Aku meninggalkannya. Masuk ke dalam kamar, lalu menutupnya. Aku sengaja tidak menutupnya. Membiarkan dia masuk ke dalam. Sesekali aku sedikit meliriknya. Dia berdiri sambil menatapku. Kedua tangannya berkacak pinggang."Maya. Aku selalu berusaha adil dengan semua. Kau lihat sendiri. Setelah aku bersama Melisa, aku bersamamu. Dia menangis dan aku tetap meninggalkannya. Apa salahku?”Aku terkekeh pelan mendengarnya. Bukankah seharusnya dia sadar sudah menyakiti tiga wanita? Sangat kurang ajar!“Mas, kenapa kau membutuhkan uang milyaran?” kataku sambil mengambil surat pemecatan itu di dalam tas dan menyodorkan kepadanya. Dia mengernyit, lalu menerimanya. Menarik napas panjang saat membacanya. Sementara, aku menatapnya dengan sangat serius.“Katakan, Mas. Kenapa kau seperti ini? Apa kau mencintaiku?” tanyaku dengan resah. Jika melihat wajahnya, mana mungkin aku bisa marah. Rasa cinta dalam diriku melebihi rasa sakit ini. Tapi, bagaimana bisa aku menerima kembali lelaki yang memiliki tiga
Melisa sudah terkena jebakanku. Dia akan merasakan apa yang sudah dia perbuat kepadaku. Entah bagaimana perasaannya, dia sudah masuk ke dalam pembalasanku. Akan aku lanjutkan, dan itu akan membuatnya sangat putus asa."Maya, aku benar-benar hanya mencintaimu," ucap mas Farus sekali lagi.Apa yang kau harapkan, Maya? Menyakiti mereka dan puas? Apakah kau tidak tahu perasaan mereka? Ya, mereka memiliki perasaan sama denganmu. Yang harus kau lakukan sekarang adalah, membuat suamimu mengerti. Memiliki tiga ranjang tidaklah mudah. Seadil-adilnya lelaki, pasti mereka akan sakit. Tapi, bagaimana dengan hatiku? Mereka tidak memiliki perasaan sama sekali. “Kau mencintaiku. Lalu, bagaimana dengan mereka?” tanyaku dengan deraian air mata. Aku berjalan dan mematikan ponselku. Aku tahu. Melisa pasti sangat sakit mendengar desahan dan pengakuan suamiku. Tapi, dia juga harus tahu. Dia salah.“Mas, kau tidak akan bisa adil. Mereka akan menyakitiku jika kau menuju ke sini. Apalagi Maria memiliki seor
Aku sendiri tidak mengerti kenapa Mas Farus datang kembali ke rumah. Padahal dia sebelumnya membawa Maria pergi dan mereka sempat berpelukan. Maria menangis dan Mas Farus pun tidak terlihat marah. Tapi kenapa mereka kembali ke rumah? Satu lagi, dan yang lebih parah, kenapa Maria membawa koper? Apakah dia akan tinggal di sini, atau Mas Farus sengaja membawa mereka ke sini? Ah, ini benar-benar tidak bisa aku biarkan. Ya, aku harus segera turun dan menanyakan kejelasan. Ini adalah rumahku, dia tidak berhak dengan seenaknya sendiri mengatur semuanya.Dengan cepat aku keluar kamar, menuruni tangga. Lalu mendekati Maria yang sekarang duduk di kursi ruangan tengah sambil mengangkat salah satu kakinya, memandangku dengan senyuman sinis. Ini benar-benar sangat tidak baik."Ini benar-benar tidak lucu. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucapku memandang suamiku sambil bersedekap. Dia memegang kedua pundakku, dan aku segera menampisnya. "Aku katakan, ini tidak lucu. Sudah aku katakan, aku tidak ingin
Dia sudah gila. Sekarang berani sekali membawa anak-anak dan mengancamku seperti itu. Tidak akan pernah aku biarkan. Dengan cepat aku menghadapinya. Jika memang dia mau melakukan hal itu, berarti dia adalah musuh besarku sekarang."Mas, kau sekarang mengancam aku akan mengambil kembar? Hei, ingatlah. Aku ini ibunya. Aku yang sudah membesarkan mereka!" balasku dengan membentak. Aku ingin sekali meluapkan amarahku. "Mas, setiap hari aku yang selalu memenuhi kebutuhan mereka. Bukan dirimu. Ingat ya, Mas. Kalau kau berani memisahkan aku sama kembar, lihat saja nanti. Aku sangat mengerti hukum. Kembar masih berada di dalam asuhanku, walaupun kita nanti sudah bercerai!" lanjutku semakin sangat keras."Hah, sombong sekali," ucap Maria tiba-tiba mendekat, kemudian sedikit mendorong ku. Memberikan tatapan yang sangat tajam. Aku pun membalas tatapan itu. Sementara suamiku masih saja terdiam membiarkan Maria melakukan hal itu. Benar-benar berengsek."Oh, jadi kau sekarang membiarkan dia melakuk
Mas Farus berlari masuk ke dalam rumah. Aku pun mengikutinya dari belakang. Melisa memecahkan semua kaca jendela rumahku dengan melempar semua barang. Lalu dia menangis dengan histeris sambil memegang perutnya."Melisa! Apa yang kau lakukan? Tenanglah. Kau seperti orang gila. Hentikan ini semua!" ucap Mas Farus kemudian menarik dan memeluknya. Namun, wanita itu masih saja menangis."Tidak aku sangka, kau ternyata wanita yang sangat gila dan tidak berpendidikan. Apa yang kau inginkan!" Maria berteriak keras sambil menunjukkan jemarinya tepat ke arah Melisa yang masih menangis di dalam dekapan suamiku."Perutku sangat sakit, Mas. Entah kenapa aku merasakan rasa sakit sangat luar biasa. Kenapa kau lama sekali di luar?" ucapnya masih saja dengan menangis."Kita sebaiknya masuk ke dalam kamar. Kau harus beristirahat. Melisa, kau harus berhati-hati. Ingat bayi dalam kandunganmu itu. Biarkan Mbok Sri dengan beberapa pelayan membersihkan semua kaca itu," balas Mas Farus kemudian memapah Melis
Tidak kusangka dia memperlakukan aku seperti itu di hadapan kedua istrinya. Dia sudah mempermalukan aku seperti ini. Pertama kalinya dia melakukan hal ini kepadaku, dan ini benar-benar membuatku sangat sakit."Mas Farus!" teriak Febri. "Kau benar-benar tidak tahu diri. Kenapa kau harus menamparnya? Tanya baik-baik kepadanya!" bentak Febri kemudian berdiri tepat di hadapanku. Tentu saja dia pasti akan membela aku mati-matian. "Seharusnya kau bertanya dulu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak bertindak gegabah dan bodoh seperti itu!" lanjutnya sambil menunjuk jemarinya dengan tegas ke arah kakaknya."Kau selalu ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Ini adalah jalan hidupku. Pergilah dan jangan pernah kembali ke sini!""Tentu saja aku akan ikut campur!" Febri tidak mau mengalah. Dia tetap berdebat, melanjutkan perdebatan sengit yang sudah mereka lakukan di halaman belakang sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang sudah mereka perdebatkan di sana."Dia adalah kakak iparku dan ini ada hubungan
Aku memandang mereka berdua yang masih menatapku tajam. Tentu saja mereka pasti akan sangat marah. Mas Farus lebih memilihku daripada mereka. "Kalian jaga rumah baik-baik. Aku akan pergi bersama suamiku. Aku istri sah. Hanya istri sah yang bisa berdampingan dengan Dokter Farus. Kalian hanya menikahi siri, atau bisa saja disebut sebagai istri .... Entahlah apa namanya," ucapku sedikit tersenyum."Mungkin kau sekarang bisa sombong dengan semua yang kau rasa saat ini. Aku mengingat kau selalu saja bercerita tentang suamiku saat kita di kampus, dan itu sangat menyebalkan." Melisa mendekatiku. Wajah kami sangat berdekatan. Ada perasaan dendam di sana. Padahal kita sudah bersahabat sejak lama. Tapi, sekarang dia seperti ini, hanya karena seorang lelaki?"Apa pun akan aku ambil kembali dan itu adalah tujuanku. Termasuk mengambil anakmu," ucap Melisa yang membuatku tidak bisa bergerak. Dia sangat berkuasa dan bisa melakukan apa pun dengan uang. Tapi aku adalah seorang pengacara yang sangat bi
Aku menghentikan suamiku saat dia ingin berbicara di atas panggung. Entah apa yang dia mau. Mempermalukan aku seperti ini? Selama ini aku tidak pernah membuat dia malu di depan umum. Aku selalu saja membuatnya sangat bahagia dengan materi dan semua cintaku. Tapi ternyata itu tidak cukup.Semua orang memandangku, ketika aku berteriak. Ini adalah hal yang paling memalukan dalam hidupku. Pertama kali aku lakukan hari ini. Namun, aku harus kuat melangkahkan kakiku, hingga sampai benar-benar di atas panggung dan berdiri di antara kedua wanita itu. Aku tidak ingin menjadi wanita yang terbuang di bawah. Bagaimanapun juga, tiga ranjang itu, aku ikut andil di dalamnya.Aku memasang senyuman manis. Suamiku menatapku dengan tegang. Tentu saja dia tidak mau aku menghancurkan acara ini. Tapi, aku sudah dibuatnya seperti itu. Dia sengaja mengajakku dengan berbohong.Perlahan aku memegang pengeras suara di depanku. Tetap memberikan senyuman kepada semua orang yang menatapku di bawah panggung. Ini ad
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus