Beranda / Horor / Tilasmat / 49. Menolak Percaya

Share

49. Menolak Percaya

Penulis: Anonymous Girl
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kalian makan apaan sih? Sampai gak bagi-bagi," tegur Rama sekembalinya kami dari masjid. Aku dan Amira berjalan bersisian, sedangkan Rama tepat di belakang kami.

"Ini, makan kurma ini, Kak," tawarku segera menyodorkan sebutir.

"Bulan puasa udah kelewat kali, Sri," seloroh Rama, tetapi tetap menerima kurma itu.

"Emang makan buah kurma harus pas bulan puasa aja? Enggak, kan," timpalku.

Rama hanya terkekeh kecil dan mulai memakan kurma pemberianku. Setelah beberapa saat, kami pun sampai di depan rumah Bu Marni. Setelah mengucap salam, kami semua segera masuk dan mendapati Aina yang sudah tertidur pulas di atas kursi rotan dengan beralaskan bantal

"Na, bangun. Makan dulu, yuk," ajakku seraya mengguncang pelan tubuhnya. Namun, tidak ada reaksi sama sekali.

"Neng, makan malam dulu. Itu masakannya udah Ibu panasin lagi tadi, soalnya Husni bilang kalian pulangnya habis isya, makanya kami makan duluan," ujar Bu Marni yang keluar dari kamar.

"Tidak pa-pa, Bu."

"Oh iya, Neng Aina juga tadi suda
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tilasmat   50. Sebuah Kutipan

    "Mampir dulu, Sri," tawar Amira sebelum turun dari mobil. "Lain kali aja Mir, mau jengukin dulu Alin sama Mesya." "Yaudah kalau begitu. Aku nanti nyusul deh kalau udah istirahat bentar," ujarnya. Aku pun mengangguk dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Alin dan Mesya dirawat. Jarak rumah sakit dari tempat Amira cukup memakan waktu hingga tiga puluh menitan berkendara. Setelah sampai, aku segera menanyakan letak kamar keduanya pada seorang perawat. "Lantai tiga di kamar tulip dua, atas nama Alina dan Mesya, ya," ucap resepsionis. Tungkai pun diarahkan menuju lift untuk ke lantai tiga rumah sakit. Langkahku sempat terhenti ketika melihat beberapa sosok di lorong rumah sakit. Beginilah tidak enaknya menjadi orang yang bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Masih mending ada orang lain yang berlalu lalang di koridor itu. Namun, entah kenapa siang ini rumah sakit terasa sangat sepi. Barulah ketika seorang perawat lewat, aku segera mengikutinya dari belaka

  • Tilasmat   51. Sihir Racun Yang Mulai Bekerja

    Satu minggu berlalu. Alin dan Mesya sudah pulih sepenuhnya. Mereka juga sudah kembali beraktifitas seperti biasa di kampus. Terkadang mereka mengeluh, takut makhluk itu mendatangi mereka kembali. Namun, aku selalu meyakinkan bahwa makhluk itu tidak akan berani mendatangi mereka berdua."Aina masih gak masuk?" tanyaku pada Dini, teman dekatnya. Hari ini, kami berlima termasuk Amira, Alin dan Mesya tengah menikmati makan siang di kantin kampus."Iya, katanya tifus yang dia alami makin parah," jawab Dini."Kita jenguk dia nanti, gimana?" Aku memberi saran."Gak bisa, Sri. Dia udah dibawa keluarganya ke Medan," sela Dini."Emang separah itu sampai dia dibawa pulang keluarganya?" tanya Alin. Dini mengangguk disela-sela suapan mie goreng pesanannya.Aku dan Amira lalu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja kejadian saat kami pulang terlambat dari Puncak kembali berputar.Apa sakitnya Aina ada hubungannya dengan Bu Marni? Aku sempat baca artikel kalau orang yang terkena sihir racun memang

  • Tilasmat   52. Risma Kritis

    "Kakek Guru, Paman Maung, siapapun tolong bantu aku." Akan sangat baik jika salah satu dari mereka hadir lalu membantuku sekarang.Selepas kembali dari menjenguk Aina, aku jadi ingin tahu tentang cara menyembuhkan penyakitnya itu. Meski tahu dasar-dasar pengobatan ilmu sihir, tetap saja aku ingin bertanya karena semakin banyak yang diketahui maka semakin baik untuk ke depannya nanti.Sungkan jika harus menelpon Fakhri untuk menanyakan pada Abah, akhirnya aku memutuskan akan meminta bantuan pada mereka berdua.Tak berselang lama, Kakek Guru muncul secara tiba-tiba di hadapan. Karena sudah keseringan, aku pun tidak terlalu kaget semisal beliau datang ataupun menghilang dalam sekejap mata."Ada apa, Nyimas?" tanyanya."Begini, Kek." Aku pun menceritakan permasalahan yang dialami Aina pada beliau."Selain ruqyah dan meminum atau memandikan air rebusan daun bidara dan daun kelor, biasanya orang yang terkena sihir juga dianjurkan untuk memakan kurma ajwa," tutur beliau. Kemudian mengeluarka

  • Tilasmat   53. Penderitaan Yang Belum Usai

    Author POVUjian pun tiba. Satu persatu Mahasiswa mulai mengerjakan soal yang dibagikan pengawas. Beberapa jam kemudian, mereka yang telah selesai langsung menyerahkan kertas jawaban itu pada meja pengawas di depan.Semua teman Sri, kecuali Aina telah selesai mengerjakan soal dan mereka pun telah meninggalkan ruang ujian."Tidak biasanya Sri telat keluar. Biasanya dia yang pertama ngumpulin jawaban, tapi sekarang?" ujar Dini."Iya, aku lihat juga dari awal masuk dia melamun. Kayak banyak pikiran gitu," sela Amira."Apa dia punya masalah? Tapi, kenapa dia tidak membaginya dengan kita? Apa dia tidak percaya jika kita bisa membantunya?" tanya Mesya.Tak berselang lama, orang yang mereka bicarakan keluar lalu menghampiri ketiganya."Sri, kamu kenapa? Ada masalah, ya? Kok aku lihat dari awal ujian kamu terus murung." Serentetan pertanyaan langsung dilontarkan Amira.Sri menghela nafas berat seraya menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Mesya. "Teman pondokku sedang kritis, dan aku sedang kh

  • Tilasmat   54. Kepergian Risma

    Sri tersadar ketika sebuah tangan menepuk bahunya pelan. "Pak Ahmad? Bapak kemana saja dari tadi?" tanya gadis itu.Pak Ahmad mengerutkan dahi, lalu berkata, "Bapak dari tadi ada di dalam mobil. Tadi juga sempat manggil-manggil Neng, tapi Neng-nya malah melamun di sini. Makanya bapak samperin kemari," jawab beliau. Sri yang masih bingung dengan apa yang dialami barusan langsung masuk ke dalam mobil.Pak Ahmad pun menyusul dan setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Karena kejadian itu, Sri sampai lupa berpamitan pada Ibu dan kakak Risma. Akhirnya dia mengetik pesan ke nomor Aldi, dan meminta maaf karena tidak berpamitan.Sri menduga jika kritisnya Risma ada hubungan dengan Mang Burhan. Namun, perkataan pria itu di basement rumah sakit terus mengganggu."Kenapa dia bilang meski tubuhnya hancur, tapi jiwanya abadi?," gumamnya."Ada apa, Neng?" tanya Pak Ahmad, yang sekilas mendengar gumaman majikannya itu."Tidak, Pak. Saya hanya sedang memikirkan Risma," jawab Sri t

  • Tilasmat   55. Firasat Buruk

    "Sri, sayang. Kamu yakin gak mau ikut nganterin kami ke Bandara?" tanya Bu Intan yang sudah siap dengan koper besar di sampingnya. Hari ini, sesuai jadwal, beliau dan sang suami akan pergi ke Makassar untuk bertemu seorang klien. Dari dulu, Pak Pandu memang selalu membawa sang istri ketika melakukan perjalanan bisnis. Alasannya, biar sambil liburan menyenangkan hati istri agar rezekinya selalu melimpah jika sang istri merasa senang."Bukan gak ingin, Bu. Namun, ada beberapa laporan keuangan yang mesti Sri periksa ulang sebelum diserahkan sama Pak Antoni besok," jawabnya penuh sesal."Yaudah, sini dulu peluk Ibu." Bu Intan merentangkan tangan di depan sang anak.Dengan malu-malu, Sri menghampiri sang Ibu lalu memeluknya erat. Entah kenapa, dia begitu berat melepas kedua orang tuanya yang hendak melakukan perjalanan bisnis. Meski bukan kali pertama jauh dari orang tua, tapi kali ini ada yang berbeda.Sri jadi teringat mimpinya beberapa hari lalu. Dalam mimpi itu, dia melihat sebuah pes

  • Tilasmat   56. Kehilangan Terbesar

    "Maaf, Pak. Tempat keberangkatan penumpang yang mau ke Makassar di sebelah mana?" tanya Sri pada salah satu petugas Bandara. "Terminal dua, di arah sana," tunjuk petugas itu. Sri bergegas menuju terminal yang disebutkan petugas tadi. Entah kenapa, pagi ini pengunjung Bandara begitu padat hingga dia kesulitan mencari kedua orang tuanya. Di saat genting seperti itu, Sri bahkan sempat melihat penampakan Mang Burhan yang tersenyum sinis ke arahnya. "Tidak, ini tidak boleh terjadi," gumam gadis itu ketika dia kembali teringat bisikan di makam Risma. "Bu, para penumpang pesawat yang mau ke Makassar di mana?" Sri kembali bertanya pada salah satu pengunjung Bandara. "Sebelah sana, Mbak," tunjuk wanita itu pada sebuah pesawat yang bersiap melakukan take-off. "Tidak," lirih Sri dengan air mata yang mulai menerobos lancang membasahi kedua pipi. Beberapa menit setelah pesawat terbang mengudara, sebuah ledakan hebat mengejutkan seluruh pengunjung Bandara hingga dinding-dinding kaca pun terk

  • Tilasmat   57. Perubahan Sri

    Abah Ilham menatap sendu pada foto anak serta menantunya yang terpajang rapi di dinding. Diusia senjanya, ia harus menyaksikan sang anak kembali lebih dulu ke pangkuan sang pencipta. Namun, hal yang lebih membuatnya sakit adalah perubahan pada sang cucu. Gadis ceria itu telah berubah total menjadi gadis pendiam dan murung."Sekarang, siapa yang akan mengurus Sri setelah kepergian kakak dan kakak ipar?" tanya salah seoarng kerabat Bu Intan ketika mereka berkumpul di ruang keluarga, selesai pengajian hari pertama. Tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan orang itu."Kalian tidak perlu memusingkan masalah itu, karena saya bukan anak di bawah umur yang tidak tahu cara merawat diri," seru Sri yang berdiri di tengah anak tangga. Suaranya terdengar begitu dingin di pendengaran semua orang yang ada di ruangan itu.Mereka semua terdiam. Yang dikatakan gadis itu memang ada benarnya. Namun, tetap saja ada rasa khawatir dalam diri mereka untuk gadis sebatang kara itu. Setidaknya Sri harus memili

Bab terbaru

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status