Hari demi hari berlalu kehidupanku berjalan normal dan lancar, bisnis juga berjalan lancar, hubunganku dengan banyak teman dan relasi dalam bisnis juga tidak pernah terganggu.Begitupun hubungan dengan keluarga mantan suami, mantan mertua dan orang-orang yang berada di sekitarku semuanya baik-baik saja.selain dari sikap dan gerakan seorang Wira yang selalu berusaha menjadi sosok teman yang perhatian dan selalu ada disaat aku sendirian.Aku tidak bisa menolak kebaikan atau niat baiknya untuk menjadi seorang teman. namun cukup sampai disitu saja aku tidak ingin membuat hubungan kami naik ke level yang lebih dekat dari itu."Mbak Jannah kau senang berteman denganku?" Banyaknya suatu hari ketika ia hendak mengantarku pulang. bulan hari itu aku berpapasan dengannya di depan pertokoan sehingga ia menawarkan diri untuk mengantarkanku kembali ke rumah, Aku pun tidak menolak karena saat itu cuaca sedang hujan dan dingin sementara Wira terus memaksa agar aku naik ke atas mobilnya."Iya aku se
Bukankah, di undangan pernikahan Soraya tertulis Selasa tanggal 13 Agustus, jam sepuluh pagi. Dan hari itu adalah hari ini, tapi mengapa Wira malah ada di depan tokoku dan yang lebih mengejutkan dia masih mengenakan pakaian pengantin khas Jawa berwarna hitam dengan kain batik sebagai bawahan. Roncean bunga melati masih menghiasi lehernya, semua yang dia pakai masih lengkap, tapi apa yang dia lakukan di sini?Kulangkahkan kaki lebih cepat, sementara dadaku berdegup kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan."Wira ... Kamu ngapain di sini?""Tidak ada." Ia mengendikkan bahunya."Serius kamu, bukannya ini hari pernikahanmu, kan?""Kok Mbak Jannah, kelihatan khawatir gitu?""Kamu pergi ya, kamu kan harus menikah, ngapain kamu di sini?""Aku tidak mau menikah, jadi aku kabur," jawabnya santai sambil menyender di dinding depan sebelah pintu masuk tokoku."Ngapain datang kesini nanti orang akan berfikir kalo aku yang nyuruh kamu kabur dari pernikahanmu.""Karena tujuanku di
Diantara semua kekacauan itu, yang paling shock tentu saja adalah matan maduku, wajahnya merah padam menahan emosi, berikut juga kedua orang tuanya."Pak Hediyanto, bagaimana ini, apa solusi atas masalah anakmu?""Tenang mari kita bicarakan dulu," ajak Pak Hedi sambil mengarahkan Ayah Soraya ke dalam sana."Tidak usah Abi, aku sudah tak bisa terima semua ini!" teriak Soraya meradang."Dengar Nak Soraya, mungkin Wira terkena sindrom kebingungan menjelang pernikahan, itu wajar karena pernikahan adalah tanggung jawab besar," bujuk ibunda Wira."Dengar, para hafirin saya hanya klien Wira yang berinvestasi di bank tempat dia bekerja, saya tidak punya hubungan lebih dari itu, karenanya saya mohon izin pamit dulu ya," kataku sambil menangkupkan kedua belah tangan lalu membalikkan badan dan melangkah pergi."Gak bisa, aku ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi di antara kita, Mbak," ucapnya sambil mencekal pergelangan tanganku."Apa yang terjadi?!" Aku menepis genggamannya sementara o
"Lepaskan dia! aku akan membawanya pergi," perintah mas rafi kepada pemuda yang ketampanannya hampir menyamai dirinya."kau yang harus melepaskannya karena kamu tidak punya hubungan sedikitpun dengan mbak Jannah," jawab Wira."Oh, mengejutkan sekali keberanianmu!""Apa karena umurku mudah kau merasa harus meremehkanku? Atau bagaimana kalau kita bertarung saja untuk memenangkan wanita yang kita cintai," tantangnya kepada mantan suamiku.Situasi mendadak menjadi benar-benar riuh, Ustadz Hamid pingsan di sebelah sana sedang anak dan istrinya panik dan berusaha membangunkannya, orang-orang berusaha mencari bantuan dan memanggil ambulans, sedang di sisi lain aku, Wira dan Mas Raffi kami sedang beradu argumen."Lepaskan tanganku, kalian berdua bahkan tidak berhak sedikitpun atas diriku!" Teriakku menyentak tangan kedua pria itu."Aku akan pergi dari tempat ini, dan jangan harap aku mau menemuimu lagi Wira," ucapku dengan marah."Tidak bisa aku akan ikut denganmu bagaimanapun caranya!' Pemu
"Assalamualaikum," ucapku pelan."Waalaikumsalam," jawab Bapak."Pak, Ada apa mereka di sini?""Oh, duduklah kemari, Nak, kebetulan kamu pulang, mungkin ini adalah isyarat dari Tuhan agar aku merestui hubungan kalian.""Apa maksud Bapak aku tidak mengerti sama sekali," jawabku heran, namun aku curiga pada Wira dan keluarga."Nak Wira sudah memberitahu secara detail hubungan dan apa yang terjadi diantara kamu dengannya, niatnya baik datang ke rumah ini untuk memintamu ....""Memintaku menjadi istri?" Tanyaku mulai gelisah."Iya benar, Wira telah menyatakan niat baiknya, dan sebaiknya hubungan kalian segera dihalalkan." "Emangnya dia ngomong apa Pak, mungkin dia boh ....""Aku tidak berdusta Pak, aku tahu batasan sehingga aku harus segera bertanggung jawab pada hati dan agamaku," timpalnya memotong ucapanku."Wira! Jangan lancang kamu!""Jannah, jangan membentak tamu," ujar Bapak sambil memberi isyarat agar aku tenang."Bapak dan Ibu sudah menyetujui permintaan mereka, Bapak dan Ibu me
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan