Pria bertubuh tinggi besar itu berjalan dengan cepat, dan tangannya mencengkram tangan Jane dengan kuat. Dalam hitungan detik dia berhasil membawa Jane menjauh dari kerumunan itu. Jane ingin berontak, tapi entah mengapa hati kecilnya memutuskan untuk menuruti pria itu tanpa membantah ataupun bertanya. Langkah mereka baru berhenti ketika berada di lantai atap gedung.
"Kau pikir kekerasan bisa menyelesaikan masalah?" Pria itu memutar tubuhnya, dan langsung mencecar Jane dengan pertanyaan.
"Aku tidak berniat begitu. Tapi kata-kata mereka keterlaluan. Aku tidak pernah melakukan hal senista itu," jelas Jane. Matanya berkaca-kaca menahan emosi.
Pria itu bergeming, mengeluarkan ponsel dari sakunya, kemudian menyerahkannya kepada Jane. Jane meraih ponsel itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Jane langsung shock ketika melihat dress yang sama persis dengan desain yang ia kirimkan pada kompetisi.
"Bagaimana mungkin ini terjadi?" tanya Jane bingung. "Aku benar-benar tidak melakukannya. Desain itu murni hasil pikiranku sendiri. Bahkan mencari referensi dari buku pun tidak?" teriak Jane putus asa.
"Aku percaya kau tidak melakukannya. Tapi saat ini kau berada dalam posisi yang tidak beruntung. Perlawananmu tidak akan bisa membuktikan apapun." tandas pria itu.
"Kau tidak mengenalku, bagaimana kau yakin aku tidak bisa? Aku tidak bersalah! Aku bisa membuktikannya kepada siapa saja, bahkan secara hukum sekalipun!" kata Jane tidak mau menyerah.
Pria itu tersenyum, namun sinis.
"Membuktikan secara hukum? Bagaimana caranya, Nona keras kepala? Sementara secara dokumentasi, dress ini sudah diluncurkan 2 minggu sebelum sketsamu terdaftar di kompetisi. Kau pikir JC Company akan diam saja jika kau melawan? Berapa banyak uang yang kau miliki untuk melawan mereka di pengadilan? Hadapilah kenyataan, mengadu kemana pun kau tidak akan pernah bisa menang," papar pria itu kemudian.
Jane terdiam mendengar semua penjelasan pria itu. Tubuhnya langsung lemas setelah menyadari betapa dirinya tidak berdaya saat itu.
Pria itu benar dia berada pada posisi yang lemah. Apapun bukti yang ia sodorkan, pasti bisa mereka patahkan, karena Jane hanya mahasiswa biasa.
Air mata mengalir di pipi Jane yang mulus. Jane menangis meratapi kegagalannya. Kegagalan yang bukan disebabkan oleh kebodohannya, tapi karena ketidakberdayaannya.
Pria itu membiarkan Jane menangis hingga puas. Ia tidak menenangkan, dan tidak juga melarang. Dia hanya berdiri sedikit menjauh, seolah memberi ruang untuk Jane melepaskan kesedihannya.
Setengah jam berlalu, isak tangis Jane pun mulai reda. Tapi Jane masih terduduk lemas dengan tatapan kosong.
Pria itu mendekat, kemudian berjongkok di sisi Jane. Dia mengulurkan selembar kartu nama kepada Jane.
"Ikutlah denganku ke New York. Kau bisa berkerja di perusahaanku. Bersihkan namamu dengan menghilang dari negeri ini. Dengan talenta yang kau miliki, aku yakin kau bisa bersinar melebihi yang kau bayangkan."
Jane menerima kartu nama itu. Di atasnya tertera nama Aaron Caldwell, CEO Caldwell Company.
Seandainya saja saat ini dalam kondisi normal, Jane pasti melonjak kegirangan mendapatkan tawaran itu. Berkerja di perusahaan besar sekelas Caldwell Company? Siapa yang akan menolak? Tapi, saat ini hati Jane sedang kecewa berat. Nama baiknya tercemar. Impiannya sudah hancur.
Terlebih lagi ibunya sedang sakit, tidak mungkin ditinggal begitu saja. Jika ia pergi mengikuti saran Aaron, siapa yang akan merawat ibunya? Jane adalah satu-satunya keluarga yang ibunya miliki setelah ayahnya meninggal. Jane tidak mau egois, mengorbankan ibunya demi kebahagiaannya sendiri.
"Terimakasih atas tawaran Anda, Mr. Aaron. Tapi saya tidak akan menyerah begitu saja. Meski sulit, saya akan terus berjuang untuk membersihkan nama saya," tolak Jane sambil berdiri. "Sekali lagi terimakasih. Saya sangat menghargai tawaran Anda. Saya permisi," ujar Jane. Ia membungkukkan badannya, kemudian melangkah pergi.
Aaron terdiam melihat Jane yang mulai menjauh. Hati kecilnya menyayangkan sikap Jane yang menolak tawarannya. Kare ia tahu, gadis itu bukan perempuan biasa. Jika saja Jane mau menguatkan hatinya untuk mengambil kesempatan ini, Aaron berani bertaruh Jane akan merajai industri fashion dunia.
Aaron tidak mau menyerah begitu saja. Ia putuskan untuk kembali mencoba meyakinkan Jane.
Setengah berlari, ia menyusul Jane. Setelah cukup dekat, dia meraih tangan Jane, memposisikan gadis itu tepat di depannya.
"Aku mengerti kalau saat ini kamu tidak bisa berpikir jernih. Namun tidak ada salahnya jika kamu coba pertimbangkan," katanya sambil menyelipkan kartu nama itu ke tangan Jane. "Hubungi aku, jika kamu berubah pikiran. Kapan saja kamu siap. Aku akan mengingatmu dalam waktu yang lama." tambahnya kemudian.
Jane menerima kartu nama itu tanpa berbicara. Dia memutar tubuhnya dan kembali melangkah pergi.
***
Upacara kelulusan sudah 1 bulan berlalu, namun Jane masih saja belum mendapatkan perkerjaan. Ia telah mengirimkan lamarannya ke semua butik dan perusahaan mode yang ada di kotanya, namun jawaban mereka semua sama. Ia ditolak karena status plagiator masih melekat di namanya.
Namun Jane tidak mau menyerah. Dia tetap mengirimkan lamarannya setiap kali menemukan lowongan designer terbuka.
Ditengah-tengah perjuangannya mencari perkerjaan, Jane kembali harus berduka dan menyerah pada takdir. Ibunya tercinta meninggal dunia. Sekarang Jane benar-benar sebatang kara. Tanpa rumah, tanpa pekerjaan tetap, dan masih harus menghadapi orang-orang yang mencibir kegagalannya.
Beruntung Jane masih memiliki sahabat sebaik Glen. Dari Glen-lah Jane mendapatkan kesempatan menjadi ghost designer. Bukan profesi yang Jane impikan pastinya. Tapi setidaknya dengan menjalani profesi ini, Jane masih bisa melakukan perkerjaan sesuai passionnya. Meskipun di dunia nyata, nama Jane tetap tidak dikenali sebagai designer.
[flashback berakhir]
***
Jane masih termangu merasa tidak percaya jika saat ini dirinya tengah berhadapan dengan Aaron Caldwell.
Meski hanya sesaat, Jane tidak pernah bisa melupakan momen saat Aaron memberinya kekuatan saat itu. Namun Jane tidak memiliki cukup nyali untuk menghubungi Aaron terlebih dahulu. Jane takut kecewa jika Aaron tidak mengenalinya lagi. Dalam pikiran Jane, pria dengan kesibukan tinggi seperti Aaron tidak mungkin akan mengingat dirinya dalam waktu yang lama.
"Yes, it's me," jawab Aaron dengan suara khasnya.
Jane kembai turun dari taxi. Untuk sejenak ia lupa akan janjinya dengan Mrs. Diodra. Dengan antusias Jane menyalami Aaron.
"Oh, apa kabar, Sir?" sapa Jane ceria disertai senyum indahnya.
"Wow, ternyata kamu cantik sekali ya kalau tersenyum. " sahut Aaron sambil menyambut tangan Jane. Ia menggenggam tangan Jane dengan erat. Kata-kata Aaron tidak ayal membuat Jane bersemu merah.
"Anda terlalu memuji, Sir. Saya begini-begini saja sejak dulu," kata Jane dengan jantung berdebar.
Sudah bertahun-tahun Jane hidup tanpa mendengar pujian yang tulus dari seseorang. Jadi begitu pujian itu ia dengar dari sosok yang ia kagumi, tidak ayal itu membuat Jane merasa bahagia sekali.
"Saya bicara fakta, Jane. Karena dalam memori saya yang tersimpan selama ini adalah tatapan Jane yang penuh kecewa, amarah, dan kesedihan. Jadi saya benar-benar bahagia bisa meihat senyummu yang indah ini."
"Yah, karena hidup memang tidak harus selalu ditangisi, Sir. Saya sudah mengalami cukup banyak hal pahit. Jadi sepertinya kantung air mata sudah menipis, sehingga sudah lupa bagaimana rasanya sedih,' jawab Jane disertai tawa renyah.
"Good. Itu pemikiran yang bagus, Jane. Kamu tidak akan pernah bisa maju jika selalu melihat ke belakang. Oh, ya. Kamu mau kemana, kalau saya tidak salah menilai, sepertinya tadi kamu buru-buru. Apakah ada janji dengan seseorang?" Tebak Aaron.
Jane langsung terkesiap kaget. Dia reflek menepuk kening dengan tangannya.
"Ya Tuhaan. Saya lupa. Maafkan saya, Sir. Tidak bisa berbincang lebih lama. Ada klien yang menunggu kedatangan saya. Saya permisi dulu. Sampai jumpa," ujar Jane seraya melangkah mundur.
Aaron ingin bertanya lebih banyak, tapi Jane sudah terlanjur menjauh. Aaron mengeluarkan ponsel dari kantungnya kemudian segera menelepon seseorang.
"Carikan aku informasi tentang Jane Ariesta. Lengkap dan detail tanpa satu pun terlewat!" Perintahnya tegas.
***
Jane sampai di tempat janji temu dengan Diodra tepat waktu. Dia bersyukur karena Glen menjadwal ulang pertemuan ini sehingga ia kembali bisa membangun harapan positif. Dengan percaya diri, Jane melangkah memasuki cafe mewah itu. "Selamat datang, Nona. Apakah Anda sudah reservasi?" Sambut seorang pelayan begitu Jane masuk. "Saya ada janji temu dengan Mrs. Diodra. Apakah beliau sudah datang?" jawab Jane balik bertanya. "Oh, Mrs. Diodra. Beliau sudah datang sejak 5 menit yang lalu. Silakan ikut saya, Nona," jawab pelayan itu ramah. Pelayan itu berjalan lurus menuju sebuah meja. Dari tempatnya berada, Jane bisa melihat seorang wanita duduk membelakanginya. "Selamat malam, Mrs. Diodra. Tamu Anda sudah datang." Diodra menoleh, langsung melebarkan senyum ke arah Jane. Dengan sopan dia berdiri menyambut Jane. Mengulurkan tangan, kemudian menyapa Jan
Tidak lama setelah Jane masuk ke rumahnya, Aaron langsung tertawa terpingkal-pingkal. Lelaki yang selama ini selalu terlihat serius itu benar-benar sulit menahan dirinya kali ini. Ia tertawa sampai air matanya keluar. Ia tidak menyangka Jane akan menemuinya dengan penampilan selucu itu. Terlebih lagi Jane, tidak menyadarinya, dan dengan percaya dirinya ia bersikap canggung di depan Aaron. Begitu juga Chris yang terpaksa bertugas sebagai supir Aaron malam itu. Meski suara tawanya tidak terdengar, tapi bahunya terlihat turun naik menahan tawa. "Bagaimana pendapat kamu tentang gadis itu, Chris?" tanya Aaron setelah puas tertawa. "Dalam pandangan saya, dia gadis yang baik dan juga lugu. Selain itu dia juga terlihat sangat waspada, Sir. Maaf, jika pendapat saya lancang. Sepertinya dia tipikal perempuan yang sulit untuk didekati," jawab Chris sambil terus mengemudi. "Kau benar. Dia memang tidak mudah didekati. Tapi, bukannya tidak mungkin. Hanya
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Cherry. Suaranya tercekat ditenggorokan, sementara jantungnya berdetak kencang. Cherry tidak menyangka sama sekali kalau akan bertemu Glen dalam kondisi dirinya masih mengenakan handuk mandi, di kamar hotel, bersama dengan pria lain, pada waktu dini hari pula. "Justru aku yang seharusnya bertanya, Cher. Apa yang kau lakukan di sini? Dini hari begini? Bersama pria brengsek ini?" Cecar Glen dengan emosi. Dia mendorong Cherry dengan beringas, membuat Cherry kehilangan keseimbangan, hingga terjatuh. Bobby yang tidak menyangka akan kedatangan Glen masih diam terpaku di tempatnya berdiri. Sungguh ia tidak siap menghadapi Glen yang sedang murka. Semua orang di kota ini tahu siapa Glen. Mantan atlit taekwondo, dengan rekor tak terkalahkan. "Kau salah paham, Sayang. Aku bisa jelaskan, tolong tahan dulu amarahmu," ujar Cherry seraya bangkit. Ia berjalan mendekati Glen, berusaha meredakan amarahnya dengan
Diodra melangkah dengan perasaan berdebar menuju lift. Ketua tim desain baru saja memberitahukan bahwa CEO meminta Diodra untuk datang ke ruangannya. Selama di dalam lift Diodra tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Dia meyakini akan mendapatkan apresiasi yang melimpah dari bosnya berkat desain untuk koleksi musim panas yang ia berikan kali ini. Setelah lima tahun berkerja di perusahaan Caldwell Company, ini adalah pertama kalinya Diodra dipanggil keruangan bos besarnya itu. Selama ini ia hanya bisa mengagumi sosok tampan CEO itu lewat rekaman video yang diputar saat meeting. Diodra menghela nafas panjang begitu sampai di depan pintu kaca yang tingginya mencapai lima meter. Ruangan CEO memang dirancang khusus memiliki ruangan yang luas dan langit-langit yang tinggi, sehingga meskipun diisi oleh banyak orang ruangan itu tidak akan terasa panas. "Masuk!" suara bariton terdengar sesaat setelah Diodra mengetuk pintu. Diodra membuka pint
Malam itu, langit tampak cerah dihiasi ribuan bintang. Angin sepoi-sepoi pun berhembus, menghadirkan udara yang sejuk sehingga membuat orang-orang tidak ingin berdiam diri di rumah. Mereka ingin menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan atau hangout dengan orang-orang terkasih. Pukul 8 kurang 5 menit, Aaron tiba di galeri kota. Rona wajahnya tampak sangat bahagia. Dia menyempatkan diri untuk berkaca, sekedar merapikan rambut sebelum turun dari mobil. Dengan langkah berwibawa, Aaron melangkah menuju galeri. Sambil menunggu Jane, ia putuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lobby yang memajang beberapa benda seni. Selang beberapa menit, ia menoleh ke pintu, berharap orang yang ia tunggu-tunggu datang. Namun ia harus menahan kecewa karena Jane yang ia tunggu masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Aaron melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum panjamg telah mengarah ke angka tiga, itu berarti hampir 15 menit Jane terlambat da
[Flashback, 2 hari sebelum Jane diculik] Hari sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, tapi Cherry belum juga bisa memejamkan matanya. Ia terlihat sangat gelisah. Hampir satu jam sudah waktu yang ia habiskan hanya untuk berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Tangan kanannya bersilang menopang tangan kiri yang terus melakukan gerakan mengusap tengkuk berulang kali. Cherry sedang berpikir keras untuk menemukan cara membawa Jane ke hadapan Bobby. Namun ia ingin ini adalah upaya terakhirnya memenuhi keinginan Bobby. Cherry sangat muak jika membayangkan dirinya kembali harus melayani nafsu bejat lelaki itu. Jika bisa, ia ingin melenyapkan Jane dan Bobby sekaligus agar hidupnya bisa tenang di masa depan. Sebuah ide akhirnya melintas di pikirannya. Bergegas ia mengambil ponsel, kemudian mencari informasi tentang narapidana kasus penculikan yang dibebaskan dalam waktu dekat. Hasil penelusurannya membuahkan hasil, di sebuah situs berita ia me
Pagi itu cuaca begitu cerah. Sinar matahari bersinar terang di langit yang bersih tanpa awan. Seolah tak peduli, jika semalam sebuah tragedi yang mengerikan telah terjadi. Di ranjang rumah sakit, Jane terbaring dengan wajah pucat dan perban putih melingkari kepalanya. Luka akibat pukulan Bobby Parker tadi malam membuat Jane harus memiliki 10 jahitan di kepala. Tepat di samping Jane, Aaron duduk dalam keadaan siaga. Matanya terlihat sangat merah karena semalaman ia tidak tidur sama sekali. Begitu mendapat kabar Jane mengalami luka parah, ia langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Dirinya terasa lemas sekali begitu melihat Jane tergolek di atas brankar dengan penuh darah di bagian kepalanya. Sementara tubuhnya dibungkus dengan kain. Aaron tidak tahu pasti bagaimana kondisi tubuh Jane di balik kain itu. Setelah Jane dipindahkan ke kamar perawatan VIP, secara pribadi, Aaron pergi menemui dokter yang menangani Jane. Dia meminta dokter itu melakukan ya
Usai melewati drama panjang di pergudangan tua itu, sekitar pukul 5 pagi Cherry akhirnya pulang ke kediamannya dalam keadaan selamat. Cherry tidak mengenal pria-pria yang mengantarnya saat itu. Selama berada di mobil, tidak ada satupun di antara mereka yang mengeluarkan suaran. Tapi Cherry pun tidak peduli siapa mereka. Sama halnya dengan ketidakpeduliannya pada orang yang telah menyelamatkan Jane dan Glen. Baginya yang terpenting tujuannya tercapai. Meskipun rencana yang ia susun sejak awal tidak sepenuhnya berjalan lancar. Tapi siapa yang peduli? Selagi hasilnya sama, ia akan tetap mensyukurinya. "Bobby Parker tewas di hotel karena over dosis obat-obatan terlarang. Huahahaha," Cherry berjingkrak kegirangan disertai tawa lepas setelah mengulang judul headline news yang ia lihat pagi tadi. "Mampus kau, Bobby Parker. Mampus! Kau memang pantas mendapatkannya. Selamat bercinta dengan cacing-cacing yang ada dalam kuburanmu," umpatnya kemudian. Dengan langka
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku