"Nyimas, bangun, Neng." Abah menepuk-nepuk bahu Sri yang tergeletak tak sadarkan diri dengan sebuah kujang di tangannya.Abah yang menyadari kehadiranku pun menoleh ke belakang dengan tatapan sendunya. Lekas kulepaskan sorban yang sejak tadi bertengger di bahu dan memberikan pada Abah untuk menutupi Sri yang tergeletak tanpa kerudung."Cilaka, Ri," serunya lirih."Maksud Abah?" tanyaku tak paham.Beliau menggeleng dengan pandangan tertunduk. "Bantu Abah membawa Nyimas dari sini," serunya mengalihkan pembicaraan.Dengan ragu kuangkat tubuh mungil itu dalam dekapan dan membawanya keluar dari hutan. Tidak mungkin kubiarkan Abah yang menggendongnya. Beliau sudah sepuh, dan tenaganya pun sudah mulai berkurang.Dalam hati kutegaskan jika ini hanya semata untuk menolong, bukan maksud lancang menyentuhnya yang bukan mahram. Memang diperbolehkan jika dalam keadaan genting seperti sekarang ini, tetapi tetap saja rasanya sangat canggung.Kami bertiga pun tiba di tepi Perkampungan warga dan seger
POV SriBeberapa hari setelah kejadian selepas pulang dari pasar tempo hari, aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada yg mengungkit kejadian itu, karena kata Abah itu yang terbaik untuk saat ini.Jumat pagi ini, aku dan seluruh santriwati akan bergotong royong membersihkan halaman pondok. Dan juga aku memiliki sesuatu yang ingin diperlihatkan pada kedua sahabatku, Ayu dan Silfi.Tak lupa, aku membawa HVS yang di dalamnya terdapat sebuah gambar yang telah aku janjikan pada mereka tempo hari. Aku pun memberikannya pada Silfi dan menunggu reaksinya. Tak berselang lama, Ayu datang dan ikut melihat isi kertas itu. "Sri, jahil ih," jerit Ayu dengan wajah yang sudah tertekuk maksimal."Lah siapa yang jahil? Aku itu cuma tepati janji aja buat gambar penunggu pohon tua waktu itu,? alibiku."Serem tahu," gerutu Silfi seraya mengembalikan HVS itu padaku.Yah, memang pada kenyataannya begitu sih. Wajah penuh darah dan belatung, anggota tubuh yang tidak utuh, seperti itulah sos
"Ada apa?" tanyaku pada Ayu yang tengah bersandar di dinding lorong menuju kamar mandi santri."Anak-anak ngajak masak-masak, ikut, gak?" jawabnya bertanya kembali."Yaudah ayo, kita belanja dulu bahan masakannya," ajakku seraya berjalan di depannya."Gak usah, udah di handel sama santriwati lain. Kita kebagian masak nasinya aja," sahut Ayu.Kami berdua pun segera menuju dapur yang dikhususkan untuk para santriwati memasak. Di sini, para santri memang dibiarkan mandiri dan akan memasak secara bergiliran jika akan makan.Beberapa saat kami sampai di dapur, sebagian santriwati sudah mengerjakan bagian masing-masing. Ada yang mencuci beras, menyalakan tungku, dan memotong sayuran yang baru di petik dari kebun Abah."Risma mana?" tanyaku ke mereka."Izin pulang, Teh. Katanya gak enak badan," sahut gadis yang kutahu bernama Mira.Aku terkejut sekaligus khawatir mendengarnya. Takut kalau sakitnya Risma ada sangkut pautnya dengan dia yang mencuci kain bekas darahku. Dia memang sensitif akan
"Teteh mau ke mana malam-malam?" Ranti keluar dari dapur dan menghampiri.Jiwaku bisa melihat sekeliling, tetapi makhluk itulah yang saat ini mengendalikan tubuh. Ingin berteriak dan meminta pertolongan Ranti, tetapi sepertinya percuma saja karena dia pun tak akan mendengarnya.Jin itu berjalan ke luar tanpa menghiraukan panggilan Ranti dan terus menyeret kaki ini hingga ke belakang rumah, di mana hutan belantara terlihat beberapa meter di depan.'Hey, tunggu. Kenapa Risma berada di pinggir hutan malam-malam?.' Ingin bertanya, tetapi seperti yang kukatakan tadi. Aku hanya bisa bergumam dalam hati karena tubuhku dikendalikan oleh makhluk Jahanam itu.Risma menuntun jalanku menuju hutan yang sering penduduk sebut sebagai Leuweung Sancang. Semua doa dan ayat al-quran yang sering kubaca ketika berada dalam situasi menakutkan seperti sekarang tiba-tiba terkunci dalam mulut.Beberapa saat kemudian, kami berdua sampai di tengah hutan belantara itu. Di sana sudah ada empat orang pria dewasa y
Risma POV"Lamun maneh teu bisa nurut kana naon anu dipikahayang 'ku Bapak, siap-siap dibikeun 'ka Ki Amar." Bapak terus saja mengancam agar aku mendapatkan sesuatu milik Sri untuk keperluan bergurunya pada salah satu dukun ternama di daerah kami.(Kalau kamu tidak bisa menuruti pada apa yang Bapak inginkan, maka siap-siap pergi ke Ki Amar)Bapak mana yang tega menumbalkan anak gadisnya demi kepentingan sendiri. Terlebih kepentingan itu sangat bertentangan dengan agama. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan kali aku memperingatkan beliau, tetapi hatinya begitu keras sampai tidak mau menerima nasehat baik itu."Apa Bapak bisa janji, kalau Ima bisa membawa sesuatu milik Teh Sri seperti keinginan Bapak, Bapak tidak akan memberikan Ima pada Ki Amar?" tanyaku dengan isakan yang masih tersisa.Bapak hanya mengangguk dan berlalu begitu saja keluar dari rumah. Aku yang anaknya pun terheran-heran dengan tingkahnya. Dia terlihat alim dan taat ibadah, terutama salat berjamaah. Namun, di belakang d
Satu minggu berlalu. Masih di tempat dan situasi yang sama di mana aku masih terkurung di tempat dukun cabul itu. Rasanya sudah tak tahan lagi dan ingin segera mengakhiri semua penderitaan ini.Bapak. Laki-laki yang membuatku ada atas izin Allah itu tak pernah sekalipun menemuiku sejak dia menyerahkan satu-satunya anak gadis yang dia miliki hanya demi sebuah ambisi duniawi.Menangis dan menangis, hanya itu yang aku lakukan setiap harinya. Setiap hari pula dukun cabul itu menggauliku layaknya pasangan menikah.Marah! Siapa yang tidak akan marah diperlakukan hina seperti itu, terlebih orang yang menyebabkan ini semua tak lain orang tua kita sendiri.Melawan? Ki Amar bukanlah tandinganku. Meski tubuhnya telah renta tetapi dengan kekuatan yang dia dapat hasil dari bersekutu dengan Iblis bukanlah tandinganku yang hanya seorang wanita lemah.Setiap hari dia akan mengurungku di ruangan sempit dengan jeruji besi. Dia hanya akan membiarkan aku keluar jika hendak ke kamar mandi dan ketika dia m
Author POV"Jika benar apa yang dikatakan warga, bahwa sayalah penyebab huru-hara di kampung ini, maka saya tidak akan pergi sebelum menyelesaikan masalah yang timbul," ujar Sri pada Fakhri."Tapi, saya sendiri masih bingung dengan apa harus menyelesaikan masalah ini, Kang." Dia tapak menghela nafas frustasi.Beberapa hari yang lalu, warga berbondong-bondong datang ke rumah Abah Ilham dan menyuruh Sri untuk meningalkan Kampung mereka, segera."Lihatlah! Gara-gara kamu, Kampung kami jadi tidak aman. Gara-gara kamu, anak gadis kami harus meninggal dengan tidak wajar dan sebagian warga lainnya diganggu Jin-jin penunggu hutan yang kamu bebaskan," amuk salah satu warga kala itu.Salah satu warga bahkan bersaksi bahwa dia melihat Sri masuk ke dalam hutan untuk mencabut kujang di atas batu di hutan itu. Mereka memfitnah Sri, bahwa gadis itu telah bersekutu dengan dukun untuk membebaskan kekuatan gaib yang beberapa ratus tahun meneror tempat tinggal mereka.Sebagian dari mereka memfitnah jika
Keadaan Kampung semakin memprihatinkan. Banyak dari jamaah yang biasa memenuhi masjid pondok setiap waktu salat wajib kini tak lagi menampakkan batang hidung mereka.Suasana masjid begitu senyap. Hanya ada beberapa jamaah yang terdiri dari santri yang tersisa dan keluarga Sri. Tak ada lagi suara canda tawa anak-anak yang biasa terdengar riuh saat mendekati waktu salat. Terutama saat memasuki waktu magrib.Para warga tidak berani keluar setelah adzan magrib atau sepuluh menit sebelum azan dikarenakan banyak Jin yang sering menelor mereka. Bahkan, pernah sekali kejadian di mana salah seorang anak yang hendak pulang setelah bermain di waktu itu disembunyikan oleh Jin. Dan katanya lagi bahkan sampai sekarang anak itu masih belum ditemukan."Sudah Ibu bilang Nyimas, kita kembali saja ke Jakarta. Semua warga di sini menyalahkanmu, dan Ibu tidak menyukainya."Sri menghela nafas pelan. Entah sudah berapa kali Ibunya meminta agar dia kembali ke Jakarta. "Kita bicarakan ini nanti, Bu. Sekarang