Saat Alexa berjalan menuju kamar, tiba-tiba tubuhnya ditekan ke dinding koridor. Ternyata, Kevin yang melakukannya dengan ekspresi penuh emosi. Dia mendorong Alexa dengan marah, tampak seperti seorang pria yang mendapati wanita yang dicintainya bermain api dan membuatnya cemburu. Alexa mencoba melawan, mendorong tubuh Kevin sambil berkata, "Kevin, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku! Sakit, Kevin!" Kevin memandang Alexa dengan tatapan dingin, tubuhnya yang keras menghukum dan menguasai tubuh Alexa yang lemah. Dia mencengkeram kedua tangan Alexa dan menahannya di atas kepala. Nafas Kevin menyapu telinga Alexa dengan lembut saat dia bertanya dengan nada penuh kecurigaan, "Apa kamu ingin bercerai dariku karena dia? Karena kamu sudah mendapatkan mangsa yang lebih baik, maka kamu ingin menceraikanku?" Alexa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ketika dia hendak berbicara, Kevin tiba-tiba menciumnya dengan penuh gairah. Meskipun pernikahan mereka belum genap satu tahun, Kevin tahu bagai
"Kevin, apa kamu cemburu dengan Bryan?" tanya Alexa dengan hati-hati. "Apa? Cemburu?" ucap Kevin sambil mencibir. "Ini tidak ada hubungannya dengan perasaan cinta. Kamu jangan terlalu percaya diri. Aku hanya mengingatkanmu bahwa kamu masih menyandang status Nyonya Kevin. Jangan pernah bergaul dengan pria lain, itu akan merusak nama baikku." Senyum Alexa perlahan memudar. Alesha merasa menyesal dan juga kecewa. Mengapa dia harus bertanya barusan kepada Kevin? "Oh, ini hanya tentang masalah status saja," batinnya. "Kevin, aku tidak akan merusak nama baikmu dan keluargamu. Aku tahu posisiku," jawabnya dengan tenang. "Lalu, bagaimana dengan dirimu? Kamu juga melakukan hal itu, bukan? Nora, di depan umum, di depan banyak orang, ia memperlihatkan kemesraannya. Apa itu namanya?" ucap Alexa dengan senyum tipis. Tatapan Kevin menajam, menatap mata Alexa dengan sangat dalam. Sebenarnya, dia tidak terlalu peduli pada Nora. Dia membiarkan Nora melakukan semua itu di depan umum saat rapat ka
Alexa memandang Kevin dengan penuh ketegasan, tekad sudah bulat dalam pikirannya. “Aku akan kembali bekerja di kantor Papa. Aku merasa sudah sangat sehat dan hari ini aku putuskan untuk kembali bekerja,” ujarnya tanpa sedikit pun ragu.Kevin, yang sepertinya sudah menyiapkan sesuatu, merogoh kantong celananya dengan tenang. Ia mengeluarkan dompet dan menyerahkan dua buah kartu kredit kepada Alexa. “Ini kedua kartu yang kubuat khusus untukmu. Pakailah untuk keperluanmu dan juga untuk kebutuhan belanja, kalau perlu, sesuatu kamu bisa tinggal gesek.” katanya, menyelipkan nada sindiran di akhir kalimat.Alexa menatap kartu-kartu itu dengan dingin. “Aku tidak terlalu membutuhkan kartu-kartu ini, Kevin,” ujarnya singkat.Mendengar jawaban itu, Kevin langsung mengejek, “Apa yang kau bilang? Kamu tidak membutuhkannya? Jangan sombong, Alexa. Aku tahu betul kalau kamu tidak punya uang sepeser pun. Itu terbukti saat aku meninggalkanmu di tengah jalan waktu hujan turun. Kamu tidak bisa kembali ke
Alexa memutuskan untuk pergi ke kantor hari ini, meskipun baru saja melewati perdebatan panjang dengan Kevin. Akhirnya, ia menerima kartu kredit yang diberikan Kevin hanya untuk menghindari tekanan lebih lanjut darinya. Namun, Alexa berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menggunakan kartu itu, apa pun yang terjadi. Pagi itu, Kevin sudah memerintahkan seorang sopir untuk mengantar jemput Alexa ke kantor, seolah mengawasinya dari kejauhan.Sesampainya di kantor, Alexa langsung mencari keberadaan papanya. Ia menemukannya sedang berbincang-bincang dengan salah satu kolega bisnisnya di ruang rapat. Alexa memutuskan untuk menunggu di luar, menahan diri agar tidak mengganggu perbincangan itu. Tata kramanya masih tertanam kuat—dia tahu kapan harus menahan diri.Setelah kolega bisnis itu meninggalkan ruangan, Alexa segera menemui papanya. Ketika masuk, ia langsung disambut dengan senyum ramah yang sayangnya terasa formal dan kaku. “Sayang, gimana kabarmu? Papa dengar kamu sakit. Maaf, Papa
Alexa sedang duduk di ruang kerjanya, mencoba menenangkan diri setelah menangis. Matanya masih sembab, tetapi ia tidak ingin siapa pun tahu apa yang baru saja ia alami. Di tengah upayanya mengatur napas, terdengar ketukan di pintu. "Ayo masuk," katanya dengan suara yang masih terdengar bergetar.Alexa mengira yang datang adalah salah satu karyawan papanya yang hendak menyerahkan beberapa berkas untuk ditandatangani. Namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu."Briyan?" Alexa memaksakan senyum."Hai, Alexa. Boleh aku masuk?" tanya Briyan dengan lembut."Tentu, Briyan. Silakan masuk. Ada apa?" Alexa berusaha menormalkan suaranya, menyembunyikan jejak kesedihannya."Apa aku mengganggumu?""Tidak, kamu tidak mengganggu. Ada yang ingin kamu bicarakan?"Briyan masuk dan menutup pintu di belakangnya, berjalan perlahan ke arah meja Alexa. "Sebenarnya, ini bukan tentang pekerjaan," katanya dengan nada serius."Oh," Alexa mencoba menyembunyikan rasa penasar
Malam itu, Alexa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan Kevin. Kecemasan melingkupi hatinya. Ia tahu, Kevin pasti tidak akan setuju jika dia menerima tawaran menjadi model. Namun, Alexa juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bisa bertemu dengan para pebisnis papan atas, dan mungkin, menjalin kerja sama antara perusahaan ayahnya dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Jika rencananya berhasil, Alexa berharap bisa mengembalikan semua nilai investasi yang diberikan Kevin dan keluarganya kepada perusahaan ayahnya. Hanya dengan cara itu, dia bisa lepas dari cengkeraman Kevin.Alexa sempat berpikir, mungkin satu-satunya cara untuk bernegosiasi dengan Kevin adalah menerima tawaran untuk hamil kembali, asalkan Kevin mengizinkannya kembali ke dunia model yang dulu pernah dia cintai. Kevin mungkin tidak akan melarangnya terjun ke dunia modeling selama dia belum hamil. Maka, Alexa pun menyusun rencana: dia akan diam-diam meminum pil KB agar tidak bisa hamil. Denga
Pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Alexa, yang selama ini terlihat rapuh setelah kegugurannya, kini muncul seperti sosok lamanya. Dia kembali menyiapkan kemeja kerja Kevin, memilihkan dasi yang serasi, dan menatanya dengan rapi. Namun, perubahan ini tak membuat Kevin tersentuh. Dia tetap dingin, cuek, seolah tak peduli dengan usaha Alexa. Meskipun Alexa kembali melakukan kebiasaannya, satu hal yang tak berubah adalah dia tak lagi menawarkan untuk memakaikan kemeja atau dasi pada Kevin seperti dulu.Saat Kevin masuk ke kamar mandi, Alexa dengan cepat membereskan segala sesuatu, mempersiapkan diri untuk keluar dari kamar. Dia tak ingin terlalu dekat atau berinteraksi fisik dengan Kevin jika tidak diminta. Alexa bukan lagi wanita yang sama seperti dulu. Kini, dia lebih berhati-hati, walaupun masih berusaha menjaga perhatian terhadap kebutuhan Kevin untuk bekerja, seperti menyiapkan pakaiannya atau memastikan segala sesuatu yang dibutuhkannya sudah tersedia.Ketika Alexa hendak keluar da
Malam itu, Kevin mengadakan jamuan untuk para kolega bisnisnya. Awalnya, dia dengan tegas menolak untuk minum alkohol. Dia tahu dirinya tidak kuat menahan minuman keras; hanya butuh beberapa teguk saja untuk membuatnya mabuk berat. Namun, kali ini situasinya berbeda. Minuman itu dipesan khusus untuknya oleh rekan-rekan bisnisnya. Dengan terpaksa, Kevin pun ikut minum.Di pojok ruangan, seorang pramusaji wanita tampak gelisah. Salah satu tamu yang berpengaruh memberikan instruksi padanya dengan nada memaksa. “Tolong, mbak, kasikan minuman ini ke orang yang duduk di pojokan itu,” ujar pria itu sambil menyerahkan segelas minuman yang sudah dicampur sesuatu.Wanita itu ragu. “Maaf, Pak, saya tidak berani. Ini terlalu berisiko.”Pria itu mendekat, suaranya merendah namun penuh ancaman. “Jika kamu berhasil melakukan tugas ini, kamu akan saya kasih uang 50 juta. Gimana, 50 juta?”Wanita itu terpaku, terkejut dengan jumlah yang disebutkan. “Anda serius?” tanyanya, meski suaranya bergetar.“Se
Setelah kejadian malam itu, Gina dan Kevin merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Bukan dalam bentuk jarak, tetapi sebaliknya—perasaan saling pengertian dan kedekatan yang lebih mendalam. Gina, yang semula dibelenggu oleh kecurigaan dan rasa cemburu, kini merasa lega. Kevin, di sisi lain, merasakan beban yang terangkat karena tidak lagi harus menyembunyikan rencana kejutan untuk ulang tahun istrinya.Beberapa hari kemudian, ulang tahun Gina tiba. Kevin sudah merencanakan acara kejutan kecil di rumah mereka. Sejak insiden di mana Gina mengetahui tentang kalung berlian itu, Kevin berusaha memberikan lebih banyak perhatian. Ia pulang lebih awal, membantu di rumah, dan sering kali memastikan mereka memiliki waktu berkualitas bersama, meski hanya sekadar menonton film atau berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka. Gina pun mulai merasa lebih tenang dan percaya pada Kevin, berusaha membuang jauh-jauh rasa cemburu yang sempat mengganggunya.Malam ulang tahun Gina dimulai d
Beberapa hari kemudian, Gina merencanakan untuk mengikuti Kevin. Ia telah mengumpulkan cukup keberanian, dan perasaan curiga yang membebani pikirannya semakin sulit diabaikan. Malam itu, Gina mengatur alarm di ponselnya dengan pelan, lalu menunggu saat Kevin pulang terlambat seperti biasanya. Ketika Kevin akhirnya tiba di rumah, ia tampak lelah seperti biasa, menjelaskan bahwa rapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.Gina berusaha menahan diri, pura-pura tersenyum dan memberikan pelukan hangat. Namun, pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia bertekad untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar "proyek kerja" antara Kevin dan Karla.Keesokan harinya, Gina mengamati Kevin dengan cermat saat ia bersiap-siap pergi ke kantor. Sesaat setelah Kevin keluar dari rumah, Gina segera menyusul, memastikan jaraknya cukup jauh sehingga Kevin tidak akan menyadari bahwa ia sedang diikuti. Jantungnya berdebar kencang sepanjang perjalanan. Gina mencoba menenangkan diri, me
Malam itu, meski Kevin sudah berusaha meyakinkannya, Gina masih tak bisa sepenuhnya mengusir rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Setelah Kevin tertidur di sampingnya, Gina terjaga dalam kegelapan, pikirannya terus memutar ulang percakapan mereka. Hatinya gelisah. Sesuatu di balik senyum ramah Karla dan reaksi Kevin yang canggung saat melihatnya di kafe tidak bisa ia abaikan.Beberapa hari berlalu, dan Gina mulai memperhatikan perubahan kecil dalam perilaku Kevin. Ia menjadi lebih sering pulang terlambat, selalu dengan alasan pekerjaan atau rapat mendadak. Setiap kali Gina mencoba mengajak Kevin berbicara tentang perasaannya, Kevin akan menjawabnya dengan nada lembut namun penuh penjelasan logis, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin banyak Kevin beralasan, semakin Gina merasa dirinya diabaikan.Suatu malam, ketika Kevin kembali terlambat lagi, Gina memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi. Setelah anak-anak ti
Gina tidak langsung mendekati Kevin dan Karla. Ia berdiri dari kejauhan, memperhatikan suaminya tertawa lepas dengan wanita lain—wanita dari masa lalunya. Hati Gina berdebar keras, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia tahu, sebagai seorang istri, Kevin selalu jujur padanya, dan Gina berusaha untuk mempercayai suaminya. Tapi melihat kedekatan Kevin dengan Karla membuat hatinya tak tenang. Gina menggenggam erat tasnya, mencoba meredam emosi yang mulai naik.Saat Gina akan berbalik pergi, tanpa disadari, tatapan Kevin tertuju padanya. Wajahnya berubah seketika—senyum yang tadi mengembang kini tergantikan oleh keterkejutan. Karla, yang menyadari perubahan ekspresi Kevin, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Gina."Hei, Gina?" sapa Kevin dengan nada ragu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Gina berusaha tersenyum meski hatinya tak menentu. "Aku hanya mampir sebentar untuk mengejutkanmu, mungkin kita bisa makan siang bersama," katanya pelan, mencoba terde
Kehidupan Kevin dan Gina setelah liburan di desa berjalan kembali ke ritme kota besar. Kevin tenggelam dalam pekerjaannya sebagai eksekutif di perusahaan besar, sementara Gina sibuk mengurus Keiva dan Keanu serta menjalankan bisnis kecil yang ia mulai dari rumah. Mereka masih sering mengenang momen indah di desa, dan meski topik tentang anak ketiga jarang dibicarakan lagi, Kevin tidak pernah benar-benar melupakannya.Suatu sore, saat Gina sedang menyiapkan makan malam, Kevin tiba-tiba menerima telepon dari perusahaannya. Ada proyek besar yang memerlukan perhatiannya, dan rapat mendadak dijadwalkan. "Gina, aku harus ke kantor sebentar, ada rapat penting yang harus kuhadiri," katanya sambil mengambil jasnya."Rapat lagi?" tanya Gina sedikit kecewa, tapi ia tahu pekerjaan Kevin memang selalu menuntut. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu larut ya."Kevin tersenyum dan mencium keningnya sebelum berangkat. "Aku akan segera pulang. Aku janji."Di kantor, Kevin disambut dengan atmosfer yang
Kevin dan Gina memutuskan untuk menghabiskan liburan mereka bersama kedua anak mereka, Keiva dan Keanu, di sebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terletak di kaki gunung, dengan pemandangan yang menakjubkan dan udara yang sejuk. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk melepas penat, bersantai, dan menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Hari pertama di desa dimulai dengan sarapan yang sederhana namun lezat. Gina memasak roti panggang dengan selai buatan sendiri, sementara Kevin sibuk membantu Keiva dan Keanu bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Keiva, yang kini berusia lima tahun, sangat antusias untuk menjelajahi desa dan melihat hewan-hewan di peternakan terdekat. Keanu, yang baru berusia satu tahun, juga tampak senang meskipun ia belum mengerti banyak tentang petualangan yang menunggu. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga liar. Kevin menggandeng tangan Keiva, sementara Gina menggendong Keanu yang terus tertawa melihat ku
Pernikahan kedua Kevin dan Gina yang sederhana namun penuh makna benar-benar menjadi awal baru bagi mereka. Setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian, mereka akhirnya bisa hidup bersama, kali ini dengan hati yang lebih terbuka dan ikatan yang lebih kuat. Mereka tak hanya memulai kembali kehidupan sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua dari dua anak, Keiva dan Keanu.Minggu-minggu setelah pernikahan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tiada tara. Keiva, putri pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sangat gembira dengan kehadiran adik laki-lakinya. Setiap hari, dia selalu ingin membantu Gina merawat Keanu, mulai dari menghiburnya saat menangis hingga ikut mengganti popok. Keiva tampak sangat menyayangi adiknya, dan ini membuat Kevin serta Gina semakin bahagia melihat kasih sayang yang tumbuh di antara anak-anak mereka.Suatu pagi yang cerah, Kevin dan Gina duduk di teras rumah mereka yang nyaman, mengamati Keiva bermain dengan Keanu yang masih berbaring di kere
Hari itu adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Gina dan Kevin. Setelah bertahun-tahun terpisah oleh berbagai masalah, mereka akhirnya bisa bersama lagi. Gina sudah berjuang keras menghadapi masa-masa sulit, dan kini dia bisa merasakan kebahagiaan sejati. Kevin, yang selama ini dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan memulai kembali hubungan mereka dari awal. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu rumah mereka, berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka jalani bersama sebagai sebuah keluarga. Gina tersenyum hangat sambil memegang perutnya yang sudah besar. Dia tengah hamil, dan hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai kehamilan itu mencapai puncaknya. Kevin, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gina dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan mereka bersama dengan anak yang akan segera lahir. "Rasanya seperti mimpi, Kev," kata Gina dengan mata yang
Kevin duduk di meja kerjanya dengan senyum tipis, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terbaru dari Gina. Sudah beberapa hari ini dia berpura-pura menjadi "Alex," sosok yang dia ciptakan untuk membuat kejutan kepada Gina. Hubungan mereka yang baru saja kembali pulih membuat Kevin ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar berkomitmen. Namun, dia tahu Gina tidak akan menyangka bahwa Alex dan Kevin adalah orang yang sama. Itu adalah bagian dari kejutan yang dia rencanakan.Gina, di sisi lain, mulai merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Alex kepadanya. Alex, yang tiba-tiba muncul di hidupnya, selalu mengirim pesan yang hangat dan penuh perhatian, sesuatu yang sebenarnya mengingatkannya pada Kevin. Meski hatinya masih terfokus pada Kevin, kedekatan dengan Alex membuat Gina sedikit bingung dan gelisah. Dia tidak ingin memberi kesan kepada Kevin bahwa dia tertarik pada pria lain, tetapi semakin lama, perhatian dari Alex semakin sulit diabaikan