“Pekanbaru, I am coming!” seru Ria berteriak gembira. Meghadapkan badan ke kiri kanan jalan. Jalanan aspal yang di penuhi kuda besi yang lalu lalang. Bi Laila yang duduk di depan kemudi, terlihat tersenyum melihat tingkahnya dari cermin di atas kepalanya. Bi Tinah memalingkan wajah ke belakang dengan raut wajah datar. Ibukota provinsi memang jarang sepi. Seakan aktivitas tiada henti. Langit senja akan mengawali langkah Ria yang akan menapaki kehidupan di kota yang dulunya disebut kota bertuah, tetapi kini telah berganti menjadi julukan kota madani ini. Perjalanan yang hampir mereka tempuh selama tiga jam lebih dari Pelalawan ke Pekanbaru.
Tak henti Ria bercerita dengan Bi Laila, Bi Tinah sesekali menimpali. Pembicaraan yang paling berat adalah banyaknya pesan dari kedua Bibinya. Agar Ria harus pandai-pandai menumpang di rumah orang. Harus rajin, apa yang bisa dibantu dikerjakan, jangan pelit tenaga, harus sadar diri. Ria pun mencoba memahami apa yang mereka
Ria mencoba untuk bersikap santai. Karena Ria tak ingin bereaksi berlebihan, takut nantinya akan heboh. Gadis berjilbab petak itu juga tidak mau jika orang lain tahu akan kemampuannya. Mengekori Nisa yang berjalan di depannya, Nisa berhenti di meja paling ujung yang tersandar di dinding kantin. Artinya posisi duduk mereka akan membelakangi pohon ara tersebut. Ria pikir itu lebih baik. Abid mengambil duduk di sebelah Ria. Wajah Ria mendadak berubah ketika mendapati menu pesanan mereka yang telah diantar oleh pegawai kantin tersebut. Dalam pandangan Ria mie goreng yang terhidang di meja. Berupa tumpukkan cacing yang bergerak-gerak. Sungguh menjijikan, Ria refleks menaikkan bahunya.“Jangan dimakan, ayo kita pergi dari sini,” ajak Ria pada Nisa dan Abid dengan suara pelan.Nisa bengong dengan matanya yang membulat serta wajah heran. Dia sudah mengaduk mie, siap untuk menyuapkan ke mulutnya.Abid baru saja membuka kerupuk dan menaburkan pada mie goreng i
Sesampai di rumah dengan cepat Ria menelepon Bi Tinah serta menceritakan kejadian yang terjadi di kantin kampusnya. Bi Tinah menjelaskan, Ria terlalu terburu-buru dan melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Tapi Bi Tinah juga maklum karena hal ini baru pertama Ria hadapi. Jiwa muda masih bergejolak sehingga Ria begitu bersemangat untuk mengaplikasikan ilmunya.“Seharusnya jika kau ingin mengusir jin tersebut. Kau juga harus mempertimbangkan si tuannya yaitu si pemilik kantin yang telah membuat perjanjian. Air najis yang disiramkan padamu itu ada maksud tujuannya itu, Ria. Itu akan memberi kekuatan pada jinnya. Untung saja itu siang hari dan tepat pada hari Jumat. Jika malam bisa habis kau Ria,” jelas Bi Tinah dari seberang telepon.Dilanjutkan dengan berbincang-bincang tentang hal lain, Ria menceritakan kesehariannya. Bi Tinah menanggapi dengan sedikit bicara dan diiringi nasihat.“Ria! Tolong Mbok!” teriak Mbok Nami terdengar d
Minggu pagi cerah, langit dihiasi mentari yang mentereng. Ria membawa sarapan ke kamar Clara. Clara masih terlihat terbaring pulas. Ria membuka gorden tipis, membuat kamar menjadi terang. Panas memancar ke tubuh Clara membuat tubuh gadis itu mengeliat. Clara mengubah posisi menjadi menelungkup. Ria mendekati tepian ranjang.“Clara, bangun Cla, udah pukul 09.00,” Ria mengelus pelan bahu gadis bergaun merah tersebut.“Hm.” Clara membalikkan tubuh. Matanya masih setengah terpejam akhirnya terbuka lebar. Mendapati Ria di hadapannya.“Ngapain, kau dikamarku?” tanyanya ketus. Jari lentik itu memijit pelipis merasakan pening yang masih mengelayut di kepalanya.Ria tersenyum menangapi reaksi sepupunya.“Aku bawakan sarapan sop panas, agar badanmu enakkan Cla,” jawab Ria. Mengambil nampan berisi makanan yang tadi ditaruhnya di nakas.“Mbok Nami mana?”“Oh, itu. Tadi Mbok Nami be
Pulang kuliah Ria menemani Nisa pindah ke tempat indekos baru. Rumah kecil berleret enam hanya berukuran 3x3 per kamar berada di samping rumah induk pemiliknya. Nisa pindah, karena menginginkan jarak yang lebih dekat dengan tempat kuliah. Barang milik Nisa tidak begitu banyak sehingga hanya memakan waktu sebentar.Mereka menata ruangan tersebut bersama-sama. Tilam kecil berada di sudut kamar. Kompor gas setungku bersanding dengan magig com ukuran satu liter beras.“Alhamdulillah beres, makasih ya, Say, dah nolongin,” ucap Nisa sembari menggelap keringat di keningnya.“Tinggal kenalan ama tetangga kamar lagi nih,” sambungnya lagi.Ria yang sedang meneguk air minum, mengoyangkan gelas yang berisi air setengah.“Memangnya berisi semua kamarnya, Sa?” tanya Ria.“Hm, kata Ibu kosnya sih penghuni baru semua. Lama juga kosong ke enam-enamnya, kenapa?”“Ada yang aneh?”
Jalanan kota selalu ramai tak terkecuali pada malam hari. Aktivitas warga seperti tiada batas waktu. Kerlap – kerlip lampu menghiasi ibu kota salah satu propinsi di Pulau Sumatera itu. Di salah satu tempat terdengar hingar bingar musik. Aroma alkohol menyeruak. Di lantai terlihat banyak umat manusia yang berjoged ria mengikuti irama yang menghentak. Liukan tubuh manusia semakin seiring dengan music yang berdentum. Musik di mainkan dengan piawai oleh Disk Jockey yang memakai topi hitam memakai jaket hoody.Seorang lelaki duduk di sudut ruangan. Menikmati minuman sendiri. Matanya memandang lurus pada barisan insan-insan yang menari. Pencahayaan yang remang-remang memperlihatkan garis wajahnya yang dingin. Hidung mancung bertenger pada wajah berbentuk lonjong itu. Rahang ditumbuhi dengan bulu halus yang sudah minta dicukur. Mata berbinar dengan iris berwarna hazel. Menambah kesempurnaan pahatan sempurna pada sosok tersebut. Tampan dan menawan itulah kata yang tepat t
Ria menghampiri Afran, meletak telunjuknya di bawah hidung Afran. “Syukurlah, bukan mayat. Hei, bangun!” Ria menepuk pipi Afran berulang kali.Afran belum juga membuka matanya. Ria menyapu pandangan sekeliling. Berharap ada mobil yang melintas. Sepi, hanya ada angin malam yang berembus menembus tulang. Kembali Ria mencoba menyadarkan Afran. Kali ini Ria merogoh tas ransel kecil miliknya. Menemukan minyak angin yang selalu di bawanya. Menempelkan pada lubang hidung Afran. Aroma mint yang tajam membuat Afran akhirnya mengerakkan matanya. Tubuhnya terasa remuk membuatnya meringis.Afran memegang dadanya yang terasa nyeri. Tatapannya heran terlihat dari wajahnya. Melihat Ria dihadapannya. Lelaki yang baru saja dipukuli hingga babak belur itu mencoba mengumpulkan kesadaran.“Siapa kau?” tanyanya. Tubuhnya tersentak mengambil posisi duduk yang lebih tegap.“Aku Ria, tadi kulihat tiga preman mau membuang anda ke sungai?”
Pagi yang cerah. Ria bersiap akan pergi kuliah. Mengenakan baju kemeja dengan warna lembut dipadukan rok blisket berwarna hitam. Tak lupa jilbab segi empat berwarna senada dengan rok ia kenakan. Lipstik berwarna nude dipoleskan pada bibir tebal tapi beukuran mungil. Terakhir, ia meraih tas mengecek bawaan. Beranjak keluar kamar menuju dapur.Mbok Nami masih sibuk berkutat dengan sendok dan kuali. Aroma nasi goreng menguar menggoda selera. Senyum Ria mengembang.“Wah, enak nih, Mboh!” sapanya dengan bersemangat.“Sarapan kita lagi, yuk Non,”“Aku yang ini aja deh, Mbok.” Ria menyendok singkong rebus ke piringnya.“Mbok, lama kali sarapanku diantar?” Suara Clara melengking. Ia pun mengambil duduk di hadapan Ria. Melirik dengan apa yang disantap oleh Ria. Ria santai melanjutkan mencolek singkong ke sambal dan mengunyahnya pelan.‘Maaf. Non. Ini udah masak. Tunggu Mbok masukkan piring dulu ya
Suasana café berkonsep minimalis begitu romantis. Iringan alunan musik melankolis mengalun indah. Lampu kecil dengan jumlah banyak menjadi hiasan. Beberapa pasang muda-mudi terlihat mengisi deretan meja. Di slah satu sudut terlihat Ria dan Afran saling beradu tatap.Iris mata hazel milik Afran tak lepas memandangi dengan lekat pada wajah gadis di hadapannya. Ria terlihat gugup serta menundukkan kepalanya. Jemarinya memainkan ujung jilbab. Semilir angin dingin justru membuatnya berkeringat. Rasa gugup begitu menguasai gadis yang tak pernah jatuh cinta tersebut.Sosok lelaki di depan Ria tersebut mengulas senyum. Ria menjadi kikuk dan mati kutu. Ada gelenyar aneh menjalari setiap urat tubuhnya. Degup jantung berdetak lebih cepat dari kerja kondisi normalnya. Benak Ria bertanya-tanya, apakah gerangan yang akan disampaikan oleh Afran.Suara azan salat Subuh terdengar nyaring dari ponsel Ria. Gadis berkulit putih itu mengerjapkan mata serta mengeliat. La
Setelah bertanya pada bagian informasi. Ria menuju lantai atas rumah sakit ruangan VVIP menggunakan lift. Melangkah dengan keraguan serta bagaimana ia nantinya harus bersikap terhadap pamannya.Setelah menemukan ruangan Paman Tiok. Pamannya tersebut hanya minta berbicara berdua saja. Bi Tinah dan Bi Laila beriringan ke luar ruangan. Sedangkan Bi Wulan dan Clara seperti tak rela jika tidak ikut mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Mereka sangat penasaran. Sayangnya Paman Tiok tetap menyuruh mereka keluar.“Ria,” lemah suara paman Tiok. “Sebenarnya kamu berpihak pada siapa? Paman ini adalah adik satu-satunya dari Bapakmu dan kau tega bekerja pada musuh pamanmu.”“Hm, itu-“ Ria mencoba berpikir mencari kata-kata yang pas untuk berbicara.“Apa?”“Itu, paman. Aku tak tahu jika kalian bermusuhan. Setahuku di pesta hotel itu bukankah kalian merger ya?” tanya Ria dengan memasang wajah polosny
Om Tiok segera dilarikan ke rumah sakit. Bi Tinah dan Bi Laila yang saat kejadian masih menginap di rumah mereka ikut serta mengantar ke rumah sakit. Sedangkan Ria sore itu belum berada di rumah. Gadis itu masih berada di kampus, masuk kuliah dijadwal siang. Diagnosis dokter Om Tiok mengalami gangguan pada jantungnya dan oleh dokter harus diopname beberapa hari sampai pulih. Serta tetap melakukan rawat jalan nantinya. Clara dan Bi Wulan begitu panik dan cemas. Mereka berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Kondisi perusahaan yang hampir terpuruk dan ditambah lagi kondisi kesehatan yang buruk. Bi Tinah dan Bi Laila bersikap memberi dukungan serta mendoakan agar Om Tiok segera sehat seperti sedia kala. Mata Om Tiok yang semula terpejam mulai terbuka secara perlahan. “Papa!” Clara mendekati brankar. Mata kedua gadis itu berkaca-kaca. Bi Wulan pun melakukan hal yang sama. Mama Clara tersebut mengengam tangan suaminya. “Ria
Afran mengangkat wajah dan kesempatan itu digunakan oleh asisten Om Tiok melepaskan tembakan ke arah Afran. Beruntung saja, tangan Ria lebih cepat menyerang dengan menyentak pergelangan tangan itu, sepersekian detik sebelum menarik pelatuk dengan telunjuknya. Amunisi yang keluar dari ujung laras pistolnya meleset, dan hanya memecahkan vas bunga di sudut ruangan.Tanpa menyia-nyiakan waktu Ria kembali menyerang. Kali ini gadis itu mencengkram lengan asisten Om Tiok. Bagas juga sibuk membawa Om Tiok menepi ke sudut ruangan dan mengunci pergerakan lelaki itu.“Bersihkan semuanya,” perintah Bagas kepada pasukan timnya yang di luar.Secepat kilat pria berambut belah tengah itu berlari ke arah asisten om Tiok yang berusaha meraih pistolnya yang tergeletak di lantai. Bagas menarik pelatuk pistol G2nya. Suara letusan senjata api menggaung di udara bersamaan dengan suara erangan dari pria yang terkapar di lantai. Pria itu mengerang kesakitan. Tangan kir
“Melihat rincian hari rapat hari ini yang tidak begitu bagus, sebaiknya Bapak bersiap akan kemungkinan terburuk.” Asisten Om Tiok mengingatkan bosnya itu dengan hati-hati. Om Tiok yang berwajah kelam melakukan tarikan napas dalam. “Atur pertemuan tertutup dengan Afrandio, pria itu harus menerima pelajaran akan ulahnya ini.” Om Tiok memerintahkan pada bawahannya tersebut. Ria menerima perintah untuk ikut serta. Sebenarnya Bi Tinah tidak setuju karena niatnya akan mengajukan pembatalan kontrak. Namun, urung karena kemarin belum berhasil menemui Afran secara langsung. Bertolak belakang dengan Bi Laila yang masih memberi kesempatan untuk Ria menambah pengalaman bertualang memicu adrenalin katanya. Afran bersama Ria serta Bagas memenuhi undangan Om Tiok untuk datang pada sebuah tempat pertemuan berupa resort di pinggiran kota. Penjagaan begitu terlihat jelas, beberapa pria pasukan keamanan Om Tiok siaga. Terletak di sebuah lahan yang luas. Bangunan i
Afran melemparkan Koran yang diserahkan oleh Bagas itu dengan kesal. Pemberitaan yang membuat emosinya naik. Berita heboh terbaca pada deadline surat kabar maupun pemberitaan media elektronik. Terlihat sebuah foto yang terlihat vulgar. Foto Afran dan Clara bersisian sedang berjalan dan satu lagi foto ketika Afran membuat napas buatan. Judul besar : Akankah Pewaris MT Company Grup dan Afrandio Company Grup akan bersatu. “Segera hapus cepat pemberitaan-pemberitaan itu dengan cepat. Tim bekerja harus cepat, cek ip asal berita, lakukan tekanan. Naikkan berita tentang skandal Pak Tiok. Agar sahamnya segera turun,” perintah Afran dengan cepat. “Siap!” Bagas segera menepi serta terlihat sibuk memberi intruksi melalui earphone ht berkomunikasi dengan markas. Sedang Afran menyandarkan punggung serta mengoyang kursi singgasananya dengan pelan. Ia tak menduga juga akan rencana Clara. Untungnya dia telah dulu mempersiapkan hal lain dengan matang. P
Mata beriris hazel itu mengerjap. Afran mendesah panjang. Liburan terpaksa ini begitu menyiksa baginya. Clara yang berada di kamar sebelah begitu merepotkan. Malam tadi ia baru saja membawa gadis itu ke club. Ternyata ia baru tahu untuk urusan minum, gadis itu jago mabuk. Berbeda dengannya yang masih bisa terkontrol. Ia sadar tal boleh lepas kendali akibat minuman keras. Ia melirik jam digital di atas nakas, angka telah menunjukan ke 11 : 45, mendekati tengah hari. Pantas saja perutnya mulai bernyanyi minta diisi. Malam tadi ia kembali ke kamar hampir dini hari, setelah mengantar Clara ke kamarnya. Anehnya lagi Afran mimpi yang tak pernah diduga untuk pelepasan hormon testosterone bersama Ria. Mimpi itu begitu terasa menjiwai. Membuat ia merasa jengah sendiri. Mengapa celana mesti basah karena mimpi dewasa dengan gadis kampung pikirnya. Ia pun beranjak ke kamar mandi. Menguyur tubuhnya agar terasa segar. Bahkan ia berlama-lama meletakkan kepala pada guyuran shower un
Ria bersiap akan pulang. Berjalan menuju parkiran sepeda motornya."Hei, cewek aneh. Tungguin!" Terdengar suara itu memanggil, asal suara dari sebuah mobil sedan putih yang terparkir di seberang parkiran sepeda motor.Ria tidak merasa sapaan itu ditujukan padanya. Ia tetap melangkah."Hei, iya. Elo cewek aneh" Kembali sosok pria di balik kemudi itu berbicara dekat kacanya diturunkan.Ria menjadi celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Sepi, hanya ia yang sedang menuju sepeda motornya. Itu artinya teguran itu untuknya. Tunggu, kenapa juga panggilannya 'cewek aneh' Ria berkata dalam hati.Pria itu dengan cepat keluar dari mobil serta setengah berlari menghampiri Ria. Gadis yang memiliki kemampuan ilmu kebatinan itu hanya menunggu dengan memasang wajah heran."Hai, kamu gadis aneh itu kan? Kamu terlihat berbeda sekarang?""Maksudnya?" Ria mulai bereaksi dengan bingung. Dia sungguh merasa tak nyaman dengan sapaan pria yang tak dikenal
“Eh, dah pandai dandan nih anak gadis,” sapaan dari Bi Laila membuat Ria sontak menoleh dari cermin ke arah Bi Laila. Gadis itu tersenyum. Kembali ia mematutkan diri di depan pantulan cermin pada lemari miliknya. Gadis itu mengenakan skirt Pants dengan paduan kemeja berwarna putih polos menyamakan dengan sepatunya yang berwarna putih juga. “Sini, Bibi tolongin dikit, bagian mata ini eyelinernya jangan terlalu tebal, tipis saja. Agar tidak terkesan galak,” saran Bi Laila mendekati Ria lagi. Sesuai rencana mereka akan pergi ke kantor bertiga. Bi Laila dengan mahir menyetir menuju ke kantor milik Afran. “Bapak sedang keluar kota, liburan sampai seminggu ke depannya. Skedulnya hari ini pun banyak diganti ke hari lain,” terang sekretaris Afran ketika mereka bertiga akan bertandang ke ruangan Afran. Ria mengerutkan kening. Pak Afran tidak ada mengkonfirmasi padanya. Bi Laila sibuk celingak-celinguk melihat sekeliling. Sedangkan Bi Tinah memasang wajah
“Engkau selama ini terlalu menghabiskan waktu bekerja terus!” Clara berkata dengan antusias. Dia yang dulunya memanggil Afran dengan embel-embel Abang di depan nama pria itu. Sudah tidak lagi. Ia ingin terlihat dewasa dan akan mampu mengimbangi Afran pikirnya. Afran yang menyuap nasi pada mulutnya memandang tajam pada Clara yang baru berucap. Kunyahan belum sempat ia lakukan ketika Clara kembali menyerocos. “Sesekali kau harus menikmati hidup dengan jalan-jalan, santai. Aku bersedia akan menemani,” tawar gadis yang tak tahu malu itu terang-terangan. Afran mencoba memaksakan tersenyum. Rasanya begitu menyiksa, ketika harus berpura-pura. Sebenarnya ia tak suka dengan kondisi ini. Cuma ia harus menahan diri. Demi menyelamatkan perusahaannya. “Boleh juga, kau tau tempat wisata yang bagus?” Clara terkekeh, dia memang gadis yang jika tertawa bertipe lepas. “Saking sibuk kerja, sampai-sampai tak tahu tempat rekreasi?” Clara mengeleng-ge