Fakhri POVAhmad Fakhri, itulah nama yang diberikan Abah Ilham padaku saat pertama kali menginjakkan kaki di pondok pesantren miliknya. Beliau sudah seperti orang tua bagiku. Karena disaat seluruh kerabat menolak mengurusku yang hidup sebatang kara setelah kematian kedua orang tua, beliau merangkul dan membawaku ke tempatnya.Abah juga yang membiayai pendidikanku dari sekolah dasar hingga SMP. Untuk meringankan bebannya, aku pun memutar otak dan ikut program beasiswa. Hingga mengenyam bangku perkuliahan, alhamdulillah aku menyelesaikannya dengan jalur beasiswa.Dengan ijazah sarjana seharusnya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang baik di luaran sana. Namun, aku tidak menggunakan kesempatan itu dan memilih mengabdi pada pondok tempatku menimba ilmu agama.Aku sadar jika hutang budi ini tidak bisa dibalas dengan apapun pada Bah Ilham. Beliau dan Mamah sudah sangat baik hingga mau mengurus anak yatim piatu sepertiku. Aku tidak mungkin meninggalkan keduanya diusia mereka sekarang. Sebisa m
Cukup lama aku dan Kang Idrus berada di rumah Abah karena ada sesuatu yang harus kami bahas dengan beliau yang berhubungan dengan pondok. Terhitung satu bulan lagi akan diadakan perlombaan antar pesantren tingkat nasional dan alhamdulillah santri kami ikut berpartisipasi dalam beberapa perlombaan, yang diantaranya MTQ, dakwah, dan Hadroh."Bah, ninggalan Nyimas, teu?" tanya Mamah menghampiri kami bertiga.(Lihat Nyimas, tidak?)"Di kamarna panginteun," jawab Abah.(Di kamar mungkin)"Tidak ada, hanya ada Ranti di sana," ujar Mamah khawatir."Cobi tinggal, Mah. Bilih di ruang keluarga," timpalku.(Coba lihat, Mah. Mungkin di ruang keluarga)Wanita yang sudah kuanggap Ibu itu segera menuju ruang keluarga yang berada di pojok kanan rumah ini. Dan benar saja, Sri tengah meringkuk di atas sofa dengan bertumpu pada sebelah tangannya.Tanpa terasa bibirku tertarik ke atas saat melihat bagaimana gadis cantik itu tertidur seperti bayi. Begitu pulas dan tidak terganggu sama sekali dengan keribu
"Nyimas, bangun, Neng." Abah menepuk-nepuk bahu Sri yang tergeletak tak sadarkan diri dengan sebuah kujang di tangannya.Abah yang menyadari kehadiranku pun menoleh ke belakang dengan tatapan sendunya. Lekas kulepaskan sorban yang sejak tadi bertengger di bahu dan memberikan pada Abah untuk menutupi Sri yang tergeletak tanpa kerudung."Cilaka, Ri," serunya lirih."Maksud Abah?" tanyaku tak paham.Beliau menggeleng dengan pandangan tertunduk. "Bantu Abah membawa Nyimas dari sini," serunya mengalihkan pembicaraan.Dengan ragu kuangkat tubuh mungil itu dalam dekapan dan membawanya keluar dari hutan. Tidak mungkin kubiarkan Abah yang menggendongnya. Beliau sudah sepuh, dan tenaganya pun sudah mulai berkurang.Dalam hati kutegaskan jika ini hanya semata untuk menolong, bukan maksud lancang menyentuhnya yang bukan mahram. Memang diperbolehkan jika dalam keadaan genting seperti sekarang ini, tetapi tetap saja rasanya sangat canggung.Kami bertiga pun tiba di tepi Perkampungan warga dan seger
POV SriBeberapa hari setelah kejadian selepas pulang dari pasar tempo hari, aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada yg mengungkit kejadian itu, karena kata Abah itu yang terbaik untuk saat ini.Jumat pagi ini, aku dan seluruh santriwati akan bergotong royong membersihkan halaman pondok. Dan juga aku memiliki sesuatu yang ingin diperlihatkan pada kedua sahabatku, Ayu dan Silfi.Tak lupa, aku membawa HVS yang di dalamnya terdapat sebuah gambar yang telah aku janjikan pada mereka tempo hari. Aku pun memberikannya pada Silfi dan menunggu reaksinya. Tak berselang lama, Ayu datang dan ikut melihat isi kertas itu. "Sri, jahil ih," jerit Ayu dengan wajah yang sudah tertekuk maksimal."Lah siapa yang jahil? Aku itu cuma tepati janji aja buat gambar penunggu pohon tua waktu itu,? alibiku."Serem tahu," gerutu Silfi seraya mengembalikan HVS itu padaku.Yah, memang pada kenyataannya begitu sih. Wajah penuh darah dan belatung, anggota tubuh yang tidak utuh, seperti itulah sos
"Ada apa?" tanyaku pada Ayu yang tengah bersandar di dinding lorong menuju kamar mandi santri."Anak-anak ngajak masak-masak, ikut, gak?" jawabnya bertanya kembali."Yaudah ayo, kita belanja dulu bahan masakannya," ajakku seraya berjalan di depannya."Gak usah, udah di handel sama santriwati lain. Kita kebagian masak nasinya aja," sahut Ayu.Kami berdua pun segera menuju dapur yang dikhususkan untuk para santriwati memasak. Di sini, para santri memang dibiarkan mandiri dan akan memasak secara bergiliran jika akan makan.Beberapa saat kami sampai di dapur, sebagian santriwati sudah mengerjakan bagian masing-masing. Ada yang mencuci beras, menyalakan tungku, dan memotong sayuran yang baru di petik dari kebun Abah."Risma mana?" tanyaku ke mereka."Izin pulang, Teh. Katanya gak enak badan," sahut gadis yang kutahu bernama Mira.Aku terkejut sekaligus khawatir mendengarnya. Takut kalau sakitnya Risma ada sangkut pautnya dengan dia yang mencuci kain bekas darahku. Dia memang sensitif akan
"Teteh mau ke mana malam-malam?" Ranti keluar dari dapur dan menghampiri.Jiwaku bisa melihat sekeliling, tetapi makhluk itulah yang saat ini mengendalikan tubuh. Ingin berteriak dan meminta pertolongan Ranti, tetapi sepertinya percuma saja karena dia pun tak akan mendengarnya.Jin itu berjalan ke luar tanpa menghiraukan panggilan Ranti dan terus menyeret kaki ini hingga ke belakang rumah, di mana hutan belantara terlihat beberapa meter di depan.'Hey, tunggu. Kenapa Risma berada di pinggir hutan malam-malam?.' Ingin bertanya, tetapi seperti yang kukatakan tadi. Aku hanya bisa bergumam dalam hati karena tubuhku dikendalikan oleh makhluk Jahanam itu.Risma menuntun jalanku menuju hutan yang sering penduduk sebut sebagai Leuweung Sancang. Semua doa dan ayat al-quran yang sering kubaca ketika berada dalam situasi menakutkan seperti sekarang tiba-tiba terkunci dalam mulut.Beberapa saat kemudian, kami berdua sampai di tengah hutan belantara itu. Di sana sudah ada empat orang pria dewasa y
Risma POV"Lamun maneh teu bisa nurut kana naon anu dipikahayang 'ku Bapak, siap-siap dibikeun 'ka Ki Amar." Bapak terus saja mengancam agar aku mendapatkan sesuatu milik Sri untuk keperluan bergurunya pada salah satu dukun ternama di daerah kami.(Kalau kamu tidak bisa menuruti pada apa yang Bapak inginkan, maka siap-siap pergi ke Ki Amar)Bapak mana yang tega menumbalkan anak gadisnya demi kepentingan sendiri. Terlebih kepentingan itu sangat bertentangan dengan agama. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan kali aku memperingatkan beliau, tetapi hatinya begitu keras sampai tidak mau menerima nasehat baik itu."Apa Bapak bisa janji, kalau Ima bisa membawa sesuatu milik Teh Sri seperti keinginan Bapak, Bapak tidak akan memberikan Ima pada Ki Amar?" tanyaku dengan isakan yang masih tersisa.Bapak hanya mengangguk dan berlalu begitu saja keluar dari rumah. Aku yang anaknya pun terheran-heran dengan tingkahnya. Dia terlihat alim dan taat ibadah, terutama salat berjamaah. Namun, di belakang d
Satu minggu berlalu. Masih di tempat dan situasi yang sama di mana aku masih terkurung di tempat dukun cabul itu. Rasanya sudah tak tahan lagi dan ingin segera mengakhiri semua penderitaan ini.Bapak. Laki-laki yang membuatku ada atas izin Allah itu tak pernah sekalipun menemuiku sejak dia menyerahkan satu-satunya anak gadis yang dia miliki hanya demi sebuah ambisi duniawi.Menangis dan menangis, hanya itu yang aku lakukan setiap harinya. Setiap hari pula dukun cabul itu menggauliku layaknya pasangan menikah.Marah! Siapa yang tidak akan marah diperlakukan hina seperti itu, terlebih orang yang menyebabkan ini semua tak lain orang tua kita sendiri.Melawan? Ki Amar bukanlah tandinganku. Meski tubuhnya telah renta tetapi dengan kekuatan yang dia dapat hasil dari bersekutu dengan Iblis bukanlah tandinganku yang hanya seorang wanita lemah.Setiap hari dia akan mengurungku di ruangan sempit dengan jeruji besi. Dia hanya akan membiarkan aku keluar jika hendak ke kamar mandi dan ketika dia m