Juna kembali ke rumah pada malam harinya. Ia tidak enak hati karena tidak memberi kabar pada istrinya ini, terlebih ingin meminta uang kepada Tasya. Bisa-bisa ia di usir dari rumah ini.
Ia memandang istrinya. Dalam otaknya tercetus ide di luar nalar. Dari awal pernikahan, Juna belum menyentuh Tasya dan itu artinya, istrinya ini masih perawan. Keraguan masih berada dalam hati Juna. Ia tidak mungkin melakukan ini, tetapi bila uangnya tidak disetor, maka nyawanya bisa jadi taruhan. Toni pernah mengatakan kalau barang ini milik orang yang berkuasa dan memiliki bawahan yang bisa menghilangkan hidup seseorang. Harus dengan alasan apa Juna membujuk Tasya nanti. Ia dalam kebingungan sekarang. Tasya sudah baik padanya. Mereka juga sudah menjadi pasangan suami istri. Menjerumuskan istri ke pelukan pria lain bukankah keterlaluan? Ah! Juna menggaruk kepalanya. Tiba-tiba terasa pusing karena memikirkan masalah ini. "Ada apa? Sejak kembali kau diam saja," ucap Tasya. "Tidak apa-apa, Sayang. Aku lelah. Ini uang untukmu." Juna memberi Tasya uang lagi senilai 3 juta. Anggap saja sebagai bujukan karena ia tidak pulang beberapa hari ini. "Kalau gitu kita tidur saja." Tasya mengambil posisi membelakangi Juna, ia memang sangat mengantuk dan berniat ingin segera tidur. Sementara Juna masih dilema. Bahkan matanya saja tidak dapat terpejam. Besok, waktunya tinggal sedikit. Jika uang itu tidak disetor, takutnya ini berdampak pada dirinya. Ia masih bisa meminta Toni untuk mengulur waktu sampai besok malam. Ya, sekarang Juna harus mencari pria yang akan membeli Tasya. Juna teringat pada seorang teman lama. Ya, dia adalah pria sukses sekarang. Juna bisa meminta dia untuk mencarikan seorang pria yang bisa membeli Tasya untuk satu malam saja. Paginya, Tasya menyiapkan sarapan sebelum pergi mencari pekerjaan. Ia tampak ceria karena uang yang diterima dari Juna. "Pagi, Sayang." Juna mendekat, ia mengecup pipi Tasya "Ini masih pagi." Karena Juna memeluknya. "Aku mau keluar. Ada pekerjaan yang harus kuurus. Kau belum dapat pekerjaan?" "Belum ada panggilan?" ucap Tasya. "Mungkin nanti. Bersabarlah, Sayang. Aku masih bisa menampungmu." "Aku tahu, tapi aku ingin bekerja saja." Tasya menatap Juna. Ia tersenyum karena Juna masih memikirkan dirinya. Keduanya sarapan bersama. Setelah itu, Juna pergi lebih dulu, sedangkan Tasya harus membereskan meja makan barulah pergi mencari pekerjaan. Juna menunggu seorang teman yang sudah berjanji padanya untuk bertemu. Sudah lama sekali karena pria ini adalah teman sekolahnya. Nasib temannya ini mujur karena punya otak pintar dan dari keluarga terpandang. Yang positifnya adalah temannya ini tidak memandang status. Itu sebabnya, Juna dapat berteman dengannya. Sampai pada jam yang telah ditentukan, Juna dapat bertemu dengan teman lamanya. Memang orang kaya. Sungguh sangat berbeda dari dirinya. "Hai, Don." Juna menjabat tangan Doni. "Biasa saja. Kenapa kau menghubungiku?" Doni lekas menarik tangannya. "Begini, Don. Aku butuh uang. Tolong bantu aku. Kau itu bekerja di perusahaan besar, kan? Tolonglah. Sekali saja." "Sudah kuduga kau pasti akan bicara seperti ini. Tidak bisa! Kalau bukan karena kau pernah menyelamatkanku saat kita naik gunung, aku tidak sudi menemuimu." "Kenapa kau sekejam ini?" "Menurutmu? Ini karena dirimu yang problematik. Kau sudah pernah kubantu mendapat pekerjaan karena kau bilang harus punya kerja untuk menarik seorang gadis." "Aku menikah gadis itu. Dia jadi istriku, tapi dia masih belum kusentuh." "Apa? Tapi, kenapa?" tanya Doni, yang cukup kaget akan fakta ini. "Aku butuh uang 100 juta malam ini. Dia jaminannya. "Kau keterlaluan! Bagaimana bisa kau ... ?" Doni menggeleng. "Kau carikan saja pria kaya untuk bermalam dengan istriku. Kau pikir aku mau menjualnya? Dia istriku. Begitu cantik, dan aku mencintainya. Tapi, kami punya hutang. Nyawa kami ini taruhannya. "Hanya kali ini saja. Nanti malam, kau bisa datang ke tempat ini. Aku akan menunggumu." Doni memberikan alamatnya. "Baik, aku akan datang tepat waktu." "Oke! Sampai jumpa nanti." Doni pergi setelah itu. Juna menghela napas panjang. Meski ini keterlaluan, tetapi ia harus melakukannya. Ini juga demi keberlangsungan hidupnya serta Tasya. Hanya kali ini saja. Setelah itu, Juna janji ia akan bertobat. Sore harinya Juna tiba di rumah dan melihat meja makan penuh dengan hidangan. Ah, Juna baru sadar jika ia baru makan malam di rumah ini sebagai suami. Ketika masih pacaran, Juna sering makan malam bersama Tasya. "Apa ada pesta?" tanya Juna. "Makanlah dulu, Sayang." Tasya menarik kursi, lalu mempersilakan suaminya duduk. "Kau lelah bekerja. Jadi, biarkan aku melayanimu sekarang." "Oh, Sayang. Aku mencintaimu." Juna memajukan bibir agar Tasya menyentuhnya. "Aku juga mencintaimu." Tasya mengecup bibir manis itu. "Ayo, kita makan." Juna semakin sayang pada Tasya yang perhatian padanya. Istrinya ini memang sangat baik. Tentu bukan hanya itu saja. Tasya itu cantik, bahkan Juna heran kenapa bisa wanita ini jatuh hati padanya. Beruntung sekali ia memilikinya sebagai istri. "Sayang, kau tidak pergi lagi, kan? Kita belum malam pertama," ucap Tasya yang berhasil membuat pria ini tersedak minuman. Tasya datang dengan menyodorkan tisu dan mengusap punggung belakang Juna "Kau baik-baik saja?" "Ya, terima kasih." "Kau selalu tidak ada di rumah. Saat menjadi kekasih, kau selalu ingin menyentuhku." Tasya berucap seraya kembali duduk di bangkunya. "Maafkan aku, Sayang. Aku mengecewakanmu. Kita harus melakukan malam pertama di tempat spesial," ucap Juna. "Memangnya kenapa di rumah ini?" "Aku ini seorang suami, Sayang. Ini juga malam pertama kita. Aku ingin memberikan yang terbaik." "Kau punya uang?" tanya Tasya. "Untuk menyewa satu malam kamar hotel, aku masih bisa. Berdandanlah dengan cantik. Kita akan ke sana setelah ini." "Sayang ...." Tasya tersenyum. Di sini, ia harus memutar otak agar Juna tidak marah saat mendapati dirinya sudah tidak perawan. Mungkin dengan membuat luka sendiri, maka semuanya akan teratasi. Tasya belum mampu untuk jujur, meski ia jual diri karena Juna juga. "Bagaimana kalau kita main ke Night Club dulu?" Jury tersenyum penuh arti. "Untuk apa kita ke sana?" tanya Tasya "Sudah lama kita tidak bersenang-senang. Kau juga harus coba pergi ke tempat itu. Kau belum pernah, kan? Kau sendiri bilang ingin sekali melihat orang-orang berdansa dengan musik." "Itu benar. Aku ingin sekali ke sana." "Habiskan makanmu dan cepatlah bersiap." Dalam hati, Juna berkali-kali meminta maaf pada istrinya. Ya, mau bagaimana lagi. Ini harus dilakukan "Sayang, kau sudah siap?" Tanya Juna. "Ya. Kita berangkat sekarang?" Jury mengulurkan tangan. "Tentu. Aku sudah pesan taksi online-nya." Tiba di club tersebut, Juna memesan beberapa minuman. Ia sengaja menyewa satu bilik untuk minum bersama. "Sayang, minum ini." Juna menyodorkan segelas minuman beralkohol. "Apa aku bakal baik-baik saja? Aku tidak mau mabuk." Tasya mendorong minuman itu. "Tidak akan terjadi apa pun. Minum ini agar malam kita semakin menggairahkan." Tanpa curiga sama sekali, Tasya meneguk minuman itu sampai habis. "Hmm, rasanya manis." "Tambah lagi." Juna menyodorkan segelas minuman lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia juga takut. Malam ini, ia membawa istrinya ke dalam pelukan pria lain. Beberapa saat berlalu, Tasya mulai merasakan pusing. Tubuhnya pun terasa panas. "Ayo, Sayang. Waktunya pergi," ucap Juna.Juna seakan tidak rela, tetapi ia sudah berjanji akan memberikan Tasya kepada pria lain. Meski sudah memantapkan diri tetap saja rasanya rugi menyerahkan kehormatan istrinya. "Ah, sialan!" Juna mengumpat.Sopir taksi melirik Juna dan Tasya yang tengah dalam keadaan tanda tanya. Pria ini jadi curiga. "Kau lihat apa? Dia istriku," ucap Juna, dengan pandangan tajam"Maaf, Tuan. Kita akan segera sampai ke tujuan." Bagaimana tidak curiga jika wanita itu seperti terkena obat yang mengandung zat afrodisiak. Tasya merasa gelisah. Ia mulai membuka kancing baju yang dipakai, tetapi Juna mencegahnya. Bisa gawat kalau istrinya sampai membuka baju di mobil. "Cepat sedikit, Pak." Juna kewalahan kalau begini. "Iya, Tuan." Sopir mempercepat laju kendaraan. Untungnya tempat yang dituju masih satu kawasan dengan Midnight Club. Hanya perlu 10 menit sampai mobil ini tiba di hotel bintang lima. Juna juga sudah mengirim pesan kepada Doni agar menunggu di loby. Benar saja kalau Doni memang menunggu k
“Data wanita itu sudah ditemukan, Tuan.” Doni memberikan map biru kepada Rangga. Ini cukup mudah menyelidiki latar belakang Tasya karena suami wanita itu adalah teman sendiri. Hanya saja, Doni tidak memberitahu Juna tentang keinginan atasannya. “Dia sempat melamar sebagai office girl di kantor kita.” Rangga membuka map itu, lalu membacanya. Dilihat dari foto setengah badannya, memang dialah wanita yang ia cari. Sudah berkali-kali bertemu dan menghabiskan malam bersama, lalu kenapa Rangga tidak menjadikan wanita ini sebagai miliknya saja. “Terima dia, tapi tugaskan wanita itu hanya di lantai ini saja. Dia hanya boleh melayaniku,” ucap Rangga. “Baik, Tuan. Saya akan menghubunginya.” “Kau bilang dia punya suami, kan? Apa pekerjaan suaminya?” Sebenarnya Doni tidak mau memberitahu, tetapi jujur lebih baik daripada berbohong. “Suaminya bernama Juna dan dia teman sekolahku.” “Kau mengenalnya, Don?” Tidak ada yang perlu Doni sembunyikan, ia mengangguk. “Juna pernah menyelamatkan saya ke
Tasya terperanjat kaget, bahkan lap dan semprotan pembersih kaca terlepas begitu saja. Jantungnya berdegup kencang. “A-Apa?” tanyanya, ia takut untuk menoleh karena merasakan pria ini terlalu dekat dengannya.“Maksudku, kau menikmati pekerjaannya?” Rangga mengambil lap dan pembersih itu, lalu mengulurkannya kepada Tasya. “Milikmu.”“Te-Terima kasih.” Tangan Tasya bergetar, ia tidak berani menatap Rangga.“Buatkan aku kopi hitam tanpa gula.”Tasya mengangguk, lalu lekas pergi. Ia melirik pria itu karena merasakan keanehan. Tidak mungkin Rangga mengingat dirinya, Tasya terlalu banyak berpikir. Sebaiknya ia lekas keluar dari ruangan ini.Rangga tersenyum penuh arti. “Kelinci yang penakut ternyata saat menggoda. Aku jadi menginginkannya lagi.” Ide jahat Rangga mulai memberitahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.Tidak lama, Tasya kembali dengan membawa secangkir kopi hitam untuk Rangga. Ia meletakkan minuman itu di samping pria yang tengah fokus menatap layar laptop.“Saya permisi, Pak
Keringat meleleh dari kening, turun ke pipi serta dagu. Tasya meneguk ludah, kedua matanya ini tidak bisa mengalihkan pandangan dari dua anak manusia yang tengah memadu kasih di atas ranjang. Suara berat keduanya membuat tubuh Tasya semakin panas sekaligus takut. Ia tidak boleh bergerak, membuat suara apalagi. Hidupnya bisa bahaya bila sampai ketahuan.Tasya mohon agar permainan mereka cepat selesai. Kakinya keram, ia mulai gelisah. Jika lebih lama lagi, Tasya yakin ia akan mati lemas dalam lemari. Kedua tangannya mengepal. Napasnya megap-megap.Suara Rangga terdengar puas. Pria itu menarik dirinya, lalu berbaring di sisi tempat tidur yang kosong. Sedangkan Bella, turun dari ranjang, lalu masuk kamar mandi. Tasya hanya perlu menunggu sedikit lagi sampai mereka semua selesai membersihkan diri. Ia mengintip dari celah lemari. Rangga yang baru saja berbaring, tiba-tiba bangun, lalu berjalan ke arah lemari tanpa sehelai pakaian pun.Tasya menutup bibir agar ia tidak berteriak. Jaraknya su
Tengah menyantap makanan, dering ponsel Bella terdengar. Wanita ini mengambil telepon genggamnya itu dengan sangat hati-hati agar Rangga tidak marah. "Angkat saja," ucap Rangga. Tidak perlu berpura-pura karena ia tahu jika kekasihnya ini sangat sibuk. Banyak orang yang ingin meneleponnya. Bella tersenyum tidak enak, ia mengiakan ucapan Rangga, lalu mengangkat panggilan itu. "Aku sedang makan siang bersama tunanganku. Kenapa kalian selalu menganggu?" Bella mendengarkan apa yang diucapkan oleh si penelepon. "Ada masalah dengan kontraknya? Baiklah ... aku segera ke kantor." "Ada apa?" tanya Rangga. "Ada masalah di kantor. Kontrak salah satu talent bermasalah. Aku harus menyelesaikannya." "Mau kuantar?" "Aku tidak mau merepotkanmu. Kau juga sibuk. Sayang, maaf karena tidak selalu hadir di sisimu. Padahal aku ingin menghabiskan waktu siang ini denganmu." Wajah Bella memelas. Terlihat jika ia sangat menyesal. "Kau juga sibuk. Aku tahu itu. Panggil sopirmu biar dia jemput ke restoran
Hari yang melelahkan telah Tasya lewati. Ia kembali ke rumah dan mendapati Juna. Syukurlah, paling tidak ia bisa bersandar di pelukan suaminya itu.“Wajahmu kusut. Apa ada masalah?” tanya Juna.Tasya menggeleng. “Ini hari pertama kerja dan aku cukup sibuk. Kamu belum makan, kan? Kita beli aja, ya? Aku capek buat masak.”“Pakai uangmu dulu. Atasan belum membayar komisiku."“Uangmu habis?” tanya Tasya.“Kan semua uangku kukasih kamu.” Juna berkata begini karena Tasya tahunya gaji suaminya ini hanya 3 juta saja.“Ya, udah. Sama beliin air mineral.” Tasya memberi beberapa lembar uang kepada Juna.“Aku pergi beli dulu.”Sebenarnya Tasya punya sedikit trauma pada Juna yang sempat melarikan uang serta perhiasan miliknya. Itu sebabnya, ia sangat sensitif bila suaminya itu membahas soal uang. Seakan-akan Juna akan mengambil kembali hak yang bukan miliknya.Pikiran Tasya teralih pada kejadian di kantor. Besok, ia tidak ingin bekerja. Ia juga ragu membicarakan ini kepada Juna. Apa kata suaminya
Rangga menarik tangan Tasya hingga tubuh keduanya saling membentur. "Mengundurkan diri? Kau ini sedang bermimpi, hah?""Lepas. Kau tidak berhak berbuat seperti ini padaku. Aku akan melaporkanmu ke pihak berwajib." "Silakan karena kau sendiri yang setuju menjadi simpananku.""Apa maksudmu?" Rangga menarik diri, bila Tasya tidak bisa menjaga keseimbangan, ia mungkin sudah jatuh. "Baca ini." Rangga menyodorkan selembar kertas, lalu Tasya menerimanya. "Kau secara sadar telah menandatanganinya." Kata demi kata Tasya baca, dan cermati. Matanya melotot, jantung Tasya berdegup kencang setelah mengetahui isi dari lembar putih yang ia pegang ini."Kau mencoba melakukan tipuan apa? Aku tidak pernah berniat menjadi partner ranjangmu." Tasya merobek kertas itu. "Orang sepertimu tahunya menindas wanita. Apa kau masih waras? Aku ini wanita bersuami." "Memangnya kenapa? Aku tidak peduli. Kau sudah menandatangani surat itu dan mulai hari hingga seterusnya, kau milikku." "Hanya dalam mimpimu. Ke
Tasya terbatuk-batuk karena wanita itu kembali menendangnya hanya karena sepotong roti. Jika dia ingin memakannya, makan saja. Tasya harap roti itu beracun saking ia benci terhadap teman satu selnya.Ia kembali menahan lapar untuk pagi ini. Sampai makan siang tiba, Tasya diberi setengah makanan miliknya. Semua dikuasai oleh wanita rakus itu. Setidaknya dia masih berbaik hati dengan memberi setengah makanan.Bukan hanya makanan yang Tasya harapkan, tetapi ia perlu menghubungi suaminya. Ia perlu memberitahu Juna agar bisa membebaskannya dari sini. Untuk itu, ia butuh telepon.Tasya mengguncang sel penjara sekuat tenaga agar penjaga datang menghampirinya. Tidak peduli wanita tua itu kembali marah. Ini sudah sehari, kapan ia akan dibebaskan? Ia hanya melaporkan ketidakadilan, tidak mungkin ditahan sampai berbulan-bulan.“Hei! Bantu aku!” teriak Tasya. Berkali-kali sampai penjaga akhirnya muncul juga.“Kau bisa diam tidak?!” ucap sipir wanita, dengan wajah marahnya.“Mau sampai kapan kalia
Teriakan Tasya membuat semua yang ada di meja itu kaget. Tasya melangkah mendekati kerumunan dan langsung menarik rambut Juna, ia bahkan memberi pukulan pada pria tidak tahu diuntung itu. "Aku membayar hutangmu dengan mempertaruhkan harga diri, dan kau di sini seenaknya menghabiskan uang. Berjudi dan bermain wanita. Kau pikir dirimu siapa, hah?!" teriak Tasya, yang berhasil membuat rekan Juna menyingkir dari meja. "Lepaskan aku!" Juna menepis tangan Tasya. "Memangnya aku memaksamu? Kau sendiri yang berniat membayarnya. Kau juga istriku. Sudah sewajarnya kau itu bertanggung jawab atas apa yang kulakukan. Memangnya kau saja yang ingin bersenang-senang? Aku juga, Tasya." Plak ! Entah berapa kali Tasya melayangkan tangannya hari ini. Sakit hati tidak bisa sembuh dengan hanya satu tamparan atau pukulan. Perihnya begitu nyata. Juna berhasil mengiris-iris sanubarinya. Cinta kini telah berganti dengan luka. "Puas? Pergi dari sini. Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Kita sudah
Ketika tiba di kediaman, Rangga sudah menunggu serta menyerahkan sebuah dokumen dalam map biru. Tasya membuka dan membaca kata per kata isi dari surat tersebut. Ya, yang berada di tangan Tasya saat ini adalah surat perceraian yang sudah ditandatangani oleh Juna. Yang dikatakan oleh Mira, kekasih gelap pria itu, benar adanya.“Tinggal kau saja yang belum tanda tangan,” ucap Rangga.“Apa ini semua ulahmu? Kau bukan hanya memaksa, tetapi juga ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.”“Harusnya kau berterima kasih, Tasya. Aku menyelamatkanmu dari pria berengsek itu.”“Kau menyelamatkanku? Kalau kau tidak hadir dalam hidupku, pernikahan ini tidak akan hancur!” Tasya meninggikan suaranya.“Ternyata kau sangat mencintai pria itu. Sampai kau lupa apa yang telah dia lakukan. Bukan aku yang membuatmu bercerai, tetapi mantan suamimu itu yang datang padaku. Dia meminjam uang dengan jaminan dirimu.”“Bohong!” Mata Tasya melotot. “Setelah apa yang terjadi, apa aku harus percaya padamu? Kau itu pria
"Katakan sekali lagi." Tasya memang mendengar apa yang diucapkan oleh Mira, tapi ia ingin memastikan lagi apakah telinganya ini benar-benar menangkap perkataan yang wanita itu lontarkan. "Aku, kekasih Juna. Kau tidak lihat kunci rumah ini ada padaku?" Tasya berjalan mendekat. Mengangkat tangan, lalu menampar pipi Mira. "Kau sungguh tidak tahu malu. Ini rumahku dan Juna adalah suamiku, tapi kau berani mengaku sebagai kekasihnya.""Memang itu faktanya. Biar kuberitahu padamu jika aku dan Juna pernah bercinta di rumah ini." Mira tersenyum penuh arti. "Kau bilang apa?!" Tasya menarik rambut Mira. Wanita itu berteriak. "Lepaskan tanganmu!""Kau bercinta dengan suamiku. Berani sekali kau. Perebut sepertimu memang harus diberi pelajaran." Tasya menyeret Mira keluar. Karena teriakan wanita itu, tetangga sekitar keluar dari kediaman masing-masing. Bukannya melerai, tetapi mereka malah merekam aksi pertengkaran itu. "Kau itu tidak dicintai oleh Juna. Hanya aku, wanita yang paling dia cinta
Bagaimana cara memberitahu pria ini? Tasya sudah memikirkan banyak cara yang pasti berakhir pada satu titik di mana ia harus menerima semua pemberian dari Rangga. "Apa aku boleh bolos bekerja?" tanya Tasya. Saat ini, keduanya tengah berada di ruang makan. Menyantap makanan pagi bersama-sama."Memangnya kau mau ke mana? Kau juga tidak punya pekerjaan di rumah ini?" Lebih baik ke kantor yang sudah jelas ada pekerjaan."Aku ingin izin sehari saja." "Kuizinkan. Mulai besok, kau boleh kembali ke perusahaan sebagai sekretaris pribadi." "Aku tidak sekolah setinggi itu sampai bisa menjadi sekretarismu. Apa kata yang lain nanti?" "Kenapa kau memikirkan orang lain? Yang gaji kau itu adalah aku." "Kalau kau belum pernah merasakan hidup seperti diriku, lebih baik diam saja." "Kau cukup membuatkanku kopi, bersih ruangan, mengantar dokumen, menemaniku ketika aku butuh, termasuk aktivitas ranjang." Rangga tertawa. Pria berengsek! Dua kata itu hanya bisa Tasya lontarkan dalam hati saja. Tapi,
Juna melakukan ini karena terpaksa. Jika ada penagih, maka hidup Tasya juga bahaya. Jadi, ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Rangga Saputra. Yang terpenting adalah mendapatkan uang. Sisanya akan diurus belakangan.Sesuai dengan permintaan Juna, maka Doni membawa temannya ini menemui Rangga Saputra di kediaman. Rumah yang besar sekali sampai Juna begitu menggaguminya. Ia berkhayal jadi orang kaya dengan harta yang tidak pernah habis.Setelah tiba di sini, Juna memikirkan istrinya. Di mana Tasya? Apa dia sudah tidur? Bersama siapa? Juna penasaran apakah istrinya itu melayani Rangga? Membayangkannya membuat perasaan Juna tidak karuan.“Don, istriku di mana?” tanya Juna.“Kau tidak berhak bertanya di mana keberadaan istrimu karena dia bukan lagi milikmu.”“Tetap saja dia istriku.”“Fokus dengan tujuanmu datang ke mari.”Sekitar 10 menit, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya, muncul juga. Rangga keluar dari sebuah kamar dengan memakai kimono satinnya. Terlihat rambut pria ini basah
"Apa kau mendengar sesuatu di dalam kamar mandi sana?" tanya pelayan pada rekannya. Temannya ini berdeham. Suara helaan napas dan teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rangga dan Tasya ada di sana. Sudah pasti keduanya tengah melakukan hal-hal nikmat. "Cepat bersihkan kamar ini. Bisa jadi Tuan akan membawa wanita itu ke tempat tidur." "Pikiranmu sama sepertiku." Bergegas keduanya membereskan kamar ini termasuk mengganti seprainya secepat mungkin. Setelah itu, mereka keluar. Di dalam kamar mandi, Tasya tertunduk-tunduk karena ulah Rangga. Pria ini menarik rambutnya, mencengkeram leher dengan napas yang menderu."Kau tahu alasan kenapa aku tertarik padamu? Itu karena kau selalu berpura-pura berakting polos. Kau itu munafik. Tadinya kau menolak, tapi lihatlah dirimu sekarang. Lihat di cermin itu, kau menikmatinya." "Lakukan sepuasmu," ucap Tasya. "Dengan senang hati, Sayang. Setelah mandi bersama, kita lanjutkan di tempat tidur." Air dingin membasahi seluruh tubuh Tasya dan
Tanpa bisa menolak, Tasya mengikuti keinginan Rangga yang membawanya ke rumah itu lagi. Di mana Tasya dapat melihat dua pelayan yang sama kemarin lalu.Kali ini pun keduanya masih diperintahkan melayani seorang wanita yang dicap sebagai simpanan. Pakaian ini dilucuti, dibuang, digantikan dengan baju-baju dari merek ternama sesuai selera Rangga, pria yang pikirannya hanya pada aktivitas ranjang saja. Selain baju yang dipakai hari-hari, Tasya juga mendapat pakaian untuk dikenakan pada malam harinya. Gaun-gaun tipis yang bisa langsung sobek harus dipakai setiap malamnya. "Nona Tasya sudah selesai mandinya?" tanya pelayan. "Aku lapar." Karena ini memang sudah malam dan Tasya belum makan malam. "Biar saya ambilkan, Nona. Barusan Tuan Rangga pergi lagi. Dia akan kembali secepatnya." "Aku tidak boleh keluar?" tanya Tasya. "Lebih baik di dalam kamar saja." "Kalian pikir aku bisa lari ke mana dari dia?" Tasya jadi kesal. "Maaf, Nona. Kami hanya menjalankan perintah saja." Pelay
Tubuh ini terasa berat, seperti ada yang menindih. Perlahan Tasya membuka matanya, dan betapa kagetnya ia mendapati Rangga sudah berada di atas tubuh ini.“Menyingkir! Kau mau apa?” Tasya berusaha bangkit dari tidurnya, tetapi tangannya ini terikat. Sejak kapan? Tasya sungguh tidak sadar, dan apa-apaan ini? Bajunya tersingkap, lalu celananya juga sudah melorot ke bawah. “Minggir!” teriak Tasya.“Waktu pertama kali, kau begitu pasrah. Kedua kalinya kau tidak sadarkan diri karena pengaruh obat. Sekarang, kau harusnya tidak perlu malu lagi. Aku sudah melihat dan merasakan tubuhmu berulang kali. Kenapa tidak kita nikmati saja siang ini, Sayang?” Rangga membelai wajah simpanannya ini.“Aku terpaksa melakukannya. Sama sekali aku tidak berniat menjual diriku padamu. Mengertilah.”“Kau di sini karena kesalahanmu sendiri dan suamimu juga mengizinkan. Sudah kubilang, kan, kalau kau tidak mau berada di bawahku, maka berikan aku uang 10 miliar.”“Kau memeras seorang wanita yang tidak tahu apa-apa
“Anda berdua, silakan ikut kami.” Dua orang penjaga mempersilakan Juna dan Tasya mengikuti mereka.“Aku sudah bilang kalau mereka tidak bisa berkutik,” ucap Juna, “jika atasanmu macam-macam, kita tinggal sebarkan videonya. Aku akan merekam setiap tindakannya itu. Kau tenang saja, Sayang. Tidak akan terjadi apa-apa padamu.”Tasya mengangguk. “Aku hanya ingin lepas dari dia.”“Kita lihat saja nanti.” Ini kesempatan, Juna akan meminta uang sebagai kompensasi kepada atasan perusahan ini karena telah berani menganggu istrinya.Penjaga mempersilakan keduanya masuk lift, lalu lantai yang familiar bagi Tasya ditekan. Jantung wanita itu berdetak kencang. Ada rasa takut serta gagal karena tahu jika Rangga bukan orang yang mudah dikalahkan.“Kau harus tenang,” ucap Juna seraya memegang tangan istrinya. Bersama Juna, barulah Tasya dapat merasakan ketenangan. Ia yakin setelah ini, Rangga tidak akan menganggunya lagi.Denting lift berbunyi, mereka keluar setelah pintu terbuka. Juna dan Tasya diarah