Sayang sungguh sayang. Keinginan kami untuk segera pulang ke Jakarta harus pupus setelah pembicaraan dengan orang bengkel yang akan memperbaiki mobilku. Mereka mengatakan akan membutuhkan waktu satu hari untuk memperbaikinya."Terus kita nginap di mana dong?" tanya Aina.Aku dan yang lainnya berpikir keras, mengingat di daerah itu tidak terlihat sama sekali adanya penginapan."Bagaimana kalau kita numpang di masjid untuk satu malam ini," usul Rama."Kalau mau, kalian bisa menginap di rumah saya satu malam. Kebetulan ada dua kamar kosong di tempat saya," tawar pemuda yang memberikan nomor ponsel bengkel tadi.Aku dan yang lain berunding terlebih dahulu. Bukan apa-apa, kami hanya tidak ingin merepotkan orang lain saja."Yaudah Sri, terima aja tawarannya, apa lagi sebentar lagi juga kayaknya mau turun hujan," tunjuk Aina ke arah awan yang memang terlihat mendung pagi ini."Baiklah, terima kasih sebelumnya." Aku pun menyetujui tawaran pemuda itu.Tiga puluh menit kemudian, orang bengkel d
Aku dan Amira sama-sama terdiam saat hendak kembali ke rumah Bu Marni. Perkataan Ibu penjaga warung masih terngiang di kepala kami."Kalau dia kasih kalian makanan, sebisa mungkin jangan dimakan," tuturnya."Atau kalau gak, kalian baca dulu ayat kursi dan sebagainya, lalu berdoa supaya terhindar dari racun yang terdapat dalam makanan itu," tambahnya lagi."Maksud Ibu apa, ya? Bu Marni itu saya lihat baik kok orangnya. Gak mungkin dia meracuni kami," sahutku.Ibu itu pun menceritakan jika Bu Marni tidak baik seperti kelihatannya."Dia perempuan licik yang bisa melakukan apapun untuk kepentingan pribadinya. Bu Marni itu penganut ilmu hitam. Dia biasa meracuni seseorang dengan makanan yang dibuatnya hingga orang itu mengalami sakit yang tidak wajar.Setelah orang yang diracunnya sakit, maka si peracun akan mendapatkan rezeki yang tak terduga. Rezeki orang yang diracun dihisap oleh orang yang meracuninya," ungkapnya."Kalau memang seperti itu, kenapa tidak dipolisikan, Bu?" tanya Amira"K
"Kalian makan apaan sih? Sampai gak bagi-bagi," tegur Rama sekembalinya kami dari masjid. Aku dan Amira berjalan bersisian, sedangkan Rama tepat di belakang kami."Ini, makan kurma ini, Kak," tawarku segera menyodorkan sebutir."Bulan puasa udah kelewat kali, Sri," seloroh Rama, tetapi tetap menerima kurma itu."Emang makan buah kurma harus pas bulan puasa aja? Enggak, kan," timpalku.Rama hanya terkekeh kecil dan mulai memakan kurma pemberianku. Setelah beberapa saat, kami pun sampai di depan rumah Bu Marni. Setelah mengucap salam, kami semua segera masuk dan mendapati Aina yang sudah tertidur pulas di atas kursi rotan dengan beralaskan bantal"Na, bangun. Makan dulu, yuk," ajakku seraya mengguncang pelan tubuhnya. Namun, tidak ada reaksi sama sekali."Neng, makan malam dulu. Itu masakannya udah Ibu panasin lagi tadi, soalnya Husni bilang kalian pulangnya habis isya, makanya kami makan duluan," ujar Bu Marni yang keluar dari kamar."Tidak pa-pa, Bu.""Oh iya, Neng Aina juga tadi suda
"Mampir dulu, Sri," tawar Amira sebelum turun dari mobil. "Lain kali aja Mir, mau jengukin dulu Alin sama Mesya." "Yaudah kalau begitu. Aku nanti nyusul deh kalau udah istirahat bentar," ujarnya. Aku pun mengangguk dan segera melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Alin dan Mesya dirawat. Jarak rumah sakit dari tempat Amira cukup memakan waktu hingga tiga puluh menitan berkendara. Setelah sampai, aku segera menanyakan letak kamar keduanya pada seorang perawat. "Lantai tiga di kamar tulip dua, atas nama Alina dan Mesya, ya," ucap resepsionis. Tungkai pun diarahkan menuju lift untuk ke lantai tiga rumah sakit. Langkahku sempat terhenti ketika melihat beberapa sosok di lorong rumah sakit. Beginilah tidak enaknya menjadi orang yang bisa melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain. Masih mending ada orang lain yang berlalu lalang di koridor itu. Namun, entah kenapa siang ini rumah sakit terasa sangat sepi. Barulah ketika seorang perawat lewat, aku segera mengikutinya dari belaka
Satu minggu berlalu. Alin dan Mesya sudah pulih sepenuhnya. Mereka juga sudah kembali beraktifitas seperti biasa di kampus. Terkadang mereka mengeluh, takut makhluk itu mendatangi mereka kembali. Namun, aku selalu meyakinkan bahwa makhluk itu tidak akan berani mendatangi mereka berdua."Aina masih gak masuk?" tanyaku pada Dini, teman dekatnya. Hari ini, kami berlima termasuk Amira, Alin dan Mesya tengah menikmati makan siang di kantin kampus."Iya, katanya tifus yang dia alami makin parah," jawab Dini."Kita jenguk dia nanti, gimana?" Aku memberi saran."Gak bisa, Sri. Dia udah dibawa keluarganya ke Medan," sela Dini."Emang separah itu sampai dia dibawa pulang keluarganya?" tanya Alin. Dini mengangguk disela-sela suapan mie goreng pesanannya.Aku dan Amira lalu saling bertukar pandang. Tiba-tiba saja kejadian saat kami pulang terlambat dari Puncak kembali berputar.Apa sakitnya Aina ada hubungannya dengan Bu Marni? Aku sempat baca artikel kalau orang yang terkena sihir racun memang
"Kakek Guru, Paman Maung, siapapun tolong bantu aku." Akan sangat baik jika salah satu dari mereka hadir lalu membantuku sekarang.Selepas kembali dari menjenguk Aina, aku jadi ingin tahu tentang cara menyembuhkan penyakitnya itu. Meski tahu dasar-dasar pengobatan ilmu sihir, tetap saja aku ingin bertanya karena semakin banyak yang diketahui maka semakin baik untuk ke depannya nanti.Sungkan jika harus menelpon Fakhri untuk menanyakan pada Abah, akhirnya aku memutuskan akan meminta bantuan pada mereka berdua.Tak berselang lama, Kakek Guru muncul secara tiba-tiba di hadapan. Karena sudah keseringan, aku pun tidak terlalu kaget semisal beliau datang ataupun menghilang dalam sekejap mata."Ada apa, Nyimas?" tanyanya."Begini, Kek." Aku pun menceritakan permasalahan yang dialami Aina pada beliau."Selain ruqyah dan meminum atau memandikan air rebusan daun bidara dan daun kelor, biasanya orang yang terkena sihir juga dianjurkan untuk memakan kurma ajwa," tutur beliau. Kemudian mengeluarka
Author POVUjian pun tiba. Satu persatu Mahasiswa mulai mengerjakan soal yang dibagikan pengawas. Beberapa jam kemudian, mereka yang telah selesai langsung menyerahkan kertas jawaban itu pada meja pengawas di depan.Semua teman Sri, kecuali Aina telah selesai mengerjakan soal dan mereka pun telah meninggalkan ruang ujian."Tidak biasanya Sri telat keluar. Biasanya dia yang pertama ngumpulin jawaban, tapi sekarang?" ujar Dini."Iya, aku lihat juga dari awal masuk dia melamun. Kayak banyak pikiran gitu," sela Amira."Apa dia punya masalah? Tapi, kenapa dia tidak membaginya dengan kita? Apa dia tidak percaya jika kita bisa membantunya?" tanya Mesya.Tak berselang lama, orang yang mereka bicarakan keluar lalu menghampiri ketiganya."Sri, kamu kenapa? Ada masalah, ya? Kok aku lihat dari awal ujian kamu terus murung." Serentetan pertanyaan langsung dilontarkan Amira.Sri menghela nafas berat seraya menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Mesya. "Teman pondokku sedang kritis, dan aku sedang kh
Sri tersadar ketika sebuah tangan menepuk bahunya pelan. "Pak Ahmad? Bapak kemana saja dari tadi?" tanya gadis itu.Pak Ahmad mengerutkan dahi, lalu berkata, "Bapak dari tadi ada di dalam mobil. Tadi juga sempat manggil-manggil Neng, tapi Neng-nya malah melamun di sini. Makanya bapak samperin kemari," jawab beliau. Sri yang masih bingung dengan apa yang dialami barusan langsung masuk ke dalam mobil.Pak Ahmad pun menyusul dan setelahnya mobil melaju meninggalkan pelataran rumah sakit. Karena kejadian itu, Sri sampai lupa berpamitan pada Ibu dan kakak Risma. Akhirnya dia mengetik pesan ke nomor Aldi, dan meminta maaf karena tidak berpamitan.Sri menduga jika kritisnya Risma ada hubungan dengan Mang Burhan. Namun, perkataan pria itu di basement rumah sakit terus mengganggu."Kenapa dia bilang meski tubuhnya hancur, tapi jiwanya abadi?," gumamnya."Ada apa, Neng?" tanya Pak Ahmad, yang sekilas mendengar gumaman majikannya itu."Tidak, Pak. Saya hanya sedang memikirkan Risma," jawab Sri t