"Gabriel?"Kedua mata hitam itu akhirnya mengerjap dan menolehkan kepalanya. Terlihat pandangannya masih belum memberikan ekspresi apapun, tapi Michael yakin kalau rekannya itu cukup shock dengan ceritanya."Apollyon yang mengatakannya sendiri?""Ya. Dia bahkan mengajakku ke taman bunganya, tidak seperti biasanya. Ternyata yang ingin diceritakannya merupakan rahasia yang ditutupnya rapat selama ini, bahkan dari para dewa.""Apa yang akan dilakukan oleh mereka kalau tahu jiwa itu masih berkeliaran di sini?"Tatapan Michael tajam pada temannya. "Mereka akan memusnahkannya. Karena kalau dari cerita Apollyon, jiwa silver itu memang ditakdirkan untuk mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan para umat manusia, yang bahkan mereka bukanlah pengikutnya. Dan warna sebenarnya adalah kuning emas, mirip dengan kita. Tapi karena kejadian pusaran itu, dia berubah menjadi silver dan ia pun menjadi terjebak dalam lingkaran takdir tidak berujung. Sampai sekarang.""Dia tidak akan bisa memiliki reinkarnas
Menyadari situasi yang mulai di luar kontrolnya, Gabriel berusaha melepaskan genggaman Catherine tapi anak itu malah semakin erat memegangnya. Sekuat tenaga Gabriel berusaha menahan laju n*fsu di tubuhnya. Rohnya mulai bergejolak liar saat ini. Dan di saat ia hampir saja kehilangan kontrol dirinya, tiba-tiba terdengar suara halus dari arah belakangnya. "Gabriel?"Panggilan itu membuat kepala Gabriel menoleh dan di depannya, tampaklah sosok seorang pria berambut merah dan berjubah cokelat panjang, sedang berdiri dan mulai berjalan mendekatinya dari belakang."Apollyon...?"Kepala Jesselyn meneleng, berusaha melihat siapa pun yang menarik perhatian Gabriel dengan tiba-tiba. Kedua alisnya berkerut dalam saat tidak melihat siapa pun di belakang pria muda itu. Baru saja wanita itu membuka mulutnya, saat gerakannya tiba-tiba terlihat berjalan sangat lambat. Apollyon telah mengontrol waktu yang sedang berjalan di dunia, dengan membuat dimensi lain di dalamnya.Masih menatap Apollyon, Gabri
"Kamu yakin, Thunder?"Sharon yang sedang mengoleskan salep di pelipis anaknya bertanya pelan dan hati-hati. Ia berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh Catherine, yang saat ini sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton.Gabriel yang sedang duduk di depannya, balas berbisik pada ibunya. "Aku yakin, mam. Aku mendengarnya sendiri. Suaranya halus. Tapi setelah itu, dia tidak mengatakan apapun lagi, meski aku sudah mencobanya."Merapihkan bekas-bekas kapas dari atas meja makan dan membuangnya, Sharon kemudian menutup kotak obatnya. Ia kembali memperhatikan anak perempuan kecil yang masih tampak asyik dengan tontonannya. "Kalau memang benar, Tatiana pasti akan sangat senang sekali. Dia dan suaminya mulai putus asa karena selama hampir 2 tahun ini, belum ada kemajuan yang berarti dari terapi anak itu.""Menurutku, lebih baik kita tidak mengatakannya dulu pada bibi Tatiana, mam. Aku tidak mau membuatnya kecewa, apalagi kalau benar aku hanya salah dengar tadi."Tersenyum simpul, Sharo
"Pap-""Sayang. Aku berangkat dulu." Tanpa menghiraukan sapaan anaknya, Stephen mengecup pipi Sharon dan langsung keluar menuju pintu depan.Hati Gabriel benar-benar ter*mas sakit. Ia pun menoleh pada ibunya yang tampak berdiri dari kursinya dan mulai merapihkan piring-piring kotor dari atas meja."Mam..."Nada putus asa dari anaknya akhirnya menghentikan kegiatan Sharon. Sejenak, wanita itu hanya menatap tumpukan piring-piring di depannya dan akhirnya ia mengangkat wajahnya, memandang anaknya."Kenapa kamu bisa berfikiran seperti itu, Thunder? Kenapa kamu tega untuk bisa berfikir, kalau kami berdua menginginkan seorang anak perempuan? Bagaimana bisa kamu membandingkan kasih sayang yang kami berikan, dengan seorang anak perempuan yang jelas-jelas bukan anak kami? Bukan pula saudaramu?"Kedua mata hitam Gabriel mulai berkaca-kaca. Kejadian tadi malam benar-benar memberikan pelajaran bagi remaja tanggung itu untuk mulai dapat menjaga mulutnya. "Mam..."Kepala Sharon kembali menunduk dan
= Empat tahun setelah kepergian Thunder dari rumah keluarga Hamilton =Kota NY, Amerika. Perusahaan NAMAC Inc."Yo, Carter. Apa rencanamu malam ini? Ke club yuk."Gabriel yang menatap layar komputernya menengadah. Terlihat pria berambut pirang berdiri bersandar pada pembatas kubikal di depannya. Kedua mata orang itu bersinar dan bibirnya tersenyum miring. Nama orang ini Daniel Lewis, karyawan bagian marketing yang sudah sekitar 2 minggu ini cukup sering main ke tempatnya, entah karena apa. Padahal sebelumnya, mereka tidak begitu dekat meski satu lantai."Tidak ada rencana. Setelah ini, aku akan langsung pulang." Ia kembali menatap layarnya. Sama sekali tidak berminat untuk pergi kemana-mana malam ini. Ia hanya ingin pulang, mandi dan tidur. Ia baru saja pulang dari perjalanan dinas selama beberapa minggu, dan badannya sangat membutuhkan istirahat.Belum menyerah, pria pirang itu memandang sekitarnya dan menunduk ke arah Gabriel. Ia sedikit berbisik. "Ayolah, Carter. Sedikit bersenang-
Setelah menempuh perjalanan hampir 9 jam, Gabriel akhirnya mendarat di Jerman dan langsung melaju ke rumah sakit. Pria muda itu sampai sekitar jam 5 pagi dan tampak ayahnya, duduk di samping Grandmamma yang tertidur tenang. Berbagai peralatan medis tertancap di badan yang ringkih dan tua itu. Kepala ayahnya meneleng ke samping dan pria baya itu terbangun, ketika mendengar suara pintu yang terbuka pelan.Ayah dan anak itu saling berpandangan dan tanpa bersuara, Stephen bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati pria muda yang masih terdiam di depannya. Tampak sorot mata Gabriel yang berkaca-kaca dan merasa sangat bersalah pada pria yang telah membesarkannya dengan penuh cinta selama ini.Tangan kanan Stephen mencengkeram rambut hitam anak lelakinya yang lebih tinggi darinya, dan menarik pria yang jauh lebih muda itu ke dalam pelukannya. Pelukannya sangat erat dan pria baya itu mencengkeram punggung lebar anaknya, yang juga membalas pelukan itu dengan sama kuatnya. Keduanya meneteska
Proses pemakaman Grandmamma baru saja selesai, namun Gabriel masih belum meninggalkan area makam itu. Perlahan, ia meletakkan bunga tulip putih di makam yang masih basah dan mengusapnya pelan. "Terima kasih, Nana..."Setelah berdoa dalam hatinya, pria muda itu bangkit dari posisinya dan berbalik. Kedua matanya melebar dan terkejut saat ia menyadari ada seseorang yang telah berdiri sedikit jauh di belakangnya.Di depannya, tampak sosok anak perempuan berambut cokelat kemerahan. Matanya yang amber memancar datar dan bibirnya tidak tersenyum. Tampak beberapa tangkai bunga tulit berwarna putih di tangan kirinya. Keduanya sejenak hanya saling menatap dalam diam, sebelum akhirnya anak itu memutus pandangannya dari Gabriel dan melangkah mendekati makam yang ada di depannya.Sedikit berjongkok, anak perempuan itu meletakkan tangkai-tangkai tulip itu di samping rangkaian bunga yang tadi diletakkan oleh Gabriel. Jari-jari mungilnya mengusap pelan tanah makam itu. Tampak kedua tangannya menangk
Dengan berdebar keesokan harinya, Gabriel mengetuk pintu kokoh yang ada di depannya. Ia menurunkan pandangannya dan mencoba menyusun kalimat yang akan dikatakannya nanti pada sang pemilik rumah.Pintu yang terbuka menampilkan sosok kecil yang berdiri di depannya. Tidak menyangka kalau Catherine langsung yang membuka pintunya, Gabriel sedikit gugup. Otaknya sejenak terasa kosong, dan ia belum mampu mengatakan apapun. Konsentrasinya baru kembali ketika terdengar suara lembut dari anak di depannya."Ada apa datang ke sini?""Kat, selamat siang. Paman dan bibi ada?"Kepala kecil itu menggeleng, dan ekor kudanya yang panjang melambai-lambai di belakangnya. Bibir kecilnya yang cemberut, membuat anak itu terlihat sangat imut dan menggemaskan. Dan lagi, terasa dorongan untuk mengusili anak ini tapi bukan untuk membuatnya menangis, melainkan marah. Gabriel ingin membuat anak ini marah dan meluapkan perasaannya.Iseng, bukannya mundur tapi Gabriel malah semakin melesekkan badannya ingin masuk