Emely mencengkram erat bahu kokoh Blue, jemarinya yang lentik seolah tak ingin melepaskan pegangan itu. Tubuh moleknya tersentak halus, mengikuti irama yang membuat setiap sarafnya berdenyut lembut. Dengan refleks, kepalanya terangkat, menengadah ke langit-langit ruangan mewah yang dihiasi lampu gantung kristal berkilauan.
Bibir merah mudanya sedikit terbuka, membiarkan desahan penuh kenikmatan lolos begitu saja, sebelum akhirnya ia menggigit bibir bawahnya dengan gemas, menahan gejolak yang terasa mengiris setiap serat tubuhnya.Blue, pria dengan tatapan penuh hasrat, juga tak luput dari pesona keintiman itu. Erangan berat meluncur dari bibirnya, menggambarkan sensasi yang tak terlukiskan saat tubuh hangat Emely menyatu dengannya. Ia mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping sang gadis, jemarinya yang besar melingkar penuh kehangatan, menarik Emely lebih dekat ke tubuhnya yang kokoh.Blue membawa wajahnya semakin dekat, napas hangatnya menyapu kulit leEmely melingkarkan tangannya di leher Blue, mendekatkan tubuh mereka tanpa celah. Goyangannya kini lebih teratur. Pinggulnya bergerak maju mundur dengan ritme yang dibuat semakin provokatif, mengundang desahan dari pria yang kini tak bisa menyembunyikan ekspresi puas di wajahnya.Tatapan Blue beralih ke Emely, penuh gairah. Jemarinya yang kuat kembali mencengkram pinggang Emely, menuntun gerakan gadis itu agar semakin sinkron dengan desakan hasrat yang mereka ciptakan bersama.Di setiap gerakan, tubuh Emely tampak gemulai, membuat Blue semakin kehilangan kendali. Ia hanya bisa menyerahkan diri sepenuhnya, membiarkan gadis itu memegang kendali atas momen penyatuan yang begitu dahsyat. “Ahh! Baby. Fucking shit! Arghh!” desah Blue dengan racauan-racauan yang mencerminkan kenikmatan. “Bagaimana menurutmu? Apakah goyangan ku terasa payah bagimu?” tanya Emely dengan suara pelan seperti berbisik. Ia menatap mata Blue begitu dalam.“No. Sangat
Blue kian bersemangat. Bibirnya berpindah-pindah dengan rakus namun tetap lembut, bergantian menghisap puting payudara Emely dari kanan ke kiri. Mulutnya sesekali meninggalkan jejak panas, sementara tangannya yang kuat menahan tubuh gadis itu.Gerakan Emely yang sensual, ditambah dengan desahannya yang penuh gairah, semakin membakar Blue. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh gadis itu, seakan mengklaim setiap bagian darinya sebagai miliknya. Menit demi menit berlalu, gerakan pinggul Emely yang semula pelan dan lembut kini mulai kehilangan kendali. Ritmenya berubah, dari perlahan dan sensual menjadi lebih cepat, liar, dan penuh gairah. Setiap hentakan yang ia lakukan semakin kuat, mencerminkan intensitas yang terus meningkat dalam dirinya, seolah tubuhnya mengisyaratkan puncak kenikmatan yang kian dekat.Blue hanya bisa memegangi pinggang ramping Emely dengan erat, membantu menyeimbangkan tubuhnya yang terus bergerak tanpa henti. Napas pria itu terdengar b
“Ahh! Ahh! Ahh! Fuckkk! Oh my god… Blue!”“Arghh… Fucking shit! Ohh Baby!”"Ughh! Yes! Yes! Yes!" seru Emely dengan suara penuh gairah, tubuhnya terguncang hebat dalam irama yang semakin intens. Setiap hentakan dan hujaman yang dilakukan Blue membuat gelombang kenikmatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memaksa gadis itu meracau tanpa kendali."Fuck! Emely!" erang Blue dengan napas yang memburu. la mendekatkan wajah, membenamkannya di dada Emely—mengulum, melumat dan menghisap dengan rakus puting payudara gadis itu. Bibirnya bergantian meninggalkan jejak hangat di dada kanan dan kiri Emely."Uhhh… Blue..." Rintihan Emely terdengar semakin penuh hasrat, menggema lembut namun menggoda. Jemari lentiknya tak henti-hentinya meremas rambut tebal Blue, menariknya lebih dekat seolah enggan membiarkan pria itu berhenti mencumbu dadanya. Tubuhnya melengkung sempurna di pelukan Blue, menggeliat mengikuti setiap dorongan dan hentakan yang terasa semakin mendalam
Tiba di kamar yang terletak di dalam ruang kerja pribadinya, Blue dengan hati-hati membaringkan tubuh Emely di atas ranjang. Kamar ini dirancang dengan sangat elegan, mencerminkan status dan selera Blue sebagai CEO sekaligus Direktur Utama Sinclair Ocean Technologies.Interiornya didominasi nuansa modern minimalis dengan sentuhan mewah. Dinding berwarna netral berpadu dengan aksen kayu gelap, menciptakan suasana yang hangat namun profesional. Sebuah ranjang king-size dengan sprei putih bersih dan bantal-bantal empuk menjadi pusat ruangan, diapit oleh meja kecil dengan lampu baca bergaya futuristik.Di salah satu sisi kamar, terdapat jendela besar yang dihiasi tirai tebal, memungkinkan cahaya alami masuk pada siang hari. Di sudut lainnya, sebuah pintu mengarah ke kamar mandi pribadi yang dilengkapi dengan fasilitas premium—seperti bathtub marmer, pancuran dengan sistem rain shower, dan wastafel ganda yang berkilauan.Tidak jauh dari situ, sebuah walk-in clo
Tubuh Emely menggelinjang pelan, merasakan sensasi yang membuatnya tak mampu berkata-kata. Sementara itu, Blue tetap fokus, memberikan sentuhan memabukkan di dada gadis itu. Hingga menit berikutnya, Blue menyudahi dengan memberikan hisapan terakhir yang kuat pada pucuk dada Emely.Blue perlahan menjauhkan wajahnya dari dada Emely, menatapnya dengan sorot mata sayu. Gadis itu masih terengah-engah, pipinya memerah. Blue tersenyum kecil, kemudian mendekatkan wajah untuk mengecup bibir Emely dengan lembut.“Sekali lagi?” bisiknya, suaranya rendah dan menggoda. Sementara itu, tangan nakalnya di bawah selimut mulai bergerak, menggerayangi perut rata Emely hendak turun ke pangkal paha dengan sentuhan yang menggoda.Namun, Emely dengan cepat menangkap pergelangan tangan Blue, menghentikan aksinya. “Tidak! Aku tidak mau!” tegasnya, nadanya terdengar yakin meskipun tubuhnya sempat merespon godaan Blue beberapa saat lalu. “Bicara dulu apa yang mau kamu bicarakan,” de
Empat tahun yang lalu, keluarga Sinclair mengatur sebuah perjodohan antara Talia Sinclair dan salah satu putra kolega bisnis ayahnya, Ronan Sinclair. Langkah ini diambil demi mempertahankan kemitraan strategis antara Sinclair Ocean Technologies dengan perusahaan kolega tersebut—perusahaan besar yang menjadi pilar kekayaan keluarga Sinclair. Namun, keputusan itu menjadi awal dari konflik dan tragedi dalam keluarga Sinclair.Ronan, seorang pria yang dikenal ambisius, rela mengorbankan kebahagiaan putrinya demi keuntungan bisnis. Ia menutup mata terhadap laporan Talia tentang sifat buruk pria yang akan dijodohkan dengannya.Bahkan ketika Talia memberanikan diri membeberkan semua bukti perilaku kasar dan tidak layak calon tersebut, Ronan hanya berkata bahwa sifat keras itu akan berubah seiring waktu. Baginya, masa depan perusahaan jauh lebih penting daripada kekhawatiran putrinya.Talia merasa terjebak. Setiap hari ia menangis, memohon kepada ayahnya
Emely terdiam. Kata-kata Blue menghujam tepat di hatinya, membuatnya tertegun sesaat.“Bagaimana caranya aku bisa bahagia dengan gadis yang kucintai, sementara adikku sendiri menderita?” Blue melanjutkan dengan nada berat. “Saat itu, aku hanya berpikir… jika hubungan kita berakhir, kau bisa menemukan pria lain yang lebih baik. Sedangkan kalau kita tetap melanjutkan, entah apa yang akan terjadi pada Talia.”Mendengar penjelasan itu, Emely mengangguk pelan, mencoba mencerna perasaan Blue. “Aku mengerti,” katanya, suaranya lembut. “Kalau aku berada di posisimu, mungkin aku juga akan mengambil keputusan yang sama. Tidak mungkin kita menutup mata saat orang yang kita sayangi tengah menderita, bukan?” Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum menambahkan, “It’s okay.” Senyumnya tipis, tapi tulus, seolah memberi kekuatan pada pria di hadapannya.Blue menghela napas lega. Tak disangka, Emely bisa memahami sudut pandangnya dengan begitu dewasa. Ia memandan
Mendengar jawaban itu, Blue terkekeh pelan. Tawanya rendah dan hangat, membuyarkan sisa-sisa ketegangan di antara mereka. Di bawah selimut, tangannya mulai bergerak, menjelajah hingga akhirnya berhenti di dada Emely. Dengan lembut, ia menangkup salah satu payudara bulat dan kenyal gadis itu.Emely memejamkan mata, tubuhnya bereaksi refleks terhadap sentuhan Blue. Sentuhan telapak tangan pria itu pada payudaranya membuatnya terdiam, menikmati perasaan yang sulit ia jelaskan.“Aku pikir setelah aku menceritakan semuanya, tidak ada lagi rahasia di antara kita,” sindir Blue, suaranya terdengar seperti bisikan yang menggoda. “Rupanya aku salah.”Emely membuka matanya, melirik Blue dengan tajam meski ada senyum tipis di bibirnya. “Kamu memang orang yang pamrih,” desisnya. “Melakukan sesuatu karena berharap imbalan. Ya, terserah aku dong, mau jujur atau tidak, itu kan hakku,” lanjutnya dengan nada sedikit pedas.Blue tertawa kecil, kali ini lebih dalam.
Di sana, berdiri Zara, dengan senyum sumringah menyambut kedatangan mereka.Amara menoleh ke arah teras dan melihat sang Nenek melambaikan tangan lembut ke arahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan sambil membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Mommy, tidak apa-apa ‘kan kalau aku bawa boneka ini?” tanyanya polos sambil merapikan boneka yang masih digenggam erat.“Iya, tidak apa-apa, sayang. Bawa saja,” jawab Emely lembut sambil keluar dari mobil dan menutup pintunya. Ia meraih tangan kecil Amara, menggenggamnya erat, lalu membawa gadis kecil itu melangkah bersamanya menuju teras Mansion.Saat mereka mendekat, Zara yang telah menunggu di teras utama menyambut dengan antusias. Wajahnya tampak sumringah.“Selamat siang, Mom,” sapa Emely ramah.Mom. Sebuah panggilan yang awalnya terasa canggung kini mulai terdengar natural. Setelah beberapa kali pertemuan, panggilan "Aunty" yang semula Emely gunakan untuk Zara perlahan berubah menjadi "Mom." P
New York, USA…Emely fokus mengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara matanya menatap lurus ke jalan yang terbentang di depannya. Di kursi belakang, Amara duduk terdiam. Gadis kecil itu terlihat tenang, namun dari raut wajahnya, jelas ia sedang memperhatikan Ibunya.Biasanya, perjalanan bersama Amara dipenuhi dengan tawa atau percakapan ringan. Namun, hari ini berbeda. Amara tidak berani mengajak Ibunya berbicara. Ekspresi Emely tampak dingin, penuh beban yang tidak biasa.Ddrrttt…Ponsel Emely yang tergeletak di konsol tengah mobil tiba-tiba bergetar. Ia melirik sekilas pada layar yang menyala.“Biru Tua is calling…”Nama kontak itu jelas tertulis di layar. Ternyata pria itu yang sedang menelepon. Namun, Emely tidak berniat mengangkatnya. Ia mendengus pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Perasaan jengkel kembali menyeruak di hatinya.‘Dasar Blue jelek! Tua! Brengsek!’ maki Emely dalam hati. ‘K
Rahang Erlan langsung mengetat mendengar jawaban itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Pikiran di kepalanya mulai berputar cepat. Jadi, selama satu bulan penuh ini, Emely telah membohonginya? Selama itu juga Blue diam-diam mendekati putrinya tanpa sepengetahuannya?Kemarahan Erlan semakin membuncah, membuat napasnya terdengar memburu panas. Kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.‘Keparat…’ geramnya dalam hati. Namun Erlan belum selesai. Ia masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan. Selang beberapa detik, ia kembali bertanya, “Apakah Blue sering mendatangi apartemen Emely?”Ketiga pria itu kembali saling melirik, ragu-ragu untuk menjawab. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membuat emosi Erlan semakin meledak. Ia menggebrak meja keras dengan kedua tangannya, membuat mereka semua terlonjak.“Jawab pertanyaanku!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan besar itu
Milan, ItaliaSelama beberapa minggu terakhir, Erlan merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada putrinya, Emely. Biasanya, gadis itu selalu menghubungi Ibunya, Lucia, setiap pagi tanpa absen. Namun, belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah. Kadang-kadang, Emely tidak menelepon, atau ketika Lucia menghubunginya lebih dahulu, panggilannya tidak langsung dijawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Erlan: Ada apa dengan Emely?Namun, rasa curiga Erlan semakin kuat setelah pertemuannya dengan Han Jae-Min, seorang pria yang merupakan mitra bisnisnya sekaligus ingin diperkenalkan pada Emely. Saat berbicara dengan Erlan waktu itu, Han Jae-Min mengungkapkan kejadian saat di acara seminar, sehingga tak ayal membuat Erlan terkejut.“Paman Erlan, saya harus jujur,” ujar pria asal Korea itu. “Emely tampaknya sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menyinggung lebih jauh, jadi saya memutuskan untuk menjaga jarak.”Ucapan itu membuat Erlan tertegun.
"Aku mau bahas soal Lidya," ujar Blue langsung tanpa basa-basi."Aku rasa tidak ada yang perlu kamu jelaskan, dan mantan istrimu itu tidak ada urusannya denganku. Itu urusanmu, dan kamu urus saja sendiri," ucap Emely dengan nada sarkastik, suaranya dingin saat menatap tajam ke arah Blue. Setelah melontarkan kalimat itu, ia memutar tubuh, berniat melangkah menuju pintu.Namun, Blue dengan sigap menahan pinggang rampingnya, menarik tubuh Emely kembali menghadap padanya. Dengan satu hentakan lembut, ia membuat Emely tetap berada di tempat. "Kemarin dia menelponku hanya untuk menanyakan Amara. Tidak lebih dari itu," ujar Blue, mencoba menjelaskan.Emely mendengus kecil, ekspresinya datar dan sinis. "Kalaupun lebih, juga tidak masalah," balasnya cepat.Blue terdiam, merasa terjebak. Ia tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati si Kucing Liar-nya ini yang sudah terlihat begitu murka. Kecewa oleh perlakuannya."Aku tidak akan melarangm
Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu. Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidak
Sinclair Ocean TechnologiesDi dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue duduk dengan raut wajah tegang. Porter, asisten pribadinya, baru saja melaporkan sebuah kabar yang membuat pria itu terkejut. Lidya, mantan istrinya, diketahui mendatangi sekolah Amara dan, lebih buruknya lagi, bertemu dengan Emely di sana.Blue mengangkat pandangan tajam, menatap Porter. “Bagaimana ceritanya Lidya bisa tahu alamat sekolah Amara, Porter?!” sergahnya dengan nada tegas, matanya menyiratkan kemarahan.Porter, yang berdiri di depan meja kerja Blue, tampak canggung. Ia menggeser kakinya sedikit, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Blue mendesah kasar, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di belakang meja. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya tampak lebih frustrasi.‘Sial!’ desisnya dalam hati. Pikiran Blue berputar cepat, membayangkan apa yang mungkin telah terja
Disisi lain, Emely akhirnya tiba di sekolah Amara. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia keluar dengan tergesa-gesa, langkah kakinya cepat menuju meja resepsionis. Sesaat, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, berusaha mengatur napas."Selamat siang, Mrs. Emely," sapaan ramah dari resepsionis langsung menyambut kedatangannya. Wanita itu mengenali Emely sebagai ibu dari Amara.Emely tersenyum kecil, meskipun ia tampak sedikit tergesa. "Selamat siang," balasnya sopan. "Amara masih menunggu di ruang biasa, kan?" tanyanya langsung.Resepsionis itu mengangguk, tetapi ragu-ragu sejenak. "Benar, Mrs. Emely. Amara sedang menunggu di ruang lounge siswa. Tapi barusan ada seorang wanita yang meminta izin untuk bertemu dengannya. Saya sudah memastikan, namanya Lidya."Deg!Mendengar nama itu, tubuh Emely seolah membeku sesaat, tetapi hanya sebentar. Ekspresi terkejut yang sempat terlintas di wajahnya segera digantikan dengan ketenangan. Ia mengangguk cepat
The Sterling AcademySetelah berhari-hari mencari informasi, akhirnya Lidya menemukan alamat sekolah Amara. Tempat itu bernama The Sterling Academy, sebuah institusi elit yang terletak di kawasan mewah Upper East Side, New York. Bangunan sekolah tampak megah dengan arsitektur klasik bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang tinggi menghiasi fasad bangunan, membuatnya lebih menyerupai Mansion pribadi daripada sebuah sekolah.Halaman depannya yang luas dihiasi taman-taman rapi dengan bunga berwarna-warni, sementara sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah. Anak-anak dengan seragam rapi mulai keluar dari gedung, diantar oleh guru atau asisten pribadi mereka. Di depan gerbang, deretan mobil-mobil mewah berjejer menunggu untuk menjemput mereka pulang.Di tengah hiruk-pikuk siang itu, Lidya berdiri canggung di dekat pintu masuk utama. Tangannya mencengkeram ponsel dalam genggamannya dengan erat, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas panjang, i