Daffa hanya bisa menundukkan kepalanya di depan Alex. Pria berpostur tubuh tinggi itu begitu tak nyaman berada di ruangan petak yang hanya muat satu kamar saja. Oh my, kenapa Daffa bisa sampai bertahan di sini?
"Udah lama kamu tinggal di rumah ini?" tanya Alex.
"Udah, dari awal aku pergi dari rumah," jawab Daffa santai.
Alex merasa heran karena Daffa memilih dengan hidup seperti ini, ini bukan tempat yang cocok untuknya.
"Gimana kalo kamu ikut pulang, Om nyanyain terus, apalagi sama mama kamu. Nggak tega apa liat mama sama ayah kamu stres tiap hari karena terus mikirin kamu, Daff?" Alex terus berusaha membujuk Daffa agar dia segera pulang. Lelaki itu memang keras kepala.
Daffa mendekat dan memperhatikan raut wajah Alex, "Pasti kamu dibayar mahal kan sama ayah?"
Alex terkekeh, "Hah, aku bahkan tidak mengharapkan imbalan. Semua ingin kau pulang, Opa, Oma, semua terus nanyain kamu tiap hari. Om bilang, kalo kamu balik, maka ia tidak akan memaksa kamu buat pegang kantor. Cukup pulang saja dan Om akan kasih semua fasilitas untukmu, Daff. Kalo saja aku ada diposisi mu, lebih baik aku pulang daripada jadi pengangguran seperti kau."
Pltak!! Aww ... "Lo apaan woy, sakit tau." Alex mengusap keningnya yang kena sentil oleh Daffa. Dasar pria gemblung.
"Lo aja yang pulang, gue ogah."
"Tapi Daff, cukup absen aja, setelah itu lo mau alpa lagi juga gak apa-apa, atau alpa selama-lamanya biar gue yang ambil semua fasilitas lo, gimana?"
Pltak!! "Daffa ..."
"Kamu emang suka sentilan itu ya, ogah, pokoknya aku gak mau pulang. Aku betah di sini."
Alex hanya bisa menarik napasnya panjang. Sekali tidak maka tetap tidak. Itulah sifat Daffa. Keras seperti sang kakek.
Alex berdiri, mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Itu adalah sebuah kertas berhiaskan tinta warna warni yang diberikan oleh Jihan kepadanya. Walaupun Jihan sangat tidak menginginkan Daffa untuk hadir, namun pria itu tidak punya pendamping juga untuk menghadirinya.
"Baiklah, kalau begitu temani aku malam nanti ke acara ini. Sebenarnya Jihan tidak mau mengundangmu, tapi aku ingin kau menemaniku."
Alex memberikan undangan itu ke tangan Daffa, ia berlalu pergi tanpa menunggu jawaban darinya. Ia sudah tahu sifat Daffa, maka, apapun keputusannya itu terserah pada Daffa sendiri.
Daffa hanya menatap undangan itu, rasa sesak sudah pasti ada. Namun, apapun itu ia yakin jika Jihan pasti akan bahagia dengan pria pilihan dirinya sendiri. Daffa hanya bisa menyimpan kenangannya bersama gadis itu. Gadis itu bukan miliknya tapi milik orang lain.
"Selamat atas kebahagiaanmu, Jihan."
***
Hari berlalu, Daffa sudah tidak nyaman lagi jika dirinya terus berdiam diri saja sebagai pengangguran. Kini waktunya ia mencari pekerjaan lain agar ia bisa membayar tunggakan rumahnya.
Huff...
Daffa menghembuskan napas panjang sebelum masuk ke dalam restoran itu. Beberapa kali ia tidak diterima, namun ia yakin kali ini ia bisa mendapatkan pekerjaan kembali.
"Maaf, Pak. Apakah di sini sedang membutuhkan pegawai?"
Seorang petugas keamanan memperhatikan Daffa dari atas hingga bawah. Hari ini Daffa memakai baju kemeja putih dan celana katun hitam. Persis seperti saat dirinya melamar kerja sebelumnya.
"Sepertinya ada, coba kau tanyakan ke bagian dalam," jawab petugas itu.
Daffa tersenyum, akhirnya ia punya kesempatan untuk bekerja di restoran besar.
Pria itu lantas masuk dan kembali menanyakan lowongan pekerjaan. Semoga ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kedua bola mata itu terbuka lebar saat melihat siapa yang datang pagi ini. Rupanya pagi ini adalah pagi yang paling buruk yang pernah ia alami. Gadis itu kembali bertemu dengan pria yang sudah merusak bajunya.
"Hei kau, sedang apa kau ada di sini?" tanya gadis itu dengan angkuhnya.
"Kau ... bukankah kamu ..." Daffa ingat dengan bola mata itu.
"Aku tanya sama kamu bukanya malah balik nanya, dasar pria miskin. Mau apa kamu ke sini dengan pakaian seperti itu? Mau melamar kerja?"
"Itu bukan urusanmu, saya tidak mau sial lagi dan sebaiknya kamu pergi aja dari sini," cetus Daffa.
Gadis itu menyeringai, memangkalkan lengan di atas pinggangnya. "Hei, asal kau tahu ya, ini itu ..."
"Maaf Nyonya, Tuan sudah menunggu di mobil."
"Ah, baiklah. Kita pergi dari sini. Oh iya, terima saja pria ini untuk jadi pelayan di restoran ini dan potong saja gajinya tiap bulan untuk mengganti kerugian karena dia sudah berani merusak pakaianku hari itu. Apa kau mengerti?"
Gadis itu lalu pergi sambil mengibaskan rambutnya tepat sasaran mengenai wajah Daffa. Benar-benar, selalu saja begitu. Daffa menggeram, apakah harus berakhir seperti ini?
"Hei Nona, Anda tidak berhak mengatur ku dan aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain, bukan dengan cara seperti ini. Nona, hei, apa kau tuli? Aarrgghh..." Daffa melempar CV itu dan menjambak rambutnya karena kesal.
Kini ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui keinginan gadis bodoh itu. Benar-benar sial.
"Cepat ganti pakaianmu sebelum kamu celaka."
Oh my, pekerjaan apa ini? Bahkan dirinya sudah dihampiri oleh beberapa bodyguard berbadan besar.
"Tapi, Pak. Saya ..."
"Mulai sekarang kau harus melayani pelanggan dan ini peraturan di restoran ini. Jika melanggar, maka gaji mu dipotong."
"Potong lagi? Potong saja sampai habis," protes Daffa. Sebenarnya dia pria yang berani dan tidak mau mengalah.
"Kalau begitu, kamu bisa saja melawan para orang itu. Mau mati konyol di sini?"
"Ini namanya pemaksaan."
***
"Bagaimana? Apa kamu sudah ketemu sama Daffa? Dimana dia sekarang? Kenapa dia tidak ikut sama kamu, Alex?"
Denis kembali menanyakan soal Daffa, pria itu tidak mau mendapatkan omelan lagi dari sang papi mertua yang menyebalkan. Apalagi dengan Frelya yang terus bertanya keadaan Daffa.
Alex hanya bisa menundukkan kepalanya sebab ia belum berhasil membujuk teman sekaligus saudaranya itu. Dia memang sulit untuk dibujuk.
"Daffa tetap gak mau ikut."
"Apa?"
"Tapi Om tenang aja, Alex udah minta sama dia buat temani Alex datang ke acara pertunangan Jihan, gimana kalo Om sama Tante ke sana sekalian mengucapkan selamat sama mantan Daffa yang satu ini. Karena Jihan juga sudah menganggap Daffa orang miskin, gimana kalo Om kasih kejutan untuknya sekaligus sama Daffa?" itulah cara Alex agar Denis bisa bertemu dengan anaknya dan kembali membawanya pulang.
Denis mengangguk, "Ide cemerlang. Yuda tidak salah melahirkan mu, Alex."
"Euh, Om, yang lahirin aku itu ibu, bukan ayah." Alex protes akan perkataan orang tua itu.
"Ah, salah ya. Maaf."
Alex hanya bisa memutar bola matanya jengah, orang tua ini benar-benar membuatnya bosan.
***
Sudah 2 hari Daffa bekerja sebagai pelayan restoran, pekerjaannya lumayan bagus dan Daffa adalah pekerja yang teladan. Dia selalu datang tepat waktu. Pak Geo selaku Manager restoran itu merasa puas dengan pekerjaan anak baru itu, Daffa.Seperti biasa, Daffa melayani pelanggannya dengan sopan dan hati-hati. Bahkan sifat keras kepalanya itu hilang begitu saja saat ia sibuk tersenyum di depan para pelanggan. Syukurlah. Selama dua tahun ini Daffa banyak belajar.Tuk, tuk, tuk.Seorang gadis memakai high heels itu sudah mendekati Daffa dan menarik tangannya keluar dari restoran itu. Ada apa ini?"Eh, kenapa ini? Kenapa kau menarik ku?" protes Daffa.Ternyata cengkraman tangan itu begitu erat sehingga Daffa tidak bisa melepaskannya. Dia gadis atau monster sih? batin Daffa."Hei Nona, bisakah kau lepaskan tanganku? Aku sedang beke
Suasana di acara pertunangan Jihan nampak begitu ramai. Banyak kolega bisnis di sana terutama Tuan Irawan, Tuan Chandra dan yang lainnya. Mereka semua ialah kolega bisnis dari Tuan Adira. Tuan Adira sendiri ialah ayah dari Bimo, pria yang hendak bertunangan dengan Jihan. Yang itu artinya Bimo ialah calon suami Jihan karena sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan dalam beberapa waktu setelah bertunangan. Semua merasa gembira terkecuali Daffa. Pria itu terlihat begitu tegang terutama saat Raisa menariknya untuk menemui Jihan di sana. "Hei Jihan, selamat ya!! Akhirnya kamu tunangan juga." Raisa memberi selamat kepada Jihan, temannya sewaktu sekolah dulu. "Oh iya, makasih banyak loh Raisa. Kamu ke sini sama siapa?" tanya Jihan. Belum diberitahu pun nampaknya Jihan sudah tahu kalau Raisa datang bersama pria miskin yang hanya bekerja sebagai pelayang restoran. Jih
Bukk!!"Hei ..."Kedua pria bertubuh besar itu tiba-tiba menyerang Daffa. Bukan apa-apa, hanya saja Daffa belum mempersiapkan dirinya.Bukk!!!"Aarrgghh."Kali ini Daffa kena pukulan dari salah satu orang itu. Ini bukan saatnya bermain, Daffa harus bergerak."Kalian belum tau siapa aku ya?" dengan angkuhnya dia. Daffa sudah siap untuk melawan kedua orang itu."Jangan banyak bicara, kalau berani lawan saja!!""Oooo, oke."Daffa mengangkat kedua tangan dan mengepalkan keduanya, ia siap melawan dan tak akan mundur lagi.Buk, buk, buk!!!"Heuk ..."Tuan Irawan membelalakkan kedua matanya saat tahu orang yang ia bayar mahal itu dapat dikalahkan oleh seorang pelayan restoran. Apa? Pelayan? Orang puluhan juta kalah sama pelayan? Oh my, tak dapat dipercaya."Hei, kenapa kalian malah bonyok. Bangun, dan kalahkan pelayan restoran itu!!"&n
PRENG!!! Suara piring serta gelas pecah itu terdengar sangat keras. Semua pecah berantakan. "Dasar pelayan tidak becus, kalau niatmu hanya ingin mengotori pakaianku, sebaiknya kamu keluar saja dari pekerjaanmu." "Ma-maaf Nona, sa-saya tidak sengaja," ucap Daffa memohon. Baru kali ini dia melakukan hal yang tidak diinginkan. Baginya, gadis ini telah menghinanya mentah-mentah. Bukan hanya ingin Daffa keluar dari pekerjaannya sekarang, bahkan gadis sombong itu ingin dirinya bersujud di bawah kakinya. Apa dia gila? Sungguh hal di luar nalar. "Aku ingin pria ini dipecat sekarang juga dari restoran ini. Jika tidak, maka restoran ini harus ditutup selamanya," teriaknya lantang.Daffa bangkit lalu menatap gadis itu dengan malas. "Tapi Nona, saya sudah melakukan apa yang Nona inginkan, bahkan saya
Daffa kembali ke kamar kontrakan yang ada di lantai atas, dia melempar map itu dengan kesal. Pertama, dia melihat pacarnya bersama pria lain, dan yang kedua, sampai sore ini surat lamaran kerja itu tidak ada yang menerimanya sama sekali.Hari ini benar-benar sial untuknya. Pria itu lantas melempar tubuhnya ke atas kasur busa yang hanya muat untuk dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit meredakan rasa penatnya karena sudah berusaha untuk mencari pekerjaan sebagai perjuangan hidupnya.Tok, tok."Siapa lagi sih, aku lelah, nanti lagi aja datangnya." Daffa berteriak menolak tamu yang datang sore ini. Dirinya begitu lelah, bahkan hanya ingin berbaring saja."Daffa, buka pintunya. Ini sudah tanggal berapa, huh? Sampai kapan kau akan menunggak? Cepat bayar atau kau pergi dari kontrakan saya, saya memberikan kamu tempat buat dibayar bukan gratisan. Woy, Daffa!!" Orang itu terus berteriak
Bukk!!"Hei ..."Kedua pria bertubuh besar itu tiba-tiba menyerang Daffa. Bukan apa-apa, hanya saja Daffa belum mempersiapkan dirinya.Bukk!!!"Aarrgghh."Kali ini Daffa kena pukulan dari salah satu orang itu. Ini bukan saatnya bermain, Daffa harus bergerak."Kalian belum tau siapa aku ya?" dengan angkuhnya dia. Daffa sudah siap untuk melawan kedua orang itu."Jangan banyak bicara, kalau berani lawan saja!!""Oooo, oke."Daffa mengangkat kedua tangan dan mengepalkan keduanya, ia siap melawan dan tak akan mundur lagi.Buk, buk, buk!!!"Heuk ..."Tuan Irawan membelalakkan kedua matanya saat tahu orang yang ia bayar mahal itu dapat dikalahkan oleh seorang pelayan restoran. Apa? Pelayan? Orang puluhan juta kalah sama pelayan? Oh my, tak dapat dipercaya."Hei, kenapa kalian malah bonyok. Bangun, dan kalahkan pelayan restoran itu!!"&n
Suasana di acara pertunangan Jihan nampak begitu ramai. Banyak kolega bisnis di sana terutama Tuan Irawan, Tuan Chandra dan yang lainnya. Mereka semua ialah kolega bisnis dari Tuan Adira. Tuan Adira sendiri ialah ayah dari Bimo, pria yang hendak bertunangan dengan Jihan. Yang itu artinya Bimo ialah calon suami Jihan karena sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan dalam beberapa waktu setelah bertunangan. Semua merasa gembira terkecuali Daffa. Pria itu terlihat begitu tegang terutama saat Raisa menariknya untuk menemui Jihan di sana. "Hei Jihan, selamat ya!! Akhirnya kamu tunangan juga." Raisa memberi selamat kepada Jihan, temannya sewaktu sekolah dulu. "Oh iya, makasih banyak loh Raisa. Kamu ke sini sama siapa?" tanya Jihan. Belum diberitahu pun nampaknya Jihan sudah tahu kalau Raisa datang bersama pria miskin yang hanya bekerja sebagai pelayang restoran. Jih
Sudah 2 hari Daffa bekerja sebagai pelayan restoran, pekerjaannya lumayan bagus dan Daffa adalah pekerja yang teladan. Dia selalu datang tepat waktu. Pak Geo selaku Manager restoran itu merasa puas dengan pekerjaan anak baru itu, Daffa.Seperti biasa, Daffa melayani pelanggannya dengan sopan dan hati-hati. Bahkan sifat keras kepalanya itu hilang begitu saja saat ia sibuk tersenyum di depan para pelanggan. Syukurlah. Selama dua tahun ini Daffa banyak belajar.Tuk, tuk, tuk.Seorang gadis memakai high heels itu sudah mendekati Daffa dan menarik tangannya keluar dari restoran itu. Ada apa ini?"Eh, kenapa ini? Kenapa kau menarik ku?" protes Daffa.Ternyata cengkraman tangan itu begitu erat sehingga Daffa tidak bisa melepaskannya. Dia gadis atau monster sih? batin Daffa."Hei Nona, bisakah kau lepaskan tanganku? Aku sedang beke
Daffa hanya bisa menundukkan kepalanya di depan Alex. Pria berpostur tubuh tinggi itu begitu tak nyaman berada di ruangan petak yang hanya muat satu kamar saja. Oh my, kenapa Daffa bisa sampai bertahan di sini?"Udah lama kamu tinggal di rumah ini?" tanya Alex."Udah, dari awal aku pergi dari rumah," jawab Daffa santai.Alex merasa heran karena Daffa memilih dengan hidup seperti ini, ini bukan tempat yang cocok untuknya."Gimana kalo kamu ikut pulang, Om nyanyain terus, apalagi sama mama kamu. Nggak tega apa liat mama sama ayah kamu stres tiap hari karena terus mikirin kamu, Daff?" Alex terus berusaha membujuk Daffa agar dia segera pulang. Lelaki itu memang keras kepala.Daffa mendekat dan memperhatikan raut wajah Alex, "Pasti kamu dibayar mahal kan sama ayah?"Alex terkekeh, "Hah, aku bahkan tidak mengharapkan imbalan. Sem
Daffa kembali ke kamar kontrakan yang ada di lantai atas, dia melempar map itu dengan kesal. Pertama, dia melihat pacarnya bersama pria lain, dan yang kedua, sampai sore ini surat lamaran kerja itu tidak ada yang menerimanya sama sekali.Hari ini benar-benar sial untuknya. Pria itu lantas melempar tubuhnya ke atas kasur busa yang hanya muat untuk dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit meredakan rasa penatnya karena sudah berusaha untuk mencari pekerjaan sebagai perjuangan hidupnya.Tok, tok."Siapa lagi sih, aku lelah, nanti lagi aja datangnya." Daffa berteriak menolak tamu yang datang sore ini. Dirinya begitu lelah, bahkan hanya ingin berbaring saja."Daffa, buka pintunya. Ini sudah tanggal berapa, huh? Sampai kapan kau akan menunggak? Cepat bayar atau kau pergi dari kontrakan saya, saya memberikan kamu tempat buat dibayar bukan gratisan. Woy, Daffa!!" Orang itu terus berteriak
PRENG!!! Suara piring serta gelas pecah itu terdengar sangat keras. Semua pecah berantakan. "Dasar pelayan tidak becus, kalau niatmu hanya ingin mengotori pakaianku, sebaiknya kamu keluar saja dari pekerjaanmu." "Ma-maaf Nona, sa-saya tidak sengaja," ucap Daffa memohon. Baru kali ini dia melakukan hal yang tidak diinginkan. Baginya, gadis ini telah menghinanya mentah-mentah. Bukan hanya ingin Daffa keluar dari pekerjaannya sekarang, bahkan gadis sombong itu ingin dirinya bersujud di bawah kakinya. Apa dia gila? Sungguh hal di luar nalar. "Aku ingin pria ini dipecat sekarang juga dari restoran ini. Jika tidak, maka restoran ini harus ditutup selamanya," teriaknya lantang.Daffa bangkit lalu menatap gadis itu dengan malas. "Tapi Nona, saya sudah melakukan apa yang Nona inginkan, bahkan saya