Aku dan Amira berlari tergesa setelah kami selesai melaksanakan salat magrib. Dini mengabarkan jika Alin dan Mesya telah diketemukan dalam kondisi kurang baik.Kami pun segera menuju kamar mereka. Di sana juga sudah ada beberapa Mahasiswa senior yang tengah menemani mereka. Kedua temanku ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri. Segera kudekati mereka yang berbaring bersebelahan.Wajah keduanya pucat, seperti tak ada aliran darah yang mengaliri wajah mereka. Tak hanya sampai situ, tangan mereka pun terasa seperti daging yang baru keluar dari dalam freezer. Begitu dingin.“Jangan dekat-dekat, Sri. Nanti kamu bisa terkena flu,” kata Rama memperingati.Aku tidak menggubris ucapannya dan malah semakin menggenggam kuat tangan Mesya. “Tolong matikan AC dan bawa lebih banyak selimut, mereka kedinginan,” lirihku seraya membenahi letak selimut mereka agar menutupi sampai batas leher.“Sri,” panggil Rama.Aku menggeleng kuat dengan bulir bening yang meluncur deras. “Ambilkan balsam atau apapun
Aku semakin mendekati benda berwarna merah yang menempel di dedaunan kering di depan. Jika diperhatikan, seperti agar-agar seukuran satu buku jari telunjuk."Darah?"Aku kembali meneliti dengan seksama, dan ternyata memang darah yang menggumpal. Apa ini yang nenek itu bilang? Padahal aku sudah bergidik, membayangkan akan membawa kotoran Alin dari hutan.Prak. Wush!Angin bertiup kencang hingga pohon-pohon bambu saling bergesekan dan membuat bunyi-bunyian yang begitu berisik. Entah sejak kapan ada seorang perempuan berdiri membelakangiku di depan sana. Rambutnya tergerai panjang hingga menutupi kaki. Sekilas aku melihat dia memakai gaun berwarna merah menyala.Degh!Jantung serasa berhenti berdetak sepersekian detik saat sosok itu menghadap ke arahku. Sebelah wajahnya yang hanya sisa tulang-belulang. Mata merah menyala serta bagian dada yang terus mengeluarkan darah.Baunya begitu menyengat di indra penciumanku. Bau anyir bercampur bau bangkai. Sosok itu yang datang ke dalam mimpi."Di
Saat memasuki gerbang bangunan vila, para mahasiswa dan mahasiswi yang masih menunggui langsung mengucap syukur secara serempak saat melihat kedatanganku."Sri." Amira langsung berlari menghampiri dan memelukku."Syukurlah Sri, aku sangat senang karena kamu kembali dengan selamat," ujarnya."Bagaimana keadaan Alin dan Mesya?" tanyaku seraya mengurai pelukan."Mereka sudah baik-baik saja sekarang. Ayo, masuklah. Kamu pasti lelah," ajak salah seorang senior.Kami semua beranjak ke dalam bangunan vila. Aku pun memutuskan mengganti pakaian sebelum mengunjungi keduanya. Aku juga sudah membuang pembalut yang dibuang Alin sembarangan di hutan bambu."Sri, kamu gak mau cerita gitu apa yang terjadi di hutan itu," ujar salah seorang panitia perempuan ketika kami tengah menghangatkan diri dengan meminum wedang jahe yang disediakan pihak konsumsi."Enggak ah, Kak. Bukan sesuatu yang mesti diceritakan juga," sahutku, kembali menikmati secangkir wedang jahe.Mahasiswi bernama Alia itu pun mendesah
Sayang sungguh sayang. Keinginan kami untuk segera pulang ke Jakarta harus pupus setelah pembicaraan dengan orang bengkel yang akan memperbaiki mobilku. Mereka mengatakan akan membutuhkan waktu satu hari untuk memperbaikinya."Terus kita nginap di mana dong?" tanya Aina.Aku dan yang lainnya berpikir keras, mengingat di daerah itu tidak terlihat sama sekali adanya penginapan."Bagaimana kalau kita numpang di masjid untuk satu malam ini," usul Rama."Kalau mau, kalian bisa menginap di rumah saya satu malam. Kebetulan ada dua kamar kosong di tempat saya," tawar pemuda yang memberikan nomor ponsel bengkel tadi.Aku dan yang lain berunding terlebih dahulu. Bukan apa-apa, kami hanya tidak ingin merepotkan orang lain saja."Yaudah Sri, terima aja tawarannya, apa lagi sebentar lagi juga kayaknya mau turun hujan," tunjuk Aina ke arah awan yang memang terlihat mendung pagi ini."Baiklah, terima kasih sebelumnya." Aku pun menyetujui tawaran pemuda itu.Tiga puluh menit kemudian, orang bengkel d
Aku dan Amira sama-sama terdiam saat hendak kembali ke rumah Bu Marni. Perkataan Ibu penjaga warung masih terngiang di kepala kami."Kalau dia kasih kalian makanan, sebisa mungkin jangan dimakan," tuturnya."Atau kalau gak, kalian baca dulu ayat kursi dan sebagainya, lalu berdoa supaya terhindar dari racun yang terdapat dalam makanan itu," tambahnya lagi."Maksud Ibu apa, ya? Bu Marni itu saya lihat baik kok orangnya. Gak mungkin dia meracuni kami," sahutku.Ibu itu pun menceritakan jika Bu Marni tidak baik seperti kelihatannya."Dia perempuan licik yang bisa melakukan apapun untuk kepentingan pribadinya. Bu Marni itu penganut ilmu hitam. Dia biasa meracuni seseorang dengan makanan yang dibuatnya hingga orang itu mengalami sakit yang tidak wajar.Setelah orang yang diracunnya sakit, maka si peracun akan mendapatkan rezeki yang tak terduga. Rezeki orang yang diracun dihisap oleh orang yang meracuninya," ungkapnya."Kalau memang seperti itu, kenapa tidak dipolisikan, Bu?" tanya Amira"K
"Kalian makan apaan sih? Sampai gak bagi-bagi," tegur Rama sekembalinya kami dari masjid. Aku dan Amira berjalan bersisian, sedangkan Rama tepat di belakang kami."Ini, makan kurma ini, Kak," tawarku segera menyodorkan sebutir."Bulan puasa udah kelewat kali, Sri," seloroh Rama, tetapi tetap menerima kurma itu."Emang makan buah kurma harus pas bulan puasa aja? Enggak, kan," timpalku.Rama hanya terkekeh kecil dan mulai memakan kurma pemberianku. Setelah beberapa saat, kami pun sampai di depan rumah Bu Marni. Setelah mengucap salam, kami semua segera masuk dan mendapati Aina yang sudah tertidur pulas di atas kursi rotan dengan beralaskan bantal"Na, bangun. Makan dulu, yuk," ajakku seraya mengguncang pelan tubuhnya. Namun, tidak ada reaksi sama sekali."Neng, makan malam dulu. Itu masakannya udah Ibu panasin lagi tadi, soalnya Husni bilang kalian pulangnya habis isya, makanya kami makan duluan," ujar Bu Marni yang keluar dari kamar."Tidak pa-pa, Bu.""Oh iya, Neng Aina juga tadi suda
"Mampir dulu, Sri," tawar Amira sebelum turun dari mobil. "Lain kali aja Mir, mau jengukin dulu Alin sama Mesya." "Yaudah kalau begitu. Aku nanti nyusul deh kalau udah istirahat bentar," ujarnya. Aku pun mengangguk dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Alin dan Mesya dirawat. Jarak rumah sakit dari tempat Amira cukup memakan waktu hingga tiga puluh menitan berkendara. Setelah sampai, aku segera menanyakan letak kamar keduanya pada seorang perawat. "Lantai tiga di kamar tulip dua, atas nama Alina dan Mesya, ya," ucap resepsionis. Tungkai pun diarahkan menuju lift untuk ke lantai tiga rumah sakit. Langkahku sempat terhenti ketika melihat beberapa sosok di lorong rumah sakit. Beginilah tidak enaknya menjadi orang yang bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Masih mending ada orang lain yang berlalu lalang di koridor itu. Namun, entah kenapa siang ini rumah sakit terasa sangat sepi. Barulah ketika seorang perawat lewat, aku segera mengikutinya dari belaka
Satu minggu berlalu. Alin dan Mesya sudah pulih sepenuhnya. Mereka juga sudah kembali beraktifitas seperti biasa di kampus. Terkadang mereka mengeluh, takut makhluk itu mendatangi mereka kembali. Namun, aku selalu meyakinkan bahwa makhluk itu tidak akan berani mendatangi mereka berdua."Aina masih gak masuk?" tanyaku pada Dini, teman dekatnya. Hari ini, kami berlima termasuk Amira, Alin dan Mesya tengah menikmati makan siang di kantin kampus."Iya, katanya tifus yang dia alami makin parah," jawab Dini."Kita jenguk dia nanti, gimana?" Aku memberi saran."Gak bisa, Sri. Dia udah dibawa keluarganya ke Medan," sela Dini."Emang separah itu sampai dia dibawa pulang keluarganya?" tanya Alin. Dini mengangguk disela-sela suapan mie goreng pesanannya.Aku dan Amira lalu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja kejadian saat kami pulang terlambat dari Puncak kembali berputar.Apa sakitnya Aina ada hubungannya dengan Bu Marni? Aku sempat baca artikel kalau orang yang terkena sihir racun memang
Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa
Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng
“Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa
“Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru
“Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang
Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S
“Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y
“Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil
“Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t