Malam itu, langit tampak cerah dihiasi ribuan bintang. Angin sepoi-sepoi pun berhembus, menghadirkan udara yang sejuk sehingga membuat orang-orang tidak ingin berdiam diri di rumah. Mereka ingin menghabiskan malam itu dengan berjalan-jalan atau hangout dengan orang-orang terkasih.
Pukul 8 kurang 5 menit, Aaron tiba di galeri kota. Rona wajahnya tampak sangat bahagia. Dia menyempatkan diri untuk berkaca, sekedar merapikan rambut sebelum turun dari mobil.
Dengan langkah berwibawa, Aaron melangkah menuju galeri. Sambil menunggu Jane, ia putuskan untuk berjalan-jalan di sekitar lobby yang memajang beberapa benda seni.
Selang beberapa menit, ia menoleh ke pintu, berharap orang yang ia tunggu-tunggu datang. Namun ia harus menahan kecewa karena Jane yang ia tunggu masih belum juga menampakkan batang hidungnya.
Aaron melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum panjamg telah mengarah ke angka tiga, itu berarti hampir 15 menit Jane terlambat da
[Flashback, 2 hari sebelum Jane diculik] Hari sudah menunjukkan pukul tiga dinihari, tapi Cherry belum juga bisa memejamkan matanya. Ia terlihat sangat gelisah. Hampir satu jam sudah waktu yang ia habiskan hanya untuk berjalan mondar-mandir antara dapur dan ruang tamu. Tangan kanannya bersilang menopang tangan kiri yang terus melakukan gerakan mengusap tengkuk berulang kali. Cherry sedang berpikir keras untuk menemukan cara membawa Jane ke hadapan Bobby. Namun ia ingin ini adalah upaya terakhirnya memenuhi keinginan Bobby. Cherry sangat muak jika membayangkan dirinya kembali harus melayani nafsu bejat lelaki itu. Jika bisa, ia ingin melenyapkan Jane dan Bobby sekaligus agar hidupnya bisa tenang di masa depan. Sebuah ide akhirnya melintas di pikirannya. Bergegas ia mengambil ponsel, kemudian mencari informasi tentang narapidana kasus penculikan yang dibebaskan dalam waktu dekat. Hasil penelusurannya membuahkan hasil, di sebuah situs berita ia me
Pagi itu cuaca begitu cerah. Sinar matahari bersinar terang di langit yang bersih tanpa awan. Seolah tak peduli, jika semalam sebuah tragedi yang mengerikan telah terjadi. Di ranjang rumah sakit, Jane terbaring dengan wajah pucat dan perban putih melingkari kepalanya. Luka akibat pukulan Bobby Parker tadi malam membuat Jane harus memiliki 10 jahitan di kepala. Tepat di samping Jane, Aaron duduk dalam keadaan siaga. Matanya terlihat sangat merah karena semalaman ia tidak tidur sama sekali. Begitu mendapat kabar Jane mengalami luka parah, ia langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Dirinya terasa lemas sekali begitu melihat Jane tergolek di atas brankar dengan penuh darah di bagian kepalanya. Sementara tubuhnya dibungkus dengan kain. Aaron tidak tahu pasti bagaimana kondisi tubuh Jane di balik kain itu. Setelah Jane dipindahkan ke kamar perawatan VIP, secara pribadi, Aaron pergi menemui dokter yang menangani Jane. Dia meminta dokter itu melakukan ya
Usai melewati drama panjang di pergudangan tua itu, sekitar pukul 5 pagi Cherry akhirnya pulang ke kediamannya dalam keadaan selamat. Cherry tidak mengenal pria-pria yang mengantarnya saat itu. Selama berada di mobil, tidak ada satupun di antara mereka yang mengeluarkan suaran. Tapi Cherry pun tidak peduli siapa mereka. Sama halnya dengan ketidakpeduliannya pada orang yang telah menyelamatkan Jane dan Glen. Baginya yang terpenting tujuannya tercapai. Meskipun rencana yang ia susun sejak awal tidak sepenuhnya berjalan lancar. Tapi siapa yang peduli? Selagi hasilnya sama, ia akan tetap mensyukurinya. "Bobby Parker tewas di hotel karena over dosis obat-obatan terlarang. Huahahaha," Cherry berjingkrak kegirangan disertai tawa lepas setelah mengulang judul headline news yang ia lihat pagi tadi. "Mampus kau, Bobby Parker. Mampus! Kau memang pantas mendapatkannya. Selamat bercinta dengan cacing-cacing yang ada dalam kuburanmu," umpatnya kemudian. Dengan langka
Sepasang netra Aaron langsung berbinar mendengar kata-kata Jane. Ia kembali memasukkan ponsel itu ke kantung, kemudian memposisikan dirinya tepat di depan Jane. "Kamu serius? Tidak akan berubah pikiran?" tanya Aaron dengan semangat. Jane mengangguk, kembali menjawabnya dengan yakin. "Yes!" pekik Aaron girang. Kedua lengannya yang panjang spontan terulur dan merengkuh tubuh Jane hingga tenggelam dalam dekapannya. "Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan sangat baik," pungkasnya sembari mempererat pelukannya. *** Tiga hari berlalu, Cherry tampak sedang bersiap-siap di apartmentnya. Dia sedang bersemangat karena pagi tadi mendapat kabar bahwa Glen sudah pulang dari rumah sakit. Setelah bebas dari tempat penyekapan Bobby, Cherry tidak memiliki kesempatan untuk menemui Glen secara pribadi. Lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun itu selalu menyuruhnya pergi setiap kali Cherry datang berkunjung.
Glen berkendara dengan pikiran risau, sudah lebih dari seminggu ia tidak mendengar kabar Jane. Tidak biasanya Jane menghilang tanpa berita sama sekali. Semarah apapun ia pada Glen, biasanya hanya berselang dua hari dia pasti menghubungi kembali. Entah itu untuk minta maaf, atau sebaliknya justru mengomel panjang kali lebar jadi luas. Semua tempat yang sering dikunjungi oleh Jane pun sudah ia datangi, namun hasilnya nihil. Tidak ada satupun orang yang mengetahui keberadaan Jane. Satu per satu rumah sakit pun sudah Glen datangi, tapi ia tidak menemukan satu pun data pasien bernama Jane Ariesta. Satu-satunya orang yang belum Glen tanyai tentang Jane adalah Cherry. Setelah Glen memaafkan semua kesalahan Cherry, mereka kembali bersama. Glen tahu kekasihnya itu tidak menyukai kedekatannya dengan Jane, karena itulah sebisa mungkin Glen menahan diri untuk tidak menyebut nama Jane di depan Cherry. Namun, mengingat baru-baru ini Cherry berbuat jahat kepad
Beberapa jam sebelumnya. Di gedung The Caldwell Indonesia, Aaron berusaha untuk menuntaskan semua perkerjaannya lebih awal. Sejak Jane tinggal bersamanya, Aaron memang tidak betah berlama-lama berada di luar rumah. JIka bukan untuk meeting, atau sesuatu yang penting Aaron tidak akan datang ke kantor. Selagi perkerjaan itu bisa dilakukan dari rumah secara online, maka dia akan memilih cara itu. Pukul 3 sore, Aaron sudah menuntaskan semua perkerjaannya. Itu berarti dia bisa pulang 2 jam lebih awal dari jam kerja normal karyawan lainnya. Dengan perasaan tidak sabar, Aaron segera bangkit dari kursinya kemudian berjalan ke luar ruangan, menuju meja salah satu staff yang ada di depan pintu ruangannya. "Aku pulang lebih awal. Jika ada sesuatu yang penting, hubungi via email saja. Jangan hubungi nomor pribadiku," pesannya dengan tegas. "Baik, Sir. Saya akan ingat pesan Anda dengan baik." Aaron berlalu dengan cepat, tidak sabar ing
Suasana hening menyelimuti ruangan itu beberapa saat. Kata-kata yang meluncur begitu tiba-tiba dari mulut Aaron terdengar bagaikan petir di siang hari di telinga Jane. Jane kaget, bingung, kepalanya mendadak terasa kosong. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Apakah Aaron baru saja mengatakan dirinya untuk menyamar menjadi orang orang lain? Tanya Jane dalam hati. "Tunggu, apa maksudmu? Mulai hari ini aku adalah Luna? Siapa Luna? Mengapa aku harus menyamar menjadi dirinya?" Jane mencecar Aaron dengan pertanyaan. Aaron sudah memprediksi, Jane pasti kaget dan bingung mendengar kata-katanya tadi. Aaron memperbaiki duduknya. Kali ini ia berbicara dengan ekspresi yang sangat serius. Tatapannya lurus menembus manik Jane, kemudian menguncinya agar gadis itu bisa fokus untuk mendengar penjelasannya lebih lanjut. "Luna adalah identitas baru kamu, Jane. Kamu tidak menyamar, hanya sedikit berkamuflase agar bisa bersembunyi dengan aman. Saat ini,
Aaron tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Jantungnya berdetak kencang ketika tiba-tiba melihat Jane sudah berada di atas kedua pahanya. Lengannya yang ramping bergelayut manja pada leher Aaron yang mendadak kaku tak mampu bergerak. Tubuh Aaron seketika menegang ketika bibir Jane yang lembut dan kenyal itu menyentuh pipi dan keningnya berkali-kali. Sungguh Aaron tidak menyangka Jane yang selama ini selalu bersikap canggung dan terlihat menjaga jarak, kali ini justru datang sendiri menghampirinya, bahkan menghujaninya dengan ciuman. Padahal, sebelumnya di hari pertama Jane berada di rumah itu, Aaron sempat melewati batas dan mencium bibir Jane dengan penuh hasrat. Namun, Jane tidak menunjukkan reaksi apapun. Hingga Aaron tersadar dan melepaskan ciumannya, Jane hanya diam tanpa ekspresi ataupun suara. Hal itu membuat Aaron diliputi rasa penyesalan sepanjang hari. Ia juga khawatir perbuatannya itu akan membuat Jane berubah pikiran, sehingga membatalkan keputusannya
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku