Daniel terbangun dengan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Beberapa saat baru tersadar bahwa ia sudah berada di rumahnya sendiri.
Ia mencoba bangkit dari tidurnya, tapi kesulitan melakukannya. Kepalanya pusing, dunia terasa berputar di sekitar kepalanya. Saat disentuh, ternyata ada benjolan di atas telinga kirinya. Cukup besar, kurang lebih seukuran bola tenis dibelah dua.
Daniel tidak berdaya untuk bangkit, hanya bisa memiringkan tubuhnya untuk sedikit mengurangi rasa nyeri di kepalanya.
Sambil menahan rasa sakit, Daniel berusaha mengingat-ingat kejadian yang ia alami sebelumnya. Pupilnya langsung membesar begitu ia mendapatkan ingatannya kembali.
"Gadis, sialan! Gara-gara dia aku harus menderita begini!" ujarnya sambil menggertakkan gigi.
Namun, sebuah suara terdengar, mematahkan kata-katanya.
"Kau yakin semua ini salah gadis itu?"
Daniel menoleh. Ter
Aaron baru saja selesai mandi ketika ia mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ia bergegas mengenakan pakaian, lalu ke luar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ternyata neneknya, Elaine Caldwell yang datang memberikan kejutan. "Nenek? Kapan datang? Kenapa tidak menghubungi aku kalau mau datang ke sini? Aku bisa menjemputmu," sambut Aaron sambil berlari, lalu memeluk neneknya. "Cucu kurang ajar! Kau sudah lama kembali dari perjalanan bisnismu, mengapa kau tidak pernah datang menemuiku?" "Maafkan aku, Nenek Sayang. Aku sangat sibuk, sehingga tidak punya waktu untuk mengunjungimu." "Apa kau menunggu kabar kematianku dulu baru kau pulang?" Elaine mendengus kesal. "Ssst ... Nenek. Siapa yang berkata Nenek akan mati? Nenek harus hidup dua puluh tahun lagi, saksikan aku menikah, memiliki anak, sampai aku menikahkan anak-anakku. Jangan pernah sebut-sebut kematian lagi di depanku," bujuk Aaron, lalu memasang ekspresi sedih di wajahnya.
"Jangan!" Aaron dan Jane serentak menolak ajakan Elaine. "Mengapa? Kabar baik ini harus segera kita umumkan, mengapa harus menunda?" tanya Elaine heran sekaligus kaget melihat reaksi Aaron dan Jane. "Saat ini Ariest baru menapaki jenjang popularitasnya, Nek. Kita sengaja merahasiakan identitas Jane untuk mengundang rasa penasaran konsumen dan penggiat bisnis fashion lainnya. Mari kita beri kesempatan Jane untuk terus memberikan karya-karya terbaiknya. Tepat pada peringatan satu tahun debutnya, barulah Jane muncul ke hadapan publik." "Tapi saat ini terlalu banyak berita simpang siur yang bermunculan, Aaron. Nenek khawatir, jika tidak segera ditindak lanjuti, kabar miring itu bisa berdampak pada saham perusahaan." "Tidak usah khawatir, Nek. Aku dan Chris setiap saat memantau situasi. Kami pasti bergerak cepat untuk mencegah hal buruk terjadi." "Saat ini biarkan saja semua berita spekulasi yang dibuat oleh media. Semakin sering nama Ariest dibica
Aaron yang masih tidur, terjaga mendengar suara teriakan Jane yang begitu kuat dan nyaring. Atelier Jane berada tepat di sebelah kamar Aaron, jadi dia bisa mendengar dengan jelas suara Jane yang mengomel panjang lebar. Rasa penasaran mendorong dirinya untuk bangkit, lalu berjalan menuju ruangan tempat Jane berada. "Ada apa, Jane? Pagi-pagi sudah berteriak. Mimpi indahku langsung buyar gara-gara teriakanmu," keluh Aaron, bersandar di pintu yang terbuka. Jane menoleh, ingin melanjutkan omelannya, tapi lidahnya mendadak membeku. Aaron berdiri di hadapannya dengan rambut kusut, hanya mengenakan celana piyama, tanpa sehelai benang pun menutupi bagian atas tubuhnya. Tanpa harus mengenakan kacamata pun, Jane bisa melihat jelas setiap detail yang ada di tubuh pria itu. Dadanya yang berotot dan kotak-kotak di perutnya yang sangat kokoh mengundang jemari Jane untuk bergerak dan menyentuhnya. Rambut-rambut halus yang tumbuh di bawah pusarnya berhasil membuat otak Jane traveling
Cuaca cerah menyambut kedatangan pesawat yang membawa Aaron, Jane, dan Chris. Mereka bertolak dari bandara John F Kennedy pada pukul 13:25 waktu setempat, transit di bandara Narita selama 1 jam 25 menit, akhirnya pada pukul 23:50 WIB pesawat American Airlines itu berhasil mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Setelah mengambil bagasi, mereka bergegas menuju Toyota Camry milik Leon yang telah menunggu di parkiran. Hawa panas Jakarta langsung menerpa begitu mereka keluar dari bandara. Leon tersenyum, wajah sumringahnya terpancar nyata saat melihat ke arah Aaron dan Chris. Tapi, ia langsung memasang wajah jutek saat melihat Jane yang jalan beriringan tepat di samping Aaron. "Bos Qyu, kenapa harus bawa-bawa alien ini lagi, sih?" protes Leon dengan ciri khasnya sambil melirik ke arah Jane. Jane tertawa mendengar dirinya disebut alien. Dengan ramah ia pun menyapa Leon, "Apa kabar, Master Leon? Lama tidak berjumpa." Leon langsung ter
Cherry terkesiap kaget mendengar kata-kata Jane. Wajahnya pucat, seolah-olah aliran darahnya berjalan terbalik di tubuhnya. Tangannya bergetar. Betapapun mulutnya mampu menutupi kesalahan itu, namun anggota tubuhnya yang lain tidak mampu menyembunyikan dosa itu lebih lama. "Apa maksud kamu, Jane? Aku tidak mengerti," jawabnya gugup. Jane ingin melanjutkan kata-katanya, namun asisten Cherry masuk memberitahukan acara sudah dimulai. Beberapa saat lagi adalah giliran Cherry untuk tampil. "Ah, Jane. Sayang sekali, sepertinya hari ini kita tidak bisa berbincang lebih lama," ujar Cherry dengan ekspresi menyesal. "Aku harus segera naik ke panggung. Namaku sudah dipanggil," lanjutnya lagi. "Oh, oke. Lain waktu kita bisa berbincang lagi. Santai saja," sahut Jane. Cherry pun berlalu keluar dari ruangan itu. Tidak lama setelah Cherry pergi, Jane bergegas menuju toilet. Sesampai di sana, ia mengambil sebuah tas besar yang sebelumnya
Jane buka suara, memecah kebisuan yang selama beberapa menit memenuhi ruangan pertunjukan itu. Semua mata serentak menoleh padanya, diiringi dengan decak kagum yang tak tertahankan. Jane berjalan dengan anggun, membelah kerumunan wartawan, langsung menuju ke tengah ruangan. Stiletto yang ia pakai beradu dengan kerasnya ubin ruang pertunjukan, menciptakan irama hentakan yang indah dan menghanyutkan. Di bawah gemerlapnya lampu di ruang pertunjukkan, Jane tampil memesona dalam balutan gaun mewah berwarna peach. Kilauan payet batu swarovski yang terpasang di gaun itu membuat siluet tubuh Jane seakan berjalan di atas gelombang cahaya. Semua mata memandang terpana, tak berkedip, bagaikan tersihir pesona Jane yang sangat memikat. Wartawan pun langsung sibuk mengabadikan momen kemunculan Jane. Beberapa media streaming bahkan telah menayangkan konten mereka dengan beragam judul spekulatif. Ada yang menuliskan judul "d'Ariest Muncul di Tengah Acara Peragaan Busana JC Company".
Aaron dan Jane telah sampai di apartment mereka. Sepanjang jalan menuju apartment tadi, mereka berdua tidak bisa menahan tawa karena merasa lucu dengan tingkah Leon yang merajuk, sampai ngotot ingin menurunkan mereka semua di tengah jalan. Untung saja bujuk rayu Aaron dan Chris berhasil membuat mood pria itu kembali membaik. Jadi dia kembali melajukan mobilnya mengantarkan mereka satu per satu ke alamat masing-masing. "Ah, Leon ... Leon ... bisa-bisanya dia merajuk begitu," kata Jane sambil membuka sepatu, lalu melenggang menuju kamarnya. Namun baru beberapa langkah, niatnya terhenti. Jemari Aaron melingkari lengan Jane, kemudian menarik tubuh ramping itu sehingga tubuh mereka nyaris berdempetan. "Kau cantik sekali hari ini," ucap Aaron dengan suara serak. Menatap Jane lekat seolah tidak ingin gadis itu berlalu dari hadapannya. "Thankyou. Kamu juga selalu tampan seperti biasanya, membuatku susah untuk fokus saat di panggung tadi," sahut Jane bal
"Ah, Jane! Kau selalu tidak terduga. Mengapa kau yang melamar aku duluan, Sayang? No ... no ... no. Tarik lagi kata-katamu," protes Aaron. "Aku yang akan melamarmu dengan cara yang benar. Tunggulah, tidak akan lama," ucapnya kemudian. Aaron kembali melabuhkan ciumannya ke bibir Jane. Kali ini ia tidak lagi memedulikan hasrat menggila yang kembali harus ia tahan. Saat ini yang ada dalam pikirannya, hanya menikmati bibir gadis itu dengan sepuasnya sampai wajah mereka memerah karena nafsu. *** Sementara itu di kediaman orangtua Cherry. Cherry sudah sadar dari pingsannya sejak satu jam yang lalu. Demi menghindari wartawan, Cherry memang tidak dibawa ke rumah sakit, tapi dibawa ke rumah orangtuanya. Saat ini Cherry tengah duduk, dengan kepala tertunduk di bawah tatapan penuh penghakiman dari ayah dan ibunya. "Papa sangat kecewa dengan perbuatanmu, Cherry. Teganya kamu mencorengkan arang ke wajah kami, ke wajah keluarga kita. Bagaimana aku bisa meng
Dua box bayi terlihat bergoyang pelan di samping ranjang berukuran besar, diiringi lagu pengantar tidur yang terdengar lembut lewat pengeras suara. Di dalam box bayi itu, Reagan dan Riley tidur pulas. Reagan bermakna seorang raja atau pemimpin, sedangkan Riley bermakna pendamping dan kebebasan. Digabungkan dengan nama keluarga Caldwell yang memiliki makna kebaikan dan harapan, Aaron dan Jane berharap putra putri mereka tumbuh menjadi manusia pemimpin yang berjiwa bebas tapi tetap penuh dengan kebaikan. Yah, nama adalah doa, kan. Nama yang baik adalah doa dari orang tua untuk anak-anaknya yang tercinta. Di ranjang besar itu, Aaron dan Jane duduk bersisian sambil mengamati buah hati mereka dengan tatapan haru. "Tidak terasa, mereka sudah enam bulan sekarang," ujar Jane. Dirinya bahagia sekali karena setelah melewati masa kritis saat persalinan akhirnya bisa berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. "Kamu luar biasa, Sayang. Bisa mengurus
Suasana malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, suhu pun tidak terlalu menusuk tulang. Orang-orang terlelap dalam kungkungan selimut hangat di musim gugur yang sejuk. Namun, tidak sama dengan yang Jane rasakan. Jarum pendek di jam dinding sudah beranjak dari angka dua, tapi Jane terlihat gelisah dalam tidurnya. Sebentar miring ke kiri, beberapa saat kemudian miring ke kanan sambil meringis menahan sakit, sementara tangannya memegang bagian bawah perutnya yang besar. Di sebelah Jane, tanpa mengetahui kondisi yang Jane alami, Aaron tidur pulas bagaikan bayi. Jane tidak membangunkan Aaron karena ia pikir rasa sakitnya akan segera hilang seperti yang sudah-sudah. Namun, rasa sakit yang Jane rasakan kali ini berbeda. Bukannya mereda, taoi justru semakin intens membuat Jane sulit untuk tidak mengerang. Jane berusaha untuk duduk, bangkit dari pembaringan, tapi sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba terasa mengalir di sela-sela pahanya.Jane panik, spontan
Ballroom mansion keluarga Caldwell tampak gemerlap oleh hiasan pesta. Wajah sumringah penuh bahagia tampak menghiasi seluruh anggota keluarga Caldwell yang berdiri menyambut para tamu undangan yang datang. Mereka tampak memesona dalam balutan dress warna silver yang dirancang oleh Jane. Sementara itu Aaron dan Jane duduk bersanding di kursi yang memang disediakan untuk sepasang pengantin yang berbahagia itu. Jane tampak memukau dengan gaun pengantin rancangannya berwarna putih berhiaskan kristal swarovski. Di sampingnya Aaron tampak gagah dengan tuxedo berwarna senada. Mereka tidak hentinya saling melempar senyum bahagia. Sesekali terlihat Aaron melayangkan kecupan kecil di tangan dan kening Jane. Terkadang terlihat Jane mengatakan sesuatu, Aaron tertawa lalu mencubit hidung istrinya itu. Di lain kesempatan, balas Aaron yang membisikkan sesuatu yang langsung disambut Jane dengan tawa. "Mereka mesra sekali," ucap Claire dengan tatapan iri. "Aku t
"Kau juga mau, kan, Lindsay?" tanya Jane tanpa melepaskan pandangan dari pintu. Mendengar namanya disebut, Lindsay menjulurkan kepala lewat pintu, melihat ke arah Jane yang memberi tanda agar ia masuk. Lindsay pun memberanikan diri untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Ia melangkah canggung, melambaikan tangan dengan kikuk ke arah Jane. "Hai," sapanya gugup. "Lama tak bertemu ..., Jane," lanjutnya. Dari suara Lindsay, Jane tahu jika wanita cantik yang berada di depannya itu sedang merasa gugup dan tidak begitu nyaman mengingat hubungan buruk mereka di masa lalu. Jane melebarkan senyum, berusaha memberikan kesan hangat pada pertemuan mereka kali ini. "Kau semakin cantik saja, Zizi," sambut Jane ramah. Lindsay terperangah, mendengar Jane menyebut nama panggilan masa kecilnya itu. Sudah lama ia tidak mendengar orang memanggilnya begitu, bahkan papanya sendiri, hingga akhir hayatnya pun tak lagi ingat jika Lindsay punya pan
Daun-daun berwarna coklat jatuh satu persatu dari tangkainya, dihembus angin musim gugur yang terasa dingin menyentuh kulit. Tanah dan jalanan dipenuhi dedaunan yang berwarna kuning kecoklatan, kontras dengan langit yang berwarna abu-abu polos tanpa awan yang menutupi. Di tengah cuaca musim gugur yang sejuk, kendaraan yang membawa Aaron dan Jane melaju dalam kecepatan sedang dari bandara menuju mansion keluarga Caldwell. Setelah melalui penerbangan panjang selama 24 jam lebih, akhirnya pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan mulus di Kennedy. Mengingat kehamilan Jane yang mulai berat, memasuki trimester ke tiga, Aaron menyarankan Jane untuk istirahat dulu di hotel yang tidak jauh dari bandara. Namun, Jane menolak. Ia ingin secepatnya sampai di mansion, agar bisa menikmati istirahat sepuasnya. Tepat pukul empat sore, mereka akhirnya sampai di mansion keluarga Caldwell. Di depan pintu South Wing, Jane melihat Ny. Elaine dan Benyamin berdiri bersisian salin
"Anda sudah mendengar siapa saya kan, Tuan Aaron. Saya Bima Anggara, pria yang saat ini diakui Jane sebagai calon suaminya." Udara terasa membeku. Aaron terpaku, tak mampu bereaksi banyak mendengar kata-kata pria di depannya itu. Ia tidak bisa membantah, karena apa yang pria itu katakan sudah dikonfirmasi langsung oleh Jane. Jika ada yang menanyakan, apakah dirinya baik-baik saja saat ini? Jawabannya sudah pasti tidak. Aaron terpukul, harga dirinya terbanting keras. Aaron merasa seperti pecundang di antara mereka. "Sayangnya ... itu semua tidak benar," cicit pria itu lagi. Kali ini suaranya terdengar sumbang, menyuarakan sebuah ironi. "Jangan khawatir, Tuan Aaron. Saya dan Jane tidak memiliki hubungan apa-apa selain partner bisnis. Namun, jika saja Anda tidak datang hari ini, status itu bisa saja berubah," ujar Bima dengan senyum mengembang di wajahnya. "Bima, pleaase," rengek Jane. Kecewa karena pria itu menolak berkerjasama dengan ke
Mengabaikan rasa lelah karena penerbangan yang panjang, dari bandara Aaron langsung menuju RS. Sentosa Bandung menggunakan taxi. Ia bahkan tidak peduli saat itu jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat. Dalam pikirannya hanya satu, segera menemui Jane secepat yang ia bisa. Setelah berjibaku melawat kemacetan selama dua jam lebih, akhirnya Aaron sampai di RS. Sentosa sekitar pukul satu dini hari. Suasana lobi lengang, hanya satu-dua orang terlihat berjalan tergesa dengan wajah cemas. Melihat ekspresi orang-orang yang berpapasan dengannya, perasaan cemas langsung menyergap hati dan pikiran Aaron. Ia pun mempercepat langkah menuju ruang perawatan Jane. Perasaannya berkecamuk saat mendapat kabar Jane dirawat di ruang perawatan kebidanan. Hati kecilnya berdetak, sesuatu pasti terjadi setelah tragedi di malam itu. Jane hamil. Itulah satu-satu asumsi yang tertanam di pikiran Aaron selama di perjalanan tadi. Langkah Aaron semakin dekat de
Jane belum sadar, ia masih terbaring lemas diranjang IGD dengan infus di tangan kiri, dan selang oksigen terpasang di hidung. Wajah dan bibirnya terlihat pucat sekali. Di kaki ranjang, Bima berdiri mematung menatap Jane dengan sedih. Sebelah tangannya terulur merapikan selimut di kaki wanita yang ia kagumi itu. "Mengapa tidak cerita kalau kamu sedang hamil, Jane?" bisik Bima lirih. Ia tahu beban yang Jane rasakan, karena beberapa tahun yang lalu ia sudah melihat bagaimana beratnya perjuangan Caroline, almarhum istrinya saat mengandung Celine, putri tunggalnya. Beberapa saat yang lalu, setelah melakukan pemeriksaan, dokter IGD itu langsung menjelaskan kondisi Jane pada Bima. "Hasil pemeriksaan darah Ibu Jane kurang bagus, Pak. Hemoglobin dan hematokritnya rendah. Anemia pada wanita hamil tidak hanya membahayakan si ibu, tapi juga berdampak buruk pada perkembangan janinnya," jelas dokter berwajah oriental itu pada Bima. Bima yang t
"Jangan membawa kabar yang tidak pasti, Chris," kata Aaron datar ketika ia mengabarkan tentang Jane dan butik barunya. Selama dua bulan mereka mencari keberadaan Jane saat berada di Indonesia, tapi selalu tidak mendapatkan hasil. Aaron bahkan sudah membayar beberapa orang untuk menelusuri keberadaan Jane, tapi sampai hari ini tidak ada satu pun kabar baik yang ia dengar. Itu sebabnya, Aaron kehilangan semangat dan bersikap skeptis mendengar kata-kata Chris. Namun, Chris pun bukanlah orang yang pantang menyerah. Ia tahu persis bagaimana cara meyakinkan sahabatnya itu. Kemarin, setelah mendapatkan informasi dari Leon, Chris langsung memerintahkan orang bayarannya untuk mendatangi butik Miss A, dan mendapatkan foto Jane sebanyak-banyaknya. Pagi tadi Chris sudah menerima 100 file lebih, foto Jane dan butik Miss A beserta orang-orang terdekatnya. "Saya yakin, informasi ini sangat valid, Bos," jawab Chris sabar. "Oh, ya? Yakinkan aku