Sri POVJam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi rasanya tubuhku enggan meninggalkan tumpukkan dokumen di atas meja. Bi Asih sudah beberapa kali menelpon dan menyuruh agar segera pulang, tapi sepertinya keinginan beliau tidak akan terwujud hari ini.Masih terdapat banyak dokumen yang harus kuperiksa dengan teliti mengenai proyek kerja sama serta laporan keuangan tahunan. Tak ada siapapun di ruangan ini kecuali aku. Anita sudah kusuruh untuk pulang karena gadis itu sudah satu minggu ini menemani di kantor."Sri.." bisik sebuah suara dari arah belakang kursi kerja.Sontak kuputar kursi itu menghadap jendela besar di belakang. Tak ada apapun di sana, apa aku hanya berhalusinasi karena kurang tidur beberapa hari ini? Sepertinya memang begitu.Tak kuhiraukan lagi panggilan itu dan kembali menyelesaikan pekerjaan. Namun, kejadian aneh mulai mengganggu. Di belakang, seperti ada seseorang yang tengah berdiri memperhatikan. Saat kulihat lagi, sosok itu tidak ada di sana.Akan tetapi,
"Ibu mau kemana?" tanya Anita, saat bangkit dari ranjang pasien hendak ke kamar mandi. Sekretaris pribadi itu begitu protektif setelah kejadian kemarin."Saya mau ambil wudhu." Aku kembali melanjutkan langkah menuju kamar mandi seraya menjinjing selang infus."Kata dokter, luka Ibu belum boleh terkena air," tutur Anita, mengingatkan tentang ucapan dokter tempo hari."Yang terluka parah itu pinggul sama lutut saya, Nit.""Tapi, Bu..""Suut." Aku meletakkan telunjuk di depan bibir seraya menatap jengah pada Anita."Kalau gak mau bantu saya ke kamar mandi, mending kamu diam. Saya harus salat," potongku.Beberapa belas menit setelah mengambil wudhu, aku pun kembali ke samping belangkar. Di sana, Anita sudah menyiapkan perlengkapan salat."Mari, Bu saya bantu pasangkan mukena," tawarnya.Perlahan, dia membantu mengenakan mukena, lalu mengambilkan kursi karena untuk sementara lututku tidak bisa digerakan karena luka akibat pecahan beling. Setelah selesai, Anita mundur ke belakang dan membia
Silfi menoleh pada sang suami yang tengah memainkan benda pipih di tangan. Ardi yang merasa sang istri menatapnya langsung menggerakkan kedua alis. Suasana tiba-tiba saja menjadi tegang manakala Ardi berubah ekspresi menjadi serius. "Apa Teteh baik-baik saja dengan pernikahan Fakhri?" tanya dia yang sontak membuat sesuatu di dalam sini seperti terhimpit beban yang begitu besar. "Fakhri akan menikah?" Mereka kembali bersitatap, sebelum akhirnya mengangguk serempak. Jadi, memang sudah terlambat. Dia sudah memiliki seseorang yang akan menemani hari-harinya. Sementara aku di sini masih begitu berharap tentangnya. Aku pun menggeleng seraya memaksakan untuk tersenyum. "Dengan siapa dia akan menikah? Apa salah satu santri di pondok juga?" tanyaku kemudian. Dahi Silfi tiba-tiba berkerut lalu bertanya, "Kamu belum tahu siapa yang akan menikah dengan Fakhri?" Aku kembali menggeleng. Memang siapa wanita beruntung yang akan mendapatkan Fakhri. "Apa Ranti tidak memberikan undangan pada Teteh
Kupandangi sosok yang kini terbaring tak berdaya di atas ranjang di hadapan. Tubuh yang beberapa bulan lalu tampak berisi, kini hanya tinggal tulang berbalut kulit. Sama persis seperti yang terlihat ketika pingsan."Kenapa kalian tidak memberitahu kalau kakek sakit?" lirihku, bertanya pada paman dan bibi."Tadinya kami memang ingin memberitahu. Tapi, Ayah sudah mewanti-wanti agar kami tidak memberitahumu tentang penyakitnya. Dia tidak mau sampai kau khawatir, Sri," sela paman.Apa mimpi itu pertanda jika kakek akan pergi meninggalkanku sama seperti Ayah dan Ibu? Tidak. Aku tidak ingin kehilangan lagi."Kita bawa kakek ke rumah sakit, paman," ajakku, seraya berdiri.Paman dan bibi tampak menunduk dalam. Bibi kembali terisak yang langsung dirangkul oleh paman. Lalu, dengan suara bergetar beliau berujar, "Penyakit Ayah bukan penyakit yang bisa disembuhkan oleh tenaga medis, Sri."Perkataan Bibi membuatku kehilangan keseimbangan hingga terduduk di lantai. "Bagaimana mungkin. Apa maksud bi
Kutatap bangunan berlantai dua di hadapan. Tempat yang sama, ketika seseorang keluar lalu kami tak sengaja saling berpandangan untuk sepersekian detik."Neng, Geulis," sapa sebuah suara yang langsung membuyarkan lamunan.Bibir pun langsung melengkung membentuk sebuah garis senyum begitu sosok itu berada di hadapan. Segera kami berpelukan untuk melepas rasa rindu yang begitu membuncah dalam dada. Beliau bahkan sampai terisak karena haru.Setelah pelukan terlerai, segera kuraih tangan itu dan menciumnya takzim. "Kenapa Mamah kurusan? Mamah baik-baik saja, 'kan?" Aku baru menyadari jika tubuh yang dulu sedikit berisi kini berubah kurus."Perasaan Neng aja mungkin. Mamah sehat kok, ayo masuk dulu." Beliau segera membimbing ke dalam rumah. Pun dengan Pak Ahmad yang menyusul di belakang."Abah ke mana?" tanyaku saat tak mendapati sosok lain yang begitu dirindukan."Abahmu pergi dengan Fakhri ke rumah Abahnya Ranti untuk membicarakan seputar pernikahan."Degh.Meski sudah mendengarnya lebih
Fakhri POVSatu persatu mobil melaju meninggalkan pelataran pondok. Mobil yang kutumpangi berada di jajaran tengah dengan dikendarai oleh sosok yang coba dilupakan setelah kepergiannya empat tahun lalu. Kenapa dia harus kembali saat hati masih begitu apik menyimpan nama serta kenangannya.Kupikir, setelah pertemuan di Jakarta saat orang tuanya meninggal kami tidak akan bertemu kembali. Namun, entah kenapa kami ditakdirkan untuk bertemu lagi dalam situasi canggung seperti sekarang. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok itu keluar dari dapur degan membawa serta tiga gelas berisi kopi.Jantung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya saat sosok itu perlahan mendekat. Begitu pandangan terangkat, mata kami saling mengunci untuk beberapa saat sebelum ia memutuskannya. Tuhan mempertemukan kami kembali saat berusaha menghilangkan semua kenangan tentang dia. Bukan tak tahu kalau dia yang akan menyetir mobil pengantin. Aku memang sengaja ingin berbicara dengannya sebelum akad nikah yang
Author POVAcara resepsi telah usai satu jam yang lalu. Semua tamu undangan telah meninggalkan tempat hajatan dua jam yang lalu. Kini, pasangan pengantin baru tengah berada di dalam kamar mereka dengan saling terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Ranti dihantui rasa bersalah karena merebut pria yang dicintai sepupunya, Srikandi. Sedangkan Fakhri, entah apa yang ada di pikirannya saat ini."Akang ke masjid dulu, ya," pamit Fakhri gegas berdiri lalu menyambar sarung yang telah disiapkan sang istri di atas bangku di samping tempat tidur. Ranti hanya mengangguk lemah dan membiarkan sang suami pergi untuk menunaikan salat magrib.Seperginya sang suami, giliran dirinya yang mengambil wudhu lalu menggelar sejadah di samping tempat tidur. Kumandang azdan yang dilantunkan sang suami membuat air mata luruh seketika. Rasa haru sekaligus bersalah datang secara bersamaan.Bersyukur karena mendapatkan pria yang dicintainya, bersalah karena telah menikung sepupu sendiri. Tiga insan yang me
"Apa kedatangan Nyimas kemari ada kaitan dengan awan hitam yang menutupi langit?" tanya Kakek Guru pada Srikandi. Saat ini keduanya tengah berada di sisi tebing yang mengarah ke lautan biru."Ya, saya merasa sesuatu akan terjadi, tapi tidak tahu persisnya seperti apa."Kakek Guru manggut-manggut dengan tatapan lurus ke arah lautan lepas. "Kakek sudah mengetahuinya dari Gusti Prabu, Nyimas," ungkap sang kakek."Tentang apa, Kakek Guru?" tanya Sri penasaran."Kekuatan besar yang akan mengganggu ketenangan Nyimas lagi. Dan kakek mengetahuinya beberapa waktu lalu," ujar kakek guru.“Kenapa kakek tidak memberitahu sebelumnya? Kalau saja waktu itu..""Kakek memberitahumu, maka orang tua Nyimas akan selamat? Begitu maksudnya?" potong sang kakek. Sri mengangguk dengan air mata yang sudah meleleh dikedua pipi."Apa yang terjadi pada orang tua Nyimas sudah menjadi suratan takdir mereka dari Allah, dan kita tidak bisa mencegah itu," jelas Kakek Guru.Benar, Sri melupakan satu fakta itu. Tuhan la