Aaron tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Jantungnya berdetak kencang ketika tiba-tiba melihat Jane sudah berada di atas kedua pahanya. Lengannya yang ramping bergelayut manja pada leher Aaron yang mendadak kaku tak mampu bergerak. Tubuh Aaron seketika menegang ketika bibir Jane yang lembut dan kenyal itu menyentuh pipi dan keningnya berkali-kali.
Sungguh Aaron tidak menyangka Jane yang selama ini selalu bersikap canggung dan terlihat menjaga jarak, kali ini justru datang sendiri menghampirinya, bahkan menghujaninya dengan ciuman.
Padahal, sebelumnya di hari pertama Jane berada di rumah itu, Aaron sempat melewati batas dan mencium bibir Jane dengan penuh hasrat. Namun, Jane tidak menunjukkan reaksi apapun. Hingga Aaron tersadar dan melepaskan ciumannya, Jane hanya diam tanpa ekspresi ataupun suara. Hal itu membuat Aaron diliputi rasa penyesalan sepanjang hari. Ia juga khawatir perbuatannya itu akan membuat Jane berubah pikiran, sehingga membatalkan keputusannya
Aaron beranjak dari tempat duduknya, hendak bersiap-siap. Namun getaran ponsel di dalam sakunya membuat langkahnya terhenti. Ia mengeluarkan ponsel itu, melihat nama Chris tertera di layarnya. Aaron menjawab dengan santai, namun beberapa saat kemudian ekspresinya berubah, ia terlihat sangat serius. Sepertinya Chris sedang mengabarkan sesuatu yang sangat penting. Mimiknya terus berubah sepanjang Chris berbicara. "Baiklah, nanti kita bicarakan lagi. Aku dan Jane akan segera berangkat. Pastikan semuanya sudah tersedia. Kau tahu, kan. Aku tidak suka menunggu lama," tegasnya. Setelah itu, ia meraih kunci mobilnya, lanjut mengajak Jane untuk pergi. Aaron mengemudikan Bentley Continental GT miliknya dalam kecepatan sedang, sementara di sampingnya Jane duduk dengan gelisah. Dia sulit untuk menyembunyikan rasa gugupnya ketika mengingat kata-kata Aaron sebelum berangkat tadi. Dengan jelas Aaron mengatakan bahwa dirinya harus menggunakan riasan khusus agar Cherry tidak me
Sesaat Jane merasa jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak menyangka Cherry akan menodongnya dengan pertanyaan yang paling ia takuti itu. Tenggorokannya tercekat, bulir-bulir keringat mulai membasahi telapak tangannya. Namun, ia kembali teringat kata-kata Aaron beberapa saat sebelum mereka berpisah tadi. "Jangankan Cherry, bahkan pihak imigrasi sekalipun tidak akan bisa mengenalimu saat ini." Ingat akan kata-kata Aaron yang begitu meyakinkan, kepercayaan diri Jane pun pulih kembali. Dengan tenang Jane menjawab, "Anda bukan yang pertama berkata begitu, Nona. Sepertinya wajah saya memang pasaran." Jane mencondongkan badannya, lebih dekat kepada Cherry, kemudian berbisik, "Anda mungkin tidak percaya, tapi banyak orang yang bilang saya ini mirip Lara Croft di film Tom Raider itu, lho." Cherry mendelik, memandangi Jane dengan tatapan tidak percaya, kemudian tertawa dengan kerasnya. "Aish ... pasti ada masalah dengan penglihatan mereka," ujarnya masi
Tubuh Jane mendadak terasa ringan, bagai melayang di udara. Tidak menyangka jika hari itu ia akan mendengar pengakuan cinta dan dilamar dalam satu waktu sekaligus. Dicintai oleh seorang Aaron Caldwell? Wow! Wanita mana yang tidak akan merasa bahagia?Laki-laki dengan fisik sempurna, ditambah lagi dengan kekayaan berlimpah yang ia miliki, fakta itu membuat Aaron Caldwell menjadi laki-laki paling diinginkan di atas permukaan bumi ini. Dan laki-laki seperti itu menyatakan cintanya pada Jane, bahkan memintanya untuk menjadi satu-satunya wanita yang berbagi hidup dengannya, bagaimana Jane tidak akan merasa tersanjung? Tapi, semua kesempurnaan yang tampak di depan matanya kini justru membuat Jane merasa takut. Ia takut nantinya akan merasakan kekecewaan yang besar, karena biasanya di balik sesuatu yang memberikan harapan yang besar terletak juga potensi kekecewaan yang besar. Di saat itu terjadi, Jane pasti satu-satu pihak yang berada dalam posisi yang tidak b
Musim dingin telah tiba, kota New York memutih ditutupi salju. Sempat mengalami delay karena cuaca buruk, pesawat yang membawa Jane dan Aaron akhirnya mendarat dengan mulus di landasan John F Kennedy International Airport. Butiran-butiran salju menyambut kedatangan Jane ketika ia menjejakkan kaki di kota yang dijuluki The Big Apple itu. Hawa dingin menerpa wajahnya, membuat Jane merasa membeku dalam seketika. Jane beruntung, karena Aaron sudah mempersiapkan semuanya. Sebelum berangkat, ia memastikan Jane telah mengenakan mantel dan juga syal tebal menutupi leher. Tidak lupa sarung tangan hangat, dan penutup telinga yang terbuat dari wol. Aaron mengerti, ini adalah kali pertama Jane berhadapan dengan musim dingin, jadi dia ingin Jane tetap merasa nyaman. Dari bandara, mereka langsung menuju apartment. Sepertinya Aaron memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya jauh sebelum kedatangan Jane. Ketika sampai di apartment itu, Jane mendapati sebuah kamar sudah dis
Cherry tersentak, kaget beserta bingung mendengar pertanyaan Glen yang begitu tiba-tiba. "Mengapa Glen tiba-tiba menanyakan Jane?" tanya Cherry di dalam hati. "Jane? Aku sudah lama tidak mendengar kabarnya. Mengapa tiba-tiba kau menanyakannya?" jawab Cherry, balik bertanya. "Kau yakin tidak membohongiku?" tanya Glen lagi dengan ekspresi tidak percaya. "Demi Tuhan, Glen. Aku tidak bohong. Kita sudah lama hilang kontak. Aku tidak tahu di mana Jane berada.' "Lalu ... bagaimana kau menjelaskan sketsa-sketsa ini? Lihat tanggalnya, masih baru, Cher." "Iya, sketsa-sketsa itu memang masih baru. Maksud kamu apa sih, Glen? Aku tidak mengerti." "Sketsa ini dibuat oleh Jane, kan? Kau memakai jasanya untuk peluncuran rancangan terbaru, kan?" "Tidak! Kau salah. Sketsa ini dibuat oleh orang lain, bukan Jane," sanggah Cherry yakin. Tapi Glen tetap tidak percaya. "Tidak mungkin. Tarikan dan goresannya pensilnya, aku hafal sekali
Suara bentakan itu menggema ke seluruh ruangan. Gerak kaki Jane refleks berhenti, dia pun menoleh mencari sumber suara. Terpisah dua meter saja, Jane melihat Aaron berdiri dengan ekspresi kelam di wajahnya. Tatapannya menukik tajam, rahangnya bergerak dengan gigi tertutup rapat. Tampak jelas, ia sedang berusaha keras menahan agar emosinya tidak meledak. Tanpa dijelaskan pun, siapa saja yang melihat pemandangan saat ini, pasti bisa menduga kejadian apa yang terjadi sebelum ia datang. Penampilan Jane kusut masai. Rambutnya tergerai tak beraturan, lepas dari ikatannya. Pakaiannya acak-acakan, bahkan beberapa kancing kemejanya lepas. Area di sekitar dagu Jane memerah, bekas tekanan jari tampak jelas di atasnya. Area di sekitar bibir Jane pun tidak jauh berbeda. Dengan karakter Daniel yang ia kenal selama ini, Aaron paham, pasti Daniel mencoba untuk berbuat hal yang tidak pantas pada Jane. Hal itu membuatnya semakin murka. "Berani sekali kau menyentu
Daniel terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Beberapa saat baru tersadar bahwa ia sudah berada di rumahnya sendiri. Ia mencoba bangkit dari tidurnya, tapi kesulitan melakukannya. Kepalanya pusing, dunia terasa berputar di sekitar kepalanya. Saat disentuh, ternyata ada benjolan di atas telinga kirinya. Cukup besar, kurang lebih seukuran bola tenis dibelah dua. Daniel tidak berdaya untuk bangkit, hanya bisa memiringkan tubuhnya untuk sedikit mengurangi rasa nyeri di kepalanya. Sambil menahan rasa sakit, Daniel berusaha mengingat-ingat kejadian yang ia alami sebelumnya. Pupilnya langsung membesar begitu ia mendapatkan ingatannya kembali. "Gadis, sialan! Gara-gara dia aku harus menderita begini!" ujarnya sambil menggertakkan gigi. Namun, sebuah suara terdengar, mematahkan kata-katanya. "Kau yakin semua ini salah gadis itu?" Daniel menoleh. Ter
Aaron baru saja selesai mandi ketika ia mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ia bergegas mengenakan pakaian, lalu ke luar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata neneknya, Elaine Caldwell yang datang memberikan kejutan. "Nenek? Kapan datang? Kenapa tidak menghubungi aku kalau mau datang ke sini? Aku bisa menjemputmu," sambut Aaron sambil berlari, lalu memeluk neneknya. "Cucu kurang ajar! Kau sudah lama kembali dari perjalanan bisnismu, mengapa kau tidak pernah datang menemuiku?" "Maafkan aku, Nenek Sayang. Aku sangat sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk mengunjungimu." "Apa kau menunggu kabar kematianku dulu baru kau pulang?" Elaine mendengus kesal. "Ssst ... Nenek. Siapa yang berkata Nenek akan mati? Nenek harus hidup dua puluh tahun lagi, saksikan aku menikah, memiliki anak, sampai aku menikahkan anak-anakku. Jangan pernah sebut-sebut kematian lagi di depanku," bujuk Aaron, lalu memasang ekspresi sedih di wajahnya.
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku