Aku melebarkan kedua mataku. Tidak percaya melihat Mas Farus datang ke rumah dengan tubuh terluka seperti itu? Ditambah, undangan pernikahan yang disodorkannya kepadaku.“Mas, apa ini?” tanyaku gelisah. Semoga saja ini bukan kejutan besar buatku. Apakah ini adalah undangan pernikahan dia dengan dokter ...“Apa?” Tidak aku percaya setelah membacanya. Ternyata?“Maya. Aku mengalami kecelakaan. Maaf, selama lima hari aku di rumah sakit. Argh,” ucapnya sambil merintih. Spontan aku memapahnya. Dia ... benar-benar terluka parah. Tapi, kenapa luka itu masih segar? Bukankah dia mengatakan berada di rumah sakit selama lima hari? Seharusnya luka itu sudah mengering.“Mas. Jadi kamu kapan kecelakaan? Aduh, Mas. Seharusnya kau mengabari aku. Nanti aku jemput di sana,” ucapku masih kesal. Bagaimana pun juga, aku tidak mau melihat suamiku terluka seperti ini.“Aku tidak mau membuatmu khawatir. Lagi pula, banyak dokter di sana. Oh ya. Febri merawat Ibu. Dia tidak ikut bersamaku. Ponselku hilang saat
Benar-benar tidak aku percaya. Mas Farus menarikku ke ranjang. Dia seolah-olah tidak mau mendengarkan semuanya. Dan ... seperti tidak memiliki masalah apa pun. Tapi, siapa yang menghubunginya? Aku sangat mengenal suara itu. Hanya saja, siapa dia?“Maya. Kau ini kenapa? Dari tadi tidak tidur. Aku ini ngantuk. Hah ...,” ucap Mas Farus sambil menguap. Dia melingkarkan tangan ke tubuhku. Aku benar-benar masih tidak bisa melepaskan pikiranku dari suara wanita yang ada di dalam telepon itu. Entah kenapa aku seperti mengenal suara itu. Suara yang benar-benar tidak asing.“Maya, tidurlah,” ucap suamiku sambil memejamkan kedua matanya.Sepanjang malam, tanpa terasa aku terus memikirkan itu. Hingga aku tidak menduga. Sinar cahaya matahari sudah memasuki celah-celah jendela, membuatku mengernyit. Apalagi saat cahaya itu masuk ke retinaku. Mas Farus mengeliat dan terbangun. Dia menatapku dengan kaku.“Ah, kau ini ya,” ucap Mas Farus dengan menguap. Dia segera menuruni ranjang tanpa melirikku. Ak
Benar-benar aku tidak mengerti. Mana mungkin Mas Farus melakukannya. Ah ... itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin melakukan hal itu kepadaku. Aku pasti melupakan lipstik ini. Tentu saja aku memiliki lebih dari satu. Saat itu Mas Farus membelikanku sebagai hadiah pernikahan. Aku selalu menghemat lipstik ini karena harganya sangat mahal. Mungkin dia membelikanku lagi dan lupa untuk memberikannya.Sambil menarik napas panjang dan mengatur diriku sendiri, aku membuka lipstik itu walaupun memang aku benar-benar sedikit terkejut. Lipstik itu sudah dipakai oleh seseorang. Jika memang Mas Farus membelikanku yang baru, pasti tidak akan pernah terlihat tumpul seperti ini.Satu hal yang membuatku lebih terkejut adalah, beberapa helai rambut berwarna pirang menempel di jaketnya. Hmm, sedangkan rambutku berwarna hitam. Ya, aku sama sekali tidak pernah memiliki warna rambut seperti ini. Lalu siapa yang memilikinya? Kenapa ada di jaket suamiku?"Bu, ada tamu. Ada sahabat Ibu menunggu di bawah. Ibu Me
Melisa menarikku. Dia membawaku keluar dari gedung. Melepaskan cengkeramannya dengan sangat kasar saat kami sudah berada di samping gedung. Kebetulan sangat sepi sekali, tidak ada tamu atau pun panitia pernikahan di sana. "Hentikan, Maya." Pandangannya sangat menusuk. Sementara, aku masih saja mengatur diriku. Perlahan aku menarik napas, sambil memejamkan kedua mataku. "Aku tidak bisa tahan dengan ini semua, Melisa. Aku merasa dia berhubungan dengan suamiku sebelum menikah," balasku sambil mengurut pelipis. Pikiranku sangat kacau. “Kau sudah gila!” bentak Melisa. Dia mengangkat kedua tangannya, sambil melotot tajam. “Kau bisa mempermalukan dirimu sendiri. Parahnya, suamimu juga akan terlibat,” lanjutnya masih dengan nada keras. “Kita pulang saja. Kau harus menenangkan dirimu. Hei, tatap aku,” ucap Melisa sembari menarik pundakku. Aku mengangkat wajah, lalu membalas tatapan Melisa. “Aku yakin kalian baik-baik saja. Seorang dokter selalu dekat dengan pasiennya. Mungkin saja rambut
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Kenapa dengan Mas Farus dan Melisa?Kedua mataku masih saja menatap mereka. Jantungku berdetak lebih hebat dari biasanya. Kedua pandangan itu semakin jelas membuatku penasaran. Ada ekspresi sendu di dalam wajah Melisa. Walaupun Melisa berjarak cukup jauh dariku, tapi aku melihat itu cukup jelas.“Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Mbok membuyarkan lamunanku.“Ah, aku baik-baik saja, Mbok,” jawabku sekenanya untuk mengalihkan agar Mbok tidak curiga. Bagaimanapun juga, aku akan menutup rapat semua. Aku tidak mau hal buruk terungkap dan itu aib keluarga.Aku kembali mengamati semua arah. Ternyata Melisa dan taxi itu sudah pergi.“Maya ...” Mas Farus mengulurkan tangannya. Kusambut dengan hangat uluran tangan itu. “Aku hari ini memeriksa pasien sangat banyak. Rejeki tidak terduga aku dapat hari ini. Dan ... ini buat kamu.” Mas Farus memberiku kotak putih berisi parfum sangat harum. Kalau dilihat merknya, sangat mahal dan berkelas.“Kok diam saja? Kamu
Aku masih terdiam. Apakah ini benar? Suamiku sudah tidak bekerja di rumah sakit itu lagi? Tapi, setiap hari dia bekerja. Pulang malam dan selalu beralasan tepat di hadapanku.“Maya? Maya!” Ema berteriak keras. Dia membuatku terkejut. “Maya, kenapa diam saja? Hei, aku ini sakit. Kandunganku bermasalah. Sudah beberapa dokter aku temui. Ah, tidak ada yang cocok. Maya, aku mau suamimu memeriksaku. Sekarang katakan di mana dia bekerja?” lanjutnya masih membuatku bingung. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?“Ema, maksud aku ...,” ucapku dengan gugup.“Maya, kamu kenapa sih?” Mas Farus datang dan memelukku dari belakang. Sedikit kecupan dia berikan di leherku.“Mas, Ema menghubungiku. Dia punya masalah ama kandungannya. Maunya, Mas yang memeriksa,” ucapku sambil menyodorkan ponselku kepadanya. Aku hanya ingin tahu bagaimana ekspresi Mas Farus saat Ema bertanya di mana dia bekerja.“Ema ... teman kamu kuliah saat itu? Hmm, kok tiba-tiba mencariku?” balasnya sambil mengernyit. Dia menerima p
Aku tidak percaya. Rambut itu ... mirip sekali dengan milik Melisa. Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mas Farus tidak pernah bertemu dengannya sejak kita menikah. Lalu, atasan itu ... mirip sekali dengan kemeja yang dipakai wanita di dalam foto ponsel Mas Farus. Yah, ada sosok wanita memandang kami dengan wajah sendu, seperti menangis. Memang terlihat cukup jauh. Ketika aku membesarkan gambar itu, terlihat tidak begitu jelas. Tapi, aku masih bisa melihat kemeja itu.“Maya!” teriak Melisa. “Bagaimana rambutku? Aku baru saja memanggil penata rambut ke apartemen. Katanya sih, warna ini lagi hits sekarang. Alias, banyak yang suka.”Melisa membuatku menarik napas lega. Ah, dia baru saja mengecat rambutnya. Dan itu pasti kebetulan saja. Aku tidak bisa percaya dengan diriku yang sangat bodoh ini. Bagaimana mungkin sahabat baikku bersama suamiku? Sangat mustahil.“Maya, ayolah. Dari tadi kau diam saja. Padahal aku sudah berbicara panjang lebar. Hei, kau!” ucapnya semakin berteriak.Melisa masih
Aku menatap mereka berdua yang masih saling menatap. Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak. Pasti ada kekeliruan di sini. Ah, aku harus membuang pikiranku. Kami tidak pernah bertemu dengan wanita asing ini. Melisa selalu bersamaku sejak dia datang ke Indonesia. Dengan cepat aku memusatkan pikiranku lagi. Aku tidak boleh terhanyut dengan pikiran kacau ini. "Melisa, kita akan bawa dia ke rumah sakit. Aku akan menghubungi Mas Farus agar membantu bertemu Febri untuk memeriksanya. Sapa tau ada yang terluka di dalam tubuhnya. Kita harus tanggung jawab, Mel," ucapku masih tidak ditanggapi oleh Melisa. Aku segera memegang tubuh wanita itu yang sedikit bergetar. Walaupun pandangannya masih terarah ke Melisa. Mungkin dia kesal Melisa tidak segera menolongnya. Lebih baik aku yang menangani ini. "Maafkan. Tadi teman aku tidak sengaja,” ucapku dengan tersenyum. Wanita itu segera berdiri, lalu membenarkan busana dan rambutnya. Sementara, Melisa masih saja diam dengan pandangan setajam pisau. E
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus