"Kamu yakin, Thunder?"Sharon yang sedang mengoleskan salep di pelipis anaknya bertanya pelan dan hati-hati. Ia berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh Catherine, yang saat ini sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton.Gabriel yang sedang duduk di depannya, balas berbisik pada ibunya. "Aku yakin, mam. Aku mendengarnya sendiri. Suaranya halus. Tapi setelah itu, dia tidak mengatakan apapun lagi, meski aku sudah mencobanya."Merapihkan bekas-bekas kapas dari atas meja makan dan membuangnya, Sharon kemudian menutup kotak obatnya. Ia kembali memperhatikan anak perempuan kecil yang masih tampak asyik dengan tontonannya. "Kalau memang benar, Tatiana pasti akan sangat senang sekali. Dia dan suaminya mulai putus asa karena selama hampir 2 tahun ini, belum ada kemajuan yang berarti dari terapi anak itu.""Menurutku, lebih baik kita tidak mengatakannya dulu pada bibi Tatiana, mam. Aku tidak mau membuatnya kecewa, apalagi kalau benar aku hanya salah dengar tadi."Tersenyum simpul, Sharo
"Pap-""Sayang. Aku berangkat dulu." Tanpa menghiraukan sapaan anaknya, Stephen mengecup pipi Sharon dan langsung keluar menuju pintu depan.Hati Gabriel benar-benar ter*mas sakit. Ia pun menoleh pada ibunya yang tampak berdiri dari kursinya dan mulai merapihkan piring-piring kotor dari atas meja."Mam..."Nada putus asa dari anaknya akhirnya menghentikan kegiatan Sharon. Sejenak, wanita itu hanya menatap tumpukan piring-piring di depannya dan akhirnya ia mengangkat wajahnya, memandang anaknya."Kenapa kamu bisa berfikiran seperti itu, Thunder? Kenapa kamu tega untuk bisa berfikir, kalau kami berdua menginginkan seorang anak perempuan? Bagaimana bisa kamu membandingkan kasih sayang yang kami berikan, dengan seorang anak perempuan yang jelas-jelas bukan anak kami? Bukan pula saudaramu?"Kedua mata hitam Gabriel mulai berkaca-kaca. Kejadian tadi malam benar-benar memberikan pelajaran bagi remaja tanggung itu untuk mulai dapat menjaga mulutnya. "Mam..."Kepala Sharon kembali menunduk dan
= Empat tahun setelah kepergian Thunder dari rumah keluarga Hamilton =Kota NY, Amerika. Perusahaan NAMAC Inc."Yo, Carter. Apa rencanamu malam ini? Ke club yuk."Gabriel yang menatap layar komputernya menengadah. Terlihat pria berambut pirang berdiri bersandar pada pembatas kubikal di depannya. Kedua mata orang itu bersinar dan bibirnya tersenyum miring. Nama orang ini Daniel Lewis, karyawan bagian marketing yang sudah sekitar 2 minggu ini cukup sering main ke tempatnya, entah karena apa. Padahal sebelumnya, mereka tidak begitu dekat meski satu lantai."Tidak ada rencana. Setelah ini, aku akan langsung pulang." Ia kembali menatap layarnya. Sama sekali tidak berminat untuk pergi kemana-mana malam ini. Ia hanya ingin pulang, mandi dan tidur. Ia baru saja pulang dari perjalanan dinas selama beberapa minggu, dan badannya sangat membutuhkan istirahat.Belum menyerah, pria pirang itu memandang sekitarnya dan menunduk ke arah Gabriel. Ia sedikit berbisik. "Ayolah, Carter. Sedikit bersenang-
Setelah menempuh perjalanan hampir 9 jam, Gabriel akhirnya mendarat di Jerman dan langsung melaju ke rumah sakit. Pria muda itu sampai sekitar jam 5 pagi dan tampak ayahnya, duduk di samping Grandmamma yang tertidur tenang. Berbagai peralatan medis tertancap di badan yang ringkih dan tua itu. Kepala ayahnya meneleng ke samping dan pria baya itu terbangun, ketika mendengar suara pintu yang terbuka pelan.Ayah dan anak itu saling berpandangan dan tanpa bersuara, Stephen bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati pria muda yang masih terdiam di depannya. Tampak sorot mata Gabriel yang berkaca-kaca dan merasa sangat bersalah pada pria yang telah membesarkannya dengan penuh cinta selama ini.Tangan kanan Stephen mencengkeram rambut hitam anak lelakinya yang lebih tinggi darinya, dan menarik pria yang jauh lebih muda itu ke dalam pelukannya. Pelukannya sangat erat dan pria baya itu mencengkeram punggung lebar anaknya, yang juga membalas pelukan itu dengan sama kuatnya. Keduanya meneteska
Proses pemakaman Grandmamma baru saja selesai, namun Gabriel masih belum meninggalkan area makam itu. Perlahan, ia meletakkan bunga tulip putih di makam yang masih basah dan mengusapnya pelan. "Terima kasih, Nana..."Setelah berdoa dalam hatinya, pria muda itu bangkit dari posisinya dan berbalik. Kedua matanya melebar dan terkejut saat ia menyadari ada seseorang yang telah berdiri sedikit jauh di belakangnya.Di depannya, tampak sosok anak perempuan berambut cokelat kemerahan. Matanya yang amber memancar datar dan bibirnya tidak tersenyum. Tampak beberapa tangkai bunga tulit berwarna putih di tangan kirinya. Keduanya sejenak hanya saling menatap dalam diam, sebelum akhirnya anak itu memutus pandangannya dari Gabriel dan melangkah mendekati makam yang ada di depannya.Sedikit berjongkok, anak perempuan itu meletakkan tangkai-tangkai tulip itu di samping rangkaian bunga yang tadi diletakkan oleh Gabriel. Jari-jari mungilnya mengusap pelan tanah makam itu. Tampak kedua tangannya menangk
Dengan berdebar keesokan harinya, Gabriel mengetuk pintu kokoh yang ada di depannya. Ia menurunkan pandangannya dan mencoba menyusun kalimat yang akan dikatakannya nanti pada sang pemilik rumah.Pintu yang terbuka menampilkan sosok kecil yang berdiri di depannya. Tidak menyangka kalau Catherine langsung yang membuka pintunya, Gabriel sedikit gugup. Otaknya sejenak terasa kosong, dan ia belum mampu mengatakan apapun. Konsentrasinya baru kembali ketika terdengar suara lembut dari anak di depannya."Ada apa datang ke sini?""Kat, selamat siang. Paman dan bibi ada?"Kepala kecil itu menggeleng, dan ekor kudanya yang panjang melambai-lambai di belakangnya. Bibir kecilnya yang cemberut, membuat anak itu terlihat sangat imut dan menggemaskan. Dan lagi, terasa dorongan untuk mengusili anak ini tapi bukan untuk membuatnya menangis, melainkan marah. Gabriel ingin membuat anak ini marah dan meluapkan perasaannya.Iseng, bukannya mundur tapi Gabriel malah semakin melesekkan badannya ingin masuk
= Dua minggu sejak kepulangan Thunder ke Amerika ="Thunder Gabriel!"Seruan itu tidak menghentikan langkah-langkah kaki yang terdengar cepat di koridor yang telah sepi itu, karena jam yang telah menunjukkan angka 22.00."Thunder Gabriel! Berhenti kataku!"Selesai mengatakan itu, terasa tarikan yang sangat kuat di leher kerah kemeja Gabriel dari arah belakangnya. Dan hanya dalam waktu beberapa detik, tubuh pria itu telah melayang di udara. S*al!Terpaksa Gabriel mengambil alih tubuh Thunder dan membuatnya memiliki kemampuan untuk menghindari serangan yang sangat mematikan itu. Tubuhnya berputar di udara dan ia pun mendarat sangat mulus. Dengan segera, Gabriel mundur dan berusaha menjauhkan dirinya dari wanita mengerikan di depannya.Yang terjadi di depan matanya, membuat mata kelabu Nathalina membesar. Wanita itu sejenak membeku, baru kemudian ia menegakkan dirinya dan kepalanya meneleng ke kiri. "Thunder Gabriel. Sebenarnya kau ini apa?"Mulai jengkel dengan pertanyaan atasan dari k
"Kau sudah yakin dengan keputusanmu?""Ya, Nona Axelle. Saya sudah mantap.""Ny. Corentin, Thunder Gabriel. Sudah berkali-kali aku bilang, panggil aku dengan sebutan Nyonya Corentin saat kita sedang berdua saja.""Tapi apakah tidak apa-apa, No- Ny. Corentin? Karena saya pernah melihat pandangan suami Anda yang tajam dan menusuk, kalau saya terlihat terlalu akrab dengan Anda. Meski sebenarnya dengan panggilan itu, seharusnya suami Anda menghilangkan kecemburuannya pada saya. Tapi tetap saja..."Terdengar kekehan pelan dari bibir tebal Nathalina. "Biarkan saja. Dia baru mengalaminya selama 7 tahun ini sebagai suamiku tapi aku telah menahan perasaan kehilangannya, lebih dari 25 tahun masa hidupku. Dia telah ingkar janji selama 10 tahun, Thunder Gabriel. Kalian para pria harus ingat, kalau wanita adalah mahluk pendendam. Meski memaafkan kesalahan kalian, tapi akan ada saatnya kami ingin membalas perbuatan kalian yang telah menyakiti kami.""Begitukah?"Gabriel menelan ludahnya, kala ia te
= Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe
"Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya
"Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal
Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa
Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den
"Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri
"Kamu sudah baikan dengan Evan?""Kapan memangnya aku marahan dengan anak itu?""Gabe..."Sadar nada isterinya yang geram, Gabriel segera memeluk pinggang Kat dan mengusel-usel kepalanya di d*da wanita itu yang empuk dan hangat."Aku sudah bicara dengannya, honey. Semua sudah beres. Sekarang, usap-usap kepalaku."Menurut, Kat pun mengelus lembut kepala suaminya. Ia berhati-hati agar tidak sampai menyentuh bagian yang terluka. Meski seharusnya ia telah pulang, tapi Gabriel bersikeras agar dirinya dapat menginap di rumah sakit. Untungnya ruang rawat VVIP memiliki tempat tidur yang cukup luas, membuat mereka berdua leluasa untuk dapat berbaring tanpa saling mendorong. Seperti sekarang ini.Selama beberapa saat, Kat mengusap-usap kepala suaminya. Tampak pandangannya melamun."Gabe...?""Ya...?""Mengenai masalah Burton. Kamu yakin sudah beres?"Semakin memeluk erat pinggang Kat, pria itu mengangguk."Burton dan Luzt sudah dipenjara, honey. Meski mungkin jaringan pengedarnya masih belum te
"Benar dia tidak apa-apa, dokter?""Tidak ada gumpalan darah dalam kepalanya, Ny. Hamilton. Dan dari pemeriksaan, tidak ada retakan atau kerusakan yang parah karena kecelakaan itu. Tuan Hamilton hanya mengalami luka-luka luar saja. Ia cukup beruntung memiliki reaksi yang baik dan melakukan gerakan yang tepat. Jika tidak, mungkin saja akan ada cedera yang lebih fatal pada dirinya dan juga puteranya.""Tapi kenapa sampai sekarang dia belum sadar, dokter? Ini sudah hampir dua hari.""Kita hanya bisa berdoa saja, Nyonya. Karena meski secara medis tidak ada masalah tapi sebagai manusia, dokter juga punya keterbatasan. Dan yang perlu dingat, meski masih sangat bugar tapi Tuan Hamilton sudah berusia 60 tahun. Tentu fisiknya tidak akan sama dengan kondisinya 20 tahun yang lalu. Akan butuh waktu bagi tubuhnya untuk recovery yang kita juga masih memonitornya sampai dengan hari ini."Kepala Kat menunduk, dan ia kembali bertanya dengan suara pelan. "Apakah-"Belum juga kalimat Kat selesai, dari a
"Aku ingin mengajakmu bertaruh, Apollyon."Saat ini, Apollyon dan Gabriel sedang bermain catur di taman bunga pria berambut merah itu. Melihat dari posisi bidaknya, tampaknya ia yang akan memenangkan pertandingan ini."Bertaruh? Kau yakin?""Ya."Pria berambut merah itu terkekeh arogan. Ia memindahkan salah satu bidak dengan santai di depannya. Setelahnya, ia menyenderkan punggungnya santai di kursi dan mengangkat kedua tangannya sombong."Baiklah. Aku menyukai pertaruhan, karena aku selalu menjadi pemenangnya. Apa yang kau inginkan?"Kepala Gabriel mengangguk dan ia menggerakkan bidaknya di papan catur."Kalau aku memenangkan pertandingan ini, maka aku akan memberikan tepukan sayang di pipimu."Mendengar itu, kedua alis Apollyon berkerut. "Tepukan sayang? Apa itu?""Kau akan mengetahuinya saat aku memenangkan pertandingan ini. Bagaimana? Kau takut?"Tantangan yang menyebalkan itu berhasil menyulut kemarahan Apollyon. "Ayo! Siapa takut! Tapi sebaliknya, kalau aku yang memenangkan pert