Sebulan setelah pertemuan itu aku tak lagi dihubungi atau bertemu dengan keluarga itu lagi. Aku bisa bernapas lega dan melanjutkan hidup tanpa harus memusingkan tentang mantan suami dan keluarganya, lagi pula, sekarang pasti mereka amat sibuk dengan bayi mereka yang kurasa sudah lahir ke dunia.**Meski telah membeli sebuah rumah di tempat yang baik dari rumah orang tuaku, tapi aku lebih betah tinggal bersama kedua orang tua, selain karena jarak sekolah Raisa lebih dekat, aku juga sekaligus bisa merawat kedua orang tuaku yang mulai sepuh itu dan entah mengapa mereka juga tak mau diboyong pindah kemana-mana. Katanya, ingin menghabiskan hari tua di rumah sederhana yang penuh kenangan ini."Bu, Jannah, ada pertemuan dengan akuntan jasa keuangan dan asuransi siang nanti, boleh tidak jika Jannah titip rayyan, sedangkan Raisa nanti aka dijemput salah satu pekerja di toko Jannah," ucapku pada ibu ketika kami menikmati sarapan pagi."Iya tentu saja, Nduk, boleh, tapi jangan lama khawatir R
Lama tak kudengar kabar tentang mereka, hingga kudengar-dengar bahwa kini hubungan rumah tangga mereka renggang, seseorang tetangga yang cukup dekat padaku dulu di komplek rumah Mas Rafiq kini dia menjadi pelanggan tetap toko, ia kerap bercerita bahwa Mbok Inah sering merindukan dan menceritakan perbedaan rumah itu sebelum dan setelah kepergianku.Apa yang terjadi pada Mas Rafiq, Mama mertua dan istrinya, semuanya dia tahu dengan detail apa yang terjadi di dalam sana."Eh, Mbak Jannah, tahu gak kabar terbaru dari rumah itu," tetanggaku yang menempati bertandang ke toko untuk membeli sebuah tunik untuk untuk menghadiri acara arisan."Nggak tahu Mbak, saya rasa saya tak perlu tahu lagi." Aku tersenyum sambil menatapnya sambil tersenyum.tetangga yang cantik hanya sedikit hiburan terhadap yang gosip itu terlihat menarik sudut bibirnya tersenyum getir, ia mendelik sambil berkata,"Wah rugi kalo gak tahu," serunya."Kenapa?" tanyaku santai."Sebuah peperangan besar terjadi, pertengkaran
*Seperti biasa kami berkumpul di meja makan sekeluarga untuk menikmati hidangan makan malam, bercengkerama dengan bahagia, orang tuaku terlihat bahagia dengan kelakuan dan celoteh cucunya yang banyak bercerita tentang kegiatan mereka."Ibu selalu ingin kalian tampak bahagia, Nduk.""Jannah, bahagia Bu, Jannah akan akan tetap bahagia.""Semoga suatu hari kamu menemukan seseorang yang bisa benar-benar membuatmu tersenyum gembira, Nak tidak ada lagi kesuraman seperti kemarin kemarin."Ibu menatapku dengan penuh kasih.Bapak terlihat menyentuh tangan Ibu memberinya isyarat agar ibu tidak berbicara seperti itu lagi mungkin dia takut menyakiti perasaanku."Iya, mudah-mudahan suatu hari semuanya berubah.""Ibu berharap sekali kamu tidak hidup sendirian, Jannah,,"Imbuhnya."Namun sekarang karena belum siap untuk berumah tangga karena menimbang kejadian itu masih membuat luka yang menganga di hati Jannah," ucapku lirih."Semoga luka yang pernah ada, tidak membuatmu trauma berkepanjangan.""
Aku kembali kerumah mengemudikan mobilku pukul 4 sore hari ini setelah begitu banyak pekerjaan dan urusan yang aku selesaikan mood bekerjaku sedikit terganggu istri mas Rafiq yang datang mengganggu kegiatanku ke toko.Ketika membelokkan mobil di perempatan, tiba-tiba aku berpapasan dengan mobil Mas Rafiq yang berasal dari arah berlawanan, sesaat kami saling menatap kemudian aku membuang pandanganku ke arah yang berbeda.Bukannya apa, aku tidak ingin berlarut-larut terbawa perasaan dan merutuki diri sendiri mengapa takdir selalu mempertemukan kami untuk berjumpa dan berjumpa lagi.Mobil lampu lalu lintas berwarna hijau dan semua mobil yang menunggu untuk melanjutkan kembali perjalanan kembali meluncur dan mobil kami berpencar.ku kemudikan mobil menuju arah lurus ke depan lalu berhenti tepat di depan toko buah untuk membeli buah-buahan untuk Rayan dan Raisa.Seusai membeli buah aku mampir ke kedai es krim membelikan 2 cone es krim coklat dan vanila kesukaan anakku dan kembali menuju mo
"Eh tahu gak, mantan suami Mbak jannah, sedang dalam masalah ia harus menghadapi tuduhan Malpraktik." kali ini Jeng Mimi yang kerap berlangganan dan saling berbalas pesan denganku datang pagi-pagi ke butik."Tahu dari mana Mbak, kok kayaknya Mbak dapat berita terus tentang mereka?" Aku tersenyum tipis."Tentu saja, rumahku dan rumah Rafiq kan' depan-depanan." Ia balas tersenyum bangga."Terus yang kasih kabar?""Seperti biasa asisten bagian pencucian pakaian," jawabnya."Masak asisten mulutnya gitu banget?" Aku tertawa pahit."Ya aku kan sering kasih dia uang Jeng," ujarnya jadi aku tahu berita terbaru di komplek kita."Sudah dipastikan bahwa Mas Rafiq melakukan malpraktek?""kayaknya sih iya, dia kan dokter, seharusnya jiwa kemanusiaan dia tinggi, dia harus disiplin dan lebih mementingkan keselamatan nyawa orang lain daripada mengurusi urusan sendiri, tapi, ini kok dokter cuek-cuek banget sih dengan kerjaannya, beberapa hari nggak masuk kerja kayaknya dia dapat surat peringatan
Aku masih mendengar teriakan dan pekik kesakitan Mas Rafiq dari kejauhan. Kucoba untuk mendekat ditengarai rasa prihatin pada mantan suamiku itu, tidak lebih."Jannah ... Ah, kau Jannah, kau tinggalkan aku ...." Ia meracau kacaSedang orang-orang mulai membicarakan tentangnya."Kayaknya itu orang stress, ya," ujar seorang ibu."Mungkin baru ditinggal pacarnya," timpal yang lain."Jannah ... Oh ... Tolong ...." Ia meringis tapi tatapannya kosong."Kayaknya lagi mabuk, deh," ujar seorang bapak berkemeja hijau."Betul, tadi saya bantu ada bau-bau alkohol dari tubuhnya," imbuh Bapak yang lain."Duh, kasihan sekaligus miris juga, kayaknya ini bukan orang sembarangan, lho, orangnya tampan dan mobilnya bagus, pasti anak orang kaya." Suara-suara dari kerumunan orang makin riuh membuatku merasa tak nyaman lagi untuk tetap berada di sini. Mas Rafiq dipindahkan ke ambulance dan tak lama kemudian kendaraan dengan sirine itu melaju membawanya pergi untuk mendapat pertolongan."Ya Allah, seburuk-
"Apa? Dia ingin mati?"Aku terbelalak mendengarnya."Iya, dia putus asa dan posisiku jadi percuma saja di sampingnya.""Katakan padanya untuk tidak bersikap kekanak-kanakan," kataku."Jannah, ini serius ... Mas Rafiq udah depresi, dia tidak mau ambil pusing denga karir dan hidupnya lagi.""Jika dia sendiri tidak mau memikirkan dan memusingkan hidupnya,!Mengapa harus aku?""Dia masih mencintaimu, Jannah.""Kemarin-kemarin dia meninggalkanku karena dia masih mencintaimu, Angel," balasku."Tapi sekarang semuanya sudah berbeda, please, aku mohon agar kau mau menemuinya."Aku dan ibu saling memandang untuk beberapa saat, hingga tiba-tiba suara Bapak memecah suasana."Pergilah Jannah, kau memang mantan istrinya, meski dia telah menyakitimu, tapi sebaik-baik manusia adalah manusia yang memaafkan orang lain dan memiliki kelapangan dada serta keikhlasan. Temuilah dia dan beri dia pengertian."Aku tidak ingin beradu argumen dengan Bapak jika beliau ingin aku pergi maka meski berat hati aku
Empat hari setelah pertemuan dengan dokter Rafiq aku mendengar kabar jika kini dirinya sudah di keluarkan dari rumah sakit, aku agak lega karena pada akhirnya mantan suamiku itu mau berjuang untuk pulih dan menguatkan dirinya.Sebenarnya yang membuat ia sakit bukanlah daya tahan tubuhnya, tapi mentalnya yang labil yang membuatnya lemas dan terlihat 'gila'.Tapi, ada kabar lain yang kali ini membuatku harus tersenyum kecut karena ia telah mengundurkan diri dari profesinya. Mungkin sikap cerobohnya tempo hari membuat dirinya malu sendiri sehingga mau tak mau harus melayangkan surat pengunduran diri.Lagi pula stigma orang yang menilai bahwa seorang yang telah menderita depresi akan sulit untuk merawat orang lain, selain dikhawatirkan akan memberi diagnosa dan obat yang 'ngawur keberadaannya di rumah sakit di antara dokter-dokter profesional yang lain mungkin dinilai akan memalukan.Tring ....Baru saja aku memikirkannya tiba-tiba ia meneleponku. "Halo, Mas, assalamualaikum," sapaku."W