Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari.
"Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.
Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.
Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.
Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai kemari bagaimana? Di dalam pesawat, aku harus bertengkar dengan para petugas karena memaksa ingin turun. Lalu dari bandara ke desa membutuhkan waktu lima jam. Dari desa ke rumahmu, aku harus menunggu ibumu pulang dari pasar agar mendapatkan informasi keberadaanmu. Ia memberitahuku bahwa kamu ada disini. Aku harus meminjam motor anak buahku demi menembus satu setengah jam perjalanan di jalan yang sempit itu agar bisa kemari. Lalu gilanya lagi, aku harus berjalan kaki selama tiga puluh menit agar bisa naik ke atas sini. Bukankah ini gila?"
Hana memasang wajah heran. Untuk apa Jonathan melakukan semua itu?
"Aku merasa sangat menyedihkan. Melakukan semua hal gila ini hanya demi seorang pelacur ingusan." Jonathan melempar wajahnya ke samping. Berharap waktu dapat diulang kembali. Seandainya ia tidak senekat ini, mungkin dua jam yang lalu ia sudah menginjakkan kakinya di Jakarta.
Tidak ada yang berbicara selanjutnya selain suara angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah keduanya dan rambut yang saling beterbangan karena tiupan angin.
Sambil berkacak pinggang, Jonathan kembali menatap Hana. "Ikutlah denganku ke kota," ajaknya yang kemudian menjadi rasa sesal lantaran malu. Jonathan ingin menelan kembali kata-katanya. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi dan ia sudah berbuat sejauh ini.
Hana membelalakkan matanya terkejut, "Ko- kota?"
***
"Hana, apa kamu yakin dengan keputusanmu ini?" Fatma meremas jemarinya. Satu jam yang lalu Hana kembali ke rumah bersama Jonathan. Tiada angin, tiada badai, Hana tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke Kota.
Hana mengikat plastik merah itu lalu menghadap sang ibu. "Iya, Bu. Aku ingin mencari pengalaman di sana."
Fatma meringis, "Benarkah? Kamu tidak dipaksa oleh pak Jonathan, bukan?"
Hana membelalakkan matanya dan menutup mulut Fatma dengan jari telunjuk, "Ssstt ... Jangan keras-keras. Dia ada di depan. Bagaimana jika dia mendengar?" bisik Hana, "Aku tidak pergi karena dipaksa olehnya, Bu. Ibu tahu, kan? Setelah dari atas bukit aku pasti akan mendapatkan ilham. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya aku harus pergi ke kota untuk mengadu nasib. Kebetulan Pak Jonathan akan ke sana, jadi aku pikir akan lebih baik untuk ikut pergi bersamanya."
"Tapi—"
"Aku akan berjuang disana, Ibu," potong Hana. Ia memeluk tubuh Fatma erat. Diam-diam air matanya mengalir keluar membasahi pipinya. Bohong. Semua ucapan Hana sebelumnya itu adalah bohong.
"Tapi, Pak ... saya tidak ... saya tidak bisa." Hana menggeleng.
Jonathan melotot dan menggeram, "Berani-beraninya kamu menolak saya?! Apa kamu tidak ingat? Hidup keluargamu berada di tangan saya. Saya bisa saja menyuruh anak buah saya untuk memporak-porandakan rumah kalian beserta seisinya."
Hana menggigit bawah bibirnya karena takut. Wajahnya langsung memucat, ia menggeleng. "Tidak, Pak, jangan ... baik saya akan ikut dengan Bapak."
Jonathan menyeringai. "Bagus. Sekarang cepat turun dari bukit ini dan kembali ke rumah. Lalu kemasi barang-barangmu. Saya akan memesan tiket sore ini."
Hana tidak ingin Fatma mengkhawatirkan dirinya. Jika Hana mengatakan kebenaran, Fatma pasti akan dilanda rasa bersalah karena merasa tidak berguna sebagai seorang ibu. Hana tidak ingin Fatma terbebani rasa menyakitkan itu. Biarkan saja ia yang menanggung semuanya. Bagi Hana, kebahagiaan ibu dan adiknya adalah prioritas utama baginya.
"Baiklah. Apapun keputusanmu, Ibu akan mendukungmu. Ingat, kamu bisa menghubungi Ibu kapanpun kamu membutuhkan Ibu. Ibu akan senantiasa mendengarkan keluh kesahmu." Seraya membalas pelukan Hana tak kalah erat.
Hana mengangguk lalu menyeka air matanya. "Aku pasti akan menghubungi Ibu. Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mengirimi Ibu uang. Aku akan buat Ibu bangga.”
"Ibu percaya sama kamu. Ibu menyayangi kamu, Nak. Jaga kesehatanmu selama di sana."
"Aku juga sayang Ibu." Hana mengurai pelukannya lalu meraih kresek besar yang berisikan pakaian miliknya.
"Hana berangkat dulu, Bu. Tidak enak sama pak Jonathan di depan."
Fatma mengangguk. "Hati-hati ya, Nak."
Sesampainya di depan, Jonathan tampak menghela napas gusar. "Kenapa lama sekali?!" tanyanya jengkel.
"Maaf, Pak." Hana menundukkan kepala.
Jonathan berdecak lalu melirik arlojinya. "Cepat masuk ke mobil!" titahnya kemudian. Hana mengangguk patuh lalu berjalan menghampiri mobil.
"Eehhh …! Tunggu, tunggu, tunggu." Jonathan menghentikan langkah Hana. "Kamu tidak akan ke bandara dengan membawa itu, bukan?" Jonathan menunjuk plastik merah besar yang ditenteng Hana seperti sebuah sampah.
Hana melirik apa yang ditunjuk Jonathan. "Ini?" Mengangkat plastik tersebut. "Kami tidak punya tas besar lagi, Pak. Sudah habis dijual di pasar malam. Terpaksa saya harus membungkus pakaian saya dengan plastik ini."
Jonathan tersenyum miris. "Hell, yang benar saja. Kamu menyebutnya sebagai tempat menyimpan pakaian? Itu terlihat seperti sampah bagi saya. Cepat buang!" tukas Jonathan.
Hana membulatkan matanya, "Tapi, Pak ... saya akan pakai apa nanti di sana?"
"Kamu pikir uang saya tidak cukup untuk membeli pakaian untukmu?" Jonathan tertawa. "Jangankan pakaian luar. Pakaian dalam seperti kutang— maksud saya BH merek apapun yang kamu mau akan saya belikan,
juga termasuk celana dalam. Kamu mau yang kainnya hanya dua senti lebar di depan? Pasti akan saya belikan."***
Hana menutup matanya erat saat pesawat mulai melaju di aspal yang mulus. Ia tidak sadar saat ini tengah meremas paha Jonathan untuk menghilangkan sensasi takutnya. Awalnya Jonathan hanya membiarkannya, karena cekalan Hana di pahanya malah terasa nikmat. Tapi setelah pesawat mulai naik, remasan wanita itu menjadi sangat kuat hingga Jonathan harus mengaduh sakit dan menepis tangan Hana.
"Ma- maaf, Pak. Saya takut." Hana masih setia memejamkan mata.
"Ck, kalau takut peluk saja saya. Jangan paha saya yang kamu remas," ucap Jonathan iseng. Dan benar saja, Hana langsung memeluk erat tubuh pria itu tanpa Jonathan duga.
Jonathan berdeham sejenak, memperhatikan sekeliling. Untung saja tidak ada pramugari, syukurnya dalam hati.
"Em, Hana?" panggil Jonathan, "kamu tahu kebiasaan orang-orang saat naik pesawat?"
Hana membuka matanya perlahan saat pesawat sudah mengudara. Ia lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Pak. Ini pertama kalinya saya naik pesawat."
Jonathan menyeringai. "Menonton video dewasa," bohongnya. Hana membulatkan matanya antara percaya dan tidak, tapi ini adalah pengalaman pertamanya menaiki pesawat. Apakah memang begitu?
Jonathan mengeluarkan ponselnya dan menghubungkannya dengan earphone miliknya. "Dengan menonton ini, kamu tidak akan sadar bahwa kamu sudah sampai di tempat tujuan."
Hana melihat ke sekelilingnya. "Tapi Pak, bagaimana jika orang lain melihat kita?"
Jonathan mengendikkan bahunya acuh. "Biarkan saja, toh! mereka juga melakukan hal yang sama. Lagipula saya memesan tiket kelas pertama, bukan kelas ekonomi. Jadi orang-orang di sekitar kita palingan tidak seberapa." Jonathan memberikan sebelah earphone kepada Hana sementara satunya lagi ia pasangkan di telinganya.
Jonathan mulai memutar video-video yang telah ia unduh sebelumnya. Video pertama mulai berjalan. Jonathan dan Hana menontonnya dengan tegang. Meski awalnya Hana ragu dan tidak berselera untuk menonton, tapi lama-kelamaan ia ikut terhanyut dalam video tersebut.
Sudah lima menit video berjalan, dan Jonathan benar-benar berkeringat. Ia terasa sesak dengan hanya menonton. Ingin sekali ia menerkam Hana yang dengan polosnya menonton video tersebut tanpa mengeluarkan sesuatu seperti desahan atau erangan kecil. Jonathan melirik arlojinya. "Astaga, 45 menit lagi," gumamnya sambil menyeka keringat di dahi.
Hana melirik Jonathan. "Kenapa Bapak berkeringat? Padahal di sini dingin sekali."
Jonathan membulatkan matanya, "Dingin katamu?" Ia tertawa sumbang. "Wow, Hana. Tubuhmu tidak panas?" tanya Jonathan heran.
Hana menggeleng polos.
Jonathan mengelus dadanya, "Sabar ... sabar ... setengah jam lagi."
Sebenarnya Jonathan sudah tidak tahan ingin meniduri Hana. Apalagi saat melihat wajah polos wanita itu yang mengatakan bahwa tubuhnya tidak bereaksi apapun setelah menonton video itu. Wow, songong sekali! pikir Jonathan.
Beberapa menit pun berlalu. Pesawat sudah mendarat di bandara. Jonathan membangunkan Hana yang sedang tertidur di bahunya dan menunjuk keluar jendela pesawat, memperlihatkan langit malam Kota kepada Hana. Membuat wanita itu langsung terkagum-kagum dan tidak berhenti menyerukan kekagumannya.
"Kamu akan menarik kata 'indah' itu saat terjebak macet nanti. Sekarang lekas kita pergi."
Jonathan dan Hana akhirnya keluar dari bandara. Pria itu tampak menelepon seseorang, sementara ia sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bisikan para wanita-wanita di sekelilingnya. Mata mereka tak bisa berpaling dari Jonathan. Pria itu terlihat sangat tampan dengan airport fashion-nya.
Hana langsung merasa minder. Ia pikir sangat tidak cocok untuknya berdiri di samping Jonathan yang tampak cool dan tampan. Sementara dirinya terlihat seperti bebek lusuh. Akhirnya Hana melangkah mundur dan berdiri di belakang Jonathan.
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya