POV SriBeberapa hari setelah kejadian selepas pulang dari pasar tempo hari, aku kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada yg mengungkit kejadian itu, karena kata Abah itu yang terbaik untuk saat ini.Jumat pagi ini, aku dan seluruh santriwati akan bergotong royong membersihkan halaman pondok. Dan juga aku memiliki sesuatu yang ingin diperlihatkan pada kedua sahabatku, Ayu dan Silfi.Tak lupa, aku membawa HVS yang di dalamnya terdapat sebuah gambar yang telah aku janjikan pada mereka tempo hari. Aku pun memberikannya pada Silfi dan menunggu reaksinya. Tak berselang lama, Ayu datang dan ikut melihat isi kertas itu. "Sri, jahil ih," jerit Ayu dengan wajah yang sudah tertekuk maksimal."Lah siapa yang jahil? Aku itu cuma tepati janji aja buat gambar penunggu pohon tua waktu itu,? alibiku."Serem tahu," gerutu Silfi seraya mengembalikan HVS itu padaku.Yah, memang pada kenyataannya begitu sih. Wajah penuh darah dan belatung, anggota tubuh yang tidak utuh, seperti itulah sos
"Ada apa?" tanyaku pada Ayu yang tengah bersandar di dinding lorong menuju kamar mandi santri."Anak-anak ngajak masak-masak, ikut, gak?" jawabnya bertanya kembali."Yaudah ayo, kita belanja dulu bahan masakannya," ajakku seraya berjalan di depannya."Gak usah, udah di handel sama santriwati lain. Kita kebagian masak nasinya aja," sahut Ayu.Kami berdua pun segera menuju dapur yang dikhususkan untuk para santriwati memasak. Di sini, para santri memang dibiarkan mandiri dan akan memasak secara bergiliran jika akan makan.Beberapa saat kami sampai di dapur, sebagian santriwati sudah mengerjakan bagian masing-masing. Ada yang mencuci beras, menyalakan tungku, dan memotong sayuran yang baru di petik dari kebun Abah."Risma mana?" tanyaku ke mereka."Izin pulang, Teh. Katanya gak enak badan," sahut gadis yang kutahu bernama Mira.Aku terkejut sekaligus khawatir mendengarnya. Takut kalau sakitnya Risma ada sangkut pautnya dengan dia yang mencuci kain bekas darahku. Dia memang sensitif akan
"Teteh mau ke mana malam-malam?" Ranti keluar dari dapur dan menghampiri.Jiwaku bisa melihat sekeliling, tetapi makhluk itulah yang saat ini mengendalikan tubuh. Ingin berteriak dan meminta pertolongan Ranti, tetapi sepertinya percuma saja karena dia pun tak akan mendengarnya.Jin itu berjalan ke luar tanpa menghiraukan panggilan Ranti dan terus menyeret kaki ini hingga ke belakang rumah, di mana hutan belantara terlihat beberapa meter di depan.'Hey, tunggu. Kenapa Risma berada di pinggir hutan malam-malam?.' Ingin bertanya, tetapi seperti yang kukatakan tadi. Aku hanya bisa bergumam dalam hati karena tubuhku dikendalikan oleh makhluk Jahanam itu.Risma menuntun jalanku menuju hutan yang sering penduduk sebut sebagai Leuweung Sancang. Semua doa dan ayat al-quran yang sering kubaca ketika berada dalam situasi menakutkan seperti sekarang tiba-tiba terkunci dalam mulut.Beberapa saat kemudian, kami berdua sampai di tengah hutan belantara itu. Di sana sudah ada empat orang pria dewasa y
Risma POV"Lamun maneh teu bisa nurut kana naon anu dipikahayang 'ku Bapak, siap-siap dibikeun 'ka Ki Amar." Bapak terus saja mengancam agar aku mendapatkan sesuatu milik Sri untuk keperluan bergurunya pada salah satu dukun ternama di daerah kami.(Kalau kamu tidak bisa menuruti pada apa yang Bapak inginkan, maka siap-siap pergi ke Ki Amar)Bapak mana yang tega menumbalkan anak gadisnya demi kepentingan sendiri. Terlebih kepentingan itu sangat bertentangan dengan agama. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan kali aku memperingatkan beliau, tetapi hatinya begitu keras sampai tidak mau menerima nasehat baik itu."Apa Bapak bisa janji, kalau Ima bisa membawa sesuatu milik Teh Sri seperti keinginan Bapak, Bapak tidak akan memberikan Ima pada Ki Amar?" tanyaku dengan isakan yang masih tersisa.Bapak hanya mengangguk dan berlalu begitu saja keluar dari rumah. Aku yang anaknya pun terheran-heran dengan tingkahnya. Dia terlihat alim dan taat ibadah, terutama salat berjamaah. Namun, di belakang d
Satu minggu berlalu. Masih di tempat dan situasi yang sama di mana aku masih terkurung di tempat dukun cabul itu. Rasanya sudah tak tahan lagi dan ingin segera mengakhiri semua penderitaan ini.Bapak. Laki-laki yang membuatku ada atas izin Allah itu tak pernah sekalipun menemuiku sejak dia menyerahkan satu-satunya anak gadis yang dia miliki hanya demi sebuah ambisi duniawi.Menangis dan menangis, hanya itu yang aku lakukan setiap harinya. Setiap hari pula dukun cabul itu menggauliku layaknya pasangan menikah.Marah! Siapa yang tidak akan marah diperlakukan hina seperti itu, terlebih orang yang menyebabkan ini semua tak lain orang tua kita sendiri.Melawan? Ki Amar bukanlah tandinganku. Meski tubuhnya telah renta tetapi dengan kekuatan yang dia dapat hasil dari bersekutu dengan Iblis bukanlah tandinganku yang hanya seorang wanita lemah.Setiap hari dia akan mengurungku di ruangan sempit dengan jeruji besi. Dia hanya akan membiarkan aku keluar jika hendak ke kamar mandi dan ketika dia m
Author POV"Jika benar apa yang dikatakan warga, bahwa sayalah penyebab huru-hara di kampung ini, maka saya tidak akan pergi sebelum menyelesaikan masalah yang timbul," ujar Sri pada Fakhri."Tapi, saya sendiri masih bingung dengan apa harus menyelesaikan masalah ini, Kang." Dia tapak menghela nafas frustasi.Beberapa hari yang lalu, warga berbondong-bondong datang ke rumah Abah Ilham dan menyuruh Sri untuk meningalkan Kampung mereka, segera."Lihatlah! Gara-gara kamu, Kampung kami jadi tidak aman. Gara-gara kamu, anak gadis kami harus meninggal dengan tidak wajar dan sebagian warga lainnya diganggu Jin-jin penunggu hutan yang kamu bebaskan," amuk salah satu warga kala itu.Salah satu warga bahkan bersaksi bahwa dia melihat Sri masuk ke dalam hutan untuk mencabut kujang di atas batu di hutan itu. Mereka memfitnah Sri, bahwa gadis itu telah bersekutu dengan dukun untuk membebaskan kekuatan gaib yang beberapa ratus tahun meneror tempat tinggal mereka.Sebagian dari mereka memfitnah jika
Keadaan Kampung semakin memprihatinkan. Banyak dari jamaah yang biasa memenuhi masjid pondok setiap waktu salat wajib kini tak lagi menampakkan batang hidung mereka.Suasana masjid begitu senyap. Hanya ada beberapa jamaah yang terdiri dari santri yang tersisa dan keluarga Sri. Tak ada lagi suara canda tawa anak-anak yang biasa terdengar riuh saat mendekati waktu salat. Terutama saat memasuki waktu magrib.Para warga tidak berani keluar setelah adzan magrib atau sepuluh menit sebelum azan dikarenakan banyak Jin yang sering menelor mereka. Bahkan, pernah sekali kejadian di mana salah seorang anak yang hendak pulang setelah bermain di waktu itu disembunyikan oleh Jin. Dan katanya lagi bahkan sampai sekarang anak itu masih belum ditemukan."Sudah Ibu bilang Nyimas, kita kembali saja ke Jakarta. Semua warga di sini menyalahkanmu, dan Ibu tidak menyukainya."Sri menghela nafas pelan. Entah sudah berapa kali Ibunya meminta agar dia kembali ke Jakarta. "Kita bicarakan ini nanti, Bu. Sekarang
"Jadi, maksud kakek, kita bisa mengalahkan dukun itu jika kita berhasil menghancurkan kekuatan yang dia serap dari batu itu? Begitu?" tanya Sri pada pria tua berjubah putih di depannya."Betul, Nyimas." Kakek itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang gadis muda."Lalu, dengan cara apa saya bisa menghancurkan kekuatan hitam itu?""Bukankah Nyimas memegang kuncinya?"Dahi Sri berkerut. Kunci? Dia tidak ingat memegang sebuah kunci. "Kunci? Maksud kakek?" tanya Sri tak paham."Kekuatan itu dulunya terkurung dalam batu di hutan dengan kunci di atasnya. Nyimas pasti paham maksud kakek," jelas kakek itu."Ooh, maksudnya kujang itu?" Sri sedikit ragu. Kakek itu mengangguk."Akan tetapi, kujang itu saja tidak cukup untuk mengalahkan mereka," ujar sang kakek."Perlu tekad yang kuat serta sebuah usaha yang keras untuk melakukannya. Misalnya, Nyimas berlatih menggunakan senjata itu," imbuhnya."Kami hanya memiliki sedikit waktu, Kek. Bagaimana bisa saya mempelajarinya dalam waktu sesingkat itu?"
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t