Jane sampai di tempat janji temu dengan Diodra tepat waktu. Dia bersyukur karena Glen menjadwal ulang pertemuan ini sehingga ia kembali bisa membangun harapan positif. Dengan percaya diri, Jane melangkah memasuki cafe mewah itu.
"Selamat datang, Nona. Apakah Anda sudah reservasi?" Sambut seorang pelayan begitu Jane masuk.
"Saya ada janji temu dengan Mrs. Diodra. Apakah beliau sudah datang?" jawab Jane balik bertanya.
"Oh, Mrs. Diodra. Beliau sudah datang sejak 5 menit yang lalu. Silakan ikut saya, Nona," jawab pelayan itu ramah.
Pelayan itu berjalan lurus menuju sebuah meja. Dari tempatnya berada, Jane bisa melihat seorang wanita duduk membelakanginya.
"Selamat malam, Mrs. Diodra. Tamu Anda sudah datang."
Diodra menoleh, langsung melebarkan senyum ke arah Jane. Dengan sopan dia berdiri menyambut Jane. Mengulurkan tangan, kemudian menyapa Jane ramah.
"Selamat datang, Ms. Jane. Senang bertemu dengan Anda. Silakan duduk."
Jane menggantungkan tasnya di kursi, kemudian duduk di hadapan Diodra.
"Saya mendapatkan rekomendasi Anda dari Glen Marvel. Dia bilang Anda sudah sering melakukan perkerjaan ini," ujar Diodra membuka percakapan.
"Glen benar, Nyonya. Ini portofolio saya. Mungkin bisa Anda jadikan pertimbangan. Mohon maaf, identitas klien sebelumnya saya samarkan, demi menjaga profesionalitas saya," jelas Jane sambil menyodorkan portofolionya.
"Saya percaya, karena Glen sudah memperlihatkan beberapa hasil rancangan Anda sebelumnya. Jadi begini, saya to the point saja. Saya butuh 10 rancangan untuk koleksi musim panas. Target market adalah wanita usia 25 hingga 35 tahun. Mengingat Indonesia memiliki iklim tropis, jadi sebagian dari rancangan ini akan diluncurkan juga di Indonesia. Dengan detail yang saya sebutkan tadi, kira-kira Anda butuh waktu berapa lama untuk pengerjaannya?"
"Menjelang makanan kita datang, bagaimana kalau saya mulai membuat draftnya. Jika Anda setuju, dalam waktu 2 hari saya bisa tuntaskan detailnya," jawab Jane dengan percaya diri.
"Anda bisa lakukan secepat itu?" tanya Diodra dengan ekspresi tidak percaya.
Jane tidak menjawab, dia fokus dengan buku sketsa yang ada di hadapannya. Melihat keseriusan Jane, Diodra semakin bersemangat.
"Bagus sekali, Ms. Jane. Jika Anda bisa menuntaskannya dalam waktu 3 hari, saya akan lipat gandakan pembayaran Anda," kata Diodra penuh semangat.
Dalam pikirannya, jika Jane bisa menyelesaikan rancangannya dalam waktu 3 hari, maka hasil rancangan itu bisa ia serahkan kepada CEO yang saat ini sedang berada di Indonesia. Jadi dia tidak perlu menunggu aproval bertingkat lagi dari kantor pusat yang pastinya memakan waktu lama. Dengan begitu, dia bisa mendapatkan kredit langsung dari CEO. Jika beruntung ia bisa dipromosikan.
Jane telah menuntaskan 10 draft sketsa saat makanan yang mereka pesan datang. Diodra berdecak kagum melihat semua draft sketsa Jane yang terlihat sempurna dan unik.
"Tidak sia-sia wanita ini dijuluki 'genius sketcher', hasil rancangannya memang menakjupkan," bisik Diodra di dalam hati.
***
Jane sampai di kontrakannya sekitar pukul 10 malam. Setelah membersihkan diri, dia langsung mengerjakan detail dari draft yang ia buat tadi.
Sementara itu, di hotel.
Aaron sedang membaca laporan yang dikirim oleh sekretaris pribadinya. Ekspresinya sangat serius. Sesekali ia menghela nafas panjang, beberapa saat kemudian dia terlihat kesal dan marah. Namun tidak jarang ia juga berdecak kagum.
"Gadis yang sangat sempurna," desis Aaron sambil memandangi foto Jane di layar tabletnya. Jari telunjuknya bergerak tepat di atas gambar wajah Jane, seolah sedang mengelus wajah cantik gadis itu.
"Seandainya saja saat itu kamu tidak keras kepala. Jane ... Jane ... tiga tahun waktumu terbuang sia-sia," desisnya lagi.
Aaron meraih ponselnya, kemudian menambahkan nomor Jane ke daftar kontaknya.
"Bagaimana jika mulai besok, kamu ikuti permainanku?" tanyanya pada foto Jane. Tentu saja foto itu tidak menjawab. Tapi Aaron tetap senyum-senyum sendiri. Dia benar-benar jatuh cinta pada gadis itu.
***
Jane masih terbangun hingga pukul 2 dini hari karena berusaha keras untuk menuntaskan rancangannya.
Disaat ia lagi serius, layar ponselnya berkedip menandakan ada pesan masuk.
"Siapa yang mengirim pesan selarut ini?" Pikir Jane sambil membuka kotak pesannya.
"Kamu masih terbangun atau baru saja terbangun?"
~A.C~
A.C? Siapa A.C? Tanya Jane dalam hati. Merasa tidak mendapatkan clue, Jane meletakkan ponselnya dan kembali melanjutkan perkerjaannya.
Tapi ponselnya kembali berkedip.
"Sepertinya kau sangat sibuk. Bisa luangkan waktu untukku? Aku di depan rumahmu."
~A. C~
Jane diliputi rasa heran ketika membaca pesan yang kedua dari pengirim misterius itu. Dia menyibak sedikit gorden yang berada tepat di samping mejanya. Dari jendela ia melihat mobil berwarna hitam parkir tepat di depan pagar rumahnya.
Jane kembali menutup rapat gorden jendelanya sambil terus berpikir, berusaha memecahkan inisial nama pengirim pesan itu. Sehingga ia tiba pada satu nama yang orangnya baru saja ia lihat tadi malam.
"Aaron Caldwell?" Bisik Jane tidak percaya. Dalam waktu itu ponsel Jane berbunyi. Panggilan masuk dari nomor yang sama. Jane menjawab panggilan itu dengan ragu.
"Ya, ini aku. Aaron," kata lelaki itu seolah bisa membaca pikiran Jane. "Keluarlah, beri aku 15 menit. Aku janji tidak akan memakanmu," lanjutnya kemudian.
Jane meraih cardigannya, kemudian berjalan menuju pintu. Jane mempercepat langkahnya karena ternyata udara malam terasa sangat dingin di kulitnya.
Pintu mobil itu terbuka, tepat saat Jane sampai di pintu pagar. Dari tempatnya berdiri Jane bisa melihat dengan jelas Aaron yang duduk di kursi belakang.
"Masuklah," katanya. Entah pengaruh suasana malam, atau apa Jane pun tidak merasa pasti. Yang jelas suara Aaron terdengar begitu hangat di telinga Jane.
Jane mengikuti permintaan Aaron, ia masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah lelaki itu.
"Apa kabar, Sir?" Sapa Jane berbasa-basi.
Aaron tidak menjawab, justru tertawa kecil mendengar sapaan Jane yang canggung.
"Santai saja, Jane. Tidak perlu canggung begitu. Jangan anggap saya orang asing begitu. Dan jangan panggil aku 'sir'.
"Lantas saya harus memanggil Anda apa?" tanya Jane bingung.
"Terserah. Kau panggil nama boleh. Atau panggil aku 'sayang' juga boleh. Sesukamu saja,' jawab Aaron lagi. Kali ini diiringi dengan suara tawanya yang renyah.
"Saya mana berani selancang itu, Sir," ujar Jane pelan.
"Oh, Jane. Please. Jangan ciptakan jarak denganku. Terimalah aku sebagai temanmu. Serius. Aku kemari hanya ingin katakan itu. Aku ingin berteman denganmu. Jika suatu saat kita bertemu lagi, aku ingin kau lebih santai, dan dengan luwes memanggilku Aaron."
"Apa aku boleh begitu?" tanya Jane ragu.
"Khusus dirimu, boleh. Sekarang coba, panggil aku dengan namaku."
Jane masih menutup mulutnya. Dia melihat ke arah Aaron, dan mendapati sepasang mata biru milik Aaron tengah memandanginya dengan serius, menunggu Jane memanggil namanya.
Dipandangi begitu Jane merasa jantungnya berdebar kencang. Ah, sial. Mengapa aku jadi tidak berkutik begini, sih? Maki Jane di dalam hati.
Jane kembali menoleh ke arah Aaron, ternyata Aaron masih memandanginya dengan serius. Tatapan mereka bertemu, membuat aliran darah Jane terasa panas.
"A ... a ... Aaron," ujar Jane pelan.
Aaron tersenyum lebar mendengar suara Jane menyebut namanya. Sementara Jane kembali menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah menahan grogi.
"Okay. Misiku sudah selesai. Kembalilah ke dalam, lanjutkan perkerjaanmu," ujar Aaron seraya membukakan pintu mobilnya untuk Jane.
Jane segera keluar tanpa berkomentar apa-apa. Jantungnya masih berdegup kencang, jadi ia tidak percaya diri untuk mengeluarkan sepatah kata pun saat ini. Ia khawatir akan dipermalukan oleh suaranya sendiri yang pasti akan bergetar dengan hebat.
Ponsel Jane kembali berkedip saat Jane selesai mengunci pintu.
"Terimakasih, Jane. Aku senang dengan pertemuan kita malam ini. Aku senang mendengar suaramu menyebut namaku. Aku menantikan pertemuan kita selanjutnya. Note: next time pastikan kau melepas maskermu saat menemuiku ~A.C~
Masker? Jane refleks menyentuh wajahnya, dan mendapati masker instan yang masih menempel di wajahnya.
Oh My God.
"Aaarrggh ...," teriak Jane malu. Dengan gusar ia tarik masker itu dan membuangnya ke tempat sampah.
"Aaron Caldwel sialan! Mengapa kau tidak katakan dari tadi?" maki Jane sambil membenamkan wajahnya ke bantal.
Tidak lama setelah Jane masuk ke rumahnya, Aaron langsung tertawa terpingkal-pingkal. Lelaki yang selama ini selalu terlihat serius itu benar-benar sulit menahan dirinya kali ini. Ia tertawa sampai air matanya keluar. Ia tidak menyangka Jane akan menemuinya dengan penampilan selucu itu. Terlebih lagi Jane, tidak menyadarinya, dan dengan percaya dirinya ia bersikap canggung di depan Aaron. Begitu juga Chris yang terpaksa bertugas sebagai supir Aaron malam itu. Meski suara tawanya tidak terdengar, tapi bahunya terlihat turun naik menahan tawa. "Bagaimana pendapat kamu tentang gadis itu, Chris?" tanya Aaron setelah puas tertawa. "Dalam pandangan saya, dia gadis yang baik dan juga lugu. Selain itu dia juga terlihat sangat waspada, Sir. Maaf, jika pendapat saya lancang. Sepertinya dia tipikal perempuan yang sulit untuk didekati," jawab Chris sambil terus mengemudi. "Kau benar. Dia memang tidak mudah didekati. Tapi, bukannya tidak mungkin. Hanya
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cherry. Suaranya tercekat ditenggorokan, sementara jantungnya berdetak kencang. Cherry tidak menyangka sama sekali kalau akan bertemu Glen dalam kondisi dirinya masih mengenakan handuk mandi, di kamar hotel, bersama dengan pria lain, pada waktu dini hari pula. "Justru aku yang seharusnya bertanya, Cher. Apa yang kau lakukan di sini? Dini hari begini? Bersama pria brengsek ini?" Cecar Glen dengan emosi. Dia mendorong Cherry dengan beringas, membuat Cherry kehilangan keseimbangan, hingga terjatuh. Bobby yang tidak menyangka akan kedatangan Glen masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Sungguh ia tidak siap menghadapi Glen yang sedang murka. Semua orang di kota ini tahu siapa Glen. Mantan atlit taekwondo, dengan rekor tak terkalahkan. "Kau salah paham, Sayang. Aku bisa jelaskan, tolong tahan dulu amarahmu," ujar Cherry seraya bangkit. Ia berjalan mendekati Glen, berusaha meredakan amarahnya dengan
Diodra melangkah dengan perasaan berdebar menuju lift. Ketua tim desain baru saja memberitahukan bahwa CEO meminta Diodra untuk datang ke ruangannya. Selama di dalam lift Diodra tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Dia meyakini akan mendapatkan apresiasi yang melimpah dari bosnya berkat desain untuk koleksi musim panas yang ia berikan kali ini. Setelah lima tahun berkerja di perusahaan Caldwell Company, ini adalah pertama kalinya Diodra dipanggil keruangan bos besarnya itu. Selama ini ia hanya bisa mengagumi sosok tampan CEO itu lewat rekaman video yang diputar saat meeting. Diodra menghela nafas panjang begitu sampai di depan pintu kaca yang tingginya mencapai lima meter. Ruangan CEO memang dirancang khusus memiliki ruangan yang luas dan langit-langit yang tinggi, sehingga meskipun diisi oleh banyak orang ruangan itu tidak akan terasa panas. "Masuk!" suara bariton terdengar sesaat setelah Diodra mengetuk pintu. Diodra membuka pint
Malam itu, langit tampak cerah dihiasi ribuan bintang. Angin sepoi-sepoi pun berhembus, menghadirkan udara yang sejuk sehingga membuat orang-orang tidak ingin berdiam diri di rumah. Mereka ingin menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan atau hangout dengan orang-orang terkasih. Pukul 8 kurang 5 menit, Aaron tiba di galeri kota. Rona wajahnya tampak sangat bahagia. Dia menyempatkan diri untuk berkaca, sekedar merapikan rambut sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berwibawa, Aaron melangkah menuju galeri. Sambil menunggu Jane, ia putuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lobby yang memajang beberapa benda seni. Selang beberapa menit, ia menoleh ke pintu, berharap orang yang ia tunggu-tunggu datang. Namun ia harus menahan kecewa karena Jane yang ia tunggu masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Aaron melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum panjamg telah mengarah ke angka tiga, itu berarti hampir 15 menit Jane terlambat da
[Flashback, 2 hari sebelum Jane diculik] Hari sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, tapi Cherry belum juga bisa memejamkan matanya. Ia terlihat sangat gelisah. Hampir satu jam sudah waktu yang ia habiskan hanya untuk berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Tangan kanannya bersilang menopang tangan kiri yang terus melakukan gerakan mengusap tengkuk berulang kali. Cherry sedang berpikir keras untuk menemukan cara membawa Jane ke hadapan Bobby. Namun ia ingin ini adalah upaya terakhirnya memenuhi keinginan Bobby. Cherry sangat muak jika membayangkan dirinya kembali harus melayani nafsu bejat lelaki itu. Jika bisa, ia ingin melenyapkan Jane dan Bobby sekaligus agar hidupnya bisa tenang di masa depan. Sebuah ide akhirnya melintas di pikirannya. Bergegas ia mengambil ponsel, kemudian mencari informasi tentang narapidana kasus penculikan yang dibebaskan dalam waktu dekat. Hasil penelusurannya membuahkan hasil, di sebuah situs berita ia me
Pagi itu cuaca begitu cerah. Sinar matahari bersinar terang di langit yang bersih tanpa awan. Seolah tak peduli, jika semalam sebuah tragedi yang mengerikan telah terjadi. Di ranjang rumah sakit, Jane terbaring dengan wajah pucat dan perban putih melingkari kepalanya. Luka akibat pukulan Bobby Parker tadi malam membuat Jane harus memiliki 10 jahitan di kepala. Tepat di samping Jane, Aaron duduk dalam keadaan siaga. Matanya terlihat sangat merah karena semalaman ia tidak tidur sama sekali. Begitu mendapat kabar Jane mengalami luka parah, ia langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Dirinya terasa lemas sekali begitu melihat Jane tergolek di atas brankar dengan penuh darah di bagian kepalanya. Sementara tubuhnya dibungkus dengan kain. Aaron tidak tahu pasti bagaimana kondisi tubuh Jane di balik kain itu. Setelah Jane dipindahkan ke kamar perawatan VIP, secara pribadi, Aaron pergi menemui dokter yang menangani Jane. Dia meminta dokter itu melakukan ya
Usai melewati drama panjang di pergudangan tua itu, sekitar pukul 5 pagi Cherry akhirnya pulang ke kediamannya dalam keadaan selamat. Cherry tidak mengenal pria-pria yang mengantarnya saat itu. Selama berada di mobil, tidak ada satupun di antara mereka yang mengeluarkan suaran. Tapi Cherry pun tidak peduli siapa mereka. Sama halnya dengan ketidakpeduliannya pada orang yang telah menyelamatkan Jane dan Glen. Baginya yang terpenting tujuannya tercapai. Meskipun rencana yang ia susun sejak awal tidak sepenuhnya berjalan lancar. Tapi siapa yang peduli? Selagi hasilnya sama, ia akan tetap mensyukurinya. "Bobby Parker tewas di hotel karena over dosis obat-obatan terlarang. Huahahaha," Cherry berjingkrak kegirangan disertai tawa lepas setelah mengulang judul headline news yang ia lihat pagi tadi. "Mampus kau, Bobby Parker. Mampus! Kau memang pantas mendapatkannya. Selamat bercinta dengan cacing-cacing yang ada dalam kuburanmu," umpatnya kemudian. Dengan langka
Sepasang netra Aaron langsung berbinar mendengar kata-kata Jane. Ia kembali memasukkan ponsel itu ke kantung, kemudian memposisikan dirinya tepat di depan Jane. "Kamu serius? Tidak akan berubah pikiran?" tanya Aaron dengan semangat. Jane mengangguk, kembali menjawabnya dengan yakin. "Yes!" pekik Aaron girang. Kedua lengannya yang panjang spontan terulur dan merengkuh tubuh Jane hingga tenggelam dalam dekapannya. "Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan sangat baik," pungkasnya sembari mempererat pelukannya. *** Tiga hari berlalu, Cherry tampak sedang bersiap-siap di apartmentnya. Dia sedang bersemangat karena pagi tadi mendapat kabar bahwa Glen sudah pulang dari rumah sakit. Setelah bebas dari tempat penyekapan Bobby, Cherry tidak memiliki kesempatan untuk menemui Glen secara pribadi. Lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun itu selalu menyuruhnya pergi setiap kali Cherry datang berkunjung.
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku