Aku semakin mendekati benda berwarna merah yang menempel di dedaunan kering di depan. Jika diperhatikan, seperti agar-agar seukuran satu buku jari telunjuk."Darah?"Aku kembali meneliti dengan seksama, dan ternyata memang darah yang menggumpal. Apa ini yang nenek itu bilang? Padahal aku sudah bergidik, membayangkan akan membawa kotoran Alin dari hutan.Prak. Wush!Angin bertiup kencang hingga pohon-pohon bambu saling bergesekan dan membuat bunyi-bunyian yang begitu berisik. Entah sejak kapan ada seorang perempuan berdiri membelakangiku di depan sana. Rambutnya tergerai panjang hingga menutupi kaki. Sekilas aku melihat dia memakai gaun berwarna merah menyala.Degh!Jantung serasa berhenti berdetak sepersekian detik saat sosok itu menghadap ke arahku. Sebelah wajahnya yang hanya sisa tulang-belulang. Mata merah menyala serta bagian dada yang terus mengeluarkan darah.Baunya begitu menyengat di indra penciumanku. Bau anyir bercampur bau bangkai. Sosok itu yang datang ke dalam mimpi."Di
Saat memasuki gerbang bangunan vila, para mahasiswa dan mahasiswi yang masih menunggui langsung mengucap syukur secara serempak saat melihat kedatanganku."Sri." Amira langsung berlari menghampiri dan memelukku."Syukurlah Sri, aku sangat senang karena kamu kembali dengan selamat," ujarnya."Bagaimana keadaan Alin dan Mesya?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Mereka sudah baik-baik saja sekarang. Ayo, masuklah. Kamu pasti lelah," ajak salah seorang senior.Kami semua beranjak ke dalam bangunan vila. Aku pun memutuskan mengganti pakaian sebelum mengunjungi keduanya. Aku juga sudah membuang pembalut yang dibuang Alin sembarangan di hutan bambu."Sri, kamu gak mau cerita gitu apa yang terjadi di hutan itu," ujar salah seorang panitia perempuan ketika kami tengah menghangatkan diri dengan meminum wedang jahe yang disediakan pihak konsumsi."Enggak ah, Kak. Bukan sesuatu yang mesti diceritakan juga," sahutku, kembali menikmati secangkir wedang jahe.Mahasiswi bernama Alia itu pun mendesah
Sayang sungguh sayang. Keinginan kami untuk segera pulang ke Jakarta harus pupus setelah pembicaraan dengan orang bengkel yang akan memperbaiki mobilku. Mereka mengatakan akan membutuhkan waktu satu hari untuk memperbaikinya."Terus kita nginap di mana dong?" tanya Aina.Aku dan yang lainnya berpikir keras, mengingat di daerah itu tidak terlihat sama sekali adanya penginapan."Bagaimana kalau kita numpang di masjid untuk satu malam ini," usul Rama."Kalau mau, kalian bisa menginap di rumah saya satu malam. Kebetulan ada dua kamar kosong di tempat saya," tawar pemuda yang memberikan nomor ponsel bengkel tadi.Aku dan yang lain berunding terlebih dahulu. Bukan apa-apa, kami hanya tidak ingin merepotkan orang lain saja."Yaudah Sri, terima aja tawarannya, apa lagi sebentar lagi juga kayaknya mau turun hujan," tunjuk Aina ke arah awan yang memang terlihat mendung pagi ini."Baiklah, terima kasih sebelumnya." Aku pun menyetujui tawaran pemuda itu.Tiga puluh menit kemudian, orang bengkel d
Aku dan Amira sama-sama terdiam saat hendak kembali ke rumah Bu Marni. Perkataan Ibu penjaga warung masih terngiang di kepala kami."Kalau dia kasih kalian makanan, sebisa mungkin jangan dimakan," tuturnya."Atau kalau gak, kalian baca dulu ayat kursi dan sebagainya, lalu berdoa supaya terhindar dari racun yang terdapat dalam makanan itu," tambahnya lagi."Maksud Ibu apa, ya? Bu Marni itu saya lihat baik kok orangnya. Gak mungkin dia meracuni kami," sahutku.Ibu itu pun menceritakan jika Bu Marni tidak baik seperti kelihatannya."Dia perempuan licik yang bisa melakukan apapun untuk kepentingan pribadinya. Bu Marni itu penganut ilmu hitam. Dia biasa meracuni seseorang dengan makanan yang dibuatnya hingga orang itu mengalami sakit yang tidak wajar.Setelah orang yang diracunnya sakit, maka si peracun akan mendapatkan rezeki yang tak terduga. Rezeki orang yang diracun dihisap oleh orang yang meracuninya," ungkapnya."Kalau memang seperti itu, kenapa tidak dipolisikan, Bu?" tanya Amira"K
"Kalian makan apaan sih? Sampai gak bagi-bagi," tegur Rama sekembalinya kami dari masjid. Aku dan Amira berjalan bersisian, sedangkan Rama tepat di belakang kami."Ini, makan kurma ini, Kak," tawarku segera menyodorkan sebutir."Bulan puasa udah kelewat kali, Sri," seloroh Rama, tetapi tetap menerima kurma itu."Emang makan buah kurma harus pas bulan puasa aja? Enggak, kan," timpalku.Rama hanya terkekeh kecil dan mulai memakan kurma pemberianku. Setelah beberapa saat, kami pun sampai di depan rumah Bu Marni. Setelah mengucap salam, kami semua segera masuk dan mendapati Aina yang sudah tertidur pulas di atas kursi rotan dengan beralaskan bantal"Na, bangun. Makan dulu, yuk," ajakku seraya mengguncang pelan tubuhnya. Namun, tidak ada reaksi sama sekali."Neng, makan malam dulu. Itu masakannya udah Ibu panasin lagi tadi, soalnya Husni bilang kalian pulangnya habis isya, makanya kami makan duluan," ujar Bu Marni yang keluar dari kamar."Tidak pa-pa, Bu.""Oh iya, Neng Aina juga tadi suda
"Mampir dulu, Sri," tawar Amira sebelum turun dari mobil. "Lain kali aja Mir, mau jengukin dulu Alin sama Mesya." "Yaudah kalau begitu. Aku nanti nyusul deh kalau udah istirahat bentar," ujarnya. Aku pun mengangguk dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Alin dan Mesya dirawat. Jarak rumah sakit dari tempat Amira cukup memakan waktu hingga tiga puluh menitan berkendara. Setelah sampai, aku segera menanyakan letak kamar keduanya pada seorang perawat. "Lantai tiga di kamar tulip dua, atas nama Alina dan Mesya, ya," ucap resepsionis. Tungkai pun diarahkan menuju lift untuk ke lantai tiga rumah sakit. Langkahku sempat terhenti ketika melihat beberapa sosok di lorong rumah sakit. Beginilah tidak enaknya menjadi orang yang bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Masih mending ada orang lain yang berlalu lalang di koridor itu. Namun, entah kenapa siang ini rumah sakit terasa sangat sepi. Barulah ketika seorang perawat lewat, aku segera mengikutinya dari belaka
Satu minggu berlalu. Alin dan Mesya sudah pulih sepenuhnya. Mereka juga sudah kembali beraktifitas seperti biasa di kampus. Terkadang mereka mengeluh, takut makhluk itu mendatangi mereka kembali. Namun, aku selalu meyakinkan bahwa makhluk itu tidak akan berani mendatangi mereka berdua."Aina masih gak masuk?" tanyaku pada Dini, teman dekatnya. Hari ini, kami berlima termasuk Amira, Alin dan Mesya tengah menikmati makan siang di kantin kampus."Iya, katanya tifus yang dia alami makin parah," jawab Dini."Kita jenguk dia nanti, gimana?" Aku memberi saran."Gak bisa, Sri. Dia udah dibawa keluarganya ke Medan," sela Dini."Emang separah itu sampai dia dibawa pulang keluarganya?" tanya Alin. Dini mengangguk disela-sela suapan mie goreng pesanannya.Aku dan Amira lalu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja kejadian saat kami pulang terlambat dari Puncak kembali berputar.Apa sakitnya Aina ada hubungannya dengan Bu Marni? Aku sempat baca artikel kalau orang yang terkena sihir racun memang
"Kakek Guru, Paman Maung, siapapun tolong bantu aku." Akan sangat baik jika salah satu dari mereka hadir lalu membantuku sekarang.Selepas kembali dari menjenguk Aina, aku jadi ingin tahu tentang cara menyembuhkan penyakitnya itu. Meski tahu dasar-dasar pengobatan ilmu sihir, tetap saja aku ingin bertanya karena semakin banyak yang diketahui maka semakin baik untuk ke depannya nanti.Sungkan jika harus menelpon Fakhri untuk menanyakan pada Abah, akhirnya aku memutuskan akan meminta bantuan pada mereka berdua.Tak berselang lama, Kakek Guru muncul secara tiba-tiba di hadapan. Karena sudah keseringan, aku pun tidak terlalu kaget semisal beliau datang ataupun menghilang dalam sekejap mata."Ada apa, Nyimas?" tanyanya."Begini, Kek." Aku pun menceritakan permasalahan yang dialami Aina pada beliau."Selain ruqyah dan meminum atau memandikan air rebusan daun bidara dan daun kelor, biasanya orang yang terkena sihir juga dianjurkan untuk memakan kurma ajwa," tutur beliau. Kemudian mengeluarka