Ria duduk di depan cermin, menyisir rambut lurus yang sebahu. Pantulan wajah itu terlihat kuyu, mata bengkak, menampilkan pipi yang agak cekung, dengan bibir pucat. Ria memang tak ada menimbang badan, tetapi dapat diketahuinya pasti berat badan turun, dari banyaknya baju yang dipakai terasa longgar. Kilatan masa lalu, kebersamaan Mak selalu hadir kembali. Kenangan, harapan serta hal-hal indah membersamai hidup bersama Mak bermunculan.
"Kuliahmu nanti mau ambil apa, Nak?" tanya Mak waktu itu.
"Ria, tertarik mau jadi guru, Mak." Dengan mata berbinar Ria menjawabnya.
"Mantap tu, Ria cocok jadi guru. Itu kerjaan mulia, nanti Mak usahakan biayanya, Bibikmu pun akan membantu," terang Mak.
Seminggu telah berlalu, selama itu tahlilan dilakukan oleh keluarga. Hari ini rumah kembali sepi karena para tetangga serta kerabat tidak ada lagi berkumpul.
Ria harus terbiasa, hidup tanpa Mak. Begitu banyak perhatian dari kedua Bibinya di rumah ini. Nasihat, kata petuah dari para tetua, tetangga kerabat banyak mengalir pada Ria. Bagaimana Ria harus sabar. Tabah menerima kenyataan. Mengikhlaskan yang telah pergi. Ucapan mereka, semua bernyawa jodohnya pasti kematian. Cuma waktunya saja berbeda. Mungkin Mak lebih awal, kita pun semua akhirnya akan menyusul, entah kapan. Mak, walau raga tak lagi di sisi Ria. Tapi kenangan serta nama Mak selalu ada di hati Ria, Mak. Doa selalu akan Ria alirkan setiap selesai salat, pada kedua orang tua. Ria membatin. Air mata telah di sudut mata, hanya dengan sekali kedipan kembali akan membasahi pipi. Janji terucap di hati gadis itu. Dengan cepat ia menyeka dan berdiri, sebelum ia kembali larut bersedih tak berkesudahan.
Ria keluar kamar, mendapatkan Bi Tinah dan Bi Laila sedang berbicara dengan wajah serius di ruang tamu. Senyum merekah menyambutnya, ketika Ria ikut bergabung.
"Ria, harus menjalani meneruskan hidup penuh semangat, ya, Nak," Bi Laila berucap dengan tangan dikepal, senyum manis menghiasi wajahnya yang tak lepas dari polesan makeup natural.
Bi Tinah, mendekati mencondongkan tubuhnya seraya membelai rambut Ria, " iya, Ria, Bibi berdua akan menjagamu. Kami akan menggantikan orang tuamu, Nak."
"Terimakasih, Bi," jawab Ria terharu sekali, mata Ria mulai berembun.
"Udah-udah, jangan nangis lagi," cegah Bi Laila cepat, menyapu sudut mata Ria dengan ujung jarinya.
Ria tersenyum, "Bi, sewaktu kecelakaan kemarin, Bibik jadinya kemana?" tanyanya dengan memandang Bi Tinah penuh selidik.
Ekspresi Bi Tinah berubah seketika. Aura dingin serta sendu sarat dengan kesedihan, terpancar pada matanya. Bi Tinah menghela napas. Seperti ada hal yang begitu berat untuk diucapkan.
"Bibimu diselamatkan Faisal, bahkan dia ingin minta maaf dan ingin kembali. Mana bisa dipercaya!" Bi Laila seperti biasa, sangat komunikatif.
"Maksudnya?"
"Ini sabotase, supir truk dibawah kendali Ki Winto. Faisal datang tepat waktu, tetapi hanya bisa sempat menyelamatkan Bibimu."
Bi Tinah hanya diam, menundukkan kepala. Seperti ada yang sangat ia sesali. Mendengar penjelasan Bi Laila Ria kaget, ini dendam seperti apa? Kenapa mesti Ria dan maknya yang menjadi terseret dalam masalah mereka. Tak hentinya mereka menyerang dengan berbagai cara, pikir Ria.
"Bi Tinahmu tak salah, Ria. Dia juga korban. Dendam lama itu beraksi lagi," sebut Bi Laila seakan membaca pikiran Ria.
"Ini salahku," desah Bi Tinah dengan suara bergetar lalu tergugu dengan tubuhnya terguncang.
Ria tahu ini takdir, tak harus menyalahkan siapapun kecuali mereka yang merencanakan. Musuh kedua Bibinya inilah yang telah menghabisi nyawa Mak. Darah Ria mendidih, amarah terasa membakar. Ingin rasanya meluahkan rasa kebencian yang membuncah. Api dendam membara di hati Ria.
"Bi, cepat ajari aku ilmu kanuragan dan kebatinan itu," ucap Ria bergelora penuh semangat.
"Ria, kau salah jika menempatkan dendam pada dasar keinginanmu untuk berlatih," ujar Bi Tinah yang sudah meredakan emosinya. Wajahnya kembali tenang dengan ekspresi lekat memandangi mendominasi.
"Dendam, akan membuatku terkurung dengan kebencian. Dan itu akan menghancurkan diri sendiri. Hilangkan rasa itu!" tambahnya lagi. Baru kali ini Bi Tinah berbicara lebih banyak dari biasanya.
"Maksudnya, Bi?" tanya Ria tak mengerti.
"Dendam dilarang oleh Allah SWT, permusuhan yang tak berkesudahan, terjerumus ke jalan syaitan, dibenci oleh Allah, akan menjauhkan dari rahmat Allah, tentunya ini tidak diridhoi, kau paham itu Ria," Bi Tinah menegaskan. Terkadang Bi Tinah seperti asing bagi Ria. Timbul rasa sungkan. Jika Dia sudah serius berbicara banyak. Nyali Ria menciut, anehkan, padahal Bibi Ria sendiri. Berbeda dengan Bi Laila ia merasa seperti sahabat. Pribadi yang hangat, supel, bawel dan ada urakannya.
Tak ada bantahan yang dapat Ria ucapkan. Anggukan berlahan menjadi jawaban atas responnya kepada Bi Tinah.
"Bagaimana dengan kuliah yang akan kau ambil? Kapan mulai masuk?" tanyanya Bi Tinah dengan suara tegas.
"Bulan depan, udah masuk Bi, akan menumpang tinggal di rumah Paman Tiok, kayaknya jadi,"
Akhirnya, Ria akan kuliah di Universitas Riau (UR) mengambil Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan sesuai cita-citanya. Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Untungnya adik bapaknya ada yang berdomisili di Pekanbaru sehingga Ria tak perlu mencari indekos lagi kebetulan juga jarak tempuhnya pun tidak begitu jauh.
"Kalo kuliah, cem mana mau belajar ilmu dari kita?" timpal Bi Laila bertanya.
Ria tercenung, Bi Tinah pun sama, mereka di kecamatan sementara Ria di ibukota provinsi. Bagaimana hal itu bisa terkejar olehnya nantinya.
Ria sangat ingin memiliki ilmu agar memiliki modal untuknya nanti melawan orang yang akan berniat jahat padanya. Selain itu bahaya bisa saja masih mengincar. Dilema yang dirasakan saat ini. Diantara dua pilihan yang sulit. Keduanya sama penting. Dengan bismillah, puncaknya ia memutuskan menunda setahun untuk mulai kuliahnya. Ia akan fokus konsentrasi untuk modal diri agar kuat. Setelah itu nanti baru menuntut ilmu tuk impiannya.
Kedua Bibinya pun setuju saja atas keputusan yang telah diambilnya. Apapun itu asal tekad kuat serta semangat berkobar. Mereka berharap dalam waktu setahun itu sempat untuk berlatih. Mereka tidak lagi membuka praktek lebih memprioritaskan latihan agar lebih maksimal. Untuk biaya hidup, hal yang mengejutkan modal hidup Bi Tinah dan Bi Laila memiliki tabungan dengan nominal banyak.
Diawali dengan olah fisik. Ria harus menyeimbangkan hidup dengan pola diet sehat. Ketahanan tubuh dengan berlari pagi, olah raga. Bahkan Bi Tinah tega menyuruhnya mengangkat air dari ujung jalan hingga ke rumah. Menjadi tontonan para penduduk. Kulitnya yang dulunya putih bersih mulai menuju kewarna kecoklatan. Tepian pipi dekat telinga terlihat belang dengan pipinya, karena jejak hijab yang membekas.
Siang malam ditempa dengan dua wanita yang berkarakter berlawanan. Menjadi lebih bervariasi. Disaat Ria merasa lelah rasa tak berdaya Bi Laila mengedipkan matanya menyuruh istirahat, sementara Bi Tinah melirik bahkan melototkan matanya ketika push-up Ria terhenti. Otot dibeberapa bagian terlihat mulai menonjol. Garis wajah terlihat lebih keras. Ria tidak kemayu lagi. Ternyata tidak mudah, berproses harus dilaluinya. Pontang panting hingga jungkir balik siang jadi malam, begitupun sebaliknya.
“Pekanbaru, I am coming!” seru Ria berteriak gembira. Meghadapkan badan ke kiri kanan jalan. Jalanan aspal yang di penuhi kuda besi yang lalu lalang. Bi Laila yang duduk di depan kemudi, terlihat tersenyum melihat tingkahnya dari cermin di atas kepalanya. Bi Tinah memalingkan wajah ke belakang dengan raut wajah datar. Ibukota provinsi memang jarang sepi. Seakan aktivitas tiada henti. Langit senja akan mengawali langkah Ria yang akan menapaki kehidupan di kota yang dulunya disebut kota bertuah, tetapi kini telah berganti menjadi julukan kota madani ini. Perjalanan yang hampir mereka tempuh selama tiga jam lebih dari Pelalawan ke Pekanbaru.Tak henti Ria bercerita dengan Bi Laila, Bi Tinah sesekali menimpali. Pembicaraan yang paling berat adalah banyaknya pesan dari kedua Bibinya. Agar Ria harus pandai-pandai menumpang di rumah orang. Harus rajin, apa yang bisa dibantu dikerjakan, jangan pelit tenaga, harus sadar diri. Ria pun mencoba memahami apa yang mereka
Ria mencoba untuk bersikap santai. Karena Ria tak ingin bereaksi berlebihan, takut nantinya akan heboh. Gadis berjilbab petak itu juga tidak mau jika orang lain tahu akan kemampuannya. Mengekori Nisa yang berjalan di depannya, Nisa berhenti di meja paling ujung yang tersandar di dinding kantin. Artinya posisi duduk mereka akan membelakangi pohon ara tersebut. Ria pikir itu lebih baik. Abid mengambil duduk di sebelah Ria. Wajah Ria mendadak berubah ketika mendapati menu pesanan mereka yang telah diantar oleh pegawai kantin tersebut. Dalam pandangan Ria mie goreng yang terhidang di meja. Berupa tumpukkan cacing yang bergerak-gerak. Sungguh menjijikan, Ria refleks menaikkan bahunya.“Jangan dimakan, ayo kita pergi dari sini,” ajak Ria pada Nisa dan Abid dengan suara pelan.Nisa bengong dengan matanya yang membulat serta wajah heran. Dia sudah mengaduk mie, siap untuk menyuapkan ke mulutnya.Abid baru saja membuka kerupuk dan menaburkan pada mie goreng i
Sesampai di rumah dengan cepat Ria menelepon Bi Tinah serta menceritakan kejadian yang terjadi di kantin kampusnya. Bi Tinah menjelaskan, Ria terlalu terburu-buru dan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Tapi Bi Tinah juga maklum karena hal ini baru pertama Ria hadapi. Jiwa muda masih bergejolak sehingga Ria begitu bersemangat untuk mengaplikasikan ilmunya.“Seharusnya jika kau ingin mengusir jin tersebut. Kau juga harus mempertimbangkan si tuannya yaitu si pemilik kantin yang telah membuat perjanjian. Air najis yang disiramkan padamu itu ada maksud tujuannya itu, Ria. Itu akan memberi kekuatan pada jinnya. Untung saja itu siang hari dan tepat pada hari Jumat. Jika malam bisa habis kau Ria,” jelas Bi Tinah dari seberang telepon.Dilanjutkan dengan berbincang-bincang tentang hal lain, Ria menceritakan kesehariannya. Bi Tinah menanggapi dengan sedikit bicara dan diiringi nasihat.“Ria! Tolong Mbok!” teriak Mbok Nami terdengar d
Minggu pagi cerah, langit dihiasi mentari yang mentereng. Ria membawa sarapan ke kamar Clara. Clara masih terlihat terbaring pulas. Ria membuka gorden tipis, membuat kamar menjadi terang. Panas memancar ke tubuh Clara membuat tubuh gadis itu mengeliat. Clara mengubah posisi menjadi menelungkup. Ria mendekati tepian ranjang.“Clara, bangun Cla, udah pukul 09.00,” Ria mengelus pelan bahu gadis bergaun merah tersebut.“Hm.” Clara membalikkan tubuh. Matanya masih setengah terpejam akhirnya terbuka lebar. Mendapati Ria di hadapannya.“Ngapain, kau dikamarku?” tanyanya ketus. Jari lentik itu memijit pelipis merasakan pening yang masih mengelayut di kepalanya.Ria tersenyum menangapi reaksi sepupunya.“Aku bawakan sarapan sop panas, agar badanmu enakkan Cla,” jawab Ria. Mengambil nampan berisi makanan yang tadi ditaruhnya di nakas.“Mbok Nami mana?”“Oh, itu. Tadi Mbok Nami be
Pulang kuliah Ria menemani Nisa pindah ke tempat indekos baru. Rumah kecil berleret enam hanya berukuran 3x3 per kamar berada di samping rumah induk pemiliknya. Nisa pindah, karena menginginkan jarak yang lebih dekat dengan tempat kuliah. Barang milik Nisa tidak begitu banyak sehingga hanya memakan waktu sebentar.Mereka menata ruangan tersebut bersama-sama. Tilam kecil berada di sudut kamar. Kompor gas setungku bersanding dengan magig com ukuran satu liter beras.“Alhamdulillah beres, makasih ya, Say, dah nolongin,” ucap Nisa sembari menggelap keringat di keningnya.“Tinggal kenalan ama tetangga kamar lagi nih,” sambungnya lagi.Ria yang sedang meneguk air minum, mengoyangkan gelas yang berisi air setengah.“Memangnya berisi semua kamarnya, Sa?” tanya Ria.“Hm, kata Ibu kosnya sih penghuni baru semua. Lama juga kosong ke enam-enamnya, kenapa?”“Ada yang aneh?”
Jalanan kota selalu ramai tak terkecuali pada malam hari. Aktivitas warga seperti tiada batas waktu. Kerlap – kerlip lampu menghiasi ibu kota salah satu propinsi di Pulau Sumatera itu. Di salah satu tempat terdengar hingar bingar musik. Aroma alkohol menyeruak. Di lantai terlihat banyak umat manusia yang berjoged ria mengikuti irama yang menghentak. Liukan tubuh manusia semakin seiring dengan music yang berdentum. Musik di mainkan dengan piawai oleh Disk Jockey yang memakai topi hitam memakai jaket hoody.Seorang lelaki duduk di sudut ruangan. Menikmati minuman sendiri. Matanya memandang lurus pada barisan insan-insan yang menari. Pencahayaan yang remang-remang memperlihatkan garis wajahnya yang dingin. Hidung mancung bertenger pada wajah berbentuk lonjong itu. Rahang ditumbuhi dengan bulu halus yang sudah minta dicukur. Mata berbinar dengan iris berwarna hazel. Menambah kesempurnaan pahatan sempurna pada sosok tersebut. Tampan dan menawan itulah kata yang tepat t
Ria menghampiri Afran, meletak telunjuknya di bawah hidung Afran. “Syukurlah, bukan mayat. Hei, bangun!” Ria menepuk pipi Afran berulang kali.Afran belum juga membuka matanya. Ria menyapu pandangan sekeliling. Berharap ada mobil yang melintas. Sepi, hanya ada angin malam yang berembus menembus tulang. Kembali Ria mencoba menyadarkan Afran. Kali ini Ria merogoh tas ransel kecil miliknya. Menemukan minyak angin yang selalu di bawanya. Menempelkan pada lubang hidung Afran. Aroma mint yang tajam membuat Afran akhirnya mengerakkan matanya. Tubuhnya terasa remuk membuatnya meringis.Afran memegang dadanya yang terasa nyeri. Tatapannya heran terlihat dari wajahnya. Melihat Ria dihadapannya. Lelaki yang baru saja dipukuli hingga babak belur itu mencoba mengumpulkan kesadaran.“Siapa kau?” tanyanya. Tubuhnya tersentak mengambil posisi duduk yang lebih tegap.“Aku Ria, tadi kulihat tiga preman mau membuang anda ke sungai?”
Pagi yang cerah. Ria bersiap akan pergi kuliah. Mengenakan baju kemeja dengan warna lembut dipadukan rok blisket berwarna hitam. Tak lupa jilbab segi empat berwarna senada dengan rok ia kenakan. Lipstik berwarna nude dipoleskan pada bibir tebal tapi beukuran mungil. Terakhir, ia meraih tas mengecek bawaan. Beranjak keluar kamar menuju dapur.Mbok Nami masih sibuk berkutat dengan sendok dan kuali. Aroma nasi goreng menguar menggoda selera. Senyum Ria mengembang.“Wah, enak nih, Mboh!” sapanya dengan bersemangat.“Sarapan kita lagi, yuk Non,”“Aku yang ini aja deh, Mbok.” Ria menyendok singkong rebus ke piringnya.“Mbok, lama kali sarapanku diantar?” Suara Clara melengking. Ia pun mengambil duduk di hadapan Ria. Melirik dengan apa yang disantap oleh Ria. Ria santai melanjutkan mencolek singkong ke sambal dan mengunyahnya pelan.‘Maaf. Non. Ini udah masak. Tunggu Mbok masukkan piring dulu ya
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang. Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya. Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk. Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala. Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan. “Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca. Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya. “Ria
Afran mengangkat wajah dan kesempatan itu digunakan oleh asisten Om Tiok melepaskan tembakan ke arah Afran. Beruntung saja, tangan Ria lebih cepat menyerang dengan menyentak pergelangan tangan itu, sepersekian detik sebelum menarik pelatuk dengan telunjuknya. Amunisi yang keluar dari ujung laras pistolnya meleset, dan hanya memecahkan vas bunga di sudut ruangan.Tanpa menyia-nyiakan waktu Ria kembali menyerang. Kali ini gadis itu mencengkram lengan asisten Om Tiok. Bagas juga sibuk membawa Om Tiok menepi ke sudut ruangan dan mengunci pergerakan lelaki itu.“Bersihkan semuanya,” perintah Bagas kepada pasukan timnya yang di luar.Secepat kilat pria berambut belah tengah itu berlari ke arah asisten om Tiok yang berusaha meraih pistolnya yang tergeletak di lantai. Bagas menarik pelatuk pistol G2nya. Suara letusan senjata api menggaung di udara bersamaan dengan suara erangan dari pria yang terkapar di lantai. Pria itu mengerang kesakitan. Tangan kir
“Melihat rincian hari rapat hari ini yang tidak begitu bagus, sebaiknya Bapak bersiap akan kemungkinan terburuk.” Asisten Om Tiok mengingatkan bosnya itu dengan hati-hati. Om Tiok yang berwajah kelam melakukan tarikan napas dalam. “Atur pertemuan tertutup dengan Afrandio, pria itu harus menerima pelajaran akan ulahnya ini.” Om Tiok memerintahkan pada bawahannya tersebut. Ria menerima perintah untuk ikut serta. Sebenarnya Bi Tinah tidak setuju karena niatnya akan mengajukan pembatalan kontrak. Namun, urung karena kemarin belum berhasil menemui Afran secara langsung. Bertolak belakang dengan Bi Laila yang masih memberi kesempatan untuk Ria menambah pengalaman bertualang memicu adrenalin katanya. Afran bersama Ria serta Bagas memenuhi undangan Om Tiok untuk datang pada sebuah tempat pertemuan berupa resort di pinggiran kota. Penjagaan begitu terlihat jelas, beberapa pria pasukan keamanan Om Tiok siaga. Terletak di sebuah lahan yang luas. Bangunan i
Afran melemparkan Koran yang diserahkan oleh Bagas itu dengan kesal. Pemberitaan yang membuat emosinya naik. Berita heboh terbaca pada deadline surat kabar maupun pemberitaan media elektronik. Terlihat sebuah foto yang terlihat vulgar. Foto Afran dan Clara bersisian sedang berjalan dan satu lagi foto ketika Afran membuat napas buatan. Judul besar : Akankah Pewaris MT Company Grup dan Afrandio Company Grup akan bersatu. “Segera hapus cepat pemberitaan-pemberitaan itu dengan cepat. Tim bekerja harus cepat, cek ip asal berita, lakukan tekanan. Naikkan berita tentang skandal Pak Tiok. Agar sahamnya segera turun,” perintah Afran dengan cepat. “Siap!” Bagas segera menepi serta terlihat sibuk memberi intruksi melalui earphone ht berkomunikasi dengan markas. Sedang Afran menyandarkan punggung serta mengoyang kursi singgasananya dengan pelan. Ia tak menduga juga akan rencana Clara. Untungnya dia telah dulu mempersiapkan hal lain dengan matang. P
Mata beriris hazel itu mengerjap. Afran mendesah panjang. Liburan terpaksa ini begitu menyiksa baginya. Clara yang berada di kamar sebelah begitu merepotkan. Malam tadi ia baru saja membawa gadis itu ke club. Ternyata ia baru tahu untuk urusan minum, gadis itu jago mabuk. Berbeda dengannya yang masih bisa terkontrol. Ia sadar tal boleh lepas kendali akibat minuman keras. Ia melirik jam digital di atas nakas, angka telah menunjukan ke 11 : 45, mendekati tengah hari. Pantas saja perutnya mulai bernyanyi minta diisi. Malam tadi ia kembali ke kamar hampir dini hari, setelah mengantar Clara ke kamarnya. Anehnya lagi Afran mimpi yang tak pernah diduga untuk pelepasan hormon testosterone bersama Ria. Mimpi itu begitu terasa menjiwai. Membuat ia merasa jengah sendiri. Mengapa celana mesti basah karena mimpi dewasa dengan gadis kampung pikirnya. Ia pun beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya agar terasa segar. Bahkan ia berlama-lama meletakkan kepala pada guyuran shower un
Ria bersiap akan pulang. Berjalan menuju parkiran sepeda motornya."Hei, cewek aneh. Tungguin!" Terdengar suara itu memanggil, asal suara dari sebuah mobil sedan putih yang terparkir di seberang parkiran sepeda motor.Ria tidak merasa sapaan itu ditujukan padanya. Ia tetap melangkah."Hei, iya. Elo cewek aneh" Kembali sosok pria di balik kemudi itu berbicara dekat kacanya diturunkan.Ria menjadi celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ia yang sedang menuju sepeda motornya. Itu artinya teguran itu untuknya. Tunggu, kenapa juga panggilannya 'cewek aneh' Ria berkata dalam hati.Pria itu dengan cepat keluar dari mobil serta setengah berlari menghampiri Ria. Gadis yang memiliki kemampuan ilmu kebatinan itu hanya menunggu dengan memasang wajah heran."Hai, kamu gadis aneh itu kan? Kamu terlihat berbeda sekarang?""Maksudnya?" Ria mulai bereaksi dengan bingung. Dia sungguh merasa tak nyaman dengan sapaan pria yang tak dikenal
“Eh, dah pandai dandan nih anak gadis,” sapaan dari Bi Laila membuat Ria sontak menoleh dari cermin ke arah Bi Laila. Gadis itu tersenyum. Kembali ia mematutkan diri di depan pantulan cermin pada lemari miliknya. Gadis itu mengenakan skirt Pants dengan paduan kemeja berwarna putih polos menyamakan dengan sepatunya yang berwarna putih juga. “Sini, Bibi tolongin dikit, bagian mata ini eyelinernya jangan terlalu tebal, tipis saja. Agar tidak terkesan galak,” saran Bi Laila mendekati Ria lagi. Sesuai rencana mereka akan pergi ke kantor bertiga. Bi Laila dengan mahir menyetir menuju ke kantor milik Afran. “Bapak sedang keluar kota, liburan sampai seminggu ke depannya. Skedulnya hari ini pun banyak diganti ke hari lain,” terang sekretaris Afran ketika mereka bertiga akan bertandang ke ruangan Afran. Ria mengerutkan kening. Pak Afran tidak ada mengkonfirmasi padanya. Bi Laila sibuk celingak-celinguk melihat sekeliling. Sedangkan Bi Tinah memasang wajah
“Engkau selama ini terlalu menghabiskan waktu bekerja terus!” Clara berkata dengan antusias. Dia yang dulunya memanggil Afran dengan embel-embel Abang di depan nama pria itu. Sudah tidak lagi. Ia ingin terlihat dewasa dan akan mampu mengimbangi Afran pikirnya. Afran yang menyuap nasi pada mulutnya memandang tajam pada Clara yang baru berucap. Kunyahan belum sempat ia lakukan ketika Clara kembali menyerocos. “Sesekali kau harus menikmati hidup dengan jalan-jalan, santai. Aku bersedia akan menemani,” tawar gadis yang tak tahu malu itu terang-terangan. Afran mencoba memaksakan tersenyum. Rasanya begitu menyiksa, ketika harus berpura-pura. Sebenarnya ia tak suka dengan kondisi ini. Cuma ia harus menahan diri. Demi menyelamatkan perusahaannya. “Boleh juga, kau tau tempat wisata yang bagus?” Clara terkekeh, dia memang gadis yang jika tertawa bertipe lepas. “Saking sibuk kerja, sampai-sampai tak tahu tempat rekreasi?” Clara mengeleng-ge