"Mampir dulu, Sri," tawar Amira sebelum turun dari mobil. "Lain kali aja Mir, mau jengukin dulu Alin sama Mesya." "Yaudah kalau begitu. Aku nanti nyusul deh kalau udah istirahat bentar," ujarnya. Aku pun mengangguk dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Alin dan Mesya dirawat. Jarak rumah sakit dari tempat Amira cukup memakan waktu hingga tiga puluh menitan berkendara. Setelah sampai, aku segera menanyakan letak kamar keduanya pada seorang perawat. "Lantai tiga di kamar tulip dua, atas nama Alina dan Mesya, ya," ucap resepsionis. Tungkai pun diarahkan menuju lift untuk ke lantai tiga rumah sakit. Langkahku sempat terhenti ketika melihat beberapa sosok di lorong rumah sakit. Beginilah tidak enaknya menjadi orang yang bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Masih mending ada orang lain yang berlalu lalang di koridor itu. Namun, entah kenapa siang ini rumah sakit terasa sangat sepi. Barulah ketika seorang perawat lewat, aku segera mengikutinya dari belaka
Satu minggu berlalu. Alin dan Mesya sudah pulih sepenuhnya. Mereka juga sudah kembali beraktifitas seperti biasa di kampus. Terkadang mereka mengeluh, takut makhluk itu mendatangi mereka kembali. Namun, aku selalu meyakinkan bahwa makhluk itu tidak akan berani mendatangi mereka berdua."Aina masih gak masuk?" tanyaku pada Dini, teman dekatnya. Hari ini, kami berlima termasuk Amira, Alin dan Mesya tengah menikmati makan siang di kantin kampus."Iya, katanya tifus yang dia alami makin parah," jawab Dini."Kita jenguk dia nanti, gimana?" Aku memberi saran."Gak bisa, Sri. Dia udah dibawa keluarganya ke Medan," sela Dini."Emang separah itu sampai dia dibawa pulang keluarganya?" tanya Alin. Dini mengangguk disela-sela suapan mie goreng pesanannya.Aku dan Amira lalu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja kejadian saat kami pulang terlambat dari Puncak kembali berputar.Apa sakitnya Aina ada hubungannya dengan Bu Marni? Aku sempat baca artikel kalau orang yang terkena sihir racun memang
"Kakek Guru, Paman Maung, siapapun tolong bantu aku." Akan sangat baik jika salah satu dari mereka hadir lalu membantuku sekarang.Selepas kembali dari menjenguk Aina, aku jadi ingin tahu tentang cara menyembuhkan penyakitnya itu. Meski tahu dasar-dasar pengobatan ilmu sihir, tetap saja aku ingin bertanya karena semakin banyak yang diketahui maka semakin baik untuk ke depannya nanti.Sungkan jika harus menelpon Fakhri untuk menanyakan pada Abah, akhirnya aku memutuskan akan meminta bantuan pada mereka berdua.Tak berselang lama, Kakek Guru muncul secara tiba-tiba di hadapan. Karena sudah keseringan, aku pun tidak terlalu kaget semisal beliau datang ataupun menghilang dalam sekejap mata."Ada apa, Nyimas?" tanyanya."Begini, Kek." Aku pun menceritakan permasalahan yang dialami Aina pada beliau."Selain ruqyah dan meminum atau memandikan air rebusan daun bidara dan daun kelor, biasanya orang yang terkena sihir juga dianjurkan untuk memakan kurma ajwa," tutur beliau. Kemudian mengeluarka
Author POVUjian pun tiba. Satu persatu Mahasiswa mulai mengerjakan soal yang dibagikan pengawas. Beberapa jam kemudian, mereka yang telah selesai langsung menyerahkan kertas jawaban itu pada meja pengawas di depan.Semua teman Sri, kecuali Aina telah selesai mengerjakan soal dan mereka pun telah meninggalkan ruang ujian."Tidak biasanya Sri telat keluar. Biasanya dia yang pertama ngumpulin jawaban, tapi sekarang?" ujar Dini."Iya, aku lihat juga dari awal masuk dia melamun. Kayak banyak pikiran gitu," sela Amira."Apa dia punya masalah? Tapi, kenapa dia tidak membaginya dengan kita? Apa dia tidak percaya jika kita bisa membantunya?" tanya Mesya.Tak berselang lama, orang yang mereka bicarakan keluar lalu menghampiri ketiganya."Sri, kamu kenapa? Ada masalah, ya? Kok aku lihat dari awal ujian kamu terus murung." Serentetan pertanyaan langsung dilontarkan Amira.Sri menghela nafas berat seraya menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Mesya. "Teman pondokku sedang kritis, dan aku sedang kh
Sri tersadar ketika sebuah tangan menepuk bahunya pelan. "Pak Ahmad? Bapak kemana saja dari tadi?" tanya gadis itu.Pak Ahmad mengerutkan dahi, lalu berkata, "Bapak dari tadi ada di dalam mobil. Tadi juga sempat manggil-manggil Neng, tapi Neng-nya malah melamun di sini. Makanya bapak samperin kemari," jawab beliau. Sri yang masih bingung dengan apa yang dialami barusan langsung masuk ke dalam mobil.Pak Ahmad pun menyusul dan setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Karena kejadian itu, Sri sampai lupa berpamitan pada Ibu dan kakak Risma. Akhirnya dia mengetik pesan ke nomor Aldi, dan meminta maaf karena tidak berpamitan.Sri menduga jika kritisnya Risma ada hubungan dengan Mang Burhan. Namun, perkataan pria itu di basement rumah sakit terus mengganggu."Kenapa dia bilang meski tubuhnya hancur, tapi jiwanya abadi?," gumamnya."Ada apa, Neng?" tanya Pak Ahmad, yang sekilas mendengar gumaman majikannya itu."Tidak, Pak. Saya hanya sedang memikirkan Risma," jawab Sri t
"Sri, sayang. Kamu yakin gak mau ikut nganterin kami ke Bandara?" tanya Bu Intan yang sudah siap dengan koper besar di sampingnya. Hari ini, sesuai jadwal, beliau dan sang suami akan pergi ke Makassar untuk bertemu seorang klien. Dari dulu, Pak Pandu memang selalu membawa sang istri ketika melakukan perjalanan bisnis. Alasannya, biar sambil liburan menyenangkan hati istri agar rezekinya selalu melimpah jika sang istri merasa senang."Bukan gak ingin, Bu. Namun, ada beberapa laporan keuangan yang mesti Sri periksa ulang sebelum diserahkan sama Pak Antoni besok," jawabnya penuh sesal."Yaudah, sini dulu peluk Ibu." Bu Intan merentangkan tangan di depan sang anak.Dengan malu-malu, Sri menghampiri sang Ibu lalu memeluknya erat. Entah kenapa, dia begitu berat melepas kedua orang tuanya yang hendak melakukan perjalanan bisnis. Meski bukan kali pertama jauh dari orang tua, tapi kali ini ada yang berbeda.Sri jadi teringat mimpinya beberapa hari lalu. Dalam mimpi itu, dia melihat sebuah pes
"Maaf, Pak. Tempat keberangkatan penumpang yang mau ke Makassar di sebelah mana?" tanya Sri pada salah satu petugas Bandara. "Terminal dua, di arah sana," tunjuk petugas itu. Sri bergegas menuju terminal yang disebutkan petugas tadi. Entah kenapa, pagi ini pengunjung Bandara begitu padat hingga dia kesulitan mencari kedua orang tuanya. Di saat genting seperti itu, Sri bahkan sempat melihat penampakan Mang Burhan yang tersenyum sinis ke arahnya. "Tidak, ini tidak boleh terjadi," gumam gadis itu ketika dia kembali teringat bisikan di makam Risma. "Bu, para penumpang pesawat yang mau ke Makassar di mana?" Sri kembali bertanya pada salah satu pengunjung Bandara. "Sebelah sana, Mbak," tunjuk wanita itu pada sebuah pesawat yang bersiap melakukan take-off. "Tidak," lirih Sri dengan air mata yang mulai menerobos lancang membasahi kedua pipi. Beberapa menit setelah pesawat terbang mengudara, sebuah ledakan hebat mengejutkan seluruh pengunjung Bandara hingga dinding-dinding kaca pun terk
Abah Ilham menatap sendu pada foto anak serta menantunya yang terpajang rapi di dinding. Diusia senjanya, ia harus menyaksikan sang anak kembali lebih dulu ke pangkuan sang pencipta. Namun, hal yang lebih membuatnya sakit adalah perubahan pada sang cucu. Gadis ceria itu telah berubah total menjadi gadis pendiam dan murung."Sekarang, siapa yang akan mengurus Sri setelah kepergian kakak dan kakak ipar?" tanya salah seoarng kerabat Bu Intan ketika mereka berkumpul di ruang keluarga, selesai pengajian hari pertama. Tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan orang itu."Kalian tidak perlu memusingkan masalah itu, karena saya bukan anak di bawah umur yang tidak tahu cara merawat diri," seru Sri yang berdiri di tengah anak tangga. Suaranya terdengar begitu dingin di pendengaran semua orang yang ada di ruangan itu.Mereka semua terdiam. Yang dikatakan gadis itu memang ada benarnya. Namun, tetap saja ada rasa khawatir dalam diri mereka untuk gadis sebatang kara itu. Setidaknya Sri harus memili