Karena ada beberapa hal yang harus diurus, Pak Teguh pun meninggalkan Sri dan menyuruh Sindy yang baru kembali dari kamar untuk menemani. Sri dan Sindy memiliki jarak usia yang tidak terlalu jauh, jadi keduanya mudah akrab dan dalam sekejap menjadi teman."Kamu kenapa, Sin?" tanya Sri ketika menyadari wajah gadis di sampingnya berubah murung."Aku tahu Papa sebenarnya pergi untuk mengurus keperluan perceraiannya dengan Mama," ucap Sindy sedih."Kamu gak ingin mereka pisah?" tanya Sri. Gadis itu pun mengangguk."Tak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah, Kak," lirih Sindy."Kak, aku sempat baca-baca di browser tentang gangguan ilmu sihir, dan kakak tahu apa yang kutemukan?" tanya gadis itu. Sri menggeleng."Perubahan sikap Mama sama persis seperti tanda-tanda orang yang terkena sihir pemisah," ungkap Sindy."Kamu percaya sama hal mistis di zaman modern sekarang ini, Sin?" tanya Sri memastikan.Tentu saja hal itu masih ada sampai sekarang, bahkan Sri saja mengalaminya beberap
Sri POVAcara outbound dimulai sekitar bakda ashar. Kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan yang berada di samping vila. "Acara kita mulai dengan game mengumpulkan bendera yang sudah panitia sebar di sekitar Puncak. Nanti, kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok dan masing-masing kelompok harus mengumpulkan bendera sebanyak-banyaknya dalam waktu satu jam. Kelompok yang selesai lebih cepat akan menjadi pemenangnya," ungkap panitia acara.Aku, Mesya dan beberapa teman lainnya segera membuat kelompok dan menyusun strategi untuk memenangkan perlombaan ini. Setelahnya, peluit di tiup sebagai tanda dimulainya perlombaan.Terdiri dari tujuh kelompok dengan beranggotakan lima orang, kami semua berpencar dengan kelompok masing-masing untuk mencari bendera yang dimaksud."Ini beneran jalannya lewat sini?" tanya Amira, bergidik ngeri ketika menatap jalan di depan kami. Jalan itu terlihat seperti tak pernah terjamah oleh manusia. Banyak lumut yang tumbuh di sekitaran jalan hingga men
Aku dan Amira berlari tergesa setelah kami selesai melaksanakan salat magrib. Dini mengabarkan jika Alin dan Mesya telah diketemukan dalam kondisi kurang baik.Kami pun segera menuju kamar mereka. Di sana juga sudah ada beberapa Mahasiswa senior yang tengah menemani mereka. Kedua temanku ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri. Segera kudekati mereka yang berbaring bersebelahan.Wajah keduanya pucat, seperti tak ada aliran darah yang mengaliri wajah mereka. Tak hanya sampai situ, tangan mereka pun terasa seperti daging yang baru keluar dari dalam freezer. Begitu dingin.“Jangan dekat-dekat, Sri. Nanti kamu bisa terkena flu,” kata Rama memperingati.Aku tidak menggubris ucapannya dan malah semakin menggenggam kuat tangan Mesya. “Tolong matikan AC dan bawa lebih banyak selimut, mereka kedinginan,” lirihku seraya membenahi letak selimut mereka agar menutupi sampai batas leher.“Sri,” panggil Rama.Aku menggeleng kuat dengan bulir bening yang meluncur deras. “Ambilkan balsam atau apapun
Aku semakin mendekati benda berwarna merah yang menempel di dedaunan kering di depan. Jika diperhatikan, seperti agar-agar seukuran satu buku jari telunjuk."Darah?"Aku kembali meneliti dengan seksama, dan ternyata memang darah yang menggumpal. Apa ini yang nenek itu bilang? Padahal aku sudah bergidik, membayangkan akan membawa kotoran Alin dari hutan.Prak. Wush!Angin bertiup kencang hingga pohon-pohon bambu saling bergesekan dan membuat bunyi-bunyian yang begitu berisik. Entah sejak kapan ada seorang perempuan berdiri membelakangiku di depan sana. Rambutnya tergerai panjang hingga menutupi kaki. Sekilas aku melihat dia memakai gaun berwarna merah menyala.Degh!Jantung serasa berhenti berdetak sepersekian detik saat sosok itu menghadap ke arahku. Sebelah wajahnya yang hanya sisa tulang-belulang. Mata merah menyala serta bagian dada yang terus mengeluarkan darah.Baunya begitu menyengat di indra penciumanku. Bau anyir bercampur bau bangkai. Sosok itu yang datang ke dalam mimpi."Di
Saat memasuki gerbang bangunan vila, para mahasiswa dan mahasiswi yang masih menunggui langsung mengucap syukur secara serempak saat melihat kedatanganku."Sri." Amira langsung berlari menghampiri dan memelukku."Syukurlah Sri, aku sangat senang karena kamu kembali dengan selamat," ujarnya."Bagaimana keadaan Alin dan Mesya?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Mereka sudah baik-baik saja sekarang. Ayo, masuklah. Kamu pasti lelah," ajak salah seorang senior.Kami semua beranjak ke dalam bangunan vila. Aku pun memutuskan mengganti pakaian sebelum mengunjungi keduanya. Aku juga sudah membuang pembalut yang dibuang Alin sembarangan di hutan bambu."Sri, kamu gak mau cerita gitu apa yang terjadi di hutan itu," ujar salah seorang panitia perempuan ketika kami tengah menghangatkan diri dengan meminum wedang jahe yang disediakan pihak konsumsi."Enggak ah, Kak. Bukan sesuatu yang mesti diceritakan juga," sahutku, kembali menikmati secangkir wedang jahe.Mahasiswi bernama Alia itu pun mendesah
Sayang sungguh sayang. Keinginan kami untuk segera pulang ke Jakarta harus pupus setelah pembicaraan dengan orang bengkel yang akan memperbaiki mobilku. Mereka mengatakan akan membutuhkan waktu satu hari untuk memperbaikinya."Terus kita nginap di mana dong?" tanya Aina.Aku dan yang lainnya berpikir keras, mengingat di daerah itu tidak terlihat sama sekali adanya penginapan."Bagaimana kalau kita numpang di masjid untuk satu malam ini," usul Rama."Kalau mau, kalian bisa menginap di rumah saya satu malam. Kebetulan ada dua kamar kosong di tempat saya," tawar pemuda yang memberikan nomor ponsel bengkel tadi.Aku dan yang lain berunding terlebih dahulu. Bukan apa-apa, kami hanya tidak ingin merepotkan orang lain saja."Yaudah Sri, terima aja tawarannya, apa lagi sebentar lagi juga kayaknya mau turun hujan," tunjuk Aina ke arah awan yang memang terlihat mendung pagi ini."Baiklah, terima kasih sebelumnya." Aku pun menyetujui tawaran pemuda itu.Tiga puluh menit kemudian, orang bengkel d
Aku dan Amira sama-sama terdiam saat hendak kembali ke rumah Bu Marni. Perkataan Ibu penjaga warung masih terngiang di kepala kami."Kalau dia kasih kalian makanan, sebisa mungkin jangan dimakan," tuturnya."Atau kalau gak, kalian baca dulu ayat kursi dan sebagainya, lalu berdoa supaya terhindar dari racun yang terdapat dalam makanan itu," tambahnya lagi."Maksud Ibu apa, ya? Bu Marni itu saya lihat baik kok orangnya. Gak mungkin dia meracuni kami," sahutku.Ibu itu pun menceritakan jika Bu Marni tidak baik seperti kelihatannya."Dia perempuan licik yang bisa melakukan apapun untuk kepentingan pribadinya. Bu Marni itu penganut ilmu hitam. Dia biasa meracuni seseorang dengan makanan yang dibuatnya hingga orang itu mengalami sakit yang tidak wajar.Setelah orang yang diracunnya sakit, maka si peracun akan mendapatkan rezeki yang tak terduga. Rezeki orang yang diracun dihisap oleh orang yang meracuninya," ungkapnya."Kalau memang seperti itu, kenapa tidak dipolisikan, Bu?" tanya Amira"K
"Kalian makan apaan sih? Sampai gak bagi-bagi," tegur Rama sekembalinya kami dari masjid. Aku dan Amira berjalan bersisian, sedangkan Rama tepat di belakang kami."Ini, makan kurma ini, Kak," tawarku segera menyodorkan sebutir."Bulan puasa udah kelewat kali, Sri," seloroh Rama, tetapi tetap menerima kurma itu."Emang makan buah kurma harus pas bulan puasa aja? Enggak, kan," timpalku.Rama hanya terkekeh kecil dan mulai memakan kurma pemberianku. Setelah beberapa saat, kami pun sampai di depan rumah Bu Marni. Setelah mengucap salam, kami semua segera masuk dan mendapati Aina yang sudah tertidur pulas di atas kursi rotan dengan beralaskan bantal"Na, bangun. Makan dulu, yuk," ajakku seraya mengguncang pelan tubuhnya. Namun, tidak ada reaksi sama sekali."Neng, makan malam dulu. Itu masakannya udah Ibu panasin lagi tadi, soalnya Husni bilang kalian pulangnya habis isya, makanya kami makan duluan," ujar Bu Marni yang keluar dari kamar."Tidak pa-pa, Bu.""Oh iya, Neng Aina juga tadi suda