Aku tidak menyangka. Mas Farus memerintahkan orang untuk mengikutiku?“Mas, untuk apa kau melakukan ini? Kau membuatku takut,” ucapku kesal sambil memberikan dokumen itu kembali kepadanya. “Mas, kau tidak boleh melakukan ini.”“Apa kau menyukainya?” Dia mendekatiku, lalu memelukku erat. “Maya, aku tidak bisa berpisah denganmu. Kau tidak bisa seperti ini. Aku tadi melihatmu mengalah, dan aku tidak tenang.”Dia melepaskan pelukannya, lalu menciumku. Aku ... tidak bisa membalasnya. Entah kenapa hasratku sudah hilang begitu saja. Dia menghentikan gigitan kecil yang biasa dia berikan kepadaku dulu. Aku memang selalu membalasnya dengan gigitan dan tawa. Tapi, dia terkejut aku diam dan hanya menutup bibirku.“Apakah aku sudah kalah dengan adikku sendiri?” tanyanya sambil menatapku tajam. “Kau tidak seharusnya seperti itu. Dia adik iparmu!” teriaknya keras. Mas Farus membuang semua barang di hadapannya. Aku membiarkan dia melakukan itu. Satu hal yang aku sukai dengan kemarahan itu, dia sangat
Dia membuka selimutku dan membuangnya dengan amarah. Sementara, aku hanya diam menatapnya.“Maya. Kau tidak bisa seenaknya. Ingat! Kau seorang istri!” bentaknya sambil menunjukku.“Dunia, oh dunia. Lelaki dengan mudah melakukan ini. Tidak perlu aku jelaskan. Tapi, kau melarangku. Seharusnya kau bersyukur aku masih bertahan di sini,” balasku kemudian mengambil selimut dan menaiki ranjang.“Tetap saja kau tidak boleh seperti itu, Maya. Aku tidak menyukainya.” Dia masih saja melanjutkan protesnya. Tapi aku diam saja dan membalikkan tubuhku, menghadap ke arah tembok, membelakanginya. Aku merasa dia sudah menaiki ranjang dan tidur di sebelahku. Aku tetap harus terdiam dan tidak akan pernah menatapnya, walaupun sebenarnya aku sangat merindukannya. Bagaimanapun juga, dia adalah lelaki yang ada di hatiku. Walaupun dia sudah membuatku sengsara seperti ini, tapi entah kenapa hatiku selalu saja berada untuknya. Itulah mengapa aku sadar kedua wanita itu sepertinya rela untuk menjadi istri kesekia
Perasaanku kembali cemas. Jantungku berdetak kencang. Melisa akan mengatakan semuanya. Mungkin, apa yang akan dia ceritakan nanti bisa membuatku sakit hati. Sebuah kenyataan yang selama ini tidak aku ketahui. Entah apa yang Mas Farus alami hingga dia seperti ini dan terjebak dengan permainannya sendiri. Aku mulai menggerakkan jemariku yang masih bergetar. Membalas pesan itu dan menyetujui apa yang akan dia rencanakan."Kenapa kau kembali seperti itu Mbak? Kembali dengan wajah cemas. Sangat terlihat sekali. Mbak, kenapa?" tanya Febri. Mendadak dia mengerutkan kedua alisnya sambil mengamati ponselku. Aku segera memasukkannya ke dalam tas."Aku ingin ke cafe yang biasanya aku datangi bersama Melisa. Hah, aku harus berbicara dengannya," balas ku yang membuat Febri mendadak menepikan mobil dan memarkirkannya di tepi jalan. Kemudian dia menatapku sambil mengangkat kedua tangannya."Mbak kenapa harus bertemu dengannya lagi? Mbak pasti akan sakit hati. Sekarang lebih baik Mbak pergi ke kantor
"Melisa, sudah cukup. Aku tidak mau mendengar apa pun dari mulutmu itu. Aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak, kau tidak memiliki bukti. Kau bisa saja berbohong kepadaku," ucapku sambil menunjuknya. Melisa tidak terima. Dia berdiri dan menggebrak meja, membuat semua pengunjung yang datang mengamati kami."Jangan mempermalukan dirimu di depan semua orang. Melissa, jika kau mau seperti itu. Aku lebih baik pergi dan kita akan berbicara lagi setelah kau tenang," ucapku kemudian berdiri. Apalagi beberapa orang sudah menyalakan video dalam kameranya dan mengarahkan tepat ke arah kami. Ini tidak bisa aku biarkan. Aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan hal yang sangat menjijikkan seperti ini."Jika kalian masih saja mengarahkan kamera ke arahku, aku tidak segan untuk menuntut kalian, dan membuat kalian di penjara!" teriak Melisa dengan keras. Aku melihat sang manager akhirnya berjalan mendekati kami. Aku segera menarik Melisa dan memberikan pelototan tajam."Tenanglah dan be
Melisa masih saja menatapku tajam. Aku segera beranjak dari dudukku dan sebaiknya aku keluar dari sini. Sudah cukup aku mengetahui semua fakta ini. Sebuah fakta yang sangat mengejutkan. Tentu saja menyakitkan hatiku."Kalian berdua, kau dan Maria. Wanita yang sangat aku kasihani. Sampai tidak bisa memiliki seorang laki-laki selain suami orang. Tapi apa boleh dikata. Semua itu sudah terjadi. Aku akan menyadarkan suamiku, jika harta tidak akan menjamin kebahagiaan."Melisa menarik lenganku, hingga langkahku terhenti. Aku tidak memandangnya. Dia berusaha untuk mencari wajahku yang seketika terus berpaling."Suamimu tidak akan pernah bisa mengembalikan semua yang sudah aku berikan kepadanya. Hutang Budi yang harus dia lakukan adalah, hanya bersama dengan diriku."Aku tidak bisa berkata apa pun. Memang itulah yang terjadi. Tekadku masih bulat. Memenangkan semua permainan ini dengan caraku yang sangat cantik."Yah, kau memang benar Melisa. Suamiku tidak akan pernah bisa membayar semua kekay
Aku sendiri tidak mengerti. Melisa menampar suamiku dengan sangat berani seperti itu? Aku saja yang tinggal bersama Mas Farus selama ini tidak pernah melakukan hal itu. Karena aku tidak mungkin melakukannya. Sesalah apa pun dirinya, bagaimanapun juga dia adalah kepala rumah tangga di sini.Aku tetap akan meredakan dirinya. Jemariku perlahan terus menepuk-nepuk dadanya dan akhirnya membuat dia luluh. Sementara Melisa semakin menatapku dengan tajam. Kedua tangannya dikepalkan dengan sangat erat."Aku menikahimu karena aku sudah salah memilih dan melakukan semuanya. Aku sangat menyesal telah melakukan itu. Melisa, suatu saat nanti aku pasti akan mengembalikannya semua kepadamu," ucap Mas Farus dengan tegas. Hal itu membuatku sangat lega. Akhirnya dia akan tersadar dengan semua tindakan gilanya selama ini."Jangan kau pikir bisa dengan mudah mengembalikan semuanya!" balas Melisa sambil menunjukkan jembarinya tegas ke arah suamiku. "Kau tidak akan pernah bisa, karena kau miskin. Kau tidak
Aku semakin tidak percaya. Melisa benar-benar melakukan tindakan bodoh. Dengan nekat, dia mengiris pergelangan tangan kanannya dengan pisau. Darah mengucur sangat deras. Aku segera menelepon ambulan. Sementara, Mas Farus mendekap tubuh Melisa yang sudah sangat lemas.“Mas, kau memang tidak punya perasaan! Sekarang apa yang harus kita lakukan? Dia bisa mati,” ucapku dengan sangat panik. Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari kediamanku yang berada di tengah kota. Mereka kini datang dan aku segera menghampiri para petugas kesehatan itu untuk membawa Melisa.“Jika terjadi sesuatu kepada Melisa, kau akan menyesal,” ucapku sambil menunjukkan jemari ke arah Mas Farus yang masih tidak berbicara apa pun. Tentu saja dia harus merasakan hal itu, agar tidak mengulangi hal yang sama pada Maria.Aku segera menuju rumah sakit bersama Maria. Sementara, Mas Farus masuk ke dalam ambulan menemani Melisa.Sesampai di rumah sakit, suamiku berjalan mondar-mandir di depan pintu ruangan, di mana M
Dia, selalu datang saat aku membutuhkannya. Tapi, kenapa harus adik iparku? Dalam dekapannya, aku merasa sangat tenang. Dia menuntunku sampai aku masuk ke dalam mobilnya.“Mbak, tenangkan pikiranmu. Kau itu sangat lemah,” ucapnya lalu memberikan aku obat. “Kau sangat lelah. Sekarang lebih baik tinggal di rumahku saja,” lanjutnya membuatku menggelengkan kepala.“Tidak. Aku akan pulang ke rumahku saja. Aku masih memiliki seorang ibu.”“Baiklah, yang penting kau bisa menjaga dirimu. Tapi, aku akan memberimu vitamin dan sebaiknya di minum setiap hari. Semuanya sudah aku tuliskan di sana,” ucap Febri sambil menunjukkan resep obat yang sudah dia siapkan. Dia dokter yang sangat hebat. Berkali-kali mengoperasi pasien yang memiliki penyakit dalam. Mas Farus sangat beruntung memiliki seorang adik yang sangat hebat seperti dirinya.Rumah ibuku tidak jauh dari kota. Hanya dua jam saja kami sampai di sana. Febri kembali membantuku untuk berjalan. Tubuhku masih saja sangat lemah. Dari kejauhan, aku
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus