Sri tersadar ketika sebuah tangan menepuk bahunya pelan. "Pak Ahmad? Bapak kemana saja dari tadi?" tanya gadis itu.Pak Ahmad mengerutkan dahi, lalu berkata, "Bapak dari tadi ada di dalam mobil. Tadi juga sempat manggil-manggil Neng, tapi Neng-nya malah melamun di sini. Makanya bapak samperin kemari," jawab beliau. Sri yang masih bingung dengan apa yang dialami barusan langsung masuk ke dalam mobil.Pak Ahmad pun menyusul dan setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Karena kejadian itu, Sri sampai lupa berpamitan pada Ibu dan kakak Risma. Akhirnya dia mengetik pesan ke nomor Aldi, dan meminta maaf karena tidak berpamitan.Sri menduga jika kritisnya Risma ada hubungan dengan Mang Burhan. Namun, perkataan pria itu di basement rumah sakit terus mengganggu."Kenapa dia bilang meski tubuhnya hancur, tapi jiwanya abadi?," gumamnya."Ada apa, Neng?" tanya Pak Ahmad, yang sekilas mendengar gumaman majikannya itu."Tidak, Pak. Saya hanya sedang memikirkan Risma," jawab Sri t
"Sri, sayang. Kamu yakin gak mau ikut nganterin kami ke Bandara?" tanya Bu Intan yang sudah siap dengan koper besar di sampingnya. Hari ini, sesuai jadwal, beliau dan sang suami akan pergi ke Makassar untuk bertemu seorang klien. Dari dulu, Pak Pandu memang selalu membawa sang istri ketika melakukan perjalanan bisnis. Alasannya, biar sambil liburan menyenangkan hati istri agar rezekinya selalu melimpah jika sang istri merasa senang."Bukan gak ingin, Bu. Namun, ada beberapa laporan keuangan yang mesti Sri periksa ulang sebelum diserahkan sama Pak Antoni besok," jawabnya penuh sesal."Yaudah, sini dulu peluk Ibu." Bu Intan merentangkan tangan di depan sang anak.Dengan malu-malu, Sri menghampiri sang Ibu lalu memeluknya erat. Entah kenapa, dia begitu berat melepas kedua orang tuanya yang hendak melakukan perjalanan bisnis. Meski bukan kali pertama jauh dari orang tua, tapi kali ini ada yang berbeda.Sri jadi teringat mimpinya beberapa hari lalu. Dalam mimpi itu, dia melihat sebuah pes
"Maaf, Pak. Tempat keberangkatan penumpang yang mau ke Makassar di sebelah mana?" tanya Sri pada salah satu petugas Bandara. "Terminal dua, di arah sana," tunjuk petugas itu. Sri bergegas menuju terminal yang disebutkan petugas tadi. Entah kenapa, pagi ini pengunjung Bandara begitu padat hingga dia kesulitan mencari kedua orang tuanya. Di saat genting seperti itu, Sri bahkan sempat melihat penampakan Mang Burhan yang tersenyum sinis ke arahnya. "Tidak, ini tidak boleh terjadi," gumam gadis itu ketika dia kembali teringat bisikan di makam Risma. "Bu, para penumpang pesawat yang mau ke Makassar di mana?" Sri kembali bertanya pada salah satu pengunjung Bandara. "Sebelah sana, Mbak," tunjuk wanita itu pada sebuah pesawat yang bersiap melakukan take-off. "Tidak," lirih Sri dengan air mata yang mulai menerobos lancang membasahi kedua pipi. Beberapa menit setelah pesawat terbang mengudara, sebuah ledakan hebat mengejutkan seluruh pengunjung Bandara hingga dinding-dinding kaca pun terk
Abah Ilham menatap sendu pada foto anak serta menantunya yang terpajang rapi di dinding. Diusia senjanya, ia harus menyaksikan sang anak kembali lebih dulu ke pangkuan sang pencipta. Namun, hal yang lebih membuatnya sakit adalah perubahan pada sang cucu. Gadis ceria itu telah berubah total menjadi gadis pendiam dan murung."Sekarang, siapa yang akan mengurus Sri setelah kepergian kakak dan kakak ipar?" tanya salah seoarng kerabat Bu Intan ketika mereka berkumpul di ruang keluarga, selesai pengajian hari pertama. Tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan orang itu."Kalian tidak perlu memusingkan masalah itu, karena saya bukan anak di bawah umur yang tidak tahu cara merawat diri," seru Sri yang berdiri di tengah anak tangga. Suaranya terdengar begitu dingin di pendengaran semua orang yang ada di ruangan itu.Mereka semua terdiam. Yang dikatakan gadis itu memang ada benarnya. Namun, tetap saja ada rasa khawatir dalam diri mereka untuk gadis sebatang kara itu. Setidaknya Sri harus memili
Sri POVJam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi rasanya tubuhku enggan meninggalkan tumpukkan dokumen di atas meja. Bi Asih sudah beberapa kali menelpon dan menyuruh agar segera pulang, tapi sepertinya keinginan beliau tidak akan terwujud hari ini.Masih terdapat banyak dokumen yang harus kuperiksa dengan teliti mengenai proyek kerja sama serta laporan keuangan tahunan. Tak ada siapapun di ruangan ini kecuali aku. Anita sudah kusuruh untuk pulang karena gadis itu sudah satu minggu ini menemani di kantor."Sri.." bisik sebuah suara dari arah belakang kursi kerja.Sontak kuputar kursi itu menghadap jendela besar di belakang. Tak ada apapun di sana, apa aku hanya berhalusinasi karena kurang tidur beberapa hari ini? Sepertinya memang begitu.Tak kuhiraukan lagi panggilan itu dan kembali menyelesaikan pekerjaan. Namun, kejadian aneh mulai mengganggu. Di belakang, seperti ada seseorang yang tengah berdiri memperhatikan. Saat kulihat lagi, sosok itu tidak ada di sana.Akan tetapi,
"Ibu mau kemana?" tanya Anita, saat bangkit dari ranjang pasien hendak ke kamar mandi. Sekretaris pribadi itu begitu protektif setelah kejadian kemarin."Saya mau ambil wudhu." Aku kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi seraya menjinjing selang infus."Kata dokter, luka Ibu belum boleh terkena air," tutur Anita, mengingatkan tentang ucapan dokter tempo hari."Yang terluka parah itu pinggul sama lutut saya, Nit.""Tapi, Bu..""Suut." Aku meletakkan telunjuk di depan bibir seraya menatap jengah pada Anita."Kalau gak mau bantu saya ke kamar mandi, mending kamu diam. Saya harus salat," potongku.Beberapa belas menit setelah mengambil wudhu, aku pun kembali ke samping belangkar. Di sana, Anita sudah menyiapkan perlengkapan salat."Mari, Bu saya bantu pasangkan mukena," tawarnya.Perlahan, dia membantu mengenakan mukena, lalu mengambilkan kursi karena untuk sementara lututku tidak bisa digerakan karena luka akibat pecahan beling. Setelah selesai, Anita mundur ke belakang dan membia
Silfi menoleh pada sang suami yang tengah memainkan benda pipih di tangan. Ardi yang merasa sang istri menatapnya langsung menggerakkan kedua alis. Suasana tiba-tiba saja menjadi tegang manakala Ardi berubah ekspresi menjadi serius. "Apa Teteh baik-baik saja dengan pernikahan Fakhri?" tanya dia yang sontak membuat sesuatu di dalam sini seperti terhimpit beban yang begitu besar. "Fakhri akan menikah?" Mereka kembali bersitatap, sebelum akhirnya mengangguk serempak. Jadi, memang sudah terlambat. Dia sudah memiliki seseorang yang akan menemani hari-harinya. Sementara aku di sini masih begitu berharap tentangnya. Aku pun menggeleng seraya memaksakan untuk tersenyum. "Dengan siapa dia akan menikah? Apa salah satu santri di pondok juga?" tanyaku kemudian. Dahi Silfi tiba-tiba berkerut lalu bertanya, "Kamu belum tahu siapa yang akan menikah dengan Fakhri?" Aku kembali menggeleng. Memang siapa wanita beruntung yang akan mendapatkan Fakhri. "Apa Ranti tidak memberikan undangan pada Teteh
Kupandangi sosok yang kini terbaring tak berdaya di atas ranjang di hadapan. Tubuh yang beberapa bulan lalu tampak berisi, kini hanya tinggal tulang berbalut kulit. Sama persis seperti yang terlihat ketika pingsan."Kenapa kalian tidak memberitahu kalau kakek sakit?" lirihku, bertanya pada paman dan bibi."Tadinya kami memang ingin memberitahu. Tapi, Ayah sudah mewanti-wanti agar kami tidak memberitahumu tentang penyakitnya. Dia tidak mau sampai kau khawatir, Sri," sela paman.Apa mimpi itu pertanda jika kakek akan pergi meninggalkanku sama seperti Ayah dan Ibu? Tidak. Aku tidak ingin kehilangan lagi."Kita bawa kakek ke rumah sakit, paman," ajakku, seraya berdiri.Paman dan bibi tampak menunduk dalam. Bibi kembali terisak yang langsung dirangkul oleh paman. Lalu, dengan suara bergetar beliau berujar, "Penyakit Ayah bukan penyakit yang bisa disembuhkan oleh tenaga medis, Sri."Perkataan Bibi membuatku kehilangan keseimbangan hingga terduduk di lantai. "Bagaimana mungkin. Apa maksud bi