Selesai makan siang, Blue, Emely, dan Amara berpindah ke ruang TV untuk menghabiskan waktu bersama. Suasana terasa nyaman dan santai. Seorang pelayan masuk membawa dua cangkir teh hangat untuk Blue dan Emely, lalu meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka.Sejak tadi, Amara tampak tak mau berjauhan dari Emely. Gadis kecil itu duduk di sampingnya, memeluk erat tubuhnya seolah-olah takut ditinggalkan. Tangan mungilnya menggenggam ujung baju wanita itu.Waktu berlalu hampir satu jam. Di sela tawa ringan dan obrolan santai, suara Amara perlahan menghilang. Emely yang menyadari keheningan itu, menundukkan kepalanya untuk melihat Amara. Ia mendapati gadis kecil itu sudah berbaring di sofa dengan kepala bersandar pada pahanya, tertidur lelap.“Dia tidur, Blue,” gumam Emely dengan suara nyaris seperti bisikan. Tatapannya beralih pada pria yang duduk di sebelahnya.Blue menarik pandangannya dari layar TV dan menoleh ke arah Emely, alisnya sedikit terangkat. Ia lalu menunduk untuk memast
Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit di perjalanan, akhirnya Blue dan Emely tiba di Luxe Midtown Residences, sebuah gedung apartemen elite yang terletak di kawasan Manhattan, New York. Gedung itu terkenal dengan fasilitas mewah dan lokasinya yang strategis di pusat kota, menawarkan pemandangan indah Central Park dari lantai-lantai atasnya.Mobil SUV hitam milik Blue perlahan memasuki area basemen yang luas dan terorganisir dengan baik. Lampu-lampu parkir menerangi jalur dengan sempurna, memberikan suasana eksklusif khas gedung premium. Blue menghentikan mobilnya di salah satu slot parkir khusus tamu, mematikan mesin, dan melirik sekilas ke arah Emely sebelum keluar dari kendaraan.Emely membuka pintu penumpang dan melangkah ke luar. Udara dingin dari sistem ventilasi bawah tanah terasa menerpa singkat kulitnya. Blue berjalan mendahului, tetapi langkahnya cukup lambat agar Emely bisa mengikuti tanpa tergesa-gesa.“Unitmu di lantai berapa?” tanya Blue, pura-pura tidak tahu letak
“Kalau aku berkata jujur, bahwa aku tidak berminat, apakah kau akan peduli?” Ia balik bertanya. Blue tertawa pelan, tawanya terdengar rendah dan menggoda. “Tentu saja tidak,” jawabnya dengan nada santai. “Kau tahu, Emely, kau tidak punya pilihan untuk menolak apa pun yang aku inginkan.”Emely mendengkus kecil. Meski nada bicaranya menunjukkan ketidaksukaan, matanya tetap terkunci pada Blue. “Aku tahu itu. Justru karena itu, aku malas berkata tidak,” balasnya tajam tetapi setengah menyerah.Blue tersenyum tipis, sebuah senyuman yang sarat penuh kemenangan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia mendekatkan wajahnya ke Emely, menatap matanya dengan dalam sebelum bibirnya menyentuh bibir wanita itu. Ciumannya lembut tetapi menguasai, seolah-olah mengklaim sesuatu yang sudah menjadi haknya. Emely yang awalnya ragu, pada akhirnya terbuai oleh kehangatan dan kelembutan sentuhan Blue.Untuk beberapa saat, mereka tenggelam dalam ciuman yang terasa membakar birahi dan mengabaikan segala hal lain d
Azure Nightclub malam itu berdenyut dengan kehidupan. Musik EDM menggema memecah udara, dentumannya menggetarkan lantai marmer dan mengalir ke tubuh setiap pengunjung. Aroma minuman keras bercampur parfum mewah memenuhi ruangan, menciptakan atmosfer yang menggoda dan penuh gairah.Di salah satu sudut lounge yang mewah, Emely Erlania William’s tampak tengah duduk bersama teman-temannya. Wajahnya yang cantik dan anggun memancarkan cahaya tersendiri meskipun dikelilingi oleh gemerlap dunia malam. Rambut panjangnya tergerai, berpadu sempurna dengan gaun hitam yang menonjolkan tubuh rampingnya yang penuh pesona. Ia baru saja kembali ke meja setelah puas berdansa di lantai dansa, bergerak bebas tanpa pengawasan, menikmati malam yang penuh kebebasan. Beberapa botol minuman baru telah dipesan dan berjajar rapi di atas meja. Teman-temannya tertawa dan bercanda. Suara mereka tenggelam dalam dentuman musik.Di salah satu sofa, seorang lelaki muda, yang juga bagian dari kelompok itu, tak dapat m
“Sir, berdasarkan informasi yang saya dapatkan, malam ini Nona Emely sedang berada di Azure Nightclub. Dia menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kampusnya,” lapor Porter, pria berusia 31 tahun dengan penampilan rapi dan wajah yang mencerminkan profesionalisme. Porter adalah asisten pribadi yang setia sekaligus orang kepercayaan pria dewasa yang kini tengah duduk di balik meja kerjanya.Ruangan itu dipenuhi nuansa maskulin—dinding kayu mahoni, rak buku penuh koleksi literatur klasik, dan cahaya temaram lampu kuningan yang memantulkan bayangan lembut di lantai marmer hitam. Di tengah ruangan, pria itu duduk tegak di kursi kulit hitam yang megah. Usianya mendekati 40 tahun, tetapi pesonanya tak memudar. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan sorot matanya tajam seolah-olah mampu membaca pikiran siapapun yang berani menantangnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi ia masih sibuk di kantornya. Di mejanya, tumpukan dokumen belum tersentuh sepenuhnya. Layar laptop pun
Emely melangkah tergesa-gesa di sepanjang lorong sempit. Sepatu hak rendahnya mengeluarkan bunyi berdebum lembut di lantai. Langkahnya goyah, hampir seperti orang mabuk. Namun, ia tahu betul bahwa ini bukan efek alkohol. Sesekali ia berhenti mendadak, tubuhnya membungkuk dengan kening berkerut. Kedua tangannya mencengkeram erat dinding di sisinya, sementara pahanya merapat dengan kuat seolah-olah mencoba menahan sesuatu yang mendesak dari dalam tubuhnya. “Apa yang terjadi ...?” gumamnya panik. Sebuah denyutan asing menjalar dari pangkal pahanya, menggelitik sekaligus menyakitkan. Rasa itu tidak wajar, seperti sesuatu yang mendidih di dalam tubuhnya. Tubuhnya memanas, nyaris terbakar. Emely ingin berteriak, tetapi napasnya terhenti di tenggorokan, menghilang menjadi rintihan pendek.Panas itu merambat cepat. Jantungnya berdegup kencang, mengguncang dada. Ia mencoba bernapas lebih dalam, tetapi setiap helaan napas terasa seperti api yang menyusup masuk dan membuat paru-parunya berdenyu
Napas Emely terdengar jelas di telinganya. Cepat, tersengal, dan tidak teratur. Begitu dekatnya Delon kini hingga ia bisa merasakan udara panas yang terpancar dari tubuh Emely.“Emely ...,” panggil Delon akhirnya. Suaranya parau, hampir seperti bisikan yang disengaja untuk memancing reaksi.Emely tersentak. Tubuhnya tegang seketika, matanya terbelalak, sebelum akhirnya ia menoleh ke sumber suara. Raut wajahnya berubah, keningnya mengerut tajam, menampilkan ekspresi penuh ketidaksukaan. Pandangannya menusuk, sinis, meski tubuhnya terlihat goyah.“Mau apa kamu di sini?” tanya Emely. Suaranya lirih, tetapi nadanya tetap tajam.Delon tersenyum tipis, mengabaikan nada ketus itu, seakan-akan tak berpengaruh padanya. “Aku menyusulmu ke sini,” jawabnya santai. Seolah-olah ia adalah pahlawan yang datang untuk menyelamatkan sang tuan putri. “Aku khawatir padamu.”Delon mengambil selangkah lebih dekat. Namun, Emely seperti sebuah reaksi otomatis, langsung bergerak menjauh. Punggungnya makin mene
Wanita itu jelas mengenalnya. Blue adalah pengunjung tetap di tempat ini, meskipun ia selalu datang dengan alasan yang berbeda dari kebanyakan pria lainnya.Blue menepis tangan wanita itu dengan gerakan cepat dan tegas. Matanya menatap tajam, memberi pesan yang tak terbantahkan. “Jangan ganggu aku. Aku di sini untuk urusan penting.” Suaranya dingin dan menusuk.Wanita itu langsung mundur dengan wajah tersipu, menyadari bahwa Blue tak sedang dalam mood untuk bermain-main. Ia mundur ke kerumunan tanpa sepatah kata lagi, sementara Blue melanjutkan langkahnya.Dengan tubuh tegap, Blue makin jauh masuk ke dalam club. Matanya yang tajam memindai seluruh ruangan sekali lagi. Kali ini, pandangannya terhenti pada sebuah meja di sudut ruangan. Ia melihat sosok wanita muda yang cukup familier. Rambutnya panjang bergelombang, dengan wajah ceria yang sulit dilupakan. Itu adalah Arwen, salah satu sahabat Emely.Blue segera melangkah cepat menuju meja itu.“Hai, Uncle Blue!” sapa Arwen dengan nada c
“Kalau aku berkata jujur, bahwa aku tidak berminat, apakah kau akan peduli?” Ia balik bertanya. Blue tertawa pelan, tawanya terdengar rendah dan menggoda. “Tentu saja tidak,” jawabnya dengan nada santai. “Kau tahu, Emely, kau tidak punya pilihan untuk menolak apa pun yang aku inginkan.”Emely mendengkus kecil. Meski nada bicaranya menunjukkan ketidaksukaan, matanya tetap terkunci pada Blue. “Aku tahu itu. Justru karena itu, aku malas berkata tidak,” balasnya tajam tetapi setengah menyerah.Blue tersenyum tipis, sebuah senyuman yang sarat penuh kemenangan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia mendekatkan wajahnya ke Emely, menatap matanya dengan dalam sebelum bibirnya menyentuh bibir wanita itu. Ciumannya lembut tetapi menguasai, seolah-olah mengklaim sesuatu yang sudah menjadi haknya. Emely yang awalnya ragu, pada akhirnya terbuai oleh kehangatan dan kelembutan sentuhan Blue.Untuk beberapa saat, mereka tenggelam dalam ciuman yang terasa membakar birahi dan mengabaikan segala hal lain d
Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit di perjalanan, akhirnya Blue dan Emely tiba di Luxe Midtown Residences, sebuah gedung apartemen elite yang terletak di kawasan Manhattan, New York. Gedung itu terkenal dengan fasilitas mewah dan lokasinya yang strategis di pusat kota, menawarkan pemandangan indah Central Park dari lantai-lantai atasnya.Mobil SUV hitam milik Blue perlahan memasuki area basemen yang luas dan terorganisir dengan baik. Lampu-lampu parkir menerangi jalur dengan sempurna, memberikan suasana eksklusif khas gedung premium. Blue menghentikan mobilnya di salah satu slot parkir khusus tamu, mematikan mesin, dan melirik sekilas ke arah Emely sebelum keluar dari kendaraan.Emely membuka pintu penumpang dan melangkah ke luar. Udara dingin dari sistem ventilasi bawah tanah terasa menerpa singkat kulitnya. Blue berjalan mendahului, tetapi langkahnya cukup lambat agar Emely bisa mengikuti tanpa tergesa-gesa.“Unitmu di lantai berapa?” tanya Blue, pura-pura tidak tahu letak
Selesai makan siang, Blue, Emely, dan Amara berpindah ke ruang TV untuk menghabiskan waktu bersama. Suasana terasa nyaman dan santai. Seorang pelayan masuk membawa dua cangkir teh hangat untuk Blue dan Emely, lalu meletakkannya di atas meja kecil di depan mereka.Sejak tadi, Amara tampak tak mau berjauhan dari Emely. Gadis kecil itu duduk di sampingnya, memeluk erat tubuhnya seolah-olah takut ditinggalkan. Tangan mungilnya menggenggam ujung baju wanita itu.Waktu berlalu hampir satu jam. Di sela tawa ringan dan obrolan santai, suara Amara perlahan menghilang. Emely yang menyadari keheningan itu, menundukkan kepalanya untuk melihat Amara. Ia mendapati gadis kecil itu sudah berbaring di sofa dengan kepala bersandar pada pahanya, tertidur lelap.“Dia tidur, Blue,” gumam Emely dengan suara nyaris seperti bisikan. Tatapannya beralih pada pria yang duduk di sebelahnya.Blue menarik pandangannya dari layar TV dan menoleh ke arah Emely, alisnya sedikit terangkat. Ia lalu menunduk untuk memast
“Nanny, cantik, ya, Mommy aku?” tanya Amara sambil membalikkan badan, memunggungi Gina. Ia membiarkan wanita dewasa itu memasang ritsleting gaunnya yang cantik.Gina tersenyum lebar mendengar pertanyaan polos Amara. Sejak masuk kamar, bocah itu terus tersenyum. Wajahnya dipenuhi binar kebahagiaan.“Iya, mommy-nya Amara sangat cantik, sama seperti Amara,” jawabnya sambil memuji gadis kecil itu dengan lembut.Amara terkikik kecil, wajahnya memerah. “Ah, Nanny bisa saja memujiku,” katanya pelan dengan nada malu-malu. Ekspresi menggemaskan itu membuat Gina tak kuasa menahan tawa kecil.“Amara memang cantik, Sayang. Semua orang juga tahu itu,” sanjung Gina. Ia kemudian memegang kedua bahu mungil Amara dengan lembut dan memutar tubuh gadis kecil itu hingga menghadap ke arahnya. Kini Amara menatapnya dengan senyuman ceria.“Nanny, aku mirip Mommy tidak?” tanya Amara tiba-tiba. Suaranya terdengar penuh harapan.Gina yang sedang bersiap menyisir rambut panjang Amara pun berhenti sejenak. Tatapa
Emely menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Senyum lembut muncul di wajahnya meski hatinya terasa campur aduk. “Iya,” jawabnya singkat tetapi penuh arti.Amara menatap tanpa berkedip, seolah-olah ingin mendengar lebih banyak. Emely mengerjap, merasa gugup. Lidahnya terasa kelu. Ia tahu dirinya harus memilih kosa kata dengan hati-hati, tetapi emosi justru membuatnya sulit untuk berpikir jernih. “Aku ... eumm ... maksudku, Mommy adalah ibunya Amara,” jelasnya akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang. Dalam hati, ia berharap pernyataan itu cukup untuk memuaskan hati kecil bocah tersebut.Amara tersenyum lebar, begitu lebar hingga matanya memicing. Dalam sekejap, kedua matanya berkaca-kaca. Tanpa menunggu lama, ia mendekat dan memeluk erat leher Emely. “Aku rindu sama Mommy,” katanya dengan suara yang tiba-tiba serak. Bibir mungilnya bergetar, berusaha menahan tangis.Blue menyaksikan adegan itu dalam diam. Matanya tiba-tiba memanas, dadanya terasa sesak mendengar nada rindu
Beberapa saat kemudian, Blue menyudahi ciumannya. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, cukup untuk melihat wajah Emely yang memerah. Napasnya masih tersengal. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Tangan bebas Blue bergerak perlahan, menyusuri paha mulus Emely dari balik dress yang ia kenakan, menyentuh kulitnya dengan lembut tetapi penuh niat.“Serius, mulutku bau bangkai?” bisik Blue. Suaranya terdengar rendah di dekat telinga Emely.Tubuh Emely menggelinjang lembut. Sentuhan pria itu mulai menyusup ke area sensitifnya, membuatnya makin salah tingkah. Matanya melebar panik. Lalu, tanpa berpikir panjang, ia mencengkeram pergelangan tangan Blue dengan kuat.“Aku berbohong!” akunya cepat. Suaranya terdengar nyaris putus asa. Ia berusaha menyingkirkan tangan nakal Blue yang makin berani menjelajah area sensitifnya. “Blue, hentikan! Ish, cukup!” Dengan sekali sentakan tegas, ia berhasil menjauhkan tangan pria itu.Emely berdiri terpaku, napasnya tersengal. Ia merapatkan kedua paha, berusah
Blue berdiri dari kursinya, memastikan laci tempat dokumen-dokumen penting terkunci otomatis sebelum melangkah mengitari meja kerja. Dia berhenti tepat di depan Emely lalu menatap wanita itu dengan tatapan intens. “Ayo ke luar. Amara sudah pulang,” ajaknya singkat dengan nada tegas.Emely mendongak, menatap Blue dengan wajah tanpa ekspresi. Tanpa banyak bicara, dia bangkit dari duduknya, bersiap melangkah pergi. Namun, Blue lebih cepat. Dengan gerakan sigap, tangannya menangkap pergelangan Emely, lalu berpindah ke pinggang ramping wanita itu. Dalam satu tarikan, tubuh mereka bersentuhan erat.Blue menunduk, memperhatikan wajah Emely yang terlihat kesal. Dia mengangkat dagu wanita itu dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksanya menatap langsung ke arahnya. “Tersenyumlah, Emely.” Suaranya pelan tetapi penuh perintah. “Jangan tunjukkan wajah seperti ini di depan Amara. Kau harus menyambutnya dengan senyum. Katakan kalau kau sangat merindukannya. Setelah itu, minta maaf karena baru bisa p
Emely meraih pulpen itu dengan tangan gemetar. Meski hatinya dipenuhi amarah dan rasa benci, ia membubuhkan tanda tangannya pada surat itu. Resmi menyerahkan diri sepenuhnya pada pria yang kini memegang kendali atas hidupnya, Blue Sinclair. Setelah selesai, Blue mengambil kembali dokumen itu. Matanya menatap tanda tangan Emely dengan ekspresi puas sebelum ia menyimpan kembali berkas itu ke dalam laci.Sementara itu, Emely meraih foto-foto yang berserakan di depannya. Dengan penuh emosi, ia merobek semua foto itu hingga tak berbentuk lagi, seolah-olah ingin menghapus jejak memalukan dirinya. Blue yang menyaksikan aksinya, hanya tertawa pelan.“Foto-foto itu hanya permukaan saja,” ujar Blue dengan nada mengejek. “Aku menyimpan banyak salinannya di tempat yang aman. Jadi, jangan terlalu percaya diri.”Emely berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Namun, ia memilih untuk tidak merespons, hanya menatap Blue dengan sorot mata penuh kebencian yang tertahan.Blue menutup laci lalu mengalihkan p
Emely merasa seluruh tubuhnya membeku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, apalagi ketika Blue menyebut nama ibunya. “Aku jadi penasaran,” lanjut pria itu dengan nada lebih rendah, hampir berbisik. “Bagaimana reaksi Lucia jika dia tahu semua ini?”Ketakutan tampak makin jelas di mata Emely ketika Blue dengan santainya membawa-bawa nama sang ibu dalam percakapan ini. Mom ..., batinnya dengan perasaan bergejolak. Emely tahu betul seperti apa rasa kecewa yang dirasakan oleh wanita yang paling ia sayangi itu jika semua ini terungkap. Itu adalah hal terakhir yang ingin ia lihat di dunia ini. Namun, apa daya, ia juga tak pernah berpikir jauh sebelum bertindak, hingga akhirnya terjerat dalam masalah-masalah seperti sekarang.Selama tinggal di New York, kehidupan Emely bisa dibilang sangat bebas. Hal itu karena ia selalu berhasil menghindar dari pengawasan ketat keluarganya di Italia. Di hadapan orang tuanya, Emely berhasil menciptakan citra wanita sempurna: seorang pelajar yang fo