Abraham dimakamkan di St. Louis Cemetery No. 3. Tempat Pemakaman Umum (TPU) Fairground
3421 Esplanade Ave (at Wisner Blvd), New Orleans, LA 70119, Amerika Serikat.Pemakaman berlangsung sangat sederhana dan khidmat. Semua adalah permintaan Abraham semasa hidupnya. Dia tidak ingin pemakamannya bermewah-mewahan, lebih baik semua uangnya untuk membantu anak-anak di panti Yayasan Calandre.Aubrey sudah sedikit kuat, meskipun masih terlihat sembap karena terlalu lama menangis. Beruntung dia sudah memiliki Dominique yang sangat perhatian dan menyayanginya. Para pelayat yang baru datang mengucapkan belasungkawa satu per satu."Please accept my condolences." Cassandra yang memakai gaun hitam selutut menghampiri Aubrey sambil mengulurkan tangannya."Thanks," ucap Dominique menepis tangan Cassandra."My pleasure," balas Cassandra, lalu dia memakai kacamatanya dan hendak pergi."Terima kasih untuRangers rover milik Dominique membelah jalan Fairground Esplanade Ave menuju mansion Hameed. Masih ada sedikit rasa kesal di hatinya, mengingat sikap Damien kepada istrinya. Menyadari hal tersebut, Aubrey mendaratkan bibirnya di pipi Dominique. "So sorry, Sweetheart. Aku akan membawamu ke mansion Hameed terlebih dahulu. Ada sesuatu yang ingin kuambil. Baru nanti kita ke mansion Calandre, ya?""Tidak apa kalau kau mau ke mansionmu. Biarlah, Kak Reno yang mengurus semua di mansion Calandre. Nanti, aku akan hubungi dia, kau tidak usah sungkan. Sekarang, kau adalah suamiku. Maka, aku akan mengikuti semua yang kau mau.""Terima kasih ya, Sweetheart."Dominique menggenggam jemari Aubrey dan mengecup punggung tangannya. Dia lalu kembali fokus mengendarai mobilnya yang melakukan dengan kecepatan sedang. ***"Bibi! Tolong rapihkan kamar Dominique, ya! Ada menantuku yang akan pulang ke mansion ini."
"Damn, semakin menjadi saja Dominique. Dia juga semakin dekat dengan Aubrey. Apa yang harus aku lakukan? "Kalau begini terus, rasanya akan berat untuk menaklukkan hati Aubrey.""But, apa yang terjadi dengan Aubrey ya? Mengapa dia duduk di kursi roda dengan tangan diinfus? Apakah dia sedang sakit?""Ya, pasti karena kematian kakeknya membuat dia jatuh sakit."Damien mondar-mandir di kantornya sambil terus mengoceh. Sekali-sekali, dia meremas rambut dan melayangkan tinju ke udara. Amelia, yang tiba-tiba masuk menatap heran atasannya itu yang terlihat kacau sekali. Tidak ingin mencampuri urusan Damien. Amelia pun mengurungkan niatnya untuk memasuki ruangan atasannya itu. Dia juga sudah dapat menebak, pasti urusan dengan Aubrey yang membuat dia seperti itu. "Pasti karena Aubrey. Sepertinya, Tuan Damien sudah jatuh hati dengannya. Tidak mungkin, kalau hanya untuk urusan bisnis sampai seperti itu. Masih
"Maaf Tuan, kita melakukan itu di sini?""Ya, lantas dimana lagi?""Tapi …."Amelia menggantung kalimatnya dan memeriksa ponselnya setelah Damien memberikan isyarat. "Itu! Tampaknya cukup bukan?" Damien menunjuk ke arah ponsel Amelia dengan dagunya. Amelia menghela napas dan memejamkan matanya. Dia benci akan perasaan ini, perasaan direndahkan seperti seorang pelacur. Namun, dia cepat-cepat menepis semuanya. Uang adalah segalanya bagi Amelia. Amelia melucuti kancing kemejanya satu persatu hingga tubuhnya tampak polos tanpa benang sehelai pun di hadapan Damien. Damien melihat tubuh Amelia dari atas hingga bawah. "Damn. Pakai lagi pakaianmu, aku tidak tertarik lagi," ujar Damien. Amelia lalu dengan cepat memakai pakaiannya kembali sebelum atasannya itu berubah pikiran. Setelah rapih, Damien memintanya duduk di sofa dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh atasannya itu.
Mobil Dominique telah sampai di kediaman Hameed. Bella yang sudah menunggu di teras gegas menyambut kedatangan anak dan menantunya itu. "Be careful, Sweetheart," ucap Bella kepada Aubrey. Dengan perlahan dia membantu Aubrey turun dari mobil dan duduk di kursi roda yang telah diambil Dominique. "Mami, jangan perlakukan aku seperti orang sakit parah. I'm ok, Mi!" ujar Aubrey membelai lembut tangan Bella. "Kau anak perempuan satu-satunya Mami. Jadi harus menuruti kata Mami, ya." Bella tersenyum kemudian membelai rambut Aubrey. "Ayo, sekarang masuk!" lanjutnya. "Dominique." Aubrey memberi isyarat. "Welcome to my life," ujar Dominique sambil mengedikkan bahunya. Pada akhirnya, Aubrey pasrah diperlakukan bak layaknya anak kecil yang sedang sakit. Sekali-sekali, dia menjelaskan kepada Bella bahwasanya dia harus berlatih menggerakkan tubuh agar cepat membaik keadaannya.
Dua minggu telah berlalu dari peristiwa penusukan Aubrey. Dominique, Reno, dan Tony sudah mencari kabar ke seluruh tempat bahkan ke organisasi gelap. Namun, hasilnya masih nihil. Sang pelaku selain belum tertangkap, juga tidak terendus jejaknya. Mereka semakin putus asa karena apapun yang mereka lakukan terlihat sia-sia. "Damn it. Hanya mencari seorang bajingan kecil saja aku tidak mampu. Pria macam apa aku ini!" seru Dominique. "Easy, Man. Bukannya kita tidak mampu, tetapi orang tersebut tampaknya memiliki pelindung yang kuat," ujar Tony. "Ya, ada benarnya ucapan Tuan Tony." Reno menimpali. "Bullshit. Di New Orleans ini, akulah kekuatan itu. Tidak ada satupun yang luput dari pandanganku!" Seru Dominique. "Tapi, kau lihat Man. Kita belum menemukan orang tersebut. Bahkan, bayangannya saja kita tidak melihatnya. "Arrrggghhh."Dominique meremas rambutnya. Dia terlihat sangat kesal dan terus mengumpat. Tony dan Reno ya
Setelah selesai menyiapkan makan malam. Aubrey membersihkan diri, kemudian berpakaian dan berdandan sesuai anjuran Bella. Gaun tidur yang dibelikan sang mertua berwarna hitam dan berenda di sisi-sisi sampingnya. Aubrey melapisi gaun malamnya dengan pakaian dress selutut yang lebih tebal. Tinggal bersama dengan mertua, membuat Aubrey harus memperhatikan cara berpakaian yang sopan. Selesai mematut diri di cermin, Aubrey turun dan bersiap menyambut Dominique pulang kantor. Bersama Bella, dia bercengkrama di ruang keluarga."Bagaimana, kau sudah mencoba pakaian yang Mami berikan?" tanya Bella antusias. "Sudah Mi, saat ini aku sedang memakainya. Tapi, aku melapisinya lagi karena malu dengan papi." Aubrey menjawab malu-malu. "Good. Semoga setelah malam ini, kalian dapat cepat memiliki seorang anak, ya!"Aubrey mengaminkan ucapan Bella. Mereka kembali fokus dengan apa yang mereka tonton. Debaran jantung
"You wanna do it?" tanya Dominique sambil menatap dalam ke arah mata Aubrey. Aubrey mengangguk, lalu mendaratkan bibir mungilnya di bibir Dominique. Dengan lembut sang suami menyambut kecupan hangatnya dengan lumatan lembut yang menggelora. Kini, tangan-tangan kekar itu sudah berpindah tempat menelusuri area-area lainnya. Sambil terus melumat bibir mungil Aubrey, Dominique memberikan sentuhan-sentuhan yang membangkitkan gairah Aubrey. Sudah lama Dominique menahan hasratnya. Kini, semua mimpi seakan menjadi nyata. Tubuh Aubrey yang selalu menjadi candu di setiap malam-malam Dominique terpampang nyata di hadapannya. Konyol rasanya, begitu pikiran Dominique. Aubrey sudah menjadi istrinya, tetapi rasa gugup dan sungkan datang menghampiri. Tidak seperti malam waktu Dominique mengambil kesucian Aubrey, semua berlangsung begitu cepat dan tanpa sungkan. Apakah karena malam itu setan di pikiran Dominique yang telah menguasai? Entahlah, yang p
"Selamat pagi, Tuan Muda Nyonya." Pelayan membungkukkan sedikit badannya saat melihat Dominique dan Aubrey menuju meja makan. "Pagi semua, Mi, Pi," ucap Dominique dan Aubrey. Pagi itu, mereka menikmati sarapannya dengan nikmat sambil menceritakan beberapa hal yang dilalui kemarin. Di tengah perbincangan, seorang pelayan menghampiri mereka. "Permisi, Tuan. Ada Tuan Tony menunggu di ruang tamu." Pelayan berbicara kepada Dominique."Suruh dia kemari! Agar kita dapat sarapan bersama!" perintah Dominique. "Baik, Tuan." Pelayan gegas melaksanakan perintah tuannya dan menjemput Tony. Tony menyapa semua orang yang berada di ruang makan. Bella juga menawarkannya untuk ikut sarapan bersama. Dia pun akhirnya ikut bergabung untuk menghormati tuan rumah. Selesai sarapan, Dominique membawa Tony ke ruang kerjanya. Aubrey yang tidak ingin ikut campur masalah suaminya memilih pergi berkebun bersama Bella. "Katakanlah. Apa