Aku semakin tidak percaya. Melisa benar-benar melakukan tindakan bodoh. Dengan nekat, dia mengiris pergelangan tangan kanannya dengan pisau. Darah mengucur sangat deras. Aku segera menelepon ambulan. Sementara, Mas Farus mendekap tubuh Melisa yang sudah sangat lemas.“Mas, kau memang tidak punya perasaan! Sekarang apa yang harus kita lakukan? Dia bisa mati,” ucapku dengan sangat panik. Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari kediamanku yang berada di tengah kota. Mereka kini datang dan aku segera menghampiri para petugas kesehatan itu untuk membawa Melisa.“Jika terjadi sesuatu kepada Melisa, kau akan menyesal,” ucapku sambil menunjukkan jemari ke arah Mas Farus yang masih tidak berbicara apa pun. Tentu saja dia harus merasakan hal itu, agar tidak mengulangi hal yang sama pada Maria.Aku segera menuju rumah sakit bersama Maria. Sementara, Mas Farus masuk ke dalam ambulan menemani Melisa.Sesampai di rumah sakit, suamiku berjalan mondar-mandir di depan pintu ruangan, di mana M
Dia, selalu datang saat aku membutuhkannya. Tapi, kenapa harus adik iparku? Dalam dekapannya, aku merasa sangat tenang. Dia menuntunku sampai aku masuk ke dalam mobilnya.“Mbak, tenangkan pikiranmu. Kau itu sangat lemah,” ucapnya lalu memberikan aku obat. “Kau sangat lelah. Sekarang lebih baik tinggal di rumahku saja,” lanjutnya membuatku menggelengkan kepala.“Tidak. Aku akan pulang ke rumahku saja. Aku masih memiliki seorang ibu.”“Baiklah, yang penting kau bisa menjaga dirimu. Tapi, aku akan memberimu vitamin dan sebaiknya di minum setiap hari. Semuanya sudah aku tuliskan di sana,” ucap Febri sambil menunjukkan resep obat yang sudah dia siapkan. Dia dokter yang sangat hebat. Berkali-kali mengoperasi pasien yang memiliki penyakit dalam. Mas Farus sangat beruntung memiliki seorang adik yang sangat hebat seperti dirinya.Rumah ibuku tidak jauh dari kota. Hanya dua jam saja kami sampai di sana. Febri kembali membantuku untuk berjalan. Tubuhku masih saja sangat lemah. Dari kejauhan, aku
"Melawan?"Ema terkejut, sambil mengangkat kedua tangannya yang masih memegang dokumen tuntutan Mas Farus. Dia mendekatiku yang kini membaca semua dokumen itu dengan sangat teliti."Melawan bagaimana?" tanyanya sekali lagi. "Hei, dia memang menikahi kedua wanita itu. Tapi, kau tidak memiliki bukti kuat untuk membuktikan dia bersalah. Sementara kau, sudah jelas ada foto dirimu dengan Febri, adik iparmu. Kalian berpelukan dan berciuman. Bisa-bisa ... kau yang akan terkena tuduhan perselingkuhan."Aku hanya tertawa kecil melihat kemarahan Ema. Dia malah menggelengkan kepala tak percaya sambil bersedekap. Lalu, duduk tepat di sebelahku dengan salah satu alis terangkat."Aku memang mengakui kau adalah pengacara hebat. Tapi, kali ini kau akan kesulitan melawan dia, Maya," lanjutnya dengan nada pelan. Kedua matanya masih saja menatapku sangat serius."Untuk seorang anak, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi bersama mereka. Aku tidak akan pernah membiarkan kembar bersama dua ibu yang sangat g
"Ema!"Masih saja aku berlari sambil berteriak memanggil namanya. Tak peduli semua guru melihatku dan membuat sedikit keributan. Hingga ponselku berdering dan aku memeriksanya. Ema memberi pesan anakku sudah bersamanya di mobil. Aku menghela napas panjang. Tanpa berpikir lagi, aku segera menuju ke sana."Ema, maafkan Ibu."Aku segera memeluknya. Dia menangis sangat histeris. Aku semakin merekatkan pelukanku. Sementara sahabatku Ema masih saja menatap kami dengan sangat cemas.Aku benar-benar Ibu tidak berguna. Tidak bisa melindungi anakku dari kejadian yang sangat memalukan ini. Setelah selang beberapa menit Ema menghentikan tangisan itu, kemudian aku melerai pelukanku. Menatap wajahnya dan mengusap air mata itu yang membasahi wajahnya."Ibu berjanji akan segera menyelesaikan ini semua dan membuat kalian bahagia.""Ibu akan bercerai dengan ayah dan membiarkan kedua wanita itu memilikinya?" pertanyaan Ema yang membuat aku terkejut."Ema, tidak ada yang bisa Ibu pertahankan lagi. Ibu ha
Aku semakin tak percaya. Mas Farus benar-benar keterlaluan. Semua salahku? Dia memutar balikkan fakta dan menyerangku."Mas, kirim saja surat perceraian itu. Aku tidak akan menunda untuk menandatanganinya. Tapi, jangan harap anakku berada dalam asuhanmu!" ucapku tegas sambil menunjuknya. Aku menarik Ema, dan dia menahannya."Kau tak berhak mengasuhnya. Lihatlah. Kau sibuk berpacaran dengan Febri dan membiarkan dia merokok. Tidak akan aku biarkan!""Omong kosong!"Ema mendorongku keras. Dia menatapku tajam. Ada rasa kecewa di wajahnya. Parahnya, Mas Farus menunjukkan foto itu. Keparat!"Mas, jangan lakukan ini. Kau ... tidak berhak memfitnahku," ucapku pelan dengan mata tajam ke arahnya."Ayah, bawa aku pergi. Tidak aku sangka. Ibu akan seperti itu!" teriak Ema sambil mendorongku, lalu masuk ke dalam mobil Mas Farus. Kedua wanita itu menatapku dengan sinis. Melisa berlari mendekati Ema. Sementara, Maria menarik Mas Farus yang masih menatapku tajam."Ema!" teriakku dengan histeris. Aku
Aku segera membersihkan diriku. Bergantian dengan Ema. Ibu sangat bingung. Namun, dia tidak bertanya apa pun. Sementara, Ana hanya menatap kami sambil menghabiskan sarapannya. Aku mengizinkan dia tidak bersekolah hari ini."Habiskan dulu sarapannya. Tidak baik kalau pergi tanpa sarapan." Ibu menyodorkan piring yang sudah berisi nasi goreng kepadaku. Ternyata Ema sudah mendahuluiku. Dengan lahap dia menghabiskan nasi goreng lezat buatan ibuku."Bagaimana? Apa kau sudah menghubungi Komnas Perlindungan Anak?" tanyaku dengan sangat serius. Ema yang masih saja menelan semua makanan di mulutnya, menjawabku sambil menganggukkan kepala dan membuat hatiku tenang."Ibu tidak akan menanyakan apa pun. Tapi yang jelas, lakukan dengan baik dan jangan kalah. Kau harus mempertahankan kedua anakmu walaupun kalian bercerai. Paling tidak kau mendapatkan hak asuh kembar."Aku menganggukkan kepala, kemudian segera mendekati Ana dan mencium keningnya. Lalu memberikan pesan, "Jaga Nenek dengan baik. Kau tid
Febri semakin menatapku tajam. Dia tidak mengerti dengan keinginanku. Dia mendekat, menarik kursi di sebelah ranjang Ema. Lalu mendudukinya."Bantuan apa, Mbak?" tanyanya menatap serius."Aku ingin mengalahkan suamiku. Atas hak asuh, dan semua hak milik kekayaan. Aku melakukan ini karena aku ingin memberikan semua kepada anak-anakku. Aku tahu kau adik kandungnya. Sebagai adik kandung, kau pasti tidak akan mau menjerumuskan kakakmu. Hanya saja ...," ucapku terhenti. Aku hanya ingin dia membantuku untuk mencari semua informasi tentang kekayaan suamiku yang aku tidak ketahui. Aku yakin dia pasti menyembunyikan sesuatu."Mbak, kenapa berhenti?" tanya Febri semakin mengkerutkan kedua alisnya."Begini Febri. Aku kan tidak tahu bagaimana kondisi Mas Farus di belakangku. Selama ini dia memang memberiku uang. Tapi aku merasa dia menyembunyikan sesuatu di belakangku. Aku hanya ingin kau membantuku untuk mencari tahu itu," lanjutku kemudian menarik kursi dan duduk tepat di sebelahnya. Jarak kami
Aku mendekati Melisa yang masih menatapku tegang. Dia masih tidak percaya aku memergokinya saat dia menelepon seseorang mengatakan hal yang tidak pernah aku duga. Anak itu ternyata bukan anaknya Mas Farus? Lalu siapa yang sudah menghamili Melisa? Bukankah dia selama ini sudah bersama dengan suamiku? Tapi kenapa dia bersama dengan lelaki lain? Ini benar-benar tidak masuk akal."Kau bersama suamiku. Untuk apa aku bersama orang lain? Tidak perlu mengelak apa yang sudah aku dengar. Sekarang mengaku saja. Jika aku mengatakan ini kepada suamiku, maka kau benar-benar akan diceraikannya. Aku tak percaya kau pengkhianat suamiku dan sahabatmu sendiri. Kau memang benar-benar sangat munafik."Melisa semakin mendekatiku. Dia menatapku saja. Hatinya memang tidak karuan. Apalagi, Farus pergi bersama Mariia, dan memang lebih memilih wanita itu. Aku tahu, dan sangat paham dengan suamiku saat ini. Dia hanya ingin semua terlihat hebat dalam dirinya. Hanya saja, aku tidak tega melihat Melisa sebenarnya m
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus