POV SriAcara Isra Miraj akhirnya berjalan dengan lancar tanpa kendala. Namun sayang, Abah tidak ada di tengah-tengah kami karena beliau masih berjuang dengan sakitnya hingga sekarang. Sudah terhitung satu pekan Abah terbaring di atas kasur. Banyak ustaz yang bergantian mengunjungi Abah seraya mendoakan kesembuhannya.Hari ini adalah hari terakhir kami menggelar acara Isra Miraj dengan bershalawat bersama. Ratusan santri di tambah para jamaah sekitar pesantren memenuhi masjid serta tenda yang sengaja kami pasang di luar ruangan.Dengan diiringi pukulan marawis, kami semua khusyuk melantunkan bait demi bait shalawat kepada sang panutan alam."Teh, Akang yang tadi jadi vokal, siapa?" tanya Ranti saat kami dalam perjalanan menuju rumah setelah acara selesai."Fakhri. Kenapa, naksir, ya?" selorohku menggodanya. Pipi Ranti langsung bersemu merah saat kutanyai hal itu. Benar-benar lucu hingga aku pun tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi wajahnya."Jangan digodain atuh Teh, malu," ren
Sepanjang jalan menuju pondok, pikirku masih mencoba mengingat di mana kiranya aku bertemu kakek yang kutabrak di pasar. Aku sampai mengabaikan obrolan kedua temanku yang sejak tadi asyik berbincang mengenai barang belanjaan masing-masing."Eh iya Sri, kamu kan indigo," ujar Ayu tiba-tiba saat kami bertiga melewati pemakaman umum yang lumayan luas saat hendak kembali pulang. Aku mengangguk dan menungu lanjutan perkataan Ayu."Aku mau tahu, di pohon besar itu ada apa?" tunjuk Ayu pada sebuah pohon beringin yang terletak di sudut TPU.Aku dan Silfi mengikuti arah pandang Ayu menuju pohon tua itu, tetapi tidak ada apapun di sana. "Tidak ada satu pun makhluk astral yang tingggal di pohon itu. Tidak ada," jawabku yakin."Masa sih," kata Ayu tak percaya.Aku kemudian mengangguk dan mengedarkan pandangan ke sekitar area pemakaman. Atensiku teralih pada sebuah pohon dengan ukuran kecil. Ada aura hitam yang begitu pekat dan begitu mencekam. Di sana juga ada beberapa makhluk gaib dengan berbaga
"Lepas!" teriakku pada kuntilanak merah itu. Tangannya terus terarah padaku yang tengah berlari menghindarinya. Apa dia ingin mencengkram rambutku kemudian dibawa ke tempat tinggalnya? Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri.Langkahku semakin terseok. Kaki yang terkilir semakin bengkak, dan sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan keluar dari hutan ini. Apa ini sebuah labirin? Kenapa sejak tadi aku hanya berputar-putar saja di sini?.Akhrinya kuputuskan untuk berhenti berlari meski setan betina itu semakin mendekat karena suara kikikannya yang semakin jelas di gendang telinga. Kemudian aku duduk di atas rerumputan yang basah dengan air hujan dan memejamkan mata.Kuabaikan semua suara gangguan dan tetap memejamkan mata seraya memanjatkan Asma Allah. Kunti itu menarik paksa jilbab yang kupakai, dan aku membiarkannya serta lanjut berzikir."Ya Allah, jika ini semua hanya mimpi maka bangunkan aku segera. Namun, jika ini semua adalah tipuan salah satu makhlukmu, maka tunjukkan wu
Fakhri POVAhmad Fakhri, itulah nama yang diberikan Abah Ilham padaku saat pertama kali menginjakkan kaki di pondok pesantren miliknya. Beliau sudah seperti orang tua bagiku. Karena disaat seluruh kerabat menolak mengurusku yang hidup sebatang kara setelah kematian kedua orang tua, beliau merangkul dan membawaku ke tempatnya.Abah juga yang membiayai pendidikanku dari sekolah dasar hingga SMP. Untuk meringankan bebannya, aku pun memutar otak dan ikut program beasiswa. Hingga mengenyam bangku perkuliahan, alhamdulillah aku menyelesaikannya dengan jalur beasiswa.Dengan ijazah sarjana seharusnya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang baik di luaran sana. Namun, aku tidak menggunakan kesempatan itu dan memilih mengabdi pada pondok tempatku menimba ilmu agama.Aku sadar jika hutang budi ini tidak bisa dibalas dengan apapun pada Bah Ilham. Beliau dan Mamah sudah sangat baik hingga mau mengurus anak yatim piatu sepertiku. Aku tidak mungkin meninggalkan keduanya diusia mereka sekarang. Sebisa m
Cukup lama aku dan Kang Idrus berada di rumah Abah karena ada sesuatu yang harus kami bahas dengan beliau yang berhubungan dengan pondok. Terhitung satu bulan lagi akan diadakan perlombaan antar pesantren tingkat nasional dan alhamdulillah santri kami ikut berpartisipasi dalam beberapa perlombaan, yang diantaranya MTQ, dakwah, dan Hadroh."Bah, ninggalan Nyimas, teu?" tanya Mamah menghampiri kami bertiga.(Lihat Nyimas, tidak?)"Di kamarna panginteun," jawab Abah.(Di kamar mungkin)"Tidak ada, hanya ada Ranti di sana," ujar Mamah khawatir."Cobi tinggal, Mah. Bilih di ruang keluarga," timpalku.(Coba lihat, Mah. Mungkin di ruang keluarga)Wanita yang sudah kuanggap Ibu itu segera menuju ruang keluarga yang berada di pojok kanan rumah ini. Dan benar saja, Sri tengah meringkuk di atas sofa dengan bertumpu pada sebelah tangannya.Tanpa terasa bibirku tertarik ke atas saat melihat bagaimana gadis cantik itu tertidur seperti bayi. Begitu pulas dan tidak terganggu sama sekali dengan keribu
"Nyimas, bangun, Neng." Abah menepuk-nepuk bahu Sri yang tergeletak tak sadarkan diri dengan sebuah kujang di tangannya.Abah yang menyadari kehadiranku pun menoleh ke belakang dengan tatapan sendunya. Lekas kulepaskan sorban yang sejak tadi bertengger di bahu dan memberikan pada Abah untuk menutupi Sri yang tergeletak tanpa kerudung."Cilaka, Ri," serunya lirih."Maksud Abah?" tanyaku tak paham.Beliau menggeleng dengan pandangan tertunduk. "Bantu Abah membawa Nyimas dari sini," serunya mengalihkan pembicaraan.Dengan ragu kuangkat tubuh mungil itu dalam dekapan dan membawanya keluar dari hutan. Tidak mungkin kubiarkan Abah yang menggendongnya. Beliau sudah sepuh, dan tenaganya pun sudah mulai berkurang.Dalam hati kutegaskan jika ini hanya semata untuk menolong, bukan maksud lancang menyentuhnya yang bukan mahram. Memang diperbolehkan jika dalam keadaan genting seperti sekarang ini, tetapi tetap saja rasanya sangat canggung.Kami bertiga pun tiba di tepi Perkampungan warga dan seger
POV SriBeberapa hari setelah kejadian selepas pulang dari pasar tempo hari, aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada yg mengungkit kejadian itu, karena kata Abah itu yang terbaik untuk saat ini.Jumat pagi ini, aku dan seluruh santriwati akan bergotong royong membersihkan halaman pondok. Dan juga aku memiliki sesuatu yang ingin diperlihatkan pada kedua sahabatku, Ayu dan Silfi.Tak lupa, aku membawa HVS yang di dalamnya terdapat sebuah gambar yang telah aku janjikan pada mereka tempo hari. Aku pun memberikannya pada Silfi dan menunggu reaksinya. Tak berselang lama, Ayu datang dan ikut melihat isi kertas itu. "Sri, jahil ih," jerit Ayu dengan wajah yang sudah tertekuk maksimal."Lah siapa yang jahil? Aku itu cuma tepati janji aja buat gambar penunggu pohon tua waktu itu,? alibiku."Serem tahu," gerutu Silfi seraya mengembalikan HVS itu padaku.Yah, memang pada kenyataannya begitu sih. Wajah penuh darah dan belatung, anggota tubuh yang tidak utuh, seperti itulah sos
"Ada apa?" tanyaku pada Ayu yang tengah bersandar di dinding lorong menuju kamar mandi santri."Anak-anak ngajak masak-masak, ikut, gak?" jawabnya bertanya kembali."Yaudah ayo, kita belanja dulu bahan masakannya," ajakku seraya berjalan di depannya."Gak usah, udah di handel sama santriwati lain. Kita kebagian masak nasinya aja," sahut Ayu.Kami berdua pun segera menuju dapur yang dikhususkan untuk para santriwati memasak. Di sini, para santri memang dibiarkan mandiri dan akan memasak secara bergiliran jika akan makan.Beberapa saat kami sampai di dapur, sebagian santriwati sudah mengerjakan bagian masing-masing. Ada yang mencuci beras, menyalakan tungku, dan memotong sayuran yang baru di petik dari kebun Abah."Risma mana?" tanyaku ke mereka."Izin pulang, Teh. Katanya gak enak badan," sahut gadis yang kutahu bernama Mira.Aku terkejut sekaligus khawatir mendengarnya. Takut kalau sakitnya Risma ada sangkut pautnya dengan dia yang mencuci kain bekas darahku. Dia memang sensitif akan