Tidak kusangka dia memperlakukan aku seperti itu di hadapan kedua istrinya. Dia sudah mempermalukan aku seperti ini. Pertama kalinya dia melakukan hal ini kepadaku, dan ini benar-benar membuatku sangat sakit."Mas Farus!" teriak Febri. "Kau benar-benar tidak tahu diri. Kenapa kau harus menamparnya? Tanya baik-baik kepadanya!" bentak Febri kemudian berdiri tepat di hadapanku. Tentu saja dia pasti akan membela aku mati-matian. "Seharusnya kau bertanya dulu apa yang sebenarnya terjadi. Tidak bertindak gegabah dan bodoh seperti itu!" lanjutnya sambil menunjuk jemarinya dengan tegas ke arah kakaknya."Kau selalu ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Ini adalah jalan hidupku. Pergilah dan jangan pernah kembali ke sini!""Tentu saja aku akan ikut campur!" Febri tidak mau mengalah. Dia tetap berdebat, melanjutkan perdebatan sengit yang sudah mereka lakukan di halaman belakang sebelumnya. Aku tidak tahu apa yang sudah mereka perdebatkan di sana."Dia adalah kakak iparku dan ini ada hubungan
Aku memandang mereka berdua yang masih menatapku tajam. Tentu saja mereka pasti akan sangat marah. Mas Farus lebih memilihku daripada mereka. "Kalian jaga rumah baik-baik. Aku akan pergi bersama suamiku. Aku istri sah. Hanya istri sah yang bisa berdampingan dengan Dokter Farus. Kalian hanya menikahi siri, atau bisa saja disebut sebagai istri .... Entahlah apa namanya," ucapku sedikit tersenyum."Mungkin kau sekarang bisa sombong dengan semua yang kau rasa saat ini. Aku mengingat kau selalu saja bercerita tentang suamiku saat kita di kampus, dan itu sangat menyebalkan." Melisa mendekatiku. Wajah kami sangat berdekatan. Ada perasaan dendam di sana. Padahal kita sudah bersahabat sejak lama. Tapi, sekarang dia seperti ini, hanya karena seorang lelaki?"Apa pun akan aku ambil kembali dan itu adalah tujuanku. Termasuk mengambil anakmu," ucap Melisa yang membuatku tidak bisa bergerak. Dia sangat berkuasa dan bisa melakukan apa pun dengan uang. Tapi aku adalah seorang pengacara yang sangat bi
Aku menghentikan suamiku saat dia ingin berbicara di atas panggung. Entah apa yang dia mau. Mempermalukan aku seperti ini? Selama ini aku tidak pernah membuat dia malu di depan umum. Aku selalu saja membuatnya sangat bahagia dengan materi dan semua cintaku. Tapi ternyata itu tidak cukup.Semua orang memandangku, ketika aku berteriak. Ini adalah hal yang paling memalukan dalam hidupku. Pertama kali aku lakukan hari ini. Namun, aku harus kuat melangkahkan kakiku, hingga sampai benar-benar di atas panggung dan berdiri di antara kedua wanita itu. Aku tidak ingin menjadi wanita yang terbuang di bawah. Bagaimanapun juga, tiga ranjang itu, aku ikut andil di dalamnya.Aku memasang senyuman manis. Suamiku menatapku dengan tegang. Tentu saja dia tidak mau aku menghancurkan acara ini. Tapi, aku sudah dibuatnya seperti itu. Dia sengaja mengajakku dengan berbohong.Perlahan aku memegang pengeras suara di depanku. Tetap memberikan senyuman kepada semua orang yang menatapku di bawah panggung. Ini ad
Situasi ini membuatku sedikit puas. Mereka masuk ke dalam rencanaku. Aku akan mengalah dan membuat suamiku masuk ke dalam pelukanku lagi. Setelah itu ... entah bagaimana yang akan aku lakukan untuk pernikahanku. Yang jelas, aku bukan wanita sempurna dengan rasa cinta setelah diperlakukan seperti ini. Pernikahanku selama lebih dari 10 tahun ini, tidak seperti yang aku bayangkan. Pengorbananku sangat sia-sia.“Maya, kau tidak boleh berkata seperti itu. Aku akan kembali ke semua tamu. Tapi, lebih baik kau pulang saja bersama Melisa. Kali ini, Maria yang akan menemaniku.”“Mas, jangan memilih di antara kami. Karena, kami semua istrimu. Sebaiknya Melisa juga mendampingi. Aku ... yang akan mengalah. Ini semua demi kebaikanmu, Mas. Kau tidak bisa terlihat buruk di depan semua orang,” imbuhku masih dengan wajah memelas. Aku mendekatinya, sedikit tersenyum dan melanjutkan berata, “Aku tahu kau sejak dulu. Kita sudah menikah lebih dari 10 tahun. Yang memahami kau adalah aku. Mas, pergilah ke sa
Dia melakukannya, dan aku lemah. Febri memang sangat tampan, tidak berbeda dari suamiku. Pertama kali, dia memandangku tanpa berkedip saat Mas Farus memperkenalkan diriku di kampus. Tanpa sungkan, dia memperlihatkan jika dia memang memiliki perasaan denganku. Tapi, aku selalu tidak menghiraukan itu.Bibir ini masih saling bersentuhan. Aku ... apakah salah? Menerima ciuman adik iparku?“Febri, hentikan.” Aku mendorong tubuhnya, lalu membalikkan tubuhku. Dia menarikku kembali dengan sangat kuat. Tentu saja aku tidak bisa meronta. Tubuhnya terlalu kuat. “Ini salah, Febri,” lanjutku masih menampis tangan kekarnya yang akan memelukku.“Mbak, kau tidak bisa seperti ini. Kau berhak bahagia. Mendapatkan kehidupan lebih baik. Bukan malah bertahan dengan ini semua. Mbak, kau masuk ke dalam neraka.” Febri masih saja menahanku. Aku berusaha menghindarinya.“Antar aku pulang,” ucapku lalu berjalan meninggalkan dia yang sangat kesal denganku. Febri berdiri sambil memegang kepalanya, hanya memandang
Aku tidak menyangka. Mas Farus memerintahkan orang untuk mengikutiku?“Mas, untuk apa kau melakukan ini? Kau membuatku takut,” ucapku kesal sambil memberikan dokumen itu kembali kepadanya. “Mas, kau tidak boleh melakukan ini.”“Apa kau menyukainya?” Dia mendekatiku, lalu memelukku erat. “Maya, aku tidak bisa berpisah denganmu. Kau tidak bisa seperti ini. Aku tadi melihatmu mengalah, dan aku tidak tenang.”Dia melepaskan pelukannya, lalu menciumku. Aku ... tidak bisa membalasnya. Entah kenapa hasratku sudah hilang begitu saja. Dia menghentikan gigitan kecil yang biasa dia berikan kepadaku dulu. Aku memang selalu membalasnya dengan gigitan dan tawa. Tapi, dia terkejut aku diam dan hanya menutup bibirku.“Apakah aku sudah kalah dengan adikku sendiri?” tanyanya sambil menatapku tajam. “Kau tidak seharusnya seperti itu. Dia adik iparmu!” teriaknya keras. Mas Farus membuang semua barang di hadapannya. Aku membiarkan dia melakukan itu. Satu hal yang aku sukai dengan kemarahan itu, dia sangat
Dia membuka selimutku dan membuangnya dengan amarah. Sementara, aku hanya diam menatapnya.“Maya. Kau tidak bisa seenaknya. Ingat! Kau seorang istri!” bentaknya sambil menunjukku.“Dunia, oh dunia. Lelaki dengan mudah melakukan ini. Tidak perlu aku jelaskan. Tapi, kau melarangku. Seharusnya kau bersyukur aku masih bertahan di sini,” balasku kemudian mengambil selimut dan menaiki ranjang.“Tetap saja kau tidak boleh seperti itu, Maya. Aku tidak menyukainya.” Dia masih saja melanjutkan protesnya. Tapi aku diam saja dan membalikkan tubuhku, menghadap ke arah tembok, membelakanginya. Aku merasa dia sudah menaiki ranjang dan tidur di sebelahku. Aku tetap harus terdiam dan tidak akan pernah menatapnya, walaupun sebenarnya aku sangat merindukannya. Bagaimanapun juga, dia adalah lelaki yang ada di hatiku. Walaupun dia sudah membuatku sengsara seperti ini, tapi entah kenapa hatiku selalu saja berada untuknya. Itulah mengapa aku sadar kedua wanita itu sepertinya rela untuk menjadi istri kesekia
Perasaanku kembali cemas. Jantungku berdetak kencang. Melisa akan mengatakan semuanya. Mungkin, apa yang akan dia ceritakan nanti bisa membuatku sakit hati. Sebuah kenyataan yang selama ini tidak aku ketahui. Entah apa yang Mas Farus alami hingga dia seperti ini dan terjebak dengan permainannya sendiri. Aku mulai menggerakkan jemariku yang masih bergetar. Membalas pesan itu dan menyetujui apa yang akan dia rencanakan."Kenapa kau kembali seperti itu Mbak? Kembali dengan wajah cemas. Sangat terlihat sekali. Mbak, kenapa?" tanya Febri. Mendadak dia mengerutkan kedua alisnya sambil mengamati ponselku. Aku segera memasukkannya ke dalam tas."Aku ingin ke cafe yang biasanya aku datangi bersama Melisa. Hah, aku harus berbicara dengannya," balas ku yang membuat Febri mendadak menepikan mobil dan memarkirkannya di tepi jalan. Kemudian dia menatapku sambil mengangkat kedua tangannya."Mbak kenapa harus bertemu dengannya lagi? Mbak pasti akan sakit hati. Sekarang lebih baik Mbak pergi ke kantor
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus