“Tidak mungkin! Dia lelaki sempurna. Selama ini, pernikahan kami berjalan tanpa ada masalah. Suamiku ... tidak mungkin melakukan itu!”
“Sadarlah Maya. Terimalah keadaanmu saat ini!”Pikiranku berbelit tidak karuan. Selama ini aku selalu percaya dengan lelaki yang memberikanku kehidupan layaknya seorang ratu dalam negeri dongeng. Tapi, kini aku menghadapi kenyataan pahit.“Aku ... tidak percaya. Dia adalah ... argh!”Dengan lemas aku duduk, menundukkan kepala. Berusaha mengingat jelas dua bulan kejadian sebelum aku menemukan tiga ranjang itu. Aku harus mengingatnya!Saat itu, aku mendapati dirinya menghubungi seseorang.“Mas, Farus!”“Maya!”Sampai di rumah, aku mendapati suamiku menghubungi seseorang di teras depan rumah. Dia sangat terkejut ketika aku menepuk pundaknya. Dia bergegas masuk ke dalam. Aku segera mengikutinya, menuju dapur untuk mengambil minuman. Pekerjaanku sebagai pengacara sangat melelahkan.“Tadi siapa, Mas? Kok, mendadak ditutup?” tanyaku sangat penasaran.“Selama satu minggu, aku harus bekerja di luar kota.”“Apa? Kenapa mendadak sekali?”Dengan pelan Mas Farus mendekat ke arahku, refleks aku mundur pelan. Langkah mundurku terhenti saat aku berada di ujung tembok. Mas Farus terus melangkah sangat pelan, hingga wajahku dan wajahnya hanya berjarak satu senti saja. Aku dapat merasakan embusan napasnya, bahkan harum tubuhnya menusuk hidungku. Sangat kentara.Kesempatan itu tidak dilewatkan sedikit pun olehnya. Mas Farus perlahan mengecup bibirku dengan lembut. Hanya beberapa detik saja kemudian melepasku.“Jaga dirimu. Aku harus menemani para dokter magang. Jangan khawatir. Febri akan ikut denganku,” ucapnya lembut tepat di telingaku kemudian bergegas masuk ke dalam kamar kami.Entah apa yang ada di dalam pikiranku, saat suamiku yang sangat sempurna itu mencium bibir ini. Walaupun itu sangat cepat, aku selalu terhipnotis pesonanya. Tapi, ini sangat aneh. Tidak biasanya dia akan melakukan tugas selama itu. Selama dua belas tahun pernikahan, baru kali ini Mas Farus akan meninggalkanku selama ini.“Dokter magangnya ... ada gadisnya tidak?” ucapku bercanda. Aku menyusulnya di dalam kamar. Oh Tuhan! Bagaimana bisa aku menolak tubuh kekar itu di hadapanku? Kedua mata ini dipenuhi pandangan ketampanannya. Farus Abraham adalah dokter spesialis kandungan tertampan yang pernah aku lihat.“Ngapain sih, lihatin gitu?” ucapnya pelan sambil terkekeh.“Aku gak nyangka ternyata suamiku sangat tampan. Hmm, pasti para dokter magang itu akan terpesona sama kamu, Mas.”“Ah, kamu berburuk sangka saja ama aku, Maya. Dengerin aku ya, kamu boleh merasa curiga sama aku. Tapi, Mas akan menjaga hubungan pernikahan kita dengan sangat baik. Lagi pula, aku kan sama Febri. Mana mungkin mau macam-macam.”Febri adalah adik kandung suamiku. Dia dokter spesialis penyakit dalam. Mereka berdua sangat pintar, dan bersekolah karena mendapat beasiswa. Hatiku masih cemas. Melepaskan suamiku seperti itu. Tapi, aku harus menerimanya. Ini pekerjaan penting untuknya.“Kamu itu mikir apa sih?” Mas Farus mendadak memelukku. Rasanya sangat hangat. Aku memang tidak boleh berpikiran buruk.“Mas mau pakai baju. Sudah, jangan mikir macam-macam,” ucapnya sekali lagi meyakinkan aku. Dengan tersenyum aku memandangnya. Hingga lamunanku teralihkan pada getaran ponselnya.“Mas, ada yang telefon,” teriakku pelan.Terburu-buru aku mengambil ponsel itu di saku jaket kesayangan Mas Farus. Aku segera melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Tidak ada nama, dan hanya nomor tidak dikenal. Entah kenapa, aku merasa tidak asing dengan dua nomor di belakang. Seperti nomor milik ...“Maya!”“Ah, Mas. Kamu ini mengejutkan aku saja.”Mas Farus merebut ponsel itu dari genggamanku. Dia sejenak memandang ponsel itu, kemudian menutupnya.“Abaikan saja,” ucapnya kemudian meletakkan ponsel itu kembali di saku jaketnya. Mendadak, dia menarikku ke ranjang. Memandangku dengan tersenyum tampan.“Sebelum pergi, aku mau jatah,” bisiknya. Kemudian dia menjamah seluruh tubuhku. Malam terjadi sangat panas. Kami berdua akhirnya terlelap setelah melampiaskan hasrat masing-masing.**Pagi datang dengan cepat. Seperti biasanya, aku menyiapkan sarapan. Kedua anak kembar kami bernama Ema dan Ana, selalu saja bersemangat tiap hari. Mereka duduk di bangku SMP."Kalian jaga Bunda, ya. Ayah akan pergi satu minggu,” ucap Mas Farus. Dia berdiri, mengecup kening kedua anakku yang hanya terdiam menatapnya.“Ke mana, Yah?” tanya Ema kembar pertama. “Tidak biasanya Ayah pergi selama itu,” lanjutnya sambil melirikku.“Sudahlah, itu adalah pekerjaan penting Ayah kalian. Lagi pula, Ayah pergi dengan Paman Febri. Ayo, segera habiskan sarapan kalian. Nanti kalian terlambat,” balasku sambil tersenyum."Ucapan ibumu benar. Kalian, belajar yang rajin. Baiklah, Ayah pergi dulu," balas Mas Farus, kemudian memeluk anaknya satu persatu.Kami melepas kepergian Mas Farus dengan cemas. Ah, apa yang aku pikirkan. Selama ini pernikahan kami baik-baik saja. Bahkan, nyaris sempurna. Tidak perlu mencemaskan apa pun.“Bunda, kami pergi.” Ana memelukku, bergantian dengan Ema. Mereka menuju mobil penjemput. Dengan memaksa senyuman, mereka melambai kepadaku. Aku paham. Mereka pasti juga merasakan hal yang sama denganku.“Maya!”Seseorang memanggilku dari luar pagar rumah, keluar dari taxi. Dia berlari menghampiriku. Tentu saja dia Melisa. Sahabatku yang baru saja datang dari Singapura. Aku sangat merindukannya. Dia selalu bersamaku sejak sekolah.“Ah, kau datang?” ucapku terkejut.“Kau bercanda, kan?” balasnya sambil menggelengkan kepala. “Seperti melihat hantu saja. Hei, aku ini memang datang,” lanjutnya sambil bersedekap.“Hahaha. Apa wajahku terlihat bercanda? Tentu saja aku terkejut. Sudah lama sekali kau tidak mengunjungiku. Ayo, masuk.”Kami masih saling melempar senyuman. Melisa tidak hentinya menatap semua sudut rumahku. Padahal, dia sangat kaya. Keluarganya pengusaha sukses.“Rumahmu lebih bagus. Ngapain lihat gitu?” ucapku sambil menyodorkan secangkir teh hangat yang sudah disiapkan di atas meja oleh Mbok Sri. Pelayan yang sudah bekerja di rumahku sejak kembar lahir.“Kamu beruntung. Suamimu tampan, rumahmu bagus, punya anak kembar. Apalagi ... kau sangat hebat. Pengacara sukses dan berprestasi.”“Untuk apa memuji aku. Kau sendiri, kapan menikah?” balasku sambil menepuk pundak kanannya.“Aku sudah meni--”PRANG!Suara nyaring datang di ruang kerja Mas Farus. Aku segera ke sana. Apa yang terjadi? Semoga saja tidak ada hal serius.“Mbok, kenapa?” tanyaku sambil melotot. Mbok ternyata memecahkan vas bunga. Hah, untung saja dia tidak terluka. Aku segera membantunya. Tapi, apa itu? Selembar foto seorang wanita muda di bawah meja. Dengan cepat aku mengambilnya. Aku tidak percaya. Kenapa gambar wanita muda dengan busana seksi bisa ada di selipan buku Mas Farus?“Tidak seharusnya seorang dokter berpakaian terbuka seperti itu. Ih, menyebalkan,” sela Melisa. Dia merebut foto itu dan menatapnya sambil menggeleng.“Itu mungkin pegawai magang. Lihatlah. Di atas ada nama dan keterangannya,” balasku. Sebenarnya hatiku benar-benar tidak karuan. Sumpah! Aku sangat terkejut. Tapi, tidak mungkin aku membuka aib suamiku. Siapa tahu, ini hanya kebetulan saja.“Melisa, kau tadi mau mengatakan apa? Hmm, aku mendengar kau akan mengatakan sesuatu.” Aku merebut foto itu dan memasukkannya ke kantong kemejaku. Aku berusaha mengalihkan perhatian Melisa.“Ah, yang tadi?” ucapnya sedikit tertawa.“Iya, aku sebenarnya sudah meni--”Suara ponselku membuat Melisa tidak menyelesaikan perkataannya lagi. Aku tersenyum, dan segera mengangkatnya. Hatiku benar-benar lega. Febri menghubungiku. Pasti dia akan mengatakan keadaan Mas Farus. Aku harus segera mengangkatnya.“Febri, bagaimana kabar Mas Farus? Apa kalian sudah sampai?” tanyaku dengan bersemangat.“Mbak, aku mau memberikan titipan Ibu. Minuman kesehatan yang biasa Ibu racik sendiri. Mbak ada di rumah, kan?”Aku semakin bingung. Bukankah seharusnya Febri bersama Mas Farus? Tapi, kenapa dia malah akan ke rumah?“Loh, kamu tidak sama Mas Farus?” tanyaku memastikan.“Hari ini aku ambil cuti, Mbak. Aku segera antar ke rumah ya, Mbak?”“Febri, tunggu!” Aku mencegah Febri menutup ponsel. Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini?“Feb, kamu tidak menemani dokter magang bersama Mas Farus?” tanyaku sekali lagi. Hatiku benar-benar sangat berdebar.“Apa? Tidak ada tugas seperti itu, Mbak. Sudah ya, Mbak. Aku pergi dulu.”Deg!
'Jadi ... sebenarnya ke mana Mas Farus? Apakah dia berbohong?'
Halo, ini novel terbaruku. Ikuti terus kisah perjuangan seorang wanita dalam pernikahannya dalam, "3 Ranjang Suamiku" Jangan lupa komen, dan vote ya. Love author.
“Lalu, ke mana Mas Farus? Dia mengatakan pergi bersama Febri. Tapi, dengan terang Febri mengatakan hal sebaliknya. Oh, ada apa ini? Lalu, tadi malam itu telepon siapa?” batinku masih memandang ponselku sendiri.“Tidak perlu mencemaskan apa pun yang belum pasti.”Melisa menarikku kembali ke kursi sofa. Sebagai sahabat, dia pasti berusaha memendam perasaanku. Sebenarnya, aku tidak mau dia mengetahui rasa cemas ini. Tapi, seperti biasanya. Melisa sangat paham ekspresi wajahku.“Aku tidak mau menceritakan apa pun tentang pernikahanku. Tapi, kau sahabatku. Apa yang harus aku cemaskan?”“Bukankah kamu sendiri mengatakan kepadaku, tidak suka jika ada yang disembunyikan. Aku pun begitu. Aku tak mau ada rahasia. Ayolah, Maya! Katakan saja. Aku pasti siap membantumu.”Tentu saja aku harus mempercayai Melisa. Dia adalah sahabatku sejak lama. Ke mana lagi aku akan meminta bantuan?“Mas Farus tidak pernah pergi selama ini. Dia selalu saja pulang ke rumah. Sekarang, mendadak dia mendapat tugas. Par
“Mas Farus?” Benar-benar tidak aku percaya. Ternyata bukan suamiku. Dia, kenapa seperti itu? Bunuh diri? “Apa kau ... jangan ditutup!”Nomor tidak dikenal menghubungiku. Suara itu, sangat aku kenal. Dia memanggil nama suamiku, lalu menutupnya? Benar-benar aku mengenalnya. Tapi, siapa? Berkata, ingin bunuh diri?Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus membongkar semuanya. Jujur, semakin berjalannya waktu hatiku semakin sesak. Mas Farus ... apakah kau memang menduakan aku? Apakah dokter magang itu adalah wanita simpananmu? Dari pada aku bertanya-tanya dan semakin gila. Aku akan nekat menghubunginya.“Mas, aku harap kau menerimanya.”Dengan cemas, aku masih menunggu suamiku mengangkat ponsel ini. Tapi, nada sibuk yang aku dengar. Apakah di sana tidak ada sinyal? Ah, dia pasti sangat sibuk dan ini tengah malam. Tentu saja dia tidak akan pernah mengangkatnya.Sepanjang malam aku resah. Kedua mata ini sama sekali tidak bisa tertutup. Semakin aku berusaha terlelap, hatiku rasanya berdetak heb
Aku melebarkan kedua mataku. Tidak percaya melihat Mas Farus datang ke rumah dengan tubuh terluka seperti itu? Ditambah, undangan pernikahan yang disodorkannya kepadaku.“Mas, apa ini?” tanyaku gelisah. Semoga saja ini bukan kejutan besar buatku. Apakah ini adalah undangan pernikahan dia dengan dokter ...“Apa?” Tidak aku percaya setelah membacanya. Ternyata?“Maya. Aku mengalami kecelakaan. Maaf, selama lima hari aku di rumah sakit. Argh,” ucapnya sambil merintih. Spontan aku memapahnya. Dia ... benar-benar terluka parah. Tapi, kenapa luka itu masih segar? Bukankah dia mengatakan berada di rumah sakit selama lima hari? Seharusnya luka itu sudah mengering.“Mas. Jadi kamu kapan kecelakaan? Aduh, Mas. Seharusnya kau mengabari aku. Nanti aku jemput di sana,” ucapku masih kesal. Bagaimana pun juga, aku tidak mau melihat suamiku terluka seperti ini.“Aku tidak mau membuatmu khawatir. Lagi pula, banyak dokter di sana. Oh ya. Febri merawat Ibu. Dia tidak ikut bersamaku. Ponselku hilang saat
Benar-benar tidak aku percaya. Mas Farus menarikku ke ranjang. Dia seolah-olah tidak mau mendengarkan semuanya. Dan ... seperti tidak memiliki masalah apa pun. Tapi, siapa yang menghubunginya? Aku sangat mengenal suara itu. Hanya saja, siapa dia?“Maya. Kau ini kenapa? Dari tadi tidak tidur. Aku ini ngantuk. Hah ...,” ucap Mas Farus sambil menguap. Dia melingkarkan tangan ke tubuhku. Aku benar-benar masih tidak bisa melepaskan pikiranku dari suara wanita yang ada di dalam telepon itu. Entah kenapa aku seperti mengenal suara itu. Suara yang benar-benar tidak asing.“Maya, tidurlah,” ucap suamiku sambil memejamkan kedua matanya.Sepanjang malam, tanpa terasa aku terus memikirkan itu. Hingga aku tidak menduga. Sinar cahaya matahari sudah memasuki celah-celah jendela, membuatku mengernyit. Apalagi saat cahaya itu masuk ke retinaku. Mas Farus mengeliat dan terbangun. Dia menatapku dengan kaku.“Ah, kau ini ya,” ucap Mas Farus dengan menguap. Dia segera menuruni ranjang tanpa melirikku. Ak
Benar-benar aku tidak mengerti. Mana mungkin Mas Farus melakukannya. Ah ... itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin melakukan hal itu kepadaku. Aku pasti melupakan lipstik ini. Tentu saja aku memiliki lebih dari satu. Saat itu Mas Farus membelikanku sebagai hadiah pernikahan. Aku selalu menghemat lipstik ini karena harganya sangat mahal. Mungkin dia membelikanku lagi dan lupa untuk memberikannya.Sambil menarik napas panjang dan mengatur diriku sendiri, aku membuka lipstik itu walaupun memang aku benar-benar sedikit terkejut. Lipstik itu sudah dipakai oleh seseorang. Jika memang Mas Farus membelikanku yang baru, pasti tidak akan pernah terlihat tumpul seperti ini.Satu hal yang membuatku lebih terkejut adalah, beberapa helai rambut berwarna pirang menempel di jaketnya. Hmm, sedangkan rambutku berwarna hitam. Ya, aku sama sekali tidak pernah memiliki warna rambut seperti ini. Lalu siapa yang memilikinya? Kenapa ada di jaket suamiku?"Bu, ada tamu. Ada sahabat Ibu menunggu di bawah. Ibu Me
Melisa menarikku. Dia membawaku keluar dari gedung. Melepaskan cengkeramannya dengan sangat kasar saat kami sudah berada di samping gedung. Kebetulan sangat sepi sekali, tidak ada tamu atau pun panitia pernikahan di sana. "Hentikan, Maya." Pandangannya sangat menusuk. Sementara, aku masih saja mengatur diriku. Perlahan aku menarik napas, sambil memejamkan kedua mataku. "Aku tidak bisa tahan dengan ini semua, Melisa. Aku merasa dia berhubungan dengan suamiku sebelum menikah," balasku sambil mengurut pelipis. Pikiranku sangat kacau. “Kau sudah gila!” bentak Melisa. Dia mengangkat kedua tangannya, sambil melotot tajam. “Kau bisa mempermalukan dirimu sendiri. Parahnya, suamimu juga akan terlibat,” lanjutnya masih dengan nada keras. “Kita pulang saja. Kau harus menenangkan dirimu. Hei, tatap aku,” ucap Melisa sembari menarik pundakku. Aku mengangkat wajah, lalu membalas tatapan Melisa. “Aku yakin kalian baik-baik saja. Seorang dokter selalu dekat dengan pasiennya. Mungkin saja rambut
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Kenapa dengan Mas Farus dan Melisa?Kedua mataku masih saja menatap mereka. Jantungku berdetak lebih hebat dari biasanya. Kedua pandangan itu semakin jelas membuatku penasaran. Ada ekspresi sendu di dalam wajah Melisa. Walaupun Melisa berjarak cukup jauh dariku, tapi aku melihat itu cukup jelas.“Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Mbok membuyarkan lamunanku.“Ah, aku baik-baik saja, Mbok,” jawabku sekenanya untuk mengalihkan agar Mbok tidak curiga. Bagaimanapun juga, aku akan menutup rapat semua. Aku tidak mau hal buruk terungkap dan itu aib keluarga.Aku kembali mengamati semua arah. Ternyata Melisa dan taxi itu sudah pergi.“Maya ...” Mas Farus mengulurkan tangannya. Kusambut dengan hangat uluran tangan itu. “Aku hari ini memeriksa pasien sangat banyak. Rejeki tidak terduga aku dapat hari ini. Dan ... ini buat kamu.” Mas Farus memberiku kotak putih berisi parfum sangat harum. Kalau dilihat merknya, sangat mahal dan berkelas.“Kok diam saja? Kamu
Aku masih terdiam. Apakah ini benar? Suamiku sudah tidak bekerja di rumah sakit itu lagi? Tapi, setiap hari dia bekerja. Pulang malam dan selalu beralasan tepat di hadapanku.“Maya? Maya!” Ema berteriak keras. Dia membuatku terkejut. “Maya, kenapa diam saja? Hei, aku ini sakit. Kandunganku bermasalah. Sudah beberapa dokter aku temui. Ah, tidak ada yang cocok. Maya, aku mau suamimu memeriksaku. Sekarang katakan di mana dia bekerja?” lanjutnya masih membuatku bingung. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?“Ema, maksud aku ...,” ucapku dengan gugup.“Maya, kamu kenapa sih?” Mas Farus datang dan memelukku dari belakang. Sedikit kecupan dia berikan di leherku.“Mas, Ema menghubungiku. Dia punya masalah ama kandungannya. Maunya, Mas yang memeriksa,” ucapku sambil menyodorkan ponselku kepadanya. Aku hanya ingin tahu bagaimana ekspresi Mas Farus saat Ema bertanya di mana dia bekerja.“Ema ... teman kamu kuliah saat itu? Hmm, kok tiba-tiba mencariku?” balasnya sambil mengernyit. Dia menerima p
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus