menginjak 25 tahun, hidup mandiri dan tinggal di sebuah hunian sederhana. Tidak seberapa jauh dari kediaman keluarga Bunga sendiri. Dalam kesehariannya, Syaiful juga bekerja sebagai nelayan pada Juragan Mahmud.'Sejak awal aku melihat dan mengenalmu, sama sekali aku tidak pernah membayangkan jika akhirnya kamu akan melabuhkan pilihanmu itu padaku, Bunga sayang,' imbuh kembali lelaki tersebut berucap di dalam hati. 'Padahal di mata Juragan Mahmud ayahmu, aku sama sekali tiada berharga apa pun.'Lagi-lagi senyum Syaiful terulas semringah, seraya memayungi wajah Bunga dari percik air hujan yang jatuh melalui sela-sela atap gubuk, menggunakan telapak tangan. Sebentar kemudian jemarinya bergerak hendak menyentuh halus kulit pipi perempuan tersebut, tapi lekas menarik jauh kembali, mengurungkan niat nakal yang mulai membisiki.'Ah, tidak!' Syaiful mengurungkan maksud hati. 'Aku tidak boleh mengotori kebersamaan kami ini dengan sesuatu yang belum waktunya diperbuat. Masih terlalu jauh dari rencana semula yang telah kususun sedemikian rupa,' bisiknya lekas menyadari dan lanjut mengontrol diri.Sebagai lelaki normal, tentu saja Syaiful memiliki hasrat tersendiri saat melihat kecantikan wajah sang kekasih. Gadis itu pun mempunyai kulit putih bersih laksana putri keraton, rambut hitam panjang tergerai senantiasa menebar aroma wewangian, dan terakhir berlekuk tubuh semampai bak liukan alat musik berdawai. Tidak ada satu pun cacat di badan yang mengasamkan pandangan.Lama menunggu reda hujan, ditambah suasana dingin di sekitar hutan bakau, tidak sadar Syaiful pun ikut jatuh tertidur dalam posisi terduduk. Berkali-kali kepala lelaki itu terantuk ke depan, hingga akhirnya tidak sengaja menjatuhkan muka tepat di pipi Bunga."K-kang Iful ….?" Seketika gadis itu pun terbangun dan lekas membuka mata. "A-apa yang Akang lakukan barusan?"Syaiful ikut tersadar. Langsung terkesiap dan lekas menjauhkan kepa."A-ahh … maafkan aku, Neng. A-aku tidak sengaja. A-aku tidak bermaksud untuk …." Perkataan lelaki tersebut tidak berlanjut. Dia merasa malu sekali jika harus meneruskan ucapan yang dianggapnya tidak senonoh itu. "Maafkan aku, Neng. Maafkan." Berkali-kali dia mengulangi kalimat serupa di tengah deru air hujan ditempa semesta.Bunga segera bangkit dari posisi goleknya. Mengusap-usap pipi yang tadi sempat dikecup tidak sengaja oleh sang kekasih. Rona merah pun seketika menjalar bias di balik pucat kulit wajahnya yang didera kedinginan. Ada seulas senyum sipu tersembunyi dari pandangan mata Syaiful, karena pada saat bersamaan, kedua sejoli tersebut tidak sedang saling bertatap-tatapan.Tiba-tiba kilatan cahaya dari langit menyentakkan keduanya, disusul gelegar petir seperti membelah sekitar alam yang tengah mereka tempati. Bunga menjerit ketakutan dan refleks mendekapkan diri bersama penyatuan raga di tubuh sang kekasih. Beberapa saat kedua insan berlainan jenis tersebut tenggelam dalam rasa aneh yang mengentak jiwa. Untuk selanjutnya saling mengirimkan pertanda masing-masing menuju satu pertautan baru, tergerak syahdu di antara untaian bahasa kalbu. Akhirnya setelah itu mereka pun …."Mandi air hangat sana dan Ayah tunggu kamu setelah sholat Isya nanti," ujar Juragan Mahmud seraya mengentakkan pegangan di pergelangan tangan putrinya.Bunga tersentak kaget. Baru tersadar gadis tersebut. Kini dia sudah berada di rumah sendiri, usai menempuh perjalanan pulang bersama bayang lamunan."Ayah ….?" ucapnya menatap sosok Juragan Mahmud, lalu mengitari tempat sekitar untuk mencari-cari sosok lain. Tidak ada, terkecuali seorang perempuan tua menghampiri dengan langkah terbungkuk. "Mana Kang Iful? Dibawa ke mana Kang Iful, Yah?"Juragan Mahmud mendengkus masam. Bukannya menjawab, malah menyuruh sosok tua itu tadi agar lekas membawa Bunga ke kamar mandi." … Siapkan air hangat untuk dia, Bi Enok," titah laki-laki tua berusia 50 tahun itu dengan suara datar. "Pastikan agar dia tidak kelayaban lagi seperti tadi siang."Perempuan tua yang dipanggil Bi Enok tadi menghaturkan sembah. "Baik, Juragan," katanya. Kemudian segera mengajak Bunga agar lekas meninggalkan ruangan itu. "Mari, Neng. Bibi bantu ganti pakaian basahnya, ya."Bunga masih tetap bergeming di tempatnya. Dia bertanya hal serupa dan masih ingin mengetahui keberadaan Syaiful yang tadi dibawa oleh ketiga anak buah ayahnya tersebut.Juragan Mahmud enggan menjawab. Sorot mata lelaki tua itu terlihat masih menyisakan rasa kesal dan amarah terhadap perilaku yang diperbuat oleh Bunga dengan Syaiful di gubuk tadi.'Aku penasaran dengan apa yang diucapkan oleh anak muda jahanam itu,' ujarnya di dalam hati. 'Apa benar, mereka berdua telah melakukan perbuatan nista itu? Astaghfirullah … sampai hati sekali jika Bunga benar-benar telah … ah, aku sama sekali tidak ingin membayangkannya.'Juragan Mahmud menghenyakkan diri di sebuah kursi rotan. Wajahnya ditekuk ke bawah dengan berpenopang kesepuluh jari tangan sambil meremas rambut sendiri.'Bagaimana aku bisa mempertanggungjawabkan semua ini di depan Sumiarti nanti … Yaa Allah,' jerit lirih lelaki yang sudah sekian tahun bertahan dalam status duda. 'Aku berusaha menangguhkan keinginanku sendiri demi Bunga anakku. Sekarang … di saat dia telah dewasa, malah menyerahkan kesuciannya kepada anak laki-laki yang teramat kubenci itu!'Jambakkan di rambutnya kian menguat. Pusing bercampur rasa marah dan kecewa yang mendera tiada tara. Padahal sebelumnya, Juragan Mahmud sudah berencana akan menjodohkan Bunga dengan seorang anak pesohor di desa sebelah. Sama-sama dari keluarga hartawan dan terpandang, serta memiliki kedudukan yang membanggakan.'Apakah ini karma yang harus kuterima dari perbuatanku dulu itu? Tapi mengapa harus anakku sendiri yang menanggungnya? Mengapa tidak dijatuhkan saja terhadap diriku? Mengapa harus Bunga?' Beragam pertanyaan silih berganti memenuhi ruang kepala. Hingga isak pun tidak mampu lagi ditahan-tahan. 'Semua ini gara-gara Abah Targa! Ya, dialah biang dari semua kekacauan yang mendera keluargaku!'Tiba-tiba tangis lirih Juragan Mahmud terhenti. Dia mengangkat wajah, memandang ke luar dimana alam sudah semakin pekat menggulita.'Anak muda itu … anak muda itu memang sudah selayaknya aku bunuh!' ujar lelaki berkumis putih tersebut disertai sorot mata menyeramkan. 'Sudah kuduga sejak awal, kehadiran dia di tengah-tengah keluargaku, suatu saat akan membawa masalah besar dan itu terjadi hari ini! Aku harus membuat perhitungan dengan Abah Targa! Karena dia pula, anak muda jahanam itu telah berhasil merenggut kehormatan anak semata wayangku! Biadab!'Juragan Mahmud lekas bangkit dari duduk, lantas melangkah menuju kamar. Tidak berapa lama kemudian, keluar kembali dengan sebilah golok tersoren di pinggang.Bi Enok yang kebetulan baru keluar dari kamar Bunga dengan seonggok pakaian basah di tangan, sempat melihat sosok majikannya berpenampilan seperti itu."Yaa Allah … sesuatu akan terjadi!" gumam perempuan tua itu diiringi gemetar melanda sekujur badan. "Aku harus segera memberitahukan Tetua Adat. Hanya dia seorang yang mampu menghentikan kegilaan Juragan Mahmud."Dengan langkah tersaruk-saruk, Bi Enok segera bergegas ke ruangan belakang, memanggil-manggil nama seseorang di sana."Dirgaaa! Dirgaaa!" teriaknya hampir saja tersungkur di saat hendak menuruni anak tangga.BERSAMBUNGTRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 4Episode : Mengurai Masa LaluTergopoh-gopoh Abah Targa keluar dari dalam kamarnya usai menunaikan ibadah salat Magrib. Ribut-ribut suara dari arah luar, membuat Tetua Kampung Sarawu tersebut lekas bangkit dari atas hamparan sajadah, menunda kebiasaan wirid yang senantiasa dilakukan setelah melaksanakan kewajiban.“Ada apa ini?!” seru laki-laki berusia 60 tahun itu bertanya dengan sorot mata tajam. Lantas melihat-lihat ke arah pekarangan rumah, dimana di sana berdiri sosok Juragan Mahmud, serta beberapa orang yang tergeletak sambil mengerang kesakitan. “Mahmud, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya kembali begitu mengenali siapa yang balik memandang di depan sana, di antara bias cahaya lampu teplok di tiang beranda. Juragan Mahmud mendekat disertai belalak mata menggidikkan. Abah Targa segera menyadari bahwa kedatangan pesohor kampungny
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 5Episode : Pengakuan BungaJuragan Mahmud pulang kembali ke rumah tanpa membawa hasil apa pun. Pertemuannya dengan Abah Targa tadi hanya diisi dengan obrolan-obrolan ringan seputar kejadian sore hari—antara Bunga dan Syaiful—serta sedikit pengingat masa lalu mereka berdua. Niat laki-laki tua itu semula adalah hendak menghabisi pemuda yang telah menodai anak gadisnya, tapi untuk sementara tidak diperkenan oleh Tetua Adat karena yang bersangkutan masih dalam kondisi pengobatan.“Aku sendiri yang akan memberitahumu nanti, kalau anak muda itu sudah pulih,” ujar Abah Targa di jelang pengujung perbincangan. “Untuk sementara waktu, tenangkanlah terlebih dahulu dirimu, Mahmud. Mudah-mudahan saja dia tidak mati dan kau tidak mendapatkan masalah besar karenanya,” imbuhnya kembali seraya menepuk-nepuk bahu Juragan Mahmud.Dengan langkah lunglai, ayah Bunga itu kelu
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 6Episode : Duka Di Antara Gayung AsmaraKeesokan harinya, Juragan Mahmud ditemukan dalam kondisi tergeletak oleh seorang warga Kampung Sarawu di sebuah area pemakaman. Tepatnya di pinggir kuburan mendiang Sumiarsih. Saat diperiksa, beruntung sekali masih dalam keadaan bernapas.Kabar pun tersiar dengan cepat ke seluruh pelosok kampung. Maka Dillah segera menyusul ke astana pemakaman diikuti oleh beberapa pekerja lainnya untuk segera membawa pulang majikan mereka.“Yaa Allah … Ayah!” pekik Bunga langsung memburu tubuh ayahnya begitu tiba di rumah. “A-apa yang terjadi pada ayahku, Kang Dillah?” tanya gadis tersebut pada Dillah, salah seorang orang kepercayaan Juragan Mahmud.“Sabar, Neng. Biarkan Juragan di bawa dulu ke kamar dan diurus oleh kami,” ujar Dillah menahan gerak Bunga yang hendak memeluk tubuh ayahnya. “Nanti setelah semuanya sele
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 7Episode : Perang Dingin“Ada apa dengan Ayah saya, Kang?” tanya Bunga tidak sabar dengan sikap Dillah yang tampak ragu untuk menjawab pertanyaannya tadi. Karena hal itu pula, gadis tersebut nekat hendak ikut masuk ke dalam kamar.Dillah berusaha menahan dan menghalang-halangi, lalu berseru, “Jangan dulu masuk, Neng! Biarkan Juragan beristirahat untuk sementara waktu!”Bunga tetap memaksa. Berusaha masuk dengan cara mendorong-dorong badan anak buah ayahnya sekuat tenaga.“Itu ayahku sendiri, Kang! Jadi … biarkan saya masuk sekarang juga!” ujar gadis tersebut kesal.Di saat-saat ribut itulah, sosok Ki Sanca muncul. Dia keluar dari dalam kamar beserta beberapa orang lainnya. Kemudian mengajak Bunga untuk bersama-sama duduk dan menjelaskan keadaan Juragan Mahmud.“ … Juragan harus banyak beristirahat selama beberapa
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 8Episode : Misteri Makhluk Berwajah AnjingSesosok hitam tiba-tiba melesat ke arah Mahmud disertai geram menyeramkan laksana suara binatang buas hendak menerkam. Sontak laki-laki muda tersebut terkesiap dan melakukan gerakan mundur untuk menghindar. Hampir saja sesuatu mengenai badan bagian depan. Hanya sepersekian masa singkat dan cepat mengancam salah satu titik terlemah manusia, yakni dada. Dengan sigap, Mahmud lanjut mengentak kaki lebih jauh ke belakang seraya memasang kuda-kuda.“Siapa kau?!” tanya Mahmud masih dengan sisa keterkejutannya, melihat-lihat ke arah sosok tadi muncul dalam pandangan temaram. “Astaga!” Kali ini dia berseru kaget bukan kepalang. Bukan apa-apa, karena penampakan di depannya tersebut sungguh sangat mengejutkan. ‘Makhluk apa ini, Tuhan?’ bergumam kemudian di dalam hati.Dalam kepekatan malam dan dibantu sedikit bias cahaya centir di sana, pandangan mata Mahmud membentur pada satu sosok menyeramkan. Berwu
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 9Episode : Kecurigaan Seorang Mahmud“Sudah seharian ini aku tidak melihat ayahmu, Sum,” ujar Mahmud siang harinya pada sang istri, Sumiarsih. “Bahkan terakhir kali aku bertemu dengan beliau, kemarin waktu acara pesta pernikahan kita usai. Ke mana ayahmu itu?” tanya lelaki tersebut kemudian dengan sorot mata tajam.Sumiarsih yang baru saja selesai mandi, menoleh pada suaminya. Dia membetulkan letak belitan handuk di kepala sebelum menjawab.“Biasanya Ayah ada di rumah satunya lagi, Kang. Ayah memang jarang sekali mau tinggal di sini denganku. Lebih suka berdiam di sana sambil mengurusi pekerjaan,” kata perempuan tersebut tampak santai. “Ada apa? Akang ada perlu dengan Ayah?”Mahmud menghela napas panjang. Pandangannya sengaja dialihkan ke arah lain, guna menghindari tatapan dari Sumiarsih.“Ah, tidak. Aku hanya sekadar bertanya saja,” balas lelaki tersebut dengan benak masih menyimpan beberapa pertanyaan terkait kejadian semalam. “La
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian : 10Episode : Misteri SumiarsihHari itu Mahmud tidak diperkenankan untuk menjenguk Ki Darsan yang sedang dalam perawatan Tabib Sanca. Karena hal itu pula, lelaki tersebut semakin dibuat penasaran dan berkali-kali memaksa untuk menemui mertuanya.“Beliau itu ayah dari istri saya, Abah!” ujar Mahmud merasa kesal sekali pada Abah Langga. “Mengapa sampai berhari-hari saya tidak diperbolehkan menemui mertua saya sendiri?”“Tenanglah, Mahmud,” timpal Tetua Adat Kampung Sarawu itu. “Kondisi dia sekarang, tidak dalam keadaan lebih baik. Kita percayakan saja semuanya pada Saudara Tabib Sanca. Kelak kalau sudah pulih kembali, kau bisa menemui Ki Darsan.”Mahmud tetap tidak mau menerima dan bersikeras. Dia merasa bahwa Abah Langga telah menyembunyikan sesuatu darinya terkait sosok ayah Sumiarsih tersebut. Karena hal itu pula, hampir saja terjadi keributan besar antara anak muda dengan orang tua itu. Untung saja, Targa yang senantiasa mengawal ke
TRAGEDI CINTA BUNGAPenulis : David KhanzBagian 11Episode : Kematian Ki DarsanSumiarsih menghambur peluk pada tubuh Mahmud. Di antara sedu sedannya, kembali perempuan tersebut melanjutkan ucapan, "Mulai sekarang ... saat ini, aku akan memasrahkan diri pada Akang seorang." Lelehan hangat mengalir deras menyusuri pipi dan jatuh membasahi baju Mahmud. "Tolong, jangan tinggalkan aku, Kang. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi."Masih dengan berbagai pertanyaan yang ada di dalam kepala, lelaki itu memutuskan untuk menunda terlebih dahulu desakan rasa keingintahuannya akan perihal masa lalu Sumiarsih dan Ki Darsan, sebagaimana tadi. Dia merekatkan tubuh istrinya semakin dalam lingkar peluk. Membiarkan beberapa saat sampai isak tangis perempuan tersebut mereda.Sebagai menantu dari salah seorang tokoh masyarakat Kampung Sarawu yang berpengaruh, Mahmud mencoba merayu dan mengajak Sumiarsih agar ikut hadir dalam acara pemakaman Ki Darsan. Awal-awalnya masih mendapatkan penolakan, hingga a