Di bawah pohon rindang yang tinggi menjulang itu, berdirilah seorang gadis yang sedang menatap kosong pada pemandangan yang ada di bawah sana. Kebetulan ia sedang berada di atas bukit untuk menenangkan hati dan pikirannya. Namun sial, bukannya merasa tenang, ia justru semakin terpuruk.
Bagaimana tidak? Beberapa hari yang lalu galian besar itu masih sulit untuk dijangkau oleh mata karena jaraknya yang cukup jauh dari bukit. Dan sekarang galian itu sudah benar-benar berada di hadapannya, matanya dapat melihat dengan jelas bagaimana alat-alat berat mulai menggali tanah dan mengangkut batu bara dengan jumlah yang tidak sedikit.
Gadis itu menghela napas pasrah. Bagaimana ia bisa menghentikan orang-orang yang tega menyakiti alam seperti ini? Ia tidak mempunyai kuasa atas hal itu. Memangnya siapa dia? Dia hanyalah seorang gadis desa yang telah mengakhiri sekolahnya sejak tiga tahun yang lalu akibat kondisi ekonomi yang buruk dan berakhir menjadi penjahit baju, membantu ibunya yang memang merupakan seorang penjahit.
"Kak Hana!" Terdengar teriakan menggelegar di belakang sana yang membuat Hana langsung memutar kepala. "Windy? Ada apa?" tanya Hana kaget.
Sambil menangis, Windy menghampiri Hana dan menarik tangannya. "Kak Hana, cepat pulang ..."
"Ada apa, Windy?" tanya Hana panik, "apa orang-orang itu datang lagi?" Hana menatap pakaian Windy. Dua kancing teratas terbuka hingga menampakkan belahan dadanya. Rok hijau tua panjangnya terlihat sudah tidak karuan lagi. Dimana-mana terdapat sobekan dan bercak darah. "Apa yang sudah mereka lakukan terhadapmu, Windy?" tanya Hana dengan tubuh gemetar.
Windy masih menangis. Ia menggelengkan kepalanya. "Sekarang sudah tidak penting lagi, Kak." Ia menarik lengan Hana. "Cepat pulang. Mereka sedang memukul ibu."
Tanpa berpikir panjang, Hana langsung berlari menuruni bukit dengan mengerahkan semua tenaganya, kaki telanjangnya sudah tak peduli lagi dengan tusukan duri-duri bunga putri malu dan ranting-ranting pohon yang berserakan. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah ibunya. Sesampainya di depan rumah kecil mereka yang tampak lusuh, Hana langsung berlari masuk ke dalam. Tangisannya pecah saat melihat Fatma, ibunya yang tengah berlutut di hadapan pria-pria jahat itu. Hana langsung ikut berlutut di samping Fatma. Disusul Windy yang juga sedari tadi mengikutinya dari belakang.
"Tolong kasihani kami, Pak ..." Hana memohon sambil menangis tersedu-sedu.
"Cih!" Salah satu dari orang-orang jahat itu meludah kasar dan melempar puntung rokok di depan wajah Hana. "Sudah berapa kali kami peringati, cepat jual tanah milik kalian dan lunasi hutang kalian! Apa susahnya untuk dilakukan?!" teriak salah seorang dari pria-pria sangar bertato itu.
Hana menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak. Itu satu-satunya tanah peninggalan almarhum ayah saya. Ayah saya menitipkan tanah itu kepada kami untuk—"
Plak!
Hana tersungkur ke samping akibat tamparan keras di pipi kirinya. Ia memegang pipinya yang memanas dan kembali berlutut. "Saya mohon, Pak ..."
Dug!
Kali ini ia mendapatkan tendangan keras di tubuhnya yang kurus dan kecil. Tidak ingin menyerah, Hana kembali berlutut. Kali ini ia memohon sambil mencium sepatu kotor milik pria itu. "Saya mohon, Pak ..."
"Jalang! Kamu mau saya perkosa juga seperti adik kamu ini?!" teriak pria itu.
Hana tersentak, menatap Windy dengan tatapan terkejut. Apa yang ia takuti telah terjadi pada adiknya. Hana kembali menatap pria-pria itu. "Jangan, Pak. Saya mohon ... kasihani kami."
"Ada apa ini?" Tiba-tiba terdengar suara rendah. Seorang pria bersetelan khas batu bara dengan kacamata hitam dan sepatu kulit muncul tiba-tiba.
"Pak Jonathan?" sahut salah seorang dari pria-pria jahat tadi.
"Saya sudah bilang, bukan? Bujuk warga-warga disini dengan cara yang halus. Kenapa kalian malah bertindak kasar seperti ini?" tanya pria yang diketahui bernama Jonathan tersebut jengkel.
"Kami sudah meminta dengan baik-baik, Pak. Bahkan sejak enam bulan yang lalu. Mereka tidak bisa melunasi hutang dan terus menghindar tiap kali kami menagih secara baik. Karena tidak bisa dikasih tahu dengan cara halus, kami lakukan dengan cara kasar. Dan bukankah itu memang strategi kita dari awal?"
Mendengar hal itu, Hana akhirnya paham. Mereka meminjamkan uang kepada warga-warga yang membutuhkan. Setelah itu, mereka akan kembali menagih hutang-hutang sebelumnya. Disaat warga sudah mulai terpojok dan tidak punya pilihan lain lagi, mereka akan membujuk warga untuk menjual tanah pribumi kepada perusahaan batu bara untuk dijadikan lokasi pertambangan selanjutnya. Kelicikan yang sempurna!
Jonathan menghela napas lalu membuka kaca mata hitamnya dan diselipkan pada kerah bajunya. Ia berjalan mendekat dan mendorong halus pria-pria kejam itu. Jonathan berdiri tepat di hadapan Hana, Windy, dan Fatma yang tengah berlutut sembari terisak.
"Kalian tidak akan rugi. Kami dapat tanah, kalian dapat uang. Masalahnya clear. Setuju?" tawar Jonathan.
"Kami tidak akan menjual tanah itu. Saya mohon, Pak ... semuanya akan kami berikan asal tidak dengan tanah kami," sahut Hana lirih.
Jonathan membuang napas dan kembali memakai kacamatanya. "Baiklah, kalian sendiri yang memilih. Berdoalah semoga kalian masih bisa melihat dunia ini." Dia memutar tubuhnya dan memberi tanda kepada pria-pria besar tadi. Saat akan melangkah pergi, tiba-tiba kakinya tertahan karena sebuah sentuhan. Jonathan melirik ke bawah. Sebuah tangan memeluk lututnya dengan erat.
"Saya mohon, Pak …," ucap Hana memelas. Isakan kecilnya menandakan sebuah ketidak berdayaan lagi.
Jonathan melepaskan cengkraman tangan Hana dari kakinya. Dia pun duduk dengan sebelah lutut bertumpu pada lantai. Jonathan menatap wajah Hana lamat-lamat. “Siapa namamu?" tanyanya.
Hana menundukkan kepalanya. Tidak sanggup menatap langsung wajah pria tampan di hadapannya itu. "Ha- Hana."
Jonathan menyeringai. Sebelah tangannya meraih dagu Hana dan mengangkat kepala gadis itu hingga matanya bertemu langsung netra coklat itu. "Kamu ingin tanah dan keluargamu selamat?" Hana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jonathan mempertipis jaraknya dengan wajah Hana hingga hidung keduanya hampir bersentuhan. "Yakin?" Lagi, Hana menganggukan kepalanya.
"Meski kamu harus menjadi korban?" tanya Jonathan lagi.
"Iya," jawab Hana tanpa ragu.
"Apa kamu siap menjadi pemuas nafsu saya?"
Hana menelan ludahnya susah. Bukan hanya ia yang gugup, ibu dan adiknya juga ikut merasakan kegugupan.
"Hana ..."
Hana berusaha menulikan pendengarannya. Suara lirih Fatma menandakan sebuah peringatan untuk menolak saja apa yang dikatakan Jonathan. Hana memejamkan matanya. "Saya siap," ucapnya pelan.
Jonathan menyeringai puas. Ia lalu berdiri. "Kalau begitu cepat mandi. Kamu harus segera melakukan pekerjaanmu." Hana menganggukkan kepalanya patuh.
***
Hana mengikuti langkah Jonathan masuk ke dalam kamar yang menurut Hana sangat besar, besarnya hampir sama dengan ukuran keseluruhan rumahnya yang kecil.
Jonathan menyalakan AC lalu mulai membuka kancing seragamnya. "Kamu pernah melakukannya dengan pria lain?" tanyanya.
Hana menelan salivanya dengan susah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak. Saya tidak pernah."
Jonathan menatap Hana yang tengah berdiri memojok di dinding dengan wajah polos. "Kamu tidak sedang bercanda, bukan?" Jonathan tak percaya. Sekali lagi, Hana menggelengkan kepalanya.
Jonathan tertawa sumbang, "Astaga, jadi korban saya kali ini adalah seorang perawan?" Jonathan tertawa kecil lalu mulai membuka ikat pinggang dan melorotkan celana jeans-nya. "Jadi berapa usiamu sebenarnya?" Lanjutnya ingin tahu.
"De … delapan belas," jawab Hana tergugu.
Jonathan menghentikan aksinya untuk menanggalkan celana. Ia menatap Hana dengan wajah tak percaya. "Delapan belas? Kamu tidak berbohong?" tanya Jonathan sembari bergidik. Hana menggeleng lagi.
Jonathan membuang napas kasar. ia mengendikkan bahunya singkat. "Kenapa saya harus peduli? Lagipula kamu sudah setuju untuk menjadi pemuas nafsu saya."
Akhirnya Jonathan selesai menanggalkan celananya dan hanya menyisakan boxer. Ia segera mendaratkan bokongnya di tepi kasur. Jonathan menatap Hana dengan kening mengerut. "Kenapa menutup matamu?"
Hana membuka matanya seketika. Ia melirik Jonathan yang sudah hampir bertelanjang. "Saya..." Wajahnya bersemu merah saat tak sengaja menyaksikan sesuatu yang sudah menonjol di balik boxer Jonathan.
"Jangan memikirkan rasa sakitnya. Itu tidak akan bertahan lama. Lama-lama pasti akan nikmat. Aku yakin kamu akan ketagihan nanti. Sekarang ... ayo, cepat kemari." Jonathan menepuk-nepuk kasur di sampingnya.
Hana mengangguk kikuk. Ia berjalan menghampiri Jonathan dengan kaki gemetaran. Jonathan segera berdiri saat Hana sudah berada tepat di hadapannya. Jujur saja, bagi Jonathan, tingkah Hana Terlihat kaku! Dan ia jengkel jika lawan bermainnya terlihat tidak serius atau kurang berminat. Seperti tidak ada niat.
"Buka bajumu," perintah Jonathan dengan suara rendah.
Hana terkesiap. "Sekarang?" tanyanya panik.
Jonathan memutar kedua matanya, "Astaga, kamu pikir kapan? Tahun depan?"
"Maksudnya?"
Jonathan berdecak kesal. "Sudah, lupakan saja! Biar aku yang bekerja." Ia menarik paksa tubuh Hana dan membantingnya ke kasur. Setelah itu Jonathan merangkak naik ke atas tubuh Hana dan mulai membuka kancing kemeja lusuh milik gadis itu satu persatu.
Hana menahan napasnya saat Jonathan mulai mendekatkan wajahnya dengan kedua tangan yang tak berhenti bekerja sama untuk membuka pakaian atas Hana. Ia merasakan gelenyar aneh dalam perutnya saat bibir Jonathan mulai menempel di bibirnya. Perlahan bibir itu mulai bergerak, melumat dan mencecap manisnya bibir ranum milik Hana. Otak Hana langsung blank. Ini gila! Ia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Semuanya terasa asing!
Lidah Jonathan berusaha masuk melalui celah bibir Hana. Namun karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman, Hana tetap mengatupkan bibirnya tanpa memberi jalan kepada Jonathan. Terpaksa, Jonathan akhirnya menggigit bibir bawah Hana hingga gadis itu terpekik dan membuka mulutnya. Rasa besi terasa sangat jelas di mulut Jonathan karena darah dari bibir Hana. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Jonathan pun mulai menyapukan lidahnya di dalam mulut Hana. Mengabsen bersih semua deretan gigi. Menyalurkan dan menerima saliva bersama.
Hana melenguh pelan saat tangan Jonathan meremas payudaranya. Ia melepaskan ciuman di bibir Hana, keduanya sempat mengambil napas sejenak. "Apa sudah selesai?" tanya Hana bodoh.
Dengan napas yang memburu, Jonathan menggelengkan kepalanya. "Ini masih pemanasan."
Hana ikut menggelengkan kepalanya lirih. "Aku sudah tidak ku– mmppphh ..." Jonathan kembali membungkam mulut Hana sebelum menyelesaikan kalimatnya. Ciuman Jonathan turun ke bawah. Ia menghisap kuat kulit leher Hana hingga menampilkan bercak keungu-unguan. Hana tidak tahu sejak kapan bajunya sudah terlepas dari tubuhnya, menyisakan bra hitam yang membungkus payudaranya yang pas-pasan. Desahan Hana muncul tanpa sengaja saat tangan Jonathan telah menyelinap masuk ke dalam bra-nya. Pria itu meremas kuat kedua payudara milik Hana, jari-jarinya juga ikut memilin puting mungil itu dengan gemas.
Jonathan membuka kaitan bra Hana dengan tergesa-gesa dan melemparkannya ke sembarang arah. Lagi-lagi Hana tak dapat menahan desahan memalukannya saat Jonathan mengulum payudaranya. Kedua tangannya juga tak mau diam. Tangan kirinya menangkup payudara kiri Hana dan tangan kanannya sudah menyelinap masuk ke dalam celananya.
Hana ingin berteriak kencang saat jari-jari Jonathan menggesek permukaan miliknya, menggoda bagian inti miliknya. Wajah Jonathan sudah dipenuhi oleh kabut gairah. Pria itu menarik tubuh Hana ke tepi ranjang. Ia melangkah turun dari ranjang dan berlutut tepat di hadapan paha Hana. Ia menanggalkan pakaian bawah wanita itu hanya dalam beberapa detik. Ia juga merobek kain penutup terakhir Hana dengan waktu yang singkat.
Aku menjahitnya sudah tiga kali, gumam Hana dalam hati saat menyaksikan Jonathan merobek dan melempar penutup terakhirnya itu ke sembarang arah.
Hana mengangkat kepalanya, melirik ke bawah. Disana Jonathan tengah berhadapan langsung dengan bagian tersensitifnya. Tanpa penghalang!
Hana menahan napas saat pria itu mencium dan menghisap miliknya tanpa jeda. Lidahnya dengan nakal menelisik masuk ke inti tubuh Hana. Membuat wanita itu melengkungkan punggungnya tidak karuan. Hana ingin menyingkirkan kepala Jonathan dari sana, tapi ini nikmat sekali!
Jonathan menahan paha Hana yang terus bergerak karena rangsangan lidah dan mulutnya. Hana menjerit, tersiksa dengan kenikmatan ini.
"Kamu sudah siap. Aku akan memulainya." Jonathan berdiri dan membuka penutup terakhirnya.
Hana membulatkan matanya saat melihat benda besar dan panjang itu. Ini pertama kalinya diaa menyaksikannya. Hana menutup matanya, merasa takut sekaligus gugup.
"Jangan takut." Jonathan menarik kaki Hana sedikit ke tepi ranjang agar mudah melakukan penyatuan. Ia membuka lebar paha Hana dan bersiap menempatkan miliknya. Perlahan, Jonathan mulai memasukkan benda besar itu. Keringat di dahinya mengucur deras. Ia berusaha keras menembus penghalang tipis di dalam sana. Dan dengan sekali hentakan, Jonathan berhasil melakukannya.
Hana menjerit keras saat merasakan sakit yang luar biasa di daerah kepemilikannya. Ia mencengkram alas kasur, miliknya terasa penuh dan sesak. Sebulir air matanya jatuh membasahi pipi. Ini adalah akhir dari hidupnya. Ia sudah tidak suci lagi.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Jonathan.
Hana memejamkan matanya, mencoba menahan rasa sakit itu. "Tolong lakukan pelan-pelan."
Jonathan tersenyum, ia mulai menggerakkan pinggulnya dengan perlahan, sebelum akhirnya gerakan itu menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Ia menghujam Hana tanpa mempedulikan desahan dan rintihan gadis itu. Jonathan mengerang nikmat. Setelah sekian lama tidak pernah merasakan seorang perawan , akhirnya ia dapat merasakannya hari ini.
Dalam keheningan, air mata Hana jatuh mengalir membasahi pipi mulusnya. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Tidak ingin mengganggu ibu dan adiknya yang sedang terlelap di dalam kamar. Ini sudah jam empat subuh. Tadi, ia berjalan kaki dari tempat Jonathan hingga ke rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer. Ia tidak berani membangunkan Jonathan untuk mengantarnya pulang. Pria itu langsung tertidur setelah mereka selesai 'bermain'.Hana mendaratkan tubuhnya di lantai dengan kaki tertekuk. Punggungnya menyender pada dinding dan tangannya menggenggam sebuah amplop putih berisikan uang pemberian Jonathan setelah mereka selesai berhubungan. Hana menatap uang itu dengan putus asa. Dulu, ia sangat membenci bibinya –adik almarhum ayahnya– yang rela menjual diri kepada penagih hutang agar dapat mempertahankan warung sembakonya. Dan sekarang Hana telah resmi menjadi seorang pelacur. Menjual diri demi sehektar tanah. Seperti menjilat ludah sendiri, Hana membenci dirinya
Fatma dan Windy langsung masuk ke dalam rumah begitu Hana membukakan pintu. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat Jonathan sedang duduk di kursi ruang tamu dengan wajah yang tak enak dipandang. Mereka tahu apa yang sedang Jonathan dan Hana lakukan di dalam rumah, karena penampilan Hana yang tampak acak-adul.Fatma merasa sakit hati, ibu mana yang rela jika anaknya sendiri di perlakukan seperti itu oleh lelaki kejam seperti Jonathan? Tapi sekali lagi semuanya kembali pada kekuasaan duniawi. Fatma dan dua buah hatinya berada dibawah genggaman Jonathan."Maaf." Fatma menundukkan kepalanya sembari mengepalkan kedua tangannya erat. Hatinya terasa teriris saat mengucapkan kalimat barusan. Ia merasa seperti ibu yang tidak berguna, yang menjual anak gadisnya lalu memakai uang yang dihasilkan untuk berobat.Jonathan menghela napas kasar lalu berdiri. Mengabaikan permintaan maaf Fatma, Jonathan lantas menatap Hana tajam. "Aku akan menunggumu di dalam mobil." Ia berjala
Jonathan tumbang di atas tubuh Hana setelah melepaskan penyatuannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul empat subuh. Dan itu menandakan bahwa mereka harus mengakhiri pergumulannya sampai disini. Baik Jonathan dan Hana sama-sama bernapas tersengal.Jonathan mengecup bibir Hana lalu membaringkan tubuhnya di samping Hana yang sedang terkulai lemah. "Kamu benar-benar nikmat." Jonathan merubah posisinya menjadi miring. Ia menatap wajah Hana dari samping. Demi dewa Neptunus, Jonathan tidak bisa untuk tidak mengagumi setiap pahatan wajah Hana. Hidung yang mungil dan mancung, bulu mata lentik serta kelopaknya yang indah membuat wanita itu semakin terlihat menawan. Lalu bibir mungil dan tipis itu, bagian terfavorit Jonathan. Yang menjadi candunya untuk beberapa hari ini. Ah, lengkap sudah keindahan yang ada pada Hana.Pandangan Jonathan turun ke bawah. Ia menatap dada Hana yang sedang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang mengambil napas setelah percintaan yang pan
Windy yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas masuk ke kamarnya dan Hana begitu mendengar suara ribut yang dilakukan oleh Hana. Alangkah kagetnya Windy saat melihat isi lemarinya dan Hana telah berserakan di lantai."Apa yang kak Hana lakukan?" tanya Windy.Mendengar suara Windy, Hana langsung menoleh ke sumber suara. "Windy? Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan wajah tak enak.Windy berjalan masuk dan menatap pakaian-pakaian itu. "Kak, kenapa kakak membongkar semua isi lemari kita?""Oh, ini?" Hana meringis. "Aku sedang mencari seragam sekolahku yang dulu. Kamu melihatnya?" tanya Hana.Windy menggeleng. "Memangnya apa yang akan kakak lakukan dengan seragam itu?"Hana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sesungguhnya ia juga tidak tahu maksud Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah malam ini. "Aku juga tidak tahu. Ini permintaan pak Jonathan."Windy tersentak. "P- pak Jonathan?"Hana menganggukkan kepala
Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari."Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai k
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba
Semua mata tertuju pada wanita yang tengah melangkah masuk ke dalam gedung itu.Mata elangnya menatap lurus ke depan. Dengan langkah kaki yang tegas, ia tampak akan memakan semua orang yang menatap ke arahnya. Ia tampak tidak asing, tapi ekspresi dan penampilannya yang modis membuatnya tampak berbeda kali ini.Semua karyawan sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat sekarang ini. Pimpinan mereka, Florentina Hana, yang selama ini diketahui telah menghilang dan dikabarkan meninggal tanpa sebab, ternyata masih hidup.Media menjadi heboh dengan kemunculan CEO Deloxa itu. Sebagian dari orang-orang yang berada di dalam gedung itu tampak takut, ada pula yang heboh dan segera mengabadikan momen itu lalu mengunggahnya ke sosial media.Hana melewati kerumunan manusia yang sedang memotret dirinya itu. Tatapan tajam ia lemparkan pada mereka. "Apa kalian ingin dipecat?" Para karyawan langsung berhenti mengambil gambar dan tampak menundukkan kepala."Saya aka
Jari-jari Jonathan meremas setir mobil dengan kuat. Ia tampak gelisah. Bayangan wanita yang melewatinya tadi sore benar - benar menghantui kepalanya. Mungkinkah Hana masih hidup? Lalu siapa wanita di peti yang ia tangisi itu? Ya, Tuhan … ini semua benar-benar gila!"Apa yang sedang papa Jonathan pikirkan?" tanya Axel di sampingnya.Jonathan menoleh, menatap anaknya itu. "Axel, apa kamu percaya dengan keajaiban?"Axel mengangkat alisnya, "Keajaiban?"Jonathan mengangguk."Hm. Axel percaya. Mama selalu mengatakan; tidak ada yang tidak mungkin selama Tuhan berkehendak," jawab anak itu polos.Jonathan terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia berkata, "Apa Axel percaya jika mereka yang telah meninggal bisa hidup kembali?""Itu bisa saja, Papa.""Apa Axel percaya jika mama Hana telah meninggal?" tanya Jonathan lagi."Kenapa papa Jonathan tiba-tiba bertanya seperti itu?" sahut Axel penasaran.Jonathan menggeleng,
"Ada apa, Papa?" tanya Axel kepada Jonathan yang menggantungkan kalimatnya.Jonathan terkesiap. Ia menatap Axel, "Papa hanya … tadi ..." Ia menoleh lagi ke arah wanita itu. Dia berlari menjauh dari mereka. Wanita itu seperti sedang ketakutan. Apakah yang ia lihat barusan adalah hantu? Atau ia sedang bermimpi? Wajahnya benar-benar mirip.Tidak, itu pasti bukan Hana. Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia pikir itu hanya halunasinya saja karena terlalu sering memikirkan Hana. Hana yang ia kenal telah meninggal."Papa Jonathan?"Jonathan tersadar dari lamunannya."Ada apa? Kenapa papa Jonathan hanya diam? Ayo kita pergi dari sini. Axel ingin pulang.""Axel," cegah Jonathan karena hendak berkata, "Axel tunggu sebentar di sini ya. Papa akan kembali lagi dalam lima menit." Usai berkata demikian Jonathan langsung berlari secepat mungkin mengejar jejak wanita tadi. Ia sudah kepalang penasaran.Jonathan berlari sembari mengedarkan matanya