Tidak aku sangka mas Farus membentakku seperti itu. Padahal aku tidak melakukan apa pun kepada Melisa. Wanita keparat itu tersenyum sinis menatapku. Sialan, dia sudah menjebakku seperti ini."Dia sekarang sedang mengandung. Maya, kenapa kau seperti itu? Maya, aku tahu ... aku ini salah tidak memberitahukan semuanya kepadamu. Tapi kau tidak boleh seperti itu. Di mana perasaanmu?" ucapnya dengan sangat keras sambil menunjukku dengan tegas. Sementara Melisa semakin memeluknya dan menangis, lalu memegang perutnya dan merintih kesakitan. Aku hanya bisa terdiam kaku melihat semua adegan itu. "Sudahlah, Mas. Jangan membentak dia. Aku tahu pasti dia akan sangat marah melihatku tiba-tiba datang dengan cara seperti ini," ucapnya masih saja menangis. Mas Farus menariknya lalu mengajak duduk di kursi sofa. Mengambil satu lembar tisu dan mengusap keringat Melisa. "Kenapa kalian ke sini? Mas, ini adalah rumahku. Nanti aku akan mengurus surat perceraian. Kau lebih baik pergi dari sini. Tinggal saj
Melisa terdiam kaku. Kedua matanya melebar. Tangannya pun mengepal. Dia tidak menyangka Mas Farus dengan mudah aku kendalikan. Sejenak dia masih menatapku. Aku masih saja berada di dalam dekapan suamiku.“Melisa, aku tahu kita sudah melakukan perjanjian. Tapi ... jangan lupa. Kau sudah menerima jika aku bisa berbagi. Kita sudah sepakat. Lebih baik kau pulang dulu, setelah itu aku akan menemuimu satu minggu lagi,” balas suamiku dengan mengusap wajahnya yang berkeringat. Aku tahu. Dia pasti sangat kebingungan dan panik. Memiliki 3 ranjang. Hah, kejutan macam apa ini? Aku benar-benar tidak bisa membayangkan akan menimpa diriku.“Mas, kau sudah berada di rumah Maria 6 hari. Kau sudah berada di sini setelahnya. Lalu, bagaimana denganku?” Melisa menekan dadanya yang pasti sangat sesak. Entah drama apa lagi yang akan dia lakukan."Mas, aku benar-benar--"“Kau tahu kan, aku mengalami kecelakaan saat pulang dari rumah Maria. Kau selalu mencariku, padahal aku sudah mengatakan akan membaginya da
“Maya, kau!” Mas Farus mendekatiku dan akan menamparku.“Ayah!” teriak Ema sangat keras. Dia berhasil membuat ayahnya menghentikan gerakan. Hatiku berdebar kencang. Aku memberanikan diri untuk melawannya. Padahal, selama ini aku dibilang istri penurut.“Ibu memintamu pergi,” ucapnya tegas. “Dari tadi aku mengawasimu. Kau, sama sekali tidak punya perasaan. Aku tidak menyangka kau akan seperti ini. Benar-benar kejam,” lanjutnya masih dengan pandangan tajam. Ana hanya bisa menangis di sebelahku. Mbok Sri segera memeluknya.“Apa kalian tidak mencintai Ayah? Dengarkan. Ayah melakukan ini untuk membuat kalian bahagia. Kalian selama ini hidup enak dari uang mereka. Dan Ayah yang mengusahakannya.” Mas Farus akan mendekati Ema. Anak itu segera mendorong tubuh ayahnya.“Aku sudah bilang, pergi!” Ema semakin berteriak, menunjukkan jemarinya ke pintu keluar.“Ema, aku ayahmu!” balas Mas Farus membentak sangat keras dan menampar anakku. Aku benar-benar tidak terima!“Pergilah! Jangan pernah kembal
Seorang anak? Tentu saja dia pasti akan memiliki seorang anak. Dua tahun mereka menjalin hubungan. Apalagi yang bisa mereka lakukan selain berhubungan intim dan menikmati semuanya. Video yang aku lihat sebelumnya sudah menjelaskan kejadian itu semua.“Keluar!” teriakku kencang. "Aku ingin kau keluar, Maria," lanjutku masih membentak.“Hmm, kau harusnya sadar!” balasnya semakin membentakku. “Dia bukan milikmu. Kau tidak bisa mempertahankan rumah tanggamu. Yang harus kau lakukan adalah menceraikannya. Hanya itu,” lanjutnya dengan nada sedikit pelan. Namun, masih memperlihatkan senyuman kemenangan.“Lalu, apakah dia milikmu?” Kini aku membalas senyuman itu. Tawaku semakin kencang. Tidak peduli Maria semakin geram sambil menatapku tajam. Aku tetap memperlihatkan diriku lebih kuat darinya. Aku tidak akan lemah!“Kau yang harusnya sadar. Mas Farus memiliki tiga istri. Kalau pun aku menceraikannya, kau tetap tidak akan pernah bisa untuk membuatnya menjadi milikmu. Dia masih memiliki Melisa.
Aku membuka kedua mataku dengan mendadak setelah sadar ada seseorang memberikanku napas buatan.“Febri ...,” ucapku lemas. Kenapa dia ada di sini? Apakah dia mengikutiku?“Mbak, kau tidak waras. Apa kau mau bunuh diri?” Febri menarik napas panjang. Dia mengusap wajahnya yang basah, lalu kembali mengamatiku. Satu hal yang membuatku tidak enak, dia memberiku napas itu. Bibirnya bersentuhan denganku. Lebih baik aku tidak akan pernah membahasnya.“Febri, kau di-sini ...,” ucapku masih tidak bisa berkata dengan baik.“Sudahlah, Mbak. Aku akan membawamu pergi dari sini.”“Febri, apa yang akan kau lakukan?”Mendadak dia menggendongku. Membawaku masuk ke dalam mobilnya. Membantuku duduk di kursi depan. Lalu, memasangkan sabuk pengaman. Satu hal yang membuatku tidak mengerti. Dia sejenak menatapku sebelum menutup pintu mobil dan masuk kembali, kemudian duduk di kursi kemudi. Ada sesuatu hal di dalam pandangannya. Apakah dia mengetahui perbuatan kakaknya?“Maafkan aku, Febri,” ucapku sambil men
Aku akan menghadapi mereka. Aku tidak bersalah, dan mereka tidak akan pernah bisa menjebakku. Ketiga polisi itu berjalan mendekatiku yang masih bergeming dengan jantung berdebar.“Anda pasti akan bertanya, mana surat perintahku,” ucapnya sambil menyodorkan surat itu kepadaku. Dengan perasaan cemas, aku menerima surat itu.“Aku tidak pernah menerima surat panggilan apa pun. Kalian bisa memeriksa kamera cctv. Tidak ada yang pernah mengirimkan surat itu.” Aku mengarahkan tangan ke tempat pak satpam. Mereka semua mengikutiku ke sana, dan masuk ke dalam ruangan itu.Aku segera menghubungi pihak teknisi yang mengatasi semua isi kamera cctv rumahku. Mereka segera datang ke rumah setelah beberapa menit. Posisi kantor mereka tidak jauh dari rumahku.“Pak, tolong tunjukkan isi kamera cctv selama beberapa hari lalu,” pintaku masih saja cemas.Mereka segera melakukannya. Kami mengamati hari demi hari semua kegiatan yang ada di rumah. Hingga aku terkejut. Ana menerima surat dari polisi yang ke rum
Dia sudah gila. Hubungan dahsyat? Hubungan seperti apa itu?“Hei, jangan konyol.”“Maya, ayolah. Kau itu sangat cantik. Jangan menjadi wanita pasif. Jadilah wanita liar. Dominasi suamimu. Buat dia merindukanmu. Lalu, tangkap dia seperti nyamuk. Sekali hap, mati.”Aku menggelengkan kepala. Entah apa yang dia omongkan. Tapi, setelah aku berpikir, dia memang benar. Suamiku sudah melakukan dengan dua wanita lain, dan entah gaya apa yang sudah dia lakukan. Mungkin aku harus mencobanya. Mungkin selama ini aku monoton dan tidak pernah sesuai harapannya. Terlalu egois dan lupa dengan keperluan suamiku, yaitu hasrat yang terkadang wajib liar.“Aku akan memikirkannya,” balasku singkat lalu masuk ke dalam mobil.“Memikirkannya?” tanya Ema sambil mengangkat kedua tangannya. Dia akhirnya masuk ke dalam mobil. Mengendarai sambil sesekali melirikku.“Febri. Hmm, dia menghubungiku, lalu menemuiku. Aku melihat sesuatu di kedua mata itu,” ucap Ema membuatku menolehkan pandangan ke arahnya.“Apa maksudm
Rahasia sedikit demi sedikit terungkap. Selama dua tahun aku sudah dibodohi oleh suamiku sendiri. Aku wanita membosankan bagi dia. Terlebih, wanita yang tidak bisa memberikan materi untuknya. Dia bersama wanita yang bisa membuat dirinya menjadi lelaki sempurna. Tapi, aku tahu kelemahannya.“Mbak,” ucap Febri mengejutkan aku. Dia menarik lenganku dengan mendadak saat aku tanpa sadar berjalan keluar dari apartemen tanpa arah. Menuju jalanan sambil melamun, tak tahu tujuan. Padahal, mobilku masih terparkir di sana.“Febri, aku ...,” ucapku tersendat.“Tenanglah,” balasnya singkat. Dia memelukku sangat erat di pinggir jalanan. Aku menangis terisak di dadanya yang cukup kekar. Tak peduli semua orang melihatku. Aku tetap hanyut di dalam pelukan adik iparku.“Mbak bisa meminta bantuan apa pun dariku. Aku akan selalu mendampingi Mbak.” Dia melepaskan pelukannya dan memandangku. Mengusap air mata yang membasahi wajahku dengan jemarinya. Tatapan itu sangat lembut. Ada sedikit senyuman di sana.
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus