"Apa kau gugup?" Saka bertanya pada Zelinda dan wanita itu mengangguk dengan pelan, berulang kali terlihat menarik napasnya dalam-dalam. "Hah, ternyata perempuan galak sepertimu bisa gugup juga." Ucapnya dengan nada sinis. zelinda menatap tak suka pada Saka, sebelum menyadari dirinya masih di perhatikan oleh banyak pasang mata. Mereka berjalan masuk ke tempat pesta. Ini bukanlah pesta yang resmi, hanya pertemuan bisa untuk makan siang sekaligus bercengkrama. Sintia dan Jodi langsung mendekati orang-orang penting di sana, sementara Saka masih berdiri di tepi bersama Zelinda. "Jangan gugup atau orang akan menaruh curiga pada kita." Ucap Saka lagi, kali ini dia berusaha tersenyum pada siapapun yang melihat ke arahnya. Zelinda yang merasa semakin gugup mencengkeram lengan suaminya, membuat Saka merasa kan panas juga di tubuhnya. "Lihat ini si pengantin baru." Seorang lelaki dengan stelan jas mahal berjalan di iringi beberapa lelaki bertubuh kekar mendekati Saka dan Zelinda.
Pov: Zelinda Aku menghela napas dalam, sungguh aku tak menyangka mama Sintia akan memberikan saham dan aset Rayon miliknya sebagi milik ku juga hari ini. Aku tak pernah membayangkan akan menerima semua ini sekarang, tentu ini sama sekali tak ada dalam rencanaku. Setelah pesta usai aku dan keluarga Saka masih berada di hotel Pionix milik Rayon Grup. Sejak keluar dari ruang pertemuan Saka terus saja bersikap dingin padaku, terlebih saat tak ada siapapun yang melihat kami. "Apa kau senang sekarang tuan Putri?" Dia bertanya dengan sinis. "Apa maksud dari ucapanmu itu, aku tak paham." " Hah, jangan pura-pura tak tahu apapun Zelinda, bukankah ini bagian dari rencanamu?" "Rencana? Aku sungguh tak mengerti ucapanmu itu Saka." "Hah, Dasar penjilat!" Ucap Saka dengan tatapan nyalang nya kini, dia melewati aku begitu saja sekarang, seolah aku adalah musuh terbesarnya di tempat ini. 'Apa dia marah padaku? Dia bersikap begitu karena saham yang mama Sintia berikan?' Aku terus bertany
Jangan tanya bagaimana takutnya Zelinda sekarang, keluar dari rumah itu tanpa baju yang pantas dan dalam rintik hujan. Jangankan membawa dompet dan segala isinya, dia bahkan tak memakai alas kaki sekarang. Jalanan mulai sepi saat Zelinda melewatinya, tak ada satupun kedaraan yang bisa dia mintai tolong di tempat itu. 'Apakah aku benar-benar akan mati di tangan suamiku sendiri?' Pikiran itu terus berputar di dalam otaknya. Hidupnya tak pernah mendapatkan kebahagiaan. Dunia yang ia perjuangkan agar tetap bertahan serasa terus menghujamnya dengan banyak siksaan. "Awas!" Teriakan seorang wanita membuat Zelinda yang berjalan sendirian terkejut dan segera menepi, tubuhnya tersungkur di tepi jalan, bajunya yang terkoyak kini basah karena air yang menggenang. "Apa tak bisa jika kamu berjalan lebih ketepi? Untung saja aku melihatmu, jika tidak kamu mungkin sudah tertabrak dan aku yang akan dapat masalah!" Suara wanita yang marah terdengar dengan jelas, Zelinda bahkan tak berani men
Rani menatap ke arah Zelinda saat mendengar pertanyaannya, namun ia kembali sibuk mengoleskan salep pada luka yang ada di tubuh Zelin. "Auuww.." Zelinda tersentak saat tanpa sengaja Rani menyentuh punggung nya yang juga terluka. "Apa ada luka yang lain nyonya?" Rani memberanikan diri membuka punggung Zelinda dan terkejut saat melihat luka lainnya di sana. "Bagaimana bisa dia melakukan ini semua pada wanita yang bahkan sudah menjadi istrinya? Apa yang sebenarnya ada di dalam kepala Tuhan Saka!" Rani berdecak kesal, baru saja dia memberikan salep pada luka di paha Zelinda, ternyata ada luka lain yang lebih besar tersembunyi di balik baju nya. "Apa aku bisa bertahan sampai akhir Rani? Bagaimana aku harus menjalani hari-hari esok." Zelinda begitu khawatir dirinya tak dapat melewati hari demi hari setelah ini. "Nyonya harus bertahan, nyonya harus bilang pada keluarga nyonya, mereka pasti akan melakukan sesuatu." Rani memberikan saran, saran yang tiba-tiba saja terlintas dalam bena
Melewati jalanan yang gelap dan terjal, Zelinda tiba di ujung jalan dan menemukan ada jalanan yang lebih besar. "Saya hanya bisa antarkan sampai di sini saja nyonya." Rani berhenti di kegelapan, dia tak mau ada yang melihatnya di sini bersama Zelinda. "Aku harus jalan kemana setelah ini Rani" Zelin bertanya dengan binggung, dia tak paham jalan di sini. "Ke sana, nanti di sana nyonya akan melihat rumah lain, dia mungkin mau menyewakan kendaraan." "Tapi aku tak bawa apapun Rani, bagamana aku bisa menyewa kendaraan?" Zelinda bertanya dengan binggung. Rani menyentuh tangan Zelinda dan memasukkannya ke dalam saku mantel yang di berikan Rani padanya. "Apa ini?" Zelinda terkejut saat merasakan ada sesuatu di dalam saku jaketnya. "Ini hanya sedikit nyonya, mungkin bisa membantu nyonya." "Tapi aku tak bisa menerimanya Rani." Zelinda ingin mengembalikan uang itu pada Rani. "Tidak nyonua, saat ini nyonya lebih butuh. Di atas sana rumah itu hanya rumah satu-satunya. Saua harap tuan
Pov. Zelinda. Aku masuk ke dalam rumah besar itu, sejujurnya aku merasa ragu sekaligus takut sekarang, terlebih lelaki itu langsung berdiri dan menatapku dengan dingin. "Jadi siapa yang sudahmemintamu datang kemari?" Pertanyaan nya membuat aku sedikit tak paham. Aku kemari karena keinginanku sendiri, kenapa dia berpikir aku di minta seseorang datang kemari? "Aku tak di minta siapapun datang kemari, ini murni keinginan ku sendiri" "Jangan bohong, tempat ini berada jauh di atas bukit, tak mungkin tiba-tiba kamu datang kemari tanpa ada yang memberitahumu." Ucapannya langsung membuat aku menelan ludah dengan sulit. "Em, seseorang hanya memberitahuku untuk datang ke sini jika ingin men..... "Duduklah, aku akan buatkan minum hangat." Dia tiba-tiba saja bicara dengan nada dingin, tangannya memperhatikan jemariku yang gemetar karena dingin yang menusuk. Ya, aku merasa sangat kedinginan sekarang, terlebih di luar, entahlah berapa suhu udara saat ini, namun tubuhku bergetar heba
Zelinda masih bimbang dengan tawaran lelaki itu, mereka tak saling kenal namun lelaki yang belum menyebutkan namanya itu berubah jadi baik dengan tiba-tiba. "Aku akan antar kamu ke rumah kakekmu besok pagi, percayalah." Ucapnya dengan nada lembut, berbeda dengan caranya bicara saat pertama bertemu tadi. Zelinda terdiam sebentar, di luar hujan badai begitu kencang, dia juga tak akan bisa menyetir mobil sendirian menuruni bukit di situasi seperti saat ini terlebih lagi jalanannya yang jelas berkelok dan terjal. Lelaki itu dengan cepat berjalan ke sisi kanan rumah itu, membuka satu pintu yang ada di dekat ruang tamu dan kini sebuah tangga ke atas terlihat dengan jelas. "Kamu bisa pakai kamar di lantai atas, kamar utama rumah ini, aku jarang menempati ruang itu, tapi kamu bisa pakai dan aku akan tidur di lantai bawah malam ini." Ucapnya menjelaskan. Ia bahkan memasang kunci pintu pada bagian dalam agar Zelinda merasa percaya padanya. "Aku letakkan kunci pintu di sini, kamu bisa m
_ 'Sial, wanita itu pergi dari rumah. Bagaimana jika dia melapor pada mama, atau bagaimana jika keluarganya sampai tahu kejadian malam ini? Tidak, aku tak hokeh membiarkan dia menceritakan pada siapapun apa yang sudah terjadi di antara kami.'_ Kalimat itu terus berputar di kepala Saka, sudah berapa kali ia memutari jalan yang sama menuju rumahnya, tapi Zelinda belum juga terlihat. Dirinya terus bertanya kemana wanita itu pergi semalam ini, bakan rumah ini cukup jauh dari pusat kota dan rumah keluarganya berada di ujung lain kota ini, cukup jauh untuk membawanya kesana dengan jalan kaki semalam ini. "Apa sebaiknya aku menghubungi keluarga Arden? Ah tidak, mereka bisa saja curiga padaku dan justeru bertanya apa yang terjadi atau bahkan mencaritahu sendiri" Saka sungguh merasa sangat frustasi, ia menghentikan mobilnya di tengah jalan menuju rumahnya lagi, melihat ke sekitar dengan seksama lantas teringat satu rumah yang terletak di bukit atas rumahnya, rumah gadis yang bekerja d
Malam begitu cerah, bintang banyak bertaburan di langit dan angin pantai seolah menambah kesan romantis pada malam itu. "Pelan-pelan." Ucap Saka menggandeng tangan Zelinda yanv sengaja dia minta untuk menutup mata. "Kita mau kemana?" Tanya Zelinda dengan perasaan tak menentu. "sabar dulu, kita hampir sampai." Ucap Saka dan terus menuntun Zelinda ke arah tampat mereka akan makan malam bersama. Sampi di sebuah gazebo dekat pantas, Saka membuka penutup mata Zelinda. Dengan mata yang sedikut kabur, Zelin berusaha meluhat apa yang kini ada di depannya. Sebuah meja makan bulay dengan taplak putih bersih sudah ada di depannya. lilin merah menyala di tengah meja dengan makanan pembuka yang mencuri perhatian karena bentuknya yang cantik. "Apa ini?" Zelinda bertanya dengan jantung berdegup kencang, diamerasa binggung sejaligus bahagia melihat apa yang saka usahakan untuknya malam ini. Saka menarik kursi makan dan mempersilahkan Zelinda duduk, merapikan gaun wanita itu dan barulah dia d
Saka berjalan cepat ke arah hotelnya, melewati hamparan rumput yang cukup luas, dia masuk dari area kolam renang yang tak terlalu ramai. Sebelum sampai ke dalam hotel, dirinya sudah melihat Zelinda berdiri dengan tatapan binggung seolah sedang mencari seserang. "Apa yang kamu lakaukan di sini?" Ucap Saka megejutkan Zelin. lelaki itu tiba-tiba saja berdiri di belakang Zelinda. "kenapa kamu ada di sini?" Zelin bertanya lebih dulu, dia baru saja ingin mencari Saka di area pantai namun lelaki itu sudah berada di sini. "Aku, aku sudah bilang ingin jalan-jalan. kenapa?" "kamu di sini sejak tadi?" "ya, hanya di sekitar sini. Ada apa?" Tanya saka mulai merasa cemas jika Zelinda melihatnya bersama Clara. "kamu yakin?" Zelinda bertanya lagi, ia yakin betul melihat seseorang yng mirip dengan Saka berpelukan tadi. "Apa sih, aku sedang tak ingin bercanda. Ayo masuk!" Saka berjalan meninggalkan Zelinda dan masuk lebih dulu ke area dalam hotel. Dia berharap Zelinda percaya dan tak memba
Saka memutuskan keluar dari hotel tempat nya meginap dengan Zelinda, dia lantas berjalan ke arah pantai yang jaraknya hanya perlu menyeberang jalanan yang tak terlalu ramai. menikmati pemandangan pantai yang indah, membuat Saka tersenyum sendiri. Entah kapan terakhir dirinya menikmati suasana yang begitu menyenangkan seperti saat ini. "Hay!" Sebuah suara dari belakang membuat Saka terkejut. Tangan lentik dengan kuku panjang yang terawat sudah memeluknya begitu erat. Saka berbalik dengan cepat dan melihat Clara berdiri dengan bikini seksinya yang meyala terang di tengah panasnya pantai kuta sore itu. "Clara! kamu ngapain di sini?" Saka nampak tak suka melihat kedatangan pacarnya itu, entah kenapa dia merasa kali ini harusnya Clara tak berada di dekatnya. Wajah Clara nampak kesal sekarang, ia lantas melepaskan tangannya dari Saka dan melipat tangan di dada. "Aku ingin liburan ke sini, jadi aku menyusulmu. Ingat ya, aku nggak mau kamu dekat-dekat dengan si kampungan itu!" Uc
Zelin masih meyiapkan semua bajunya saat Saka datang dengan tergesa. wanita itu memilih diam, tak terlalu perduli dengan apa yang suaminya akan lakukan. Dia sudah menyiapkan baju Saka dalam koper, baju yang entah cocok atau tidak bagi suaminya. "Apa bajuku di sini?" Saka datang lebih siang dan tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar. "ya, bajumu ada di dalam koper ini. Aku hanya siapkan yang menurutku terpakai, jadi kamu bisa tambahka sendiri baju mana yang ingin kaku bawa. "Nggak usah, itu saja susah cukup. Sudah aku mau bersiap." Ucap Saka lantas berjalan menuju ke kamar mandi di rumah itu. Saka bahkan tak mandi di rumah Clara karena merasa terburu-buru untuk pulang. zelinda mengangguk dengan ucapan Saka, dia lantas menarik kopernya sendiri keluar kamar dan membiarkan lelaki itu bersiap. zelinda menunggu di lantai bawah, meminum segelas jus sebelum berangkat dan meminta Rani memberinya salad sayur yang masih segar. "Ada surat untuk nyonya." Rani menaruh amplop coklat di ata
"Apa, ke Bali?" Clara berdecak kesal mendengar Saka akan pergi bulan madu dengan Zelinda, istrinya. "Hadiah dari mama, aku tak bisa menolak Clara." Wanita itu berbalik dengan kesal dan menatap Saka dengan tajam. "Ya kamu kasih alasan apa gitu. Aku nggak rela ya kamu pergi berdua dengan wanita itu!" Ucapnya dengan tatapan tak mau kalah. "Jangan begitu Clara, aku juga tidak bisa menolak apa yang mama berikan. Jika aku tak pergi bulan madu dengan Zelin, mama bisa curiga pada kami." Clara melipat tangannya di depan dada. Mereka bertemu secara diam-diam hari ini, bertemu di rumah Clara. Saka menyewakan rumah itu untuk Clara tinggali. Saka memeluk wanita itu dari belakang dan berusaha merayunya agar mengizinkan dia pergi dengan Zelinda. Dia merasa sedang di puncak libidonya setelah kontak fisiknya dengan Zelinda pagi tadi. "Jika mama sampai curiga dan kami ketahuan, aku bisa kehilangan semuanya Clara. Jika aku kehilangan semuanya, bagaimana bisa aku membelikan rumah baru untukm
Zelinda mengendarai mobil menuju ke tempat Erlando merawat kuda-kudanya. Wanita itu memarkirkan mobilnya di area luar dan berjalan masuk mencari sosok yang dia ingin temui. "Nyonya ada di sini rupanya." Seorang staf Erlando menyapa dengan hangat. Dia adalah Bella, sekertaris yang sering ikut saat Erlando memiliki urusan bisnis. Kedatangan Zelin ke tempat itu bukanlah hal baru. Zelinda cukup sering datang untuk berkuda, dia selalu senang berada di ruangan terbuka, menimati udara yang sejuk dan merasakan adrenalinya terpacu kala menguasai laju kudanya dan merasa dirinya bisa mengendalikan laju kuda adalah sesuatu yang menyenangkan baginya. Zelin menatao Bella dengan senyum, meski dia bisa melihat bahwa Bella memang tak terlalu suka padanya sejak awal mereka bertemu. "Hay Bella, apa Elando sedang ada urusan pentingnya?." Zelinda menanyai sekertaris Erlando. Wanita itu selalu ada jika Erlando sedang mengurusi bisninya. "Iya nyonya, tuan ada pertemuan. Apa nyonya akan berkuda ha
Setelah kepulangan Sintia hari itu, Saka dan Zelinda tak banyak bicara seharian. Pagi ini mereka duduk bersama di halama belakang. Mereka jarang menikmati waktu seperti ini, namun kali ini Saka meminta Zelinda menemaninya duduk di teras belakang dan menikmati suasana pagi yang damai dan tenang. "Kopimu." Zelinda meletakkan secangkir kopi di meja, wanita itu latas duduk bersebelahan dengan Saka, suaminya. "Apa kamu sangat sibuk?" Saka bertanya pada Zelinda lebih dulu, sebelum ia mengeluarkan tiket pesawat untuk bulan madu mereka pada Zelinda. "Lumayan, besok harusnya aku ada pertemuan dengan salah satu kolega Star hotel dan melihat desain villa baru Rayon grup di kantor. Tapi mau bagaimana lagi, mama tiba-tiba saja meminta kita pergi sore ini. "Apa lusa dan selama satu minggu kedepan kamu sibuk sekali?" Zelin meletakkan lagi cangkirnya di meja, menatap wajah Saka dengan heran, kedua alisnya bahkan bertaut. "Ada apa? Tidak biasanya kamu begini?" "Tentang bulan madu ini, a
Saka berjalan pelan ke arah mamanya, wajahnya berusaha setenang mungkin agar tak menimbulkan pikiran buruk padanya. "Apa kamu tak dengar saka, mama bertanya dari mana saja kamu?" "Ah, ada urusan mendadak ma, em... Sebaiknya kita masuk ke ruanganku saja." Ucap Saka setengah berbisik, ia tak mau Zelinda dan Erlando mendengarnya di marahi. "Kenapa harus di ruang kerjamu? Mama mau di sini saja." Sintia tak beranjak dari tempatnya duduk. "Ayolah ma, sebentar saja." Ucap Saka memohon dengan manja. Zelinda dan Erlando saling pandang dengan wajah datar, Zelin juga baru kali ini melihat Saka benar-benar maja pada mamaya. Sintia tak dapat menolak ajakan Saka, wanita itu berjalan masuk ke runag kerja putranya dan duduk di kursi utama ruangan itu. Wajahnya tajam menatap anak lelaki satu-satunya itu. "Kenapa mama harus ke ruangan ini untuk bicara padamu, kenapa? Ada yang kamu sembunyikan?" Saka mendekat perlahan dan duduk di depan ibunya. "Sebenarnya ini rahasia ma." Ucapnya mulai
Berbicara dengan Erlndo ternyata membuat Zelinda merasa nyaman. Mereka lantas mengobrol lama, bahkan dia membantu wanita itu menyelesaikan semua pekerjaan kantor dengan mudah, dia selalu mendengarkan apa yang Zelinda katakan, bertukar pikiran dengannya dalam banyak cerita, bahkan tertawa lepas. Hal yang tak pernah Zelinda lakukan dengan siapapun selama ini. Zelinda menggagumi sikap dan cara Erlando menghargai orang lain. Kopi buatannya juga sangat enak, Zelinda tak tau dia juga seorang barista yang handal. Dia membuat Zelinda merasa punya harga diri sekarang. "Aku tak tau kau pandai membuat kopi." Zelin memuji dengan santun saudara suaminya itu. Niatnya membuatkan kopi untuk Erlando terganti karena Erlando memutuskan membuat kopinya sendiri. "Aku pernah belajar kopi saat berkunjung ke Italia beberapa tahun lalu." Ucapnya memjelaskan, bahkan suaranya saja membuat Zelinda merasa damai dan aman. "Kau suka bepergian?" Zelin bertanya dengan sangat antusias. "Ya, ke beberapa negara