Aku masih mendengar teriakan dan pekik kesakitan Mas Rafiq dari kejauhan. Kucoba untuk mendekat ditengarai rasa prihatin pada mantan suamiku itu, tidak lebih."Jannah ... Ah, kau Jannah, kau tinggalkan aku ...." Ia meracau kacaSedang orang-orang mulai membicarakan tentangnya."Kayaknya itu orang stress, ya," ujar seorang ibu."Mungkin baru ditinggal pacarnya," timpal yang lain."Jannah ... Oh ... Tolong ...." Ia meringis tapi tatapannya kosong."Kayaknya lagi mabuk, deh," ujar seorang bapak berkemeja hijau."Betul, tadi saya bantu ada bau-bau alkohol dari tubuhnya," imbuh Bapak yang lain."Duh, kasihan sekaligus miris juga, kayaknya ini bukan orang sembarangan, lho, orangnya tampan dan mobilnya bagus, pasti anak orang kaya." Suara-suara dari kerumunan orang makin riuh membuatku merasa tak nyaman lagi untuk tetap berada di sini. Mas Rafiq dipindahkan ke ambulance dan tak lama kemudian kendaraan dengan sirine itu melaju membawanya pergi untuk mendapat pertolongan."Ya Allah, seburuk-
"Apa? Dia ingin mati?"Aku terbelalak mendengarnya."Iya, dia putus asa dan posisiku jadi percuma saja di sampingnya.""Katakan padanya untuk tidak bersikap kekanak-kanakan," kataku."Jannah, ini serius ... Mas Rafiq udah depresi, dia tidak mau ambil pusing denga karir dan hidupnya lagi.""Jika dia sendiri tidak mau memikirkan dan memusingkan hidupnya,!Mengapa harus aku?""Dia masih mencintaimu, Jannah.""Kemarin-kemarin dia meninggalkanku karena dia masih mencintaimu, Angel," balasku."Tapi sekarang semuanya sudah berbeda, please, aku mohon agar kau mau menemuinya."Aku dan ibu saling memandang untuk beberapa saat, hingga tiba-tiba suara Bapak memecah suasana."Pergilah Jannah, kau memang mantan istrinya, meski dia telah menyakitimu, tapi sebaik-baik manusia adalah manusia yang memaafkan orang lain dan memiliki kelapangan dada serta keikhlasan. Temuilah dia dan beri dia pengertian."Aku tidak ingin beradu argumen dengan Bapak jika beliau ingin aku pergi maka meski berat hati aku
Empat hari setelah pertemuan dengan dokter Rafiq aku mendengar kabar jika kini dirinya sudah di keluarkan dari rumah sakit, aku agak lega karena pada akhirnya mantan suamiku itu mau berjuang untuk pulih dan menguatkan dirinya.Sebenarnya yang membuat ia sakit bukanlah daya tahan tubuhnya, tapi mentalnya yang labil yang membuatnya lemas dan terlihat 'gila'.Tapi, ada kabar lain yang kali ini membuatku harus tersenyum kecut karena ia telah mengundurkan diri dari profesinya. Mungkin sikap cerobohnya tempo hari membuat dirinya malu sendiri sehingga mau tak mau harus melayangkan surat pengunduran diri.Lagi pula stigma orang yang menilai bahwa seorang yang telah menderita depresi akan sulit untuk merawat orang lain, selain dikhawatirkan akan memberi diagnosa dan obat yang 'ngawur keberadaannya di rumah sakit di antara dokter-dokter profesional yang lain mungkin dinilai akan memalukan.Tring ....Baru saja aku memikirkannya tiba-tiba ia meneleponku. "Halo, Mas, assalamualaikum," sapaku."W
Minggu sore, setelah hujan selama empat jam mengguyur kota, aroma petrikor menguar di bawa angin membawa sejuta kenangan serta kesyahduan tersendiri di dalam kalbuku.Kuraba jendela kaca toko yang terasa dingin, jalanan mulai ramai lagi oleh motor yang berlalu lalang, sisa sisa daun yang rontok oleh guyuran hujan mengambang di genangan di depan tokoku seolah membawa suasana bahwa ini seperti musim musim gugur di luar sana. Ah, konyol tidak penting, aku kembali beralih ke belakang meja.Lima menit berikutnya bel pintu berdenting dan seorang pria masuk, ia mengucap salam sambil menginginkan senyum penuh hormat dan santun."Selamat sore, betul ini Mbak Jannah?""Iya, saya," jawabku."Mbak saya dari pihak Bank BNI, saya ingin memproses pengajuan kartu kredit dan investasi Mbak di Bank kami, jadi, untuk memberikan terbaik, saya datang sendiri ke tempat Mbak Jannah, untuk meminta data administrasi dari Mbak Jannah ya," ucapnya pelan."Oh, baik kalo begitu, silakan duduk, Pak.""Nama sa
Sesaat kami saling tertegun dan terdiam untuk beberapa detik, kulihat bibir Soraya bergetar, aku pun bimbang ingin menyapa dan terlihat bahwa kami saling mengenal. Bahkan sangat saling mengenal."Soraya disalami Jeng Jannah, dia sahabat Ibu lho," kata wanita itu sambil menyodorkan calon menantunya kepadaku.Kami Saling bersalaman dan saling tersenyum lalu melepaskan genggaman tangan kami sambil terus saling melirik dan memberi kode apa yang harus kami lakukan."Eh kok cuma salaman aja sih?""Nggak apa-apa Nyonya Zahrina, calon menantunya masih malu," potongku sambil melirik Soraya.Ajaib sekali karena aku bisa bertemu lagi dengannya, posisinya kali ini dia telah menjadi tunangan orang lain tentu aku sangat senang, Aku senang untuk kebahagiaan yang akan dia dapatkan."Aku merasa seolah ada chemistry diantara kalian," cetus IbundaWira perdana.Soraya seketika mendongak terkejut sambil membulatkan matanya, ia melirik kepadaku dan menatap dengan risih, ia menarik sudut bibir dengan lirik
"Kenapa kamu bersikeras buat mengantarku?"Tanyaku pada pemuda yang terus tersenyum-senyum sendiri sambil mengemudikan mobilku."Aku ingin saja.""Imbasnya, tunanganmu bisa marah," ujarku kesal."Biarlah," jawabnya singkat."Lho kenapa?" "Karena aku ingin dia bosan dan kesal, lalu pergi meninggalkanku," jawab pemuda itu."Ngawur kamu, kalo memang gak suka kenapa tunangan?""Orang tua kami sepupuan, jadi kami dijodohkan," jawabnya."Kalau kau tidak suka, kenapa setuju dijodohkan?" Ulangku lagi."Entahlah, aku hanya iseng saja mengisi kekosongan dan kegabutan," jawabnya cuek.Aku hanya membuang tatapan ke luar jendela, sambil menghela napas pelan, "Tapi wanita itu sungguh berharap ia akan bersamamu, Wira ...""Kalo aku tak ingin bersamanya? Apa mau dipaksakan?" "Kalo begitu tegaskan bahwa kau menolaknya agar dia tidak mengharapkan hubungan serius darimu." "Biarkan dia menyadari sendiri." Pemuda itu terus melanjutkan mengendarai mobil.Mobil meluncur membelah keramaian kota, sesampa
"Kalian ada di sini juga?"Wanita itu memulai percakapan di antara pertemuan canggung kami."Iya, aku ada kerjaan di sini," jawabku."Dan kamu juga Wira?" kali ini wanita itu menatap seksama kepada tunangannya."Terus aku ngapain di sini ... Ya kerja dong, masak jual cilok," Jawa Wira melengos."Kita bisa bicara sebentar?" tanya Soraya kepada pemuda tampan bertinggi tubuh sekitar 167 cm itu."Silakan bicara di sini saja jika itu bukan hal yang pribadi karena aku harus berburu mengantar mbak Jannah menandatangani akademik investasi."Wanita itu terlihat meremas jemari dan menggigit bibir seperti biasa jika dia bingung."Kalau gitu aku tunggu pekerjaan kalian selesai saja," ujarnya sambil memundurkan diri."Kamu itu ngapain di sini?" selidik Wira."Eng ... Anu ... Enggak ngapa-ngapain ....""Terus di bank ini urusannya apa?"Kali ini dia semakin gelagapan dan tidak tahu harus menjawab apa, hanya terus memutar bola mata dengan ekspresi panik."Kupikir tadinya aku ingin ....""Menabung?"
Beberapa hari berlalu setelah kejadian bertengkar dengan Soraya,[Kelihatannya kamu memang berinvestasi di waktu yang tepat, Mbak, buktinya, keuntungan perusahaan yang Mbak berikan suntikan dana mereka menanjak dan imbasnya akan bagus bagi para investor. ][Oh, Alhamdulillah kalo begitu Wira, aku sangat senang sekali, terima kasih juga buat kamu yang selalu memberikan update berita terbaru, jadi, aku yang tadinya awam masalah investasi, jadi mengerti ] balasku.[Itu memang kewajiban saya untuk mengedukasi para investor dan para pengusaha pemula agar dana mereka aman dan menguntungkan ][Aku kagum, karena kamu bukan hanya mengedepankan bisnis tapi juga profesional dalam memberikan ilmu dan pengalaman ][Wah, terima kasih, pujiannya Mbak. Btw, ada restoran China yang lezat lho, dekat toko Mbak, gimana kalo kita coba aja. ]Tuh, kan, modus lagi!Sikap baiknya dia gunakan untuk mengajakku makan siang, tapi apakah aku harus setuju pergi dengannya? Aku khawatir Soraya akan salah paham dan m