"Maaf, Pak. Tempat keberangkatan penumpang yang mau ke Makassar di sebelah mana?" tanya Sri pada salah satu petugas Bandara. "Terminal dua, di arah sana," tunjuk petugas itu. Sri bergegas menuju terminal yang disebutkan petugas tadi. Entah kenapa, pagi ini pengunjung Bandara begitu padat hingga dia kesulitan mencari kedua orang tuanya. Di saat genting seperti itu, Sri bahkan sempat melihat penampakan Mang Burhan yang tersenyum sinis ke arahnya. "Tidak, ini tidak boleh terjadi," gumam gadis itu ketika dia kembali teringat bisikan di makam Risma. "Bu, para penumpang pesawat yang mau ke Makassar di mana?" Sri kembali bertanya pada salah satu pengunjung Bandara. "Sebelah sana, Mbak," tunjuk wanita itu pada sebuah pesawat yang bersiap melakukan take-off. "Tidak," lirih Sri dengan air mata yang mulai menerobos lancang membasahi kedua pipi. Beberapa menit setelah pesawat terbang mengudara, sebuah ledakan hebat mengejutkan seluruh pengunjung Bandara hingga dinding-dinding kaca pun terk
Abah Ilham menatap sendu pada foto anak serta menantunya yang terpajang rapi di dinding. Diusia senjanya, ia harus menyaksikan sang anak kembali lebih dulu ke pangkuan sang pencipta. Namun, hal yang lebih membuatnya sakit adalah perubahan pada sang cucu. Gadis ceria itu telah berubah total menjadi gadis pendiam dan murung."Sekarang, siapa yang akan mengurus Sri setelah kepergian kakak dan kakak ipar?" tanya salah seoarng kerabat Bu Intan ketika mereka berkumpul di ruang keluarga, selesai pengajian hari pertama. Tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan orang itu."Kalian tidak perlu memusingkan masalah itu, karena saya bukan anak di bawah umur yang tidak tahu cara merawat diri," seru Sri yang berdiri di tengah anak tangga. Suaranya terdengar begitu dingin di pendengaran semua orang yang ada di ruangan itu.Mereka semua terdiam. Yang dikatakan gadis itu memang ada benarnya. Namun, tetap saja ada rasa khawatir dalam diri mereka untuk gadis sebatang kara itu. Setidaknya Sri harus memili
Sri POVJam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi rasanya tubuhku enggan meninggalkan tumpukkan dokumen di atas meja. Bi Asih sudah beberapa kali menelpon dan menyuruh agar segera pulang, tapi sepertinya keinginan beliau tidak akan terwujud hari ini.Masih terdapat banyak dokumen yang harus kuperiksa dengan teliti mengenai proyek kerja sama serta laporan keuangan tahunan. Tak ada siapapun di ruangan ini kecuali aku. Anita sudah kusuruh untuk pulang karena gadis itu sudah satu minggu ini menemani di kantor."Sri.." bisik sebuah suara dari arah belakang kursi kerja.Sontak kuputar kursi itu menghadap jendela besar di belakang. Tak ada apapun di sana, apa aku hanya berhalusinasi karena kurang tidur beberapa hari ini? Sepertinya memang begitu.Tak kuhiraukan lagi panggilan itu dan kembali menyelesaikan pekerjaan. Namun, kejadian aneh mulai mengganggu. Di belakang, seperti ada seseorang yang tengah berdiri memperhatikan. Saat kulihat lagi, sosok itu tidak ada di sana.Akan tetapi,
"Ibu mau kemana?" tanya Anita, saat bangkit dari ranjang pasien hendak ke kamar mandi. Sekretaris pribadi itu begitu protektif setelah kejadian kemarin."Saya mau ambil wudhu." Aku kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi seraya menjinjing selang infus."Kata dokter, luka Ibu belum boleh terkena air," tutur Anita, mengingatkan tentang ucapan dokter tempo hari."Yang terluka parah itu pinggul sama lutut saya, Nit.""Tapi, Bu..""Suut." Aku meletakkan telunjuk di depan bibir seraya menatap jengah pada Anita."Kalau gak mau bantu saya ke kamar mandi, mending kamu diam. Saya harus salat," potongku.Beberapa belas menit setelah mengambil wudhu, aku pun kembali ke samping belangkar. Di sana, Anita sudah menyiapkan perlengkapan salat."Mari, Bu saya bantu pasangkan mukena," tawarnya.Perlahan, dia membantu mengenakan mukena, lalu mengambilkan kursi karena untuk sementara lututku tidak bisa digerakan karena luka akibat pecahan beling. Setelah selesai, Anita mundur ke belakang dan membia
Silfi menoleh pada sang suami yang tengah memainkan benda pipih di tangan. Ardi yang merasa sang istri menatapnya langsung menggerakkan kedua alis. Suasana tiba-tiba saja menjadi tegang manakala Ardi berubah ekspresi menjadi serius. "Apa Teteh baik-baik saja dengan pernikahan Fakhri?" tanya dia yang sontak membuat sesuatu di dalam sini seperti terhimpit beban yang begitu besar. "Fakhri akan menikah?" Mereka kembali bersitatap, sebelum akhirnya mengangguk serempak. Jadi, memang sudah terlambat. Dia sudah memiliki seseorang yang akan menemani hari-harinya. Sementara aku di sini masih begitu berharap tentangnya. Aku pun menggeleng seraya memaksakan untuk tersenyum. "Dengan siapa dia akan menikah? Apa salah satu santri di pondok juga?" tanyaku kemudian. Dahi Silfi tiba-tiba berkerut lalu bertanya, "Kamu belum tahu siapa yang akan menikah dengan Fakhri?" Aku kembali menggeleng. Memang siapa wanita beruntung yang akan mendapatkan Fakhri. "Apa Ranti tidak memberikan undangan pada Teteh
Kupandangi sosok yang kini terbaring tak berdaya di atas ranjang di hadapan. Tubuh yang beberapa bulan lalu tampak berisi, kini hanya tinggal tulang berbalut kulit. Sama persis seperti yang terlihat ketika pingsan."Kenapa kalian tidak memberitahu kalau kakek sakit?" lirihku, bertanya pada paman dan bibi."Tadinya kami memang ingin memberitahu. Tapi, Ayah sudah mewanti-wanti agar kami tidak memberitahumu tentang penyakitnya. Dia tidak mau sampai kau khawatir, Sri," sela paman.Apa mimpi itu pertanda jika kakek akan pergi meninggalkanku sama seperti Ayah dan Ibu? Tidak. Aku tidak ingin kehilangan lagi."Kita bawa kakek ke rumah sakit, paman," ajakku, seraya berdiri.Paman dan bibi tampak menunduk dalam. Bibi kembali terisak yang langsung dirangkul oleh paman. Lalu, dengan suara bergetar beliau berujar, "Penyakit Ayah bukan penyakit yang bisa disembuhkan oleh tenaga medis, Sri."Perkataan Bibi membuatku kehilangan keseimbangan hingga terduduk di lantai. "Bagaimana mungkin. Apa maksud bi
Kutatap bangunan berlantai dua di hadapan. Tempat yang sama, ketika seseorang keluar lalu kami tak sengaja saling berpandangan untuk sepersekian detik."Neng, Geulis," sapa sebuah suara yang langsung membuyarkan lamunan.Bibir pun langsung melengkung membentuk sebuah garis senyum begitu sosok itu berada di hadapan. Segera kami berpelukan untuk melepas rasa rindu yang begitu membuncah dalam dada. Beliau bahkan sampai terisak karena haru.Setelah pelukan terlerai, segera kuraih tangan itu dan menciumnya takzim. "Kenapa Mamah kurusan? Mamah baik-baik saja, 'kan?" Aku baru menyadari jika tubuh yang dulu sedikit berisi kini berubah kurus."Perasaan Neng aja mungkin. Mamah sehat kok, ayo masuk dulu." Beliau segera membimbing ke dalam rumah. Pun dengan Pak Ahmad yang menyusul di belakang."Abah ke mana?" tanyaku saat tak mendapati sosok lain yang begitu dirindukan."Abahmu pergi dengan Fakhri ke rumah Abahnya Ranti untuk membicarakan seputar pernikahan."Degh.Meski sudah mendengarnya lebih
Fakhri POVSatu persatu mobil melaju meninggalkan pelataran pondok. Mobil yang kutumpangi berada di jajaran tengah dengan dikendarai oleh sosok yang coba dilupakan setelah kepergiannya empat tahun lalu. Kenapa dia harus kembali saat hati masih begitu apik menyimpan nama serta kenangannya.Kupikir, setelah pertemuan di Jakarta saat orang tuanya meninggal kami tidak akan bertemu kembali. Namun, entah kenapa kami ditakdirkan untuk bertemu lagi dalam situasi canggung seperti sekarang. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok itu keluar dari dapur degan membawa serta tiga gelas berisi kopi.Jantung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya saat sosok itu perlahan mendekat. Begitu pandangan terangkat, mata kami saling mengunci untuk beberapa saat sebelum ia memutuskannya. Tuhan mempertemukan kami kembali saat berusaha menghilangkan semua kenangan tentang dia. Bukan tak tahu kalau dia yang akan menyetir mobil pengantin. Aku memang sengaja ingin berbicara dengannya sebelum akad nikah yang
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t