"Huhuhu... kamu tega banget sama aku. Kamu selingkuh dibelakang aku..." Ucap Inara air matanya mengalir membasahi kemeja yang dipakai Abimana. Saat itu ia dalam dekapan Abimana. Ia terus memukul dada bidang didepannya.
Abimana tersenyum, ia tertawa dalam hati melihat sang kekasih salah paham dengan apa yang ia lihat. Sungguh ia sama sekali tidak berkhianat dari Inara, karena hanya Inara sang pemilik hatinya. Tapi, bagaimana bisa perempuan itu berpikir ia mengkhianatinya?
"Kamu tau gak__"
"Gak tau!" Belum sempat Abi menyelesaikan kalimat yang akan ia keluarkan Inara malah memotongnya. Abi menghela napas pelan.
"Ay, aku belom selesai ngomong loo. kamu itu salah paham. Tadi itu aku cuma nolongin Mila. Kalo aku gak nolongin dia, dia bakalan ketabrak mobil."Jelasnya.
"Tapi tadi kamu lama banget peluk dia, aku gak suka itu. Kamu beneran gak selingkuh 'kan dibelakang aku?" Tanyanya, kali ini ia mendongak melihat wajah sang kekasih
Abi tergelak sungguh lucu sekali kekasihnya ini, menuduhnya tanpa alasan yang kuat. Oh, ternyata kekasihnya ini sangat takut kehilangannya, muehehehe ia terkekeh dalam hati.
"Enggak ayang... Kamu ni loo suka banget ngambil kesimpulan sendiri. Seharusnya apa-apa yang bikin kamu resah tanyain ke aku. Minta penjelasan dari aku, jangan kayak gini tiba-tiba minta berhenti terus minta penjelasan ditempat yang gak layak kayak gini." Ucapnya, mengingat jika dua ratus meter kedepan ada kawasan pemakaman. Ia bergidik ngeri, ditambah dengan suasana sunyi ini sungguh sangat mencekam.
"Tapi aku masih marah sama kamu!" Cetus Inara.
"Ya udah deh, marah aja... tapi jangan lama- lama. Kamu gak kasihan sama aku?" Ucap Abi, dengan wajah yang dibuat memelas.
Inara mendengkus, bibirnya manyun tiga senti. Sungguh ia masih kesal dengan Abi. sudah banyak ia mengeluarkan air mata, baru Abi menjelaskan kepadanya. Buang-buang air mata saja, pikirnya. Eh, Bukannya tadi yang meminta penjelasan itu dirinya sendiri? Inara menggaruk kepalanya pelan.
Inara memang sangat takut kehilangan Abi. Hubungan yang mereka jalani baru berumur sembilan bulan sembilan hari, mampu menumbuhkan cinta yang sangat besar bagi keduanya. Abi yang mencintai Inara apa adanya, dan bukan karena ada apanya. Begitu pula sebaliknya. Mereka tulus saling mencintai dan menyayangi. Pertemuan awal mereka memang kurang baik, tapi semakin mengenal satu sama lain membuat mereka saling terikat. Ditambah dengan nasib keduanya yang hampir sama.
Keduanya masih terdiam, Inara masih dengan posisinya, melipat tanganya diantara perut dan dadanya dengan membelakangi Abi.
"Ay... kamu dengar sesuatu gak?" Tanya Abi, kali ini wajahnya gusar ada gurat ketakutan yang tercetak di wajahnya.
"Suara kayak gimana Ay?" Inara langsung membalikkan badannya, menaikan salah satu alisnya.
Abi mendekat dan berbisik.
"Kayak suara bayi." Jawab Abi.
"Ish... Kamu jangan ngomomg kayak gitu dong aku takut nih." Ia meremas lengan Abi dengan kedua tangannya. Sungguh segala hal yang berbau mistis ia sangat takut itu.
"Coba deh kamu dengerin baik-baik!"
Mereka berdua diam, mencoba menajamkan telinga mereka. Sunyi memang, tapi ada satu suara yang membuat bulu kuduk mereka berdirian. Kulit mereka meremang, sapuan angin sepoi-sepoi membuat mereka semakin merinding.
"I..iya kak, itu suara bayi. Aku takuuut jangan-jangan itu hantu beranak dalam kubur." Ceplos Inara.
"Syuut gak ada yang kayak gitu..." Walaupun Abimana ketakutan tapi ia harus tampak bagai pahlawan didepan Inara. Bisa jatuh harga dirinya sebagai lelaki jika ia ikut ketakutan.
"Ayo Ay, kita pulang aja yuk aku takuuut" Tangannya makin erat meremas lengan Abi. Kakinya bergetar.
"Sebentar dulu, aku takut yang kita denger ini memang suara bayi beneran." Rasa takut yang mendalam tak melupakan rasa empatinya.
"Loh memang kenapa kalo bayi beneran?" Tanyanya. Kepalanya celingukan memastikan keadaan disekitarnya. Entah dimana saat ini pikiran jernih Nara, semua telah hilang karena rasa ketakutannya.
"Aku kasihan banget, rintik hujan aja masih ada. kita yang gede aja kedinginan apalagi itu bayi loh, pasti kedinginan banget." Jelas Abi.
Seketika rasa takut yang menghantamnya menguap. Mengingat betapa mirisnya bayi itu. Ia jadi teringat nasib dirinya sendiri yang juga dibuang oleh kedua orang tuanya. Untung saja ia dibuang dipanti asuhan. Tapi jika bayi ini dibuang dipinggir jalan sepi seperti ini siapa yang akan menyelamatkannya? Bisa mati bayi itu kedinginan dan kelaparan.
"Ayok kita cari dia!" Inara langsung menarik tangan Abi menyusuri pinggir jalan berpohon jati itu. Ia harus menemukan bayi itu. Harus!
Abi tak membiarkan Inara didepannya, ia pun langsung melepaskan tangannya yang ditarik Inara dan menggantikannya dengan menggenggam tangan Inara. Mereka berjalan saling beriringan dengan Abi didepan dan Inara dibelakangnya.
Tak puas dengan penerangan lampu jalan membuat mereka menyalakan blitz diponsel mereka. Rumput-rumput tipis mereka susuri. Dengan suara yang mereka dengar sebagai alat penunjuk jalan bagi mereka. Masa bodohlah jika nanti mereka tidak bertemu bayi dan malah bertemu dengan hantu, yang penting mereka telah menuntaskan rasa penasaran mereka. Mereka terus mendekat ke arah suara.
Dari kejauhan mereka melihat sebuah keranjang persegi, tak sabar mereka pun berlari dan benar saja dugaan mereka. Mereka melihat bayi mungil dengan pipi chubby itu menangis. Balutan kain bayi membalut tubuh bayi itu, cukup tebal dan di bagian atas keranjang itu ada seperti kain kasa sebagai penutup bayi itu agar tak digigit nyamuk.
Abi langsung membuka kain itu dan langsung mendekap bayi mungil itu dan menenangkannya. Mereka kembali kepinggir jalan tempat Abi memarkirkan motornya.
"Dia kasihan banget." Inara mengelus wajah dingin bayi yang digendong Abi. Matanya berkaca-kaca.
Abi langsung mengelus punggung Inara. Mencoba menenangkan kekasihnya itu.
"Ayok kita bawa dia pulang!"
"Tapi dia ikut siapa? Aku gak bisa bawa dia pulang, kamu tau sendirikan?"
Inara adalah anak adopsi dari kedua orang tua angkatnya. Ia tak bisa merepotkan kedua orang tuanya dengan membawa bayi kerumahnya. Dan bisa-bisa ia menjadi santapan ghibah para ibu-ibu komplek perumahannya yang mulutnya lemes tak ada akhlak itu.
"Kamu tenang saja aku akan merawatnya bersama Kendy dan Lasa."
"Kamu yakin mereka akan menerima bayi ini? Aku takut mereka gak mau ngerawat dia."
"kamu tenang saja Ay, kami memang perkumpulan pemuda tak tersentuh dengan kasih sayang orang tua. Tapi kami tahu cara menyayangi bayi ini, kami adalah orang-orang tulus Ay. Kami belajar dari sikap orang tua kami. Pasti kami tidak ingin mengikuti jejak mereka." Jelasnya panjang lebar. Membuat Inara mengangguk paham.
"Ayok kita pulang kasihan debaynya." Ajak Abi yang dijawab anggukan oleh Inara.
.
.
.
.
.
Bersambung
Saat ini mereka berdua telah berhenti disebuah rumah berjenis cluster, memang bentuk khas dari perumahan yang ditempati Abi dan kedua sahabatnya, Kendy dan Lasa.Jika mengingat mereka membawa bayi dengan menggunakan motor, menembus rintik hujan, pasti membuat orang-orang berpikir bahwa mereka adalah orang tua yang buruk. bagaimana tidak? Anak yang masih dalam bedongan kain itu dibawa menembus dinginnya malam dan ditambah rintik hujan yang membasahi, ck orang tua seperti apa mereka ini? Tapi bukankah yang lebih kejam adalah orang tua bayi yang telah membuangnya? Hah, biarkan saja orang-orang yang tak tau apa-apa itu berasumsi dengan pikiran mereka masing-masing."Ay, kita udah sampai nih," Ucap Abi.Inara langsung turun membawa bayi mungildengan pipi chubby yang memerah itu. Bayi itu tenang, tertidur dalam dekapan Inara. Setelah itu, Abi langsung menaruh motornya dibagasi.Mereka berdua langsung masuk ke
Ini sudah jam setengah dua belas malam. Bagaimana bisa mereka menyuruhku membeli susu dan popok bayi? Coba saja aku tidak merasa bersalah karena sudah menonjok wajah Abi, tak sudi rasanya di perbudak mereka seperti ini. Huh, dasar kedua manusia laknat! Tapi, bayi siapakah yang mereka bawa? Awas saja nanti mereka membuat kekacauan dengan membawa bayi itu! Awal kedatangannya saja membuat seisi rumah bau tayi, bagaimana nanti jika bayi itu tinggal bersama kami?Aku terus melajukan motorku, menuju Moonmart perumahan. Setelah sampai aku langsung mencari popok dan susu formula. Kulihat jejeran popok dengan berbagai ukuran. Tentu saja aku kebingungan, ukuran berapakah yang harus dibeli? Dan merek apa? Jika orang melihatku mungkin aku sudah seperti suami idaman karena bersedia membelikan kebutuhan bayi ditengah malam seperti ini muehehehe, aku terkekeh dalam hati. Biasalah jiwa narsisku ini memang terlatih dari aku masih kecil. Keluarga ku itu memang keluarga sultan.
Setelah sepuluh menit berkendara, sampailah Mila dan Kendy dikediaman Lasa. Kediaman Mila tepat disamping rumah Lasa. Kendy tak langsung menyuruh Mila turun tapi langsung membawa Mila masuk kedalam garasi. Hitung-hitung menemaninya memarkirkan motornya, sudah sangat malam bisa jadi 'kan ada penghuni garasi yang menunggu kedatangan seseorang, pikir Kendy. Kendy pun bergidik ngeri dengan pikirannya sendiri. Ah, memang si Kendy tengil, seharunya kalau takut jangan dipikirkan."Oke Mil baru lo boleh turun." Ujar Kendy, ia melirik ke kaca spionnya. Melihat ekspresi Mila. Seperti biasa wajahnya tetap terlihat ramah ia turun dengan perlahan. Seharusnya wajib, wajahnya diatur mode jutek dan ia wajib kesal terhadap kelakuan Kendy karena membawanya terlalu jauh. Seharusnya kendy memberhentikannya tepat dihadapan rumahnya bukan membawanya masuk seperti ini. Jadi repot 'kan dirinya harus berjalan lagi kedepan. Tapi si wanita hebat Mila, tak ada guratan kesal sedikit pu
Cahaya matahari sudah memasuki celah-celah candela rumah Lasa. Cuitan burung terdengar merdu pagi itu. Namun pagi yang indah tidak disadari ketiga pemuda itu. Sayang sekali bukan? Semoga hanya indahnya pagi yang mereka lewati, jangan sampai rezeki mereka juga lewat karena di patok ayam.Matahari mulai meninggi, namun tak ada tanda dari ketiga pemuda itu untuk membuka mata mereka. Wajar saja, karena mereka tidur sekitar jam dua dini hari. Setelah berhasil menidurkan bayi mungil itu mereka langsung tidur. Mereka hanya terbangun ketika sholat subuh dan memutuskan untuk tidur kembali.Inara menginap dirumah Mila, untung saja ia telah mengabari kedua orang tuanya. Jika tidak, berbahaya bagi hubungannya dengan Abi.Sekitar jam sembilan Kendy, dan Abi terbangun, mereka langsung masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja bayi mungil itu dibawa Mila dan Inara tadi malam setelah bayi itu tertidur kerumah sebelah jad
Lasa dan Abi terus berbincang mengenai bayi mungil itu, mereka sangat antusias sekali. Lasa yang biasanya diam kali ini lebih banyak mengeluarkan suara emasnya. Suara yang sangat berharga sekarang menjadi suara obralan ketika membicarakan bayi mungil berpipi chubby dengan pipi berwarna merah itu.Diatas ranjang yang bercover bed warna Navy terbaring seorang pemuda yang memandang langit-langit kamar, kakinya menggantung di pinggiran ranjang. Suara yang biasa ia obral sekarang tak terdengar, yang terdengar sekarang hanya hembusan napas berat. Ia frustasi memikirkan kehidupan mereka nantinya bila ada kehidupan bayi mungil diantara mereka dan memikirkan sahabatnya yang tak menggubris pendapatnya. Ia sebenarnya kecewa amat kecewa."Gimana Ken, lo setuju?" Kendy terlonjak kaget lamunannya buyar. Ia bangkit, duduk dengan jari-jari tangan yang bertaut dan menatap tak suka kedua sahabatnya. Kenapa bertanya ia setuju atau tidak? Bukankah mereka sudah me
Lasa dan Abi terus berbincang mengenai bayi mungil itu, mereka sangat antusias sekali. Lasa yang biasanya diam kali ini lebih banyak mengeluarkan suara emasnya. Suara yang sangat berharga sekarang menjadi suara obralan ketika membicarakan bayi mungil berpipi chubby dengan pipi berwarna merah itu.Diatas ranjang yang bercover bed warna Navy terbaring seorang pemuda yang memandang langit-langit kamar, kakinya menggantung di pinggiran ranjang. Suara yang biasa ia obral sekarang tak terdengar, yang terdengar sekarang hanya hembusan napas berat. Ia frustasi memikirkan kehidupan mereka nantinya bila ada kehidupan bayi mungil diantara mereka dan memikirkan sahabatnya yang tak menggubris pendapatnya. Ia sebenarnya kecewa amat kecewa."Gimana Ken, lo setuju?" Kendy terlonjak kaget lamunannya buyar. Ia bangkit, duduk dengan jari-jari tangan yang bertaut dan menatap tak suka kedua sahabatnya. Kenapa bertanya ia setuju atau tidak? Bukankah mereka sudah me
Cahaya matahari sudah memasuki celah-celah candela rumah Lasa. Cuitan burung terdengar merdu pagi itu. Namun pagi yang indah tidak disadari ketiga pemuda itu. Sayang sekali bukan? Semoga hanya indahnya pagi yang mereka lewati, jangan sampai rezeki mereka juga lewat karena di patok ayam.Matahari mulai meninggi, namun tak ada tanda dari ketiga pemuda itu untuk membuka mata mereka. Wajar saja, karena mereka tidur sekitar jam dua dini hari. Setelah berhasil menidurkan bayi mungil itu mereka langsung tidur. Mereka hanya terbangun ketika sholat subuh dan memutuskan untuk tidur kembali.Inara menginap dirumah Mila, untung saja ia telah mengabari kedua orang tuanya. Jika tidak, berbahaya bagi hubungannya dengan Abi.Sekitar jam sembilan Kendy, dan Abi terbangun, mereka langsung masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja bayi mungil itu dibawa Mila dan Inara tadi malam setelah bayi itu tertidur kerumah sebelah jad
Setelah sepuluh menit berkendara, sampailah Mila dan Kendy dikediaman Lasa. Kediaman Mila tepat disamping rumah Lasa. Kendy tak langsung menyuruh Mila turun tapi langsung membawa Mila masuk kedalam garasi. Hitung-hitung menemaninya memarkirkan motornya, sudah sangat malam bisa jadi 'kan ada penghuni garasi yang menunggu kedatangan seseorang, pikir Kendy. Kendy pun bergidik ngeri dengan pikirannya sendiri. Ah, memang si Kendy tengil, seharunya kalau takut jangan dipikirkan."Oke Mil baru lo boleh turun." Ujar Kendy, ia melirik ke kaca spionnya. Melihat ekspresi Mila. Seperti biasa wajahnya tetap terlihat ramah ia turun dengan perlahan. Seharusnya wajib, wajahnya diatur mode jutek dan ia wajib kesal terhadap kelakuan Kendy karena membawanya terlalu jauh. Seharusnya kendy memberhentikannya tepat dihadapan rumahnya bukan membawanya masuk seperti ini. Jadi repot 'kan dirinya harus berjalan lagi kedepan. Tapi si wanita hebat Mila, tak ada guratan kesal sedikit pu
Ini sudah jam setengah dua belas malam. Bagaimana bisa mereka menyuruhku membeli susu dan popok bayi? Coba saja aku tidak merasa bersalah karena sudah menonjok wajah Abi, tak sudi rasanya di perbudak mereka seperti ini. Huh, dasar kedua manusia laknat! Tapi, bayi siapakah yang mereka bawa? Awas saja nanti mereka membuat kekacauan dengan membawa bayi itu! Awal kedatangannya saja membuat seisi rumah bau tayi, bagaimana nanti jika bayi itu tinggal bersama kami?Aku terus melajukan motorku, menuju Moonmart perumahan. Setelah sampai aku langsung mencari popok dan susu formula. Kulihat jejeran popok dengan berbagai ukuran. Tentu saja aku kebingungan, ukuran berapakah yang harus dibeli? Dan merek apa? Jika orang melihatku mungkin aku sudah seperti suami idaman karena bersedia membelikan kebutuhan bayi ditengah malam seperti ini muehehehe, aku terkekeh dalam hati. Biasalah jiwa narsisku ini memang terlatih dari aku masih kecil. Keluarga ku itu memang keluarga sultan.
Saat ini mereka berdua telah berhenti disebuah rumah berjenis cluster, memang bentuk khas dari perumahan yang ditempati Abi dan kedua sahabatnya, Kendy dan Lasa.Jika mengingat mereka membawa bayi dengan menggunakan motor, menembus rintik hujan, pasti membuat orang-orang berpikir bahwa mereka adalah orang tua yang buruk. bagaimana tidak? Anak yang masih dalam bedongan kain itu dibawa menembus dinginnya malam dan ditambah rintik hujan yang membasahi, ck orang tua seperti apa mereka ini? Tapi bukankah yang lebih kejam adalah orang tua bayi yang telah membuangnya? Hah, biarkan saja orang-orang yang tak tau apa-apa itu berasumsi dengan pikiran mereka masing-masing."Ay, kita udah sampai nih," Ucap Abi.Inara langsung turun membawa bayi mungildengan pipi chubby yang memerah itu. Bayi itu tenang, tertidur dalam dekapan Inara. Setelah itu, Abi langsung menaruh motornya dibagasi.Mereka berdua langsung masuk ke
"Huhuhu... kamu tega banget sama aku. Kamu selingkuh dibelakang aku..." Ucap Inara air matanya mengalir membasahi kemeja yang dipakai Abimana. Saat itu ia dalam dekapan Abimana. Ia terus memukul dada bidang didepannya.Abimana tersenyum, ia tertawa dalam hati melihat sang kekasih salah paham dengan apa yang ia lihat. Sungguh ia sama sekali tidak berkhianat dari Inara, karena hanya Inara sang pemilik hatinya. Tapi, bagaimana bisa perempuan itu berpikir ia mengkhianatinya?"Kamu tau gak__""Gak tau!" Belum sempat Abi menyelesaikan kalimat yang akan ia keluarkan Inara malah memotongnya. Abi menghela napas pelan."Ay, aku belom selesai ngomong loo. kamu itu salah paham. Tadi itu aku cuma nolongin Mila. Kalo aku gak nolongin dia, dia bakalan ketabrak mobil."Jelasnya."Tapi tadi kamu lama banget peluk dia, aku gak suka itu. Kamu beneran gak selingkuh 'kan dibelakang aku?" Tanyanya, kali ini ia mendo